Catatan Kenduri Cinta edisi Desember 2023, Bagian Pertama
Kita sudah berada di akhir tahun 2023. Dalam hitungan hari, kita akan menyambut Pesta Demokrasi 5 tahunan bertajuk Pemilihan Umum 2024 pada 14 Februari 2024 nanti. Secara serentak, kita akan memilih Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, hingga DPRD I dan II.
Adakah dari kita yang telah menyediakan waktu luang untuk membaca detail dari setiap calon yang akan kita pilih itu tentang visi-misinya, gagasannya, program-programnya? Atau, kita hanya mengikuti arus saja, menyimak riuh gemuruh informasi di media massa cetak, elektronik juga media sosial. Pada akhirnya, kita pun hanya memilih berdasarkan like and dislike. Tidak ada parameter yang kuat untuk kita menentukan siapa yang akan kita pilih.
Balada Negeri Balkadaba adalah sebuah judul yang diangkat Kenduri Cinta kali ini sebagai flashback saat tahun 2009 lalu Cak Nun mementaskan sebuah repertoar: Presiden Balkadaba. Repertoar yang saat itu dipentaskan menjelang Pilpres 2009.
Pada sebuah naskah yang dibaca oleh Cak Nun saat itu, ditegaskan bahwa pada sebuah Pilpres bukan tentang siapa Presidennya. Ia bisa saja seorang Prajurit militer, ia juga bisa saja seorang pengusaha, akademisi atau bahkan seseorang yang memiliki pengalaman menjadi pemimpin pada skala yang lebih kecil dari sebuah Negara.
25 tahun setelah Reformasi 1998, situasi di Indonesia nyatanya tidak berubah secara drastis. Ya benar, Reformasi 1998 menjadi titik awal lahirnya demokrasi di Indonesia yang lebih terbuka. Pasca Soeharto lengser, Indonesia mampu keluar dari cengkeraman rezim Orde Baru, sehingga kemudian rakyat memiliki kebebasan dari yang sebelumnya dikerangkeng oleh rezim. Benar adanya, di era Orde Baru kita tidak memiliki kebebasan berpendapat sebebas hari ini. Tidak ada forum diskusi rakyat yang bebas digelar. Kritik terhadap penguasa tidak mudah diungkapkan, ada ancaman penjara setelahnya bahkan ancaman dimusnahkan, dihilangkan.
Tapi nyatanya hari ini pun tidak sebebas yang kita kira. Kritik terhadap rezim, ancamannya adalah perundungan oleh para buzzer pendukungnya. Sementara instrumen UU ITE juga siap menyergap. Ada banyak contoh mereka yang mengungkapkan kritik terhadap penguasa berakhir dengan pengadilan di meja hijau bahkan dipenjara. Kebebasan berpendapat, hanya boleh dilakukan oleh para buzzer rezim penguasa.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, nyatanya juga tidak benar-benar hilang. KKN merupakan isu utama kenapa Soeharto dilengserkan. Setelah Soeharto lengser, Reformasi melahirkan KPK. Tapi justru kemudian KPK dikebiri. Terlepas bahwa sebenarnya KPK juga dianggap gagal, karena seharusnya KPK hanyalah pemain Ad hoc. Ia seharusnya hanyalah pemain pengganti yang memainkan peran untuk memberantas korupsi untuk sementara waktu selama Kepolisan, Kejaksaan dan Kehakiman masih perlu memperbaiki diri. Saat KPK kemudian membangun gedungnya sendiri, saat itulah kita menilai bahwa KPK telah gagal. Karena keberhasilan KPK adalah saat pada akhirnya KPK tidak dibutuhkan lagi, karena Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman mampu memainkan perannya dengan baik untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Begitu juga dengan Pemilihan Umum. Apa yang kita alami hari ini tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru. Anggap saja, saat ini adalah Orde Baru 4.0. Orde Baru yang lebih advance dari Orde Baru era Seoharto.
Jika di era Seoharto dulu, Partai Politik hanya ada 3. Suara terbanyak pun sudah ditentukan sebelumnya. Intimidasi di akar rumput dikerahkan untuk mengarahkan rakyat memilih GOLKAR sehingga sudah pasti GOLKAR adalah Partai pemenang pada setiap gelaran Pemilu. PDI dan PPP hanya representasi kanan dan kiri saja pada setiap periodenya. Menjadi oposisi pun tidak maksimal perannya, hanya menjadi pelengkap saja.
Saat ini, hanya sedikit lebih canggih saja. Faktanya, rakyat tidak pernah diajak rembug oleh satu partai pun untuk ditanyakan persetujuannya untuk mengusung salah satu tokoh menjadi Calon Presiden, Calon Wakil Presiden bahkan juga untuk Calon Legislatif yang mereka usung di Pemilu nanti. Dengan percaya diri mereka mencalonkan tokoh-tokoh yang mereka pilih sendiri, kemudian mereka juga yang menentukan Calon Legislatif mereka pada daerah pemilihan sesuka hati mereka. Lantas saat menjelang garis akhir pemilihan, mereka dengan percaya diri menyampaikan kepada rakyat: Ayo pilih saya. Atau, ada juga yang dengan tanpa merasa bersalah kemudian seenak udelnya mengatakan: Kalau rakyat tidak suka kami, maka jangan pilih kami.
Lho. Ini bagaimana logikanya? Sejak awal mereka tidak rembug dengan rakyat. Tiba-tiba menyajikan menu masakan yang sudah mereka masak sendiri, lalu meminta rakyat untuk memilih masakan yang mereka sendiri yang menentukan untuk disajikan. Sementara itu, KPU sebagai wasit dari pertandingan ini melakukan anjuran, jangan sampai rakyat golput, karena Pemilu menentukan arah bangsa 5 tahun ke depan. Jangan heran kalau IQ rata-rata Bangsa Indonesia hanya 78,49. Karena memang logika berpikirnya dirusak secara berjamaah.
Pada tataran elit politik para politisi memainkan intrik-intrik, bersekongkol untuk menyusun sistem politik demi melanggengkan kekuasaan mereka. Sudah lazim, menjelang Pemilu seperti sekarang ini, mereka yang sebelumnya berkoalisi kemudian pecah kongsi, membangun kekuatan masing-masing. Tidak mengagetkan jika kita menyaksikan mereka yang pada pemilu sebelumnya berkonfrontasi kemudian saat ini berkoalisi, atau sebaliknya. Akrobat politik yang menjijikkan itu semakin terang-benderang dipertontonkan, menghinakan akal sehat rakyat yang lagi-lagi hanya menjadi pelengkap penderita.
”Kita ini tidak punya suara di Indonesia. Kita lahir kemudian harus menerima bahwa sistem politik kita adalah Demokrasi. Maka ayo kita beneran mengurus demokrasi. Kalau Pemilu kita anggap sebagai Pesta Demokrasi, ayo kita sama-sama mengimplementasikan demokrasi sebaik mungkin”, Sabrang urun gagasan mengenai bagaimana kita seharusnya berposisi saat hidup di negara demokrasi ini.
”Walaupun dalam kehidupan manusia, ide demokrasi itu bukanlah satu-satunya yang terlibat. Ada ide agama, ada ide untuk menata diri, ada ide ekonomi dan seterusnya. Macam-macam lah semua berdiri dalam kehidupan kita. Dan ini Negara yang menyenangkan Indonesia ini. Saya kalau melihat semua tokoh itu, saya bergumam, mereka pernah berkata bahwa mereka didzolimi, betul nggak? Kalau semua merasa didzolimi, kira-kira yang mendzolimi siapa?” lanjut Sabrang.
Fenomenanya adalah para Calon Presiden-Wakil Presiden, juga para Calon Legislatif di setiap wilayah bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kursi kekuasaan mereka. Sabrang menekankan, Indonesia dengan mayoritas penduduknya adalah muslim seharusnya memiliki kekuatan Agama yang kuat untuk menyelamatkan Bangsanya.
Sabrang melemparkan sebuah ide, saat seorang warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, begitu ia memasuki bilik suara, maka lakukan akad sakral dengan Allah. Ucapkan bismillah, ucapkan niat untuk memilih calon yang ia pilih, ungkapkan alasannya memilih, kemudian sampaikan bahwa jika yang ia pilih itu terpilih namun kemudian mengingkari janjinya, maka serahkan sepenuhnya kepada Allah untuk memberikan hukuman. Dari sekian puluh juta warga Indonesia yang muslim dan memiliki hak untuk memilih, 10% saja yang mungkin akadnya diterima oleh Allah, seharusnya menjadi jawaban atas persoalan bangsa ini. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita hanya melewati Pemilu dengan biasa-biasa saja? Ya sudah, 5 tahunan kita ramaikan, saat hari pemilihan menuju TPS, lalu kita pilih tanpa pertimbangan yang matang.
Menurut Sabrang ini hal yang serius untuk dilakukan. Karena pada setiap pemilihan, kita hanya melakuan rutinitas saja. Setelah Pemilu selesai, kita akan saling berdebat lagi, saling konfrontasi lagi, begitu seterusnya. Semakin kesini kita semakin tidak percaya kepada politik. Sementara itu kita sudah kadung hidup di negara demokrasi bernama Indonesia ini.
“Mau tidak mau yang harus kita lakukan adalah kita harus konsisten, sebaik mungkin melakukan pemilihan demokrasi itu. Demokrasi konsepnya rakyat memilih partai, mempercayakan keputusan partai, terus partai memilih calon-calon yang akan diusung. Jangan sampai Anda tidak serius dalam memilih partai. Maka syarat utamanya adalah kita sebagai rakyat harus serius dulu dalam memilih partai,” ungkap Sabrang.
“Kita tidak punya kontrol, kita tidak punya cukup waktu untuk menentukan memilih siapa. Walaupun kita sendiri juga milih siapa tidak jelas,” lanjut Sabrang. Kemudian Sabrang melemparkan pertanyaan: Sebutkan dua saja calon anggota DPR di dapil Anda yang Anda kenal dengan baik? Kalau ternyata tidak ada, ini kesalahan siapa? Mereka yang tidak memperkenalkan diri atau kita yang sudah terlalu apatis sehingga tidak mau mencari tahu siapa saja mereka?
”Indonesia menurut saya, masalah terbesarnya adalah cost overhead dari komunikasi. Komunikasi kita itu nggak jelas satu sama lain,” pungkas Sabrang.
”Selamat datang di forum Balkadaba,” Rocky Gerung menyapa jamaah Kenduri Cinta dan langsung memantik sebuah pertanyaan: ”Cak Nun di mana ketika 98 Reformasi? Ada yang tau? Cak Nun ada di sana, di Jalan Cendana, bersama tokoh-tokoh untuk menekan Presiden Soeharto supaya mundur. Cak Nun ada di situ. Cak Nun memilih jalan oposisi itu. Karena prinsip pertama dari warga negara bukan untuk berkuasa, tapi untuk melawan penguasa,” tegas Rocky.
Bukan Rocky Gerung kalau tidak ngegas dari awal. “Indonesia sudah demokrasi sejak 1998. Ditumbuhkan oleh Habibie, dipelihara oleh Gus Dur, lalu lompat ke SBY,” jamaah menyambut dengan tawa. “Lho, benar, Ibu Mega kan enggak dipilih, hanya meneruskan Gus Dur,” ungkap Rocky.
“Dan SBY menjadikan demokrasi sebagai peralatan tukar tambah politik. Itu historinya begitu. Nah sekarang indeks demokrasi turun. Jadi, Jokowi menurunkan indeks demokrasi bahkan tidak mampu memelihara. Itu intinya. Sekarang kita bertanya kenapa demokrasi tidak bisa hidup di era Jokowi,” ungkap Rocky.
”Sejak keputusan Mahkamah Konstitusi, seluruh alam pikiran kita, apalagi anak muda, berubah. Padahal, anak muda di tahun 1928 memutuskan untuk menghidupkan harapan masa depan dengan 3 dalil: Kami putra-putri Indonesia, kami pemuda Indonesia bersumpah bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu; Indonesia,” lanjut Rocky. “Sumpah Pemuda itu merupakan janji historis yang kemudian menginspirasi Bung Karno untuk berpidato: Berikan aku 10 pemuda akan kuguncangkan dunia. Lalu dijawab oleh Presiden Jokowi: Saya beri satu pemuda, saya guncangkan Mahkamah Konstitusi,” jamaah riuh menyambut pernyataan Rocky Gerung dengan tawa dan tepuk tangan.
”Jadi, kesempatan kita untuk melihat bangsa ini tumbuh dengan pikiran hilang begitu saja dan Presiden Jokowi memaksa anaknya untuk meneruskan kebutuhannya. Apakah ini melanggar Undang-undang dasar? Tidak. Ini melanggar undang-undang perlindungan anak,” lanjut Rocky Gerung yang kembali disambut riuh tawa jamaah.
”Itu dasarnya begitu teman-teman. Kita mau olah wilayah ini dan memulihkan kembali alam pikiran kita tentang demokrasi. Anda bayangkan, KPU terpaksa mesti zig-zag mengatur format debat. Padahal debat itu biarin aja. Yang mau ditampilkan otak, yang mau ditampilkan dengkul, yang mau ditampilkan usus, gak ada soal. Jadi gak usah diatur. Sama mengatur-atur Pak Prabowo supaya sopan santun, itu nggak mungkin. Atau mengatur Gibran nanti supaya tidak terlalu terlihat 78,94-nya. Tapi lewati dulu itu semua soal tadi dan membayangkan hal yang kita sebut masa depan itu apa. Presiden Jokowi menjanjikan bahwa kalian anak muda akan menjadi bonus demografi di tahun emas Indonesia, tapi tanpa fakta kalau Anda bayangkan anda akan jadi pemimpin makmur di tahun 2045, inputnya apa per hari ini?” tandas Rocky Gerung.
Menurut Rocky, narasi mengenai bonus demografi itu menjebak. Karena seharusnya, yang harus digagas adalah bagaimana anak-anak muda Indonesia mampu bersaing dengan anak-anak muda di Singapura, Malaysia, Taiwan, setidaknya di sekitar Asia Pasifik saja. Kalau ternyata pendapatan anak muda Indonesia di tahun 2045 hanya 10 kali lipat dari hari ini, tetapi Singapura bisa 300 kali lipat dari sekarang, maka anak muda Indonesia tetap miskin.
”Jadi kita mau lihat, misalnya inputnya apa sehingga 2045 oleh Pak Jokowi dibayangkan menjadi generasi emas. Malam ini ada 19,9 juta rakyat Indonesia tidur dengan perut kosong karena kelaparan. Itu angka tertinggi di Asia. Indonesia 19,9 juta. Jadi di mana bonus demografinya?” tegas Rocky.
“Setiap bayi yang lahir di Indonesia, sudah dibebani hutang 50 juta rupiah. Hutang negara sudah mencapai 17 ribu triliun, itu dibagi ke potensial bayi yang lahir. Satu dari empat bayi yang lahir hari ini mengalami kekurangan pikiran karena nutrisi otaknya tidak di-supply secara cukup oleh Negara. Namanya stunting. Prevelensinya 25%. Jadi anda bayangkan generasi emas 2045 nanti dibangun oleh skandal seperti itu,” lanjut Rocky.
Menurut Rocky, tidak mungkin Indonesia emas tercapai di tahun 2045 dengan kondisi kita hari ini. Sementara itu ada fakta bahwa 80% pemilih kita nanti hanya berpendidikan SMP. Ini sebenarnya persoalan besar bangsa ini, mereka yang nantinya akan masuk ke TPS untuk menentukan siapa Presiden yang akan mereka pilih.
Bagi Rocky, Pemilihan Umum nanti kita tidak sedang memilih kucing dalam karung. “Karena karungnya itu bolong, Anda tau mana Kucing yang maling di karung itu. Jadi kesempatan ini selalu kita pergunakan tadi untuk membuat ekspektasi menjadi terukur. Sementara keadaan di luar negeri memaksa kita untuk mencoba meraba-raba itu dunia masa depan seperti apa nanti. Tidak ada kita dengar percakapan di dalam talk show yang membayangkan a new kind of grammar in future, di masa depan itu apa? Kan yang dibahas problem-problem ini yang memungkinkan generasi baru sekarang menghadapi kecemasan itu apakah dunia kita akan dihuni oleh kemampuan untuk merekayasa alam pikiran melalui Chat GPT? Hal yang paling mudah kita bayangkan keadaan hari ini menunjukkan bahwa tidak ada kepastian demokrasi bisa dikembalikan pada status argumentatif. Nggak ada kita kirim sentimen, setiap hari kita kirim sentimen bukan argumen. Jadi perkumpulan kita di sini, kita sebutkan di sini perkumpulan akal sehat yang berupaya menemukan kembali Indonesia yang berpikir, bukan Indonesia yang disulap dengan amplop”, tegas Rocky.
”Kita menonton debat, ya oke, kita tau siapa yang menang di situ, yang punya otak pasti kan? Tapi sekaligus kita bayangkan kesulitan setelah seseorang menjadi Presiden, dua hari setelah jadi Presiden, tagihan IMF datang, tagihan investor datang. Bayangan ini mesti dari awal kita persiapkan. Karena sangat mungkin, dua minggu misalnya seseorang jadi Presiden, dia jatuh lagi. Karena ekspketasi publik terlalu jauh,” lanjut Rocky.
Menurut Rocky, yang harus kita lakukan hari ini adalah kita harus memastikan bahwa ada bagian-bagian dari masyarakat sipil yang otaknya belum tercemari oleh asam sulfat limbah demokrasi. Kita bersama-sama berupaya untuk menuntun kembali argumen sebagai dasar berpolitik. Memang, demokrasi itu bukan idol dari kehidupan bersama, tetapi itu fasilitas yang tersedia. Minimal untuk memungkinkan kita bercakap-cakap secara setara. Itu yang tidak ada saat ini, meskipun sering dikatakan Pemerintah.
Rocky kemudian bercerita, bahwa dahulu saat ia masih berkumpul bersama aktivis di sebuah LBH di Jalan Diponegoro, di ruang Adam Malik. Sebuah LBH yang dihuni banyak aktivis saat itu. Ketika diskusi dimulai, biasanya datang aparat dari Kramat Lima, yang sering disebut dengan sebutan Kremlin. Aparat itu datang ke LBH kemudian menyatakan: ”Atas nama undang-undang, saya bubarkan diskusi ini.” Orde baru sengat jelas, menggunakan undang-undang untuk membubarkan diskusi, meskipun itu subversi.
”Jadi, diskusi itu dibubarkan. Bukan dilarang, tetapi dibubarkan. Sekarang sebelum diskusi, rektor sebuah universitas ditelepon agar tidak menerima Rocky Gerung. Jangan terima Faisal Basri. Kan lebih sublim otoriterianismenya. Kan itu kejahatan. Kejahatan yang ada di dalam otak seorang tiran sebetulnya. Nah, komposisi-komposisi ini yang akan kita hitung nanti, suatu waktu kita akan tanya apakah Presiden Jokowi meninggalkan jejak demokrasi atau enggak? Apakah Jokowi meninggalkan jejak kemampuan juga tidak? Zaman Pak Harto, sumber daya kita dieksploitasi. Konglomerat diberi izin oleh Pak Harto, terutama kayu di situ, batu baranya sedikit. Soeharto dengan sengaja memberi izin eksploitasi sumber daya pada konglomerat yang sekarang kita sebut oligarki,” lanjut Rocky.
Tetapi, pada saat itu menurut Rocky, yang kembali kepada Negara masih 30% dari hasil eksploitasi itu. Saat SBY berkuasa, masih 27%. Sekarang tinggal 7%, 6% saja yang kembali ke Negara. ”Jadi di mana kemakmuran itu? Yang merupakan hak setiap rahim perempuan, rahim ibu-ibu. Nah, kesempatan ini yang serung kali lalai di dalam perdebatan Calon Presiden. Para kandidat tidak melihat secara faktual bahwa Indonesia sudah ada di jurang untuk menjadi failed state. Negara gagal. Dari segi apapun itu.
”Jadi forum Kenduri Cinta ini mengangkat tema yang bagus, kita mulai satu tema alternatif untuk pesimis, bukan untuk optimis. Banyak orang yang optimis, tapi irasional. Kita adalah kalangan pesimis yang rasional. Itu bedanya. Supaya kita bisa tuntun kembali negeri ini menjadi Indonesia yang berpikir. Dan itu sebetulnya yang bertahun-tahun diucapkan secara sublim oleh Emha Ainun Nadjib,” tegas Rocky.
”Jadi, pengkondisian ini sebetulnya sudah dilakukan oleh Emha. Jadi, saya mengingat kawan saya, Emha sebagai orang yang terus memelihara bagian sublim dari negeri ini yang kadang-kadang dianggapnya; ngapain sih Emha itu push and blink segala macam, nyinyir aja. Tapi kenyinyirannya itu justru memprovokasi kita untuk berpikir alternatif. Jadi, Emha menyumbang dan merawat value dari demokrasi. Itu jawabannya.
Sebaliknya, Jokowi memberantakkan demokrasi, betul-betul memberantakkan demokrasi. Kita anggap bahwa mungkin menjelang 14 Februari akan banyak pertemuan akal sehat di mana-mana itu. Dan sebuah kekuatan moral perlahan-lahan sedang tumbuh di negeri ini untuk menghalangi kekuatan masif dari politik kotor”, pungkas Rocky.
bersambung