Ikatan silaturahmi antara Komunitas Kenduri Cinta dengan Taman Ismail Marzuki adalah persambungan yang dibangun dalam kurun waktu yang tidak sebentar. 23 tahun perjalanan Kenduri Cinta di Jakarta bisa dikatakan 90% lebih gelarannya dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Hanya saat pandemi covid-19 beberapa waktu yang lalu Kenduri Cinta bergeser lokasinya tidak terselenggara di Pusat Kesenian Jakarta ini, karena disaat yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang melakukan proses revitalisasi Taman Ismail Marzuki ini.
Bulan Juli 2022 tahun lalu, Penggiat Kenduri Cinta dihubungi oleh staff TGUPP Gubernur DKI Jakarta untuk kembali menyelenggarakan Maiyahan di Taman Ismail Marzuki. Acara yang awalnya sudah dibatalkan karena penggiat Kenduri Cinta saat itu tidak menemukan lokasi yang tepat untuk menggelar Kenduri Cinta. Setelah pengumuman resmi dibatalkan dirilis di akun media sosial Kenduri Cinta, justru malah mendapat informasi agar Kenduri Cinta kembali ke Taman Ismail Marzuki. Tentu bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi begitu saja. Mungkin ini yang dinamakan jodoh?
Begitulah adanya. Persambungan Kenduri Cinta dengan Taman Ismail Marzuki tidak terbangun dalam waktu yang singkat. Dalam perjalanannya, Komunitas Kenduri Cinta tidak hanya menyelenggarakan Maiyahan saja di Taman Ismail Marzuki, tetapi juga melibatkan Taman Ismail Marzuki sebagai panggung pentas kesenian. Tercatat, Cak Nun dan KiaiKanjeng pernah mementaskan Naskah Drama “TIKUNGAN IBLIS” di Graha Bhakti Budaya. Saat perayaan 14 tahun Kenduri Cinta, didatangkan Komunitas 5 Gunung asuhan Mas Tanto Mendut di tahun 2014 silam berkolaborasi bersama KiaiKanjeng. Tidak hanya kesenian yang sifatnya kolosal, Kenduri Cinta juga pernah menggelar konser “Jazz 7 Langit” di tahun 2013. Tahun lalu, secara kolosal, naskah drama “WALIRAJA-RAJAWALI” dipentaskan di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Ada sederet portofolio kesenian yang melekat dengan Komunitas Kenduri Cinta yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.
Bahkan, beberapa tokoh sastrawan senior seperti Alm. Hamid Jabbar, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri hingga Jose Rizal Manua termasuk tokoh-tokoh sentral yang pada awal-awal Kenduri Cinta lahir turut mensupport Mbah Nun saat itu. Waktu berlalu seakan begitu cepat. Tidak terasa kebersamaan 23 tahun Kenduri Cinta dengan Taman Ismail Marzuki terjalin semakin erat.
Setelah proses revitalisasi Taman Ismail Marzuki selesai, ada area taman hijau yang sangat asri. Pohon-pohon yang rindang kokoh berdiri dengan dedaunan yang menghijau. Area taman di sebelah Graha Bhakti Budaya ini memang sudah lama sebenarnya diincar oleh penggiat Kenduri Cinta untuk menjadi venue penyeleggaraan Kenduri Cinta rutin bulanan. Baru di bulan Juli 2023 ini kesepakatan dicapai antara semua pihak pengelola Taman Ismail Marzuki dengan penggiat Komunitas Kenduri Cinta.
![](https://assets.caknun.com/media/2023/07/202307-kenduri-cinta-3-1024x576.webp)
Meskipun memang sedikit disayangkan, karena momen yang sebenarnya sangat membahagiakan ini bersamaan dengan kondisi Mbah Nun yang sedang tidak memungkinkan untuk turut hadir di Kenduri Cinta karena kondisi kesehatan beliau. Secara khusus, Tawashshulan menjadi tema utama Kenduri Cinta bulan ini, dan prosesi pembacaan Tawashshulan pun menjadi menu pembuka Maiyahan di Kenduri Cinta edisi ini. Jamaah yang datang lebih awal, sudah memahami kondisi terkini Mbah Nun yang sedang dirawat di Rumah Sakit, sehingga munajat cinta bertajuk Tawashshulan malam itu pun, salah satu tujuannya adalah memohon kasih sayang Allah agar segera melimpahkan kesehatan kepada Mbah Nun, agar Mbah Nun kembali sehat sehingga kembali menemani kita semua.
Pada kondisi yang tidak mudah ini, memang terasa berat menyelenggarakan Maiyahan. Terpancar dari wajah-wajah penggiat Kenduri Cinta hari itu dalam mempersiapkan forum. Raut wajah mereka tidak secerah seperti biasanya. Ada semangat yang berkurang. Ada nuansa kesedihan yang tampak. Pemandangan yang sangat manusiawi. Ibarat seorang anak, mendapati fakta Ayahnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, tentu ada kekhawatiran, ada kegundahan, ada kereseahan yang menyeruak. Pergolakan batin yag tidak mudah untuk dijalani. Tetapi, The Show Must Go On.
Sabrang malam itu turut hadir, seakan menjadi oase bagi jamaah yang hadir. Tentu mereka juga ingin mendengar kondisi terkini Mbah Nun. Sebagai anak tertua dari Mbah Nun, Sabrang menyampaikan ucapan terima kasih atas doa-doa yang dipanjatkan untuk kesehatan Mbah Nun. Sabrang menyampaikan, ada banyak pertanyaan dari berbagai pihak mengenai kondisi Mbah Nun yang disampaikan kepadanya. Hal yang wajar dan memang layak disampaikan kepada Sabrang selaku anak tertua Mbah Nun, yang secara tidak langsung pasti akan dianggap oleh banyak pihak sebagai putra Mbah Nun yang akan melanjutkan legacy yang sudah digagas oleh Mbah Nun berupa Maiyah ini.
“Saya dan keluaraga itu merasa tidak nyaman saat ditanya; Simbah bagaimana kondisinya sekarang?. Saya paham bahwa (pertanyaan) itu adalah sebuah wujud kepedulian. Dan saya beserta keluarga memang sangat membatasi informasi detail seperti itu. Kenapa? Kita lihat gunanya untuk banyak orang. Simbah selalu mengajarkan dalam melakukan sesuatu agar dihitung sisi positif dan negatifnya untuk banyak orang”, Sabrang menyampaikan hal-hal yang memang perlu untuk disampaikan.
“Kita semua sayang sama Simbah, Insya Allah”, Sabrang melanjutkan. Menurut Sabrang, saat kita mempertanyakan kondisi Simbah saat ini, tujuannya untuk apa? Apakah hanya untuk memuaskan hasrat hati kita mengenai kondisi Simbah atau kita ingin mendoakan Simbah agar segera sehat lagi? Ditegaskan oleh Sabrang, jika kita ingin mendoakan Simbah, tidak perlu kita mengetahui detail kondisi Simbah saat ini, cukup dengan kita mendoakan Simbah, itu sudah merupakan wujud kecintaan kita terhadap Simbah yang luar biasa.
Dengan informasi yang sepotong-sepotong, justru akan lebih berbahaya. “Otak itu tahu dua titik dia akan menggambar garis”, lanjut Sabrang menanggapi informasi yang simpang siur beredar di media akhir-akhir ini mengenai kondisi Simbah. Sabrang menyadari, ada banyak alasan yang mendasar pada setiap orang yang menjadi pijakan untuk mengenal Mbah Nun. Ada lapisan emosional, ada lapisan ketokohan, ada lapisan ketakdziman dan lain sebagainya.
![](https://assets.caknun.com/media/2023/07/202307-kenduri-cinta-5-1024x576.webp)
Mereflekasikan ketidakhadiran Mbah Nun, Sabrang memberi contoh bagaimana Kanjeng Nabi Muhammad SAW meskipun secara fisik sudah tidak bersama dengan kita, tetapi inspirasinya, kasih sayangnya, percikan cintanya masih bersama dengan kita. Hanya saja kita yang seringkali nranyak, ngengkel, merasa kurang puas jika tidak bertemu Kanjeng Nabi dalam mimpi, padahal setiap hari kita dipertemukan dengan kasih sayang Kanjeng Nabi.
Kita menyaksikan, dalam hitungan hari ketika Mbah Nun dirawat, kemudian tokoh-tokoh nasional bergantian datang menjenguk Simbah, yang kita saksikan di media sosial adalah spinning narasi yang sangat kontraproduktif dengan situasi yang faktual terjadi. Sabrang menandaskan bahwa setiap kita memiliki lapisan yang bertingkat-tingkat. Ada dari kita yang memiliki level pejabat, ada yang memiliki level tokoh nasional, ada yang memiliki level fungsional dan lain sebagainya. Tetapi yang paling fundamental adalah kita menjadi manusia yang seutuhnya. Ketika kita menampilkan sosok manusia dalam diri kita, maka levelling yang disebutkan tadi sudah luntur. Bagi Sabrang, semua manusia memiliki hak untuk menjenguk Simbah. Menjadi hina saat peristiwa seseorang membesuk Simbah lalu narasi yang digulirkan justru di-spin dalam narasi kepentingan yang sangat sempit, menjadi narasi untuk memuaskan hasrat pribadi dan kelompoknya. “How low can you go? Seberapa lama kamu akan merendahkan dirimu?”, lanjut Sabrang.
“Sedih itu boleh. Manusiawi. Tetapi jangan sampai kesedihan ini membuat kita berhenti untuk tertawa di Maiyah”, ungkap Sabrang malam itu. Menurut Sabrang, Maiyah adalah legacy yang digagas oleh Simbah untuk kita berkumpul bersama, berbagi ilmu, berbagi kegembiraan, berbagi dalam banyak hal. Berkumpul dalam ekspresi yang bebas bersentuhan secara langsung, tidak terkotak-kotakkan pada frame tertentu. Apakah Maiyah ini adalah Pengajian? Bukan. Tetapi tetap ada tadarrus dan sholawatannya. Apakah forum ini adalah konferensi atau seminar kajian ilmu? Bukan juga. Tetapi kita membicarakan banyak hal di Maiyah dengan serius. Dikatakan sebagai panggung kesenian, bisa juga. Karena memang Maiyah menyediakan panggung ekspresi kesenian untuk ditampilkan.
Maka, Sabrang mengingatkan kepada kita sebagai anak cucu Mbah Nun untuk nguri-uri apa yang sudah digagas oleh Mbah Nun melalui Maiyah. Di Maiyah, ada keragaman yang muncul. Kita bersama datang ke Maiyah dengan latar belakang yang beragam. Maiyah menampung banyak orang dan memang ada yang ditampung oleh Maiyah. Maiyah ada karena orang berkumpul bersama tanpa ada sekat.
“Jangan lupa juga bahwa yang dibawa Simbah (di Maiyah) adalah kegembiraan. Kita gembira disini untuk membawa (pesan) agar Simbah juga gembira bahwa anak cucunya tidak melupakan Simbah”, pungkas Sabrang.
Pada kondisi seperti ini, kita hanya bisa mempercayakan pada ahlinya. Dalam hal ini tentu saja adalah Tim Dokter di Rumah Sakit. Yang maksimal bisa kita lakukan adalah mendoakan agar proses pemulihan kesehatan Mbah Nun dapat berjalan dengan baik. Kemudian, di Maiyahan dan juga di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita nguri-uri setiap nilai yang sudah ditanam oleh Mbah Nun selama ini di Maiyah.