“Tolong sampaikan kepada teman-teman yang hadir malam hari ini, sampaikan, saya kangen,” Mbak Via menyampaikan sebuah pesan dari Cak Nun untuk jamaah Maiyah yang hadir di Kenduri Cinta malam itu.
Mbak Via malam itu mengawali dengan uluk salam rindu dari Cak Nun. ”Judul malam ini: Mengharukan Allah, jujur saya tahu maksudnya dan saya ingin Allah terharu dengan situasi malam ini, dan malam-malam sebelumnya. Sorry, saya yang terharu. Saya ingin Allah terharu, sehingga Allah menyegerakan kita bisa berkumpul dengan Cak Nun,” Mbak Via menyapa jamaah Kenduri Cinta.
”Jadi teman-teman, saya sampaikan begini kepada Cak Nun: Yah, Ibu mau ke Kenduri Cinta. Sudah lama tidak kesana. Saat ini Ayah di rumah dulu aja, istirahat. Terus beliau menyampaikan: Sampaikan salam kepada semua yang hadir malam ini, Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dan beliau menyampaikan kepada saya, tolong sampaikan kepada teman-teman yang hadir malam ini, sampaikan bahwa saya kangen, saya ingin segera bertemu. Hanya itu pesan beliau,” Mbak Via melanjutkan.
Saat Mbak Via menyampaikan pesan dari Cak Nun ini, suasana Kenduri Cinta tampak haru. Sebuah obat rindu yang selama ini terpendam, rasa kangen yang sudah cukup lama tertahan di dalam dada kita. Kabar dari Mbak Via cukup mengobati rasa rindu itu.
Mbak Via pun mengungkapkan harapannya bahwa ingin agar Cak Nun bisa kembali berkumpul bertemu dengan teman-teman di forum Maiyahan setiap bulan. ”Saya ingin Cak Nun bisa seperti dulu, bertemu dengan teman-teman semua di tempat-tempat yang selalu beliau datangi setiap bulan, dan saya tahu persis itu yang beliau dambakan. Karena saya tahu persis hatinya Cak Nun. Hatinya Cak Nun itu: 1 buat ibunya, 2 untuk keluarganya, 3 untuk teman-teman semua,” pungkas Mbak Via.
Memang benar adanya, situasi seperti sekarang ini adalah situasi yang membuat kita kangen dengan Cak Nun. Bukan hanya kangen terhadap sosoknya, namun juga kepada pengayomannya. Cak Nun yang selalu memposisikan diri menjadi sahabat bagi kita, tidak hanya menenangkan hati kita, tapi juga menjadi sosok yang selalu membangkitkan rasa optimis dalam hidup kita. Juga memberi peringatan bagi kita terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Seperti halnya peristiwa yang kita alami pada pesta demokrasi ini. Cak Nun sudah memberi peringatan kepada Bangsa Indonesia sejak beberapa tahun lalu, bukan hanya dalam sebuah video yang viral pada awal tahun 2023 lalu saja. Cak Nun memang konsisten untuk memposisikan diri sebagai oposisi terhadap penguasa, siapapun itu yang sedang berkuasa. Sebagai Jamaah Maiyah, kita tidak terlalu kaget dengan peristiwa politik akhir-akhir ini. Kita cukup senyum-seyum saja, memandang dari kejauhan, tanpa harus merasa kaget, karena memang alam demokrasi Indonesia saat ini hanya mampu mencapai seperti yang kita saksikan saat ini.
Berulang kali Cak Nun dibully di media sosial atas ucapannya, sama sekali tidak mengurangi kecintaannya terhadap Indonesia. Dan sekarang, pada akhirnya kita dibukakan fakta-fakta atas setiap fenomena yang terjadi. Benar, ini bukan soal menang atau kalah bagi salah satu kandidat Capres-Cawapres, pendidikan politik yang selalu disampaikan oleh Cak Nun di forum-forum Maiyah tujuannya adalah untuk mendewasakan rakyat Indonesia, memberi edukasi, menekankan arti pentingnya kejujuran dalam berpolitik. Di Maiyah, kita sudah lama mempelajari bahwa Akhlak letaknya di atas hukum. Di Maiyah, kita sudah pernah membahas ”Negara Hukum, Manusia Akhlak”, bahwa untuk mewujudkan sebuah negara hukum yang penuh berkeadilan, harus juga dibangun manusia akhlak yang mengedepankan moral dan etika.
Akhir-akhir ini banyak kita temui “pemuja berhala” yang baru terbangun dari tidurnya, baru sadar atas kelalaiannya, baru meyadari kebodohannya. Mereka yang dulu mengolok-olok, membully, menghina Cak Nun, kini beramai-ramai meminta maaf atas perbuatannya. Namun sebenarnya, tersadarnya mereka hanya karena berhala yang dipuja itu tidak lagi berjalan atas keinginan mereka saat ini. Andaikan berhala yang dipuja-puja itu menguntungkan dirinya dan kelompoknya, tetap saja kita harus memiliki kesadaran bahwa mereka akan semakin memuja-muja berhala itu.
Pada akhirnya, ini memang bukan soal tentang siapa yang berkuasa, bukan tentang siapa yang menguntungkan dan diuntungkan. Pada setiap keinginan manusia yang tidak terwujud, akan ada kambing hitam untuk disalahkan. Pada kepentingan yang tidak terakomodir, harus ditemukan pihak yang disalahkan. Hingga akhirnya kita semua tersadar bahwa sebagai rakyat, kita hanya dianggap sebagai pelengkap penderita.
Berjuang Mengharukan Allah
“Mengharukan orang tua saja kita belum pernah, kok mau bercita-cita mengharukan Allah?”, sebuah kalimat yang satir muncul di sesi mukadimah Kenduri Cinta edisi Februari kemarin. Bagaimana sebenarnya konsep membuat Allah itu terharu? Atas dasar apa sehingga Allah akan terharu kepada kita? Atas perilaku kita yang mana yang membuat Allah terharu kepada kita? Maka, sebelum terlalu jauh citca-cita itu, penggiat Kenduri Cinta mengajak untuk lebih dekat dahulu dengan sekitar kita, bagaimana caranya agar kita mampu membuat orang tua kita terharu.
Karena terkadang, hal yang sifatnya mendasar dan sangat dekat justru yang terlupakan. Kita selalu berusaha membincangkan hal-hal yang besar, sementara hal-hal yang sederhana di sekitar kita justru terlupakan.
Pada satu kisah sufi lawas, ada pelacur yang berkorban mengambil air dengan sepatunya di dasar sebuah sumur untuk kemudian air itu ia berikan kepada seekor anjing yang sedang kehausan. Sebuah peristiwa yang mengharukan bagi Allah, hingga akhirnya si pelacur itu dijamin surganya oleh Allah. Kita bisa melihat bahwa peristiwa mengharukan Allah itu juga tidak serta merta harus selalu pada peristiwa yang seluruhnya baik-baik saja. Dari peristiwa pelcur dan anjing itu saja kita bisa melihat ada hal yang kita anggap negatif justru menghasilkan sesuatu yang positif.
Semakin modern manusia, semakin jauh justru manusia untuk mampu menemukan secara detail mengai hal-hal kecil yang sebenarnya mampu mengharukan Allah. Seolah-olah, standar untuk membuat Allah terharu adalah sebuah standar yang terus meningkat dan semakin sulit dicapai. Padahal, ada banyak hal-hal sederhana dalam kehidupan kita dan di sekitar kita bahwa sesuatu yang kita lakukan mampu membuat Allah terharu.
Maiyahan yang rutin kita selenggarakan setiap bulan ini adalah satu proses dimana kita beriktiar untuk mewujudkan rasa haru dari Allah kepada kita. Sebuah pilihan yang tidak sulit sebenarnya jika kita memilih untuk istirahat di rumah, rehat dari kesibukan, menikmati sajian televisi, bahkan tidur nyenyak. Tetapi, kita memilih untuk datang ke Taman Ismail Marzuki untuk Maiyahan. Beberapa orang tua bahkan mengajak serta anak-anaknya untuk Maiyahan. Tentu tidak terlalu berlebihan jika kemudian kita sedikit GR bahwa Allah sudah terharu dengan apa yang kita lakukan selama ini di Maiyahan.
Sebagai sebuah forum yang egaliter, juga sebagai forum dengan seribu podium, malam itu hadir di Kenduri Cinta tiga narasumber perempuan: Mbak Bivitri Susanti, Prof. Premana Premadi dan Mbak Via. Kehadiran tiga narasumber perempuan ini tentu bukan hal yang direncanakan sebelumnya. Karena pada awalnya adalah Kenduri Cinta ingin menghadirkan narasumber perempuan dengan latar belakang yang berbeda-beda tentu saja. Saat menghubungi Mbak Bibip (Bivitri Susanti), belum muncul ”Dirty Vote”. Dengan alasan ingin menghadirkan narasumber perempuan, Mbak Bibip bersedia untuk hadir di Kenduri Cinta. Dengan latar belakang hukum tata negara, tentu akan ada banyak hal yang bisa dibincangkan oleh Mbak Bibip di forum ini.
Begitu juga dengan Prof. Premana Premadi. Seorang Astronom, Guru Besar ITB dan saat ini menjadi Kepala Observatorium Bosscha. Sebagai seorang Astronom, tentu beliau sangat fasih berbicara mengenai kosmos, galaksi dan benda-benda perbintangan di antariksa. Alam semesta adalah sebuah oskestrasi yang diselenggarakan oleh Allah dalam komposisi harmoni yang sangat seimbang. Bagaiman bintang-bintang dapat beredar di angkasa, ada yang hancur karena bertabrakan dengan bintang yang lainnya, ada yang hancur karena meledakkan diri, namun pada akhirnya kita yang tinggal di Bumi ini tidak memperhatikan itu sebagai sebuah fenomena. Padahal, Bumi ini hanyalah satu bagian kecil dari galaksi dan tata surya yang ada.
H-1 Kenduri Cinta diselenggarakan, kami mendapat informasi bahwa Mbak Via akan datang ke Kenduri Cinta. Sebuah momen langka yang tentu sangat istimewa bagi kami. Mbak Via yang selama ini adalah faktor primer atas hadirnya Cak Nun di forum-forum Maiyah. Atas izin dan keikhlasan Mbak Via, sehingga Cak Nun bisa berkeliling ke banyak tempat, menemui anak cucu Maiyah.
Istiqomah. 24 tahun Kenduri Cinta berproses, diselenggarakan secara swadaya menjadi satu perjalanan panjang yang patut disyukuri. Forum ini sudah mampu untuk mandiri, tidak bersandar pada sosok yang akan berbicara. Kenduri Cinta semakin yakin pada dirinya sendiri bahwa forum ini benar-benar menjadi forum terbuka untuk siapa saja. Sebuah forum yang diikhtiarkan untuk Sinau Bareng, bukan untuk dijadikan proposal demi kepentingan politis sesaat. Maiyah dengan sekian banyak titik simpulnya tanpa pamrih terus berproses, setia kepada value yang dibawa oleh Cak Nun.
Meskipun tetap dalam kesadaran bahwa logika Allah tidak sama dengan logika manusia. Manusia hanya bisa berencana dan Allah jua yang akan menentukan hasil akhirnya. Perjalanan panjang Maiyah jika ditarik dari garis awal Padhangmbulan, maka sudah melewati tiga dekade. Dan sampai hari ini pun, Maiyah sama sekali tidak pernah dimanfaatkan oleh Cak Nun untuk kepentingan atau pamrih pribadi. Semua atas dasar keikhlasan, guyub rukun, duduk melingkar bersama, sinau bareng, mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.
Kenduri Cinta adalah Legend!
”Terima kasih, saya sangat senang sekali diundang ke forum ini, Mbak Via makasih atas kesempatannya, kawan-kawan semuanya. Kenapa saya seneng, karena ini (Kenduri Cinta) memang legend. Jadi, walaupun saya baru pertama kali datang, tapi yang menulis soal (Kenduri Cinta) ini sudah banyak, yang bercerita soal ini sudah banyak, dan saya belum tau persis kapan lahirnya ternyata sudah 24 tahun, jadi hebat banget temen-temen, saya kagum,” Mbak Bivitri menyapa jamaah Kenduri Cinta malam itu.
Bagi Mbak Bibip, seperti halnya ”Dirty Vote” yang dibuat dalam waktu yang singkat, kemudian karena membawa isu yang sensitif lalu dituduh produksi film tersebut dibiayai oleh pihak-pihak tertentu. Bagi Mbak Bibip, memang sebuah perjuangan yang tidak menggunakan rasio materi orang modern, tidak akan bisa diterima dengan mudah, akan selalu dituduh ada kepentingan dibelakangnya. Diceritakan oleh Mbak Bibip, produksi ”Dirty Vote” itu benar-benar swadaya, tidak ada yang dibayar, bahkan kru yang terlibat pun tidak dibayar. Bahkan diakui oleh Mbak Bibip, masih nombok untuk biaya sewa layar LED.
Proses swadaya itu yang kemudian mengundang pihak lain untuk turut membantu. Ada yang membuat close captioning untuk teman-teman difabilitas, kemudian ada yang menyumbang translasi bahasa inggris. Bahkan di channel Dirty Vote sendiri tidak di-monetize dengan Adsense. Begitu juga pada tujuan elektoral, film ini diakui oleh Mbak Bibip dibuat tanpa tujuan elektoral. “Kami membuat film itu dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan,” lanjut Mbak Bibip.
Mbak Bibip menceritakan kenapa mengiyakan undangan dari Kenduri Cinta karena niatnya ingin menghadirkan narasumber perempuan. “Itu saya langsung kontan, oke!” ungkap Mbak Bibip. “Karena kita harus mendorong untuk lebih banyak ruang-ruang publik yang diisi oleh perempuan,” lanjutnya.
Mbak Bibip mengakui, bahwa dunia politik di Indonesia saat ini lebih cenderung menjadi Boys Club. Sebuah ruang yang sangat dikuasai oleh Laki-laki. Padahal, setiap kebijakan politik yang akan diputuskan sudah semestinya mengkomodir semua kalangan. Hukum sudah sepantasnya menghadirkan kesetaraan.
“Makanya saya bahagia sekali bisa hadir disini. Ini serius bahagianya. Karena saya menyaksikan sendiri semua berkumpul, tanpa ada pemisahan, sopan-sopan, tidak ada yang melecehkan satu sama lain, dan sebenarnya ini adalah dunia yang kita impikan. Temen-temen, ini sebenarnya adalah komunitas yang kita impikan dan kita bisa wujudkan itu,” lanjut Mbak Bibip.
”Kemarin melihat hasil 14 Februari saya pesimis, tapi malam ini saya bertemu temen-temen disini saya jadi optimis lagi. Karena saya jadi punya harapan bahwa ada kok orang-orang yang kompas moralnya masih bagus kayak temen-temen. Ada kok orang-orang yang akal sehatnya masih luar biasa kayak temen-temen untuk ngobrol dan berdiskusi malam-malam disini, itu menumbuhkan harapan dalam diri saya, walupun kemarin sempat kecewa. Dan kecewa itu wajar, karena yang kita kecewakan bukan karena kalah dan menang, tetapi memikirkan masa depan demokrasi di Indonesia,” lanjut Mbak Bibip.
Pengalaman Mbak Bibip setelah Dirty Vote dirilis, ia diserang oleh buzzer di media sosial. Baginya, serangan di media sosial itu tidak perlu dihiraukan. Karena semakin kita takut, maka semakin membuat mereka berani. Kita yang berada di pihak yang benar jika kemudian merasa takut menyampaikan kebenaran, maka akan semakin membuat mereka yang berada di pihak yang salah justru semakin berani untuk menekan kita. Mbak Bibip menegaskan bahwa jangan sampai kita hidup dalam dunia yang terbalik, bahwa jangan sampai mereka yang salah justru semakin berani untuk menyerang pihak yang benar. ”Mari kita berani karena benar, jangan sampai kita benar tapi merasa takut,” ungkapnya.
Pada masa lampau, Indonesia pernah memiliki era dimana politisi adalah intelektual dan intelektual adalah politisi. Kita membayangkan dan berharap kembali terwujud Indonesia yang seperti itu.
Berganti ke Prof. Premana Premadi, sebagai seorang Astronom tentu saja akan menyampaikan informasi sesuai dengan latar belakang ilmu dan pendidikannya. ”Galaksi, singkatnya adalah kumpulan dari banyak sekali bintang, yang diantaranya adalah Galaksi Bima Sakti tempat kita tinggal saat ini yang disebut orang barat sebagai Milky Way, yang berisi ratusan milyar bintang,” Prof. Nana mengawali.
”Sementara, di otak kita, ada juga ratusan milyar neuron sel syaraf. Jumlah sel syaraf yang ada di kepala kita jumlahnya berlipat-lipat dari jumlah manusia yang hidup di bumi,” lanjut Prof. Nana.
”Seringkali saya bertanya begini: Tuhan itu Maha Kuasa sekali, mau besok matahari terbenam kemudian tidak diterbitkan kembali, sangat bisa dilakukan oleh Tuhan, tetapi kenapa tidak dilakukan. Kenapa semesta bergerak mengikuti aturan-aturan yang jelas dari Tuhan?” Prof. Nana melanjutkan.
Menurut Prof. Nana, tidak ada satu bintang pun yang melanggar aturan main yang sudah ditetapkan di alam semesta. Mereka beredar sesuai dengan porosnya. Bahkan, untuk Gerhana Matahari misalnya, kita bisa menghitungnya hingga sangat detail, kapan akan terjadi, berapa lama, hingga menit dan detiknya. Kita bisa melakukan perhitungan itu karena semua sudah teratur. Hipotesa Prof. Nana, Tuhan ingin apa yang sudah Tuhan kasih kepada manusia itu agar diberdayakan.
Jika semesta ini berjalan atas kemauan masing-masing dirinya sendiri dari setiap bintang, maka untuk apa kita hidup? Atas kemurahan hati Tuhan itu, sudah semestinya kita memanfaatkan dan memberdayakan anugerah Tuhan itu agar melebihi rasio. Ada rasa welas asih yang seharusnya selalu menjadi landasan dalam manusia berfikir dan berlaku. Hewan saja memiliki rasa welas asih itu. Terhadap keturunannya, hewan akan berusaha untuk menjamin agar ia bisa hidup dengan layak, hingga akhirnya saat dewasa ia mampu hidup secara mandiri.
”Indonesia ini adalah salah satu negara yang keanekaragamannya juara. Sudahlah negara kepulauan, lebih banyak airnya dari daratannya. Orangnya macem-macem. Bukan hanya adat istiadat yang beragam, tetapi juga cara pandang yang beragam. Pertanyaannya adalah, kok bisa Indonesia dengan penuh keanekaragaman ini mampu bertahan untuk terus bersatu? Apa resepnya?” lanjut Prof. Nana.
”Tidak ada satupun di alam semesta ini yang diam, dan juga tidak ada satupun di alam semesta ini yang kekal”, Prof. Nana melanjutkan. Matahari sebagai sebuah bintang baru ada sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu, sebelumnya tidak ada. Bumi kita baru sekitar 4,4 milyar ada. Tidak muncul dari awal. Suatu hari, Matahari sudah akan berhenti karena sudah selesai masa tugasnya. Sebagai sumber energi Bumi, suatu hari Matahari akan hilang. Di dunia astronomi, ada bintang yang mati, ada bintang yang meledak, itu adalah hal yang biasa. Semesta sebagai sesuatu yang bekerja secara alami, ada kejadian yang letaknya jauh, tidak apa-apa. Matahari jika suatu hari selesai masa tugasnya, semesta tidak akan terpengaruh sama sekali, kita yang justru pusing karena sumber energi kita hilang.
Semesta ini punya cara untuk berjalan. Tetapi manusia memberi makna atas itu semua, karena ia butuh untuk memaknai. Manusia harus menyadari bahwa dirinya memiliki konsekuensi terhadap alam semesta yang berjalan ini. Manusia harus terus mencari jawaban atas pertanyaan: Apa konsekuensi saya terhadap alam semesta ini?
Menyimak paparan Prof. Nana mengenai kuasa penuh Tuhan terhadap alam semesta, kita bisa menarik satu benang merah dengan salah satu buku karya Cak Nun: Tuhan Pun Berpuasa. Betapa setianya Tuhan menerbitkan matahari setiap hari, menghembuskan angin, mengalirkan air, seolah tidak ada batasnya. Dia limpahkan seluruh anugerah itu kepada semua makhluk hidup. Tanpa terkecuali. Sementara manusia berlaku semaunya sendiri, tanpa mempertimbangkan bagaimana anugerah dan rahmat dari Tuhan dibagi rata ke seluruh makhluk di dunia. Andaikan Tuhan ”berbuka puasa”, melampiaskan hawa nafsunya, entah jadi apa kita hari ini?
Dan memang benar adanya. Bahwa puncak pengetahuan manusia adalah pemahaman mengenai batas. Dan puasa adalah sebuah metode bagi manusia untuk memahami tentang batas itu. Mungkin, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah manusia puasa. Manusia yang mengerti kapan harus berhenti, kapan harus berjalan, kapan harus berlari. Manusia puasa adalah dia yang memahami batas dari sebuah ukuran peristiwa. Manusia puasa adalah dia yang berani mengatakan ”tidak” meskipun sebenarnya ia berhak untuk ”iya”.
Mengharukan Allah bukanlah sebuah peristiwa yang hebat. Mengharukan Allah tidak harus dengan kita mewujudkan sesuatu yang besar. Mengharukan Allah adalah ijtihad dari tiap-tiap individu kita, untuk terus setia pada nilai kebenaran yang kita pegang. Kita setia pada pijakan kebenaran yang kita pilih. Dan di Maiyah, kita menemukan konsep dan metode untuk mampu mengharukan Allah. Karena Maiyah, lahir dari hati-hati yang tercerahkan, Maiyah lahir dari diri yang setia terhadap sebuah nilai kebenaran.