Jum’at sore di Jakarta, Ramadlan, hujan dan macet. Perpaduan sempurna nuansa senja di eks Ibukota Jakarta. Lho, kok eks? Konon kabarnya, sesuai dengan UU IKN yang sudah disahkan 2 tahun lalu, maka per 15 Februari 2024 Jakarta bukan lagi Ibukota NKRI. Netizen ramai meributkan hal itu. Tapi apakah itu berpengaruh kepada Kenduri Cinta? Tentu saja tidak. Kenduri Cinta tetap diselenggarkaan di Jakarta, di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki.
Suasana Ramadlan memang selalu terasa berbeda dari bulan-bulan lainnya. Jam kantor selesai lebih cepat. Masyarakat urban di Jakarta memenuhi jalanan lebih awal. Pemandangan kepadatan manusia di stasiun KRL, halte Transjakarta, Angkot, pasar hingga trotoar. Di beberapa titik, mereka menyerbu para penjaja kudapan Takjil di beberapa sudut kota. Ramadlan memang berkah. Bukan hanya untuk ummat Islam saja. Bahkan, mereka yang bukan beragama Islam dan tidak sedang berpuasa pun ikut berburu Takjil. Agamamu ya agamamu, tapi jajanan Takjil bukan hanya milikmu. Begitu kata mereka. Menyenangkan sekali menyaksikan pemandangan seperti ini. Geliat kehidupan sosial masyarakat di Jakarta seolah memperlihatkan bahwa Indonesia sedang baik-baik saja.
Apa? Harga beras dan bahan makanan pokok lain merangkak naik? Kita bisa dengan enteng menjawab: Ah, itu perasaan adik saja.
Jumat minggu kedua di bulan Maret ini, terjadwal Kenduri Cinta. Sejak Kamis sebelumnya, tenda sudah terpasang di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. TIM memang sudah menjadi rumah bagi Kenduri Cinta. 24 tahun perjalanan, Kenduri Cinta menyemai nilai-nilai kebaikan di tempat ini. Nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh Cak Nun, disetiai bersama, untuk terus dibawa, dielaborasi dan diejawantahkan. Sebisa-bisanya, semampu-mampunya.
Sejak Jumat sore hari (15/3), penggiat Kenduri Cinta sudah berkumpul di Plaza Teater Besar ini. Setelah seluruh persiapan teknis selesai dilakukan, tradisi Khataman yang digagas setiap Ramadlan kembali digelar. Mereka duduk melingkar di panggung, tadarrusan bersama. Hingga menunggu Adzan Maghrib berkumandang, sebagai penanda akhir dari puasa hari itu. Langit Jakarta sore itu menggelap. Mendung menggelayuti, angin berhembus kencang, dan benar saja, tepat selepas Adzan Maghrib, hujan turun cukup deras disertai angin yang kencang. Menambah syahdu suasana buka bareng penggiat Kenduri Cinta sore itu.
Kenduri Cinta sudah menjadi meeting point bagi para penggiatnya. Mereka yang mayoritas adalah para pendatang, kaum pekerja di Jakarta, datang dari kampung, menemukan sebuah rumah bersama untuk selalu disinggahi; Kenduri Cinta. Tidak ada rasa bosan untuk menyetiai forum ini. Setia kepada nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh Cak Nun adalah fondasi utamanya. Forum Reboan yang selalu menjadi laboratorium diskusi mingguan, mengasah kepekaan para penggiat untuk berdialektika, menjalani rutinitas dinamika kehidupan Jakarta. Gesekan dan perdebatan adalah menu yang biasa tersaji di forum Reboan. Bisa jadi, gojlokan yang mereka rasakan di forum Reboan justru menjadi jamu yang manjur sehingga mereka memiliki ketangguhan yang teruji untuk menjalani kenyalnya kehidupan di Jakarta.
Tak perlu berlama-lama langit menyapa Jakarta dengan air hujannya. Hanya sekitaran 30 menit saja., hujan pun reda. Setelah penggiat selesai menikmati kudapan takjil, mereka bergegas menuju Msajid Amir Hamzah untuk sholat maghrib berjamaah. Masya Allah, pemandangan yang soleh sekali. Ingatase gentho-gentho KC, tadarrusan, njur do sembayang jamaah.
Mukaddimah
Selepas Isya’ dan tarawih, forum Kenduri Cinta dimulai dengan wirid dan sholawat. Tentu tidak perlu panjang-panjang wirid dan sholawatnya, sudah tadarrusan 30 juz, masa iya masih serakah wirid dan sholawat yang panjang juga. Kata Bang Udin; Ah, yang bener aje, lu!
Sesi Mukadimah pun digelar. Seperti biasa, ini menjadi sesi ‘pemanasan’ diskusi di awal forum. Mengupas tema, tak perlu ndakik-ndakik¸ sebagai alas sebelum masuk ke menu utama diskusi. Munawir memoderasi sesi Mukadimah ini, mengolah diskusi awal bersama Rizal, Faras dan Pramono Abadi.
Sebulan yang lalu, Indonesia baru saja melaksanakan Pemilihan Presiden. Dan sudah dipastikan Indonesia akan memiliki Presiden yang baru di bulan Oktober nanti. Yak arena Presiden yang sekarang menjabat memang sudah akan berakhir masa jabatannya. Namun, yang menarik dalam diskusi sesi mukadimah adalah ada jamaah yang menyampaikan bahwa konsep one man one votei itu tidak mencerminkan keadilan dalam demokrasi. Karena suara seorang petani setara dengan suara seorang Profesor. Sementara di Pancasila sendiri, ada konsep musyawarah untuk mufakat. Kenapa tidak disempurnakan saja konsep musyawarah itu sehingga dalam memutuskan siapa yang akan menjadi Presiden adalah berdasarkan hasil musyawarah orang-orang yang memang sudah diberi tanggung jawab untuk berfikir dan mencari kriteria yang tepat terhadap seseorang yang akan menjadi Presiden.
Namun tentu saja proses ini tidak mudah. Menggeser hegemoni sebuah konsep yang saat ini masih berlaku, tentu saja tidak mudah. Terlebih elit-elit politik di Negara ini memang menikmati situasi dan kondisi yang ada saat ini. Maka, konsep one man one vote pun dimanfaatkan untuk mencapai kemenangan yang mereka targetkan dalam Pemilihan Umum. Tidak peduli bagaimana caranya mereka memenangkan kontestasi ini, toh aturan dari KPU sudah jelas bahwa yang berhak menjadi Presiden adalah dia yang mendapat total suara 50%+1 dari total jumlah suara sah, dan juga berhasil memenangkan minimal 20% suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dan ternyata, itu bisa dilcapai oleh salah satu kontestan di Pemilihan Presiden kali ini.
Tentu saja, perdebatan serta pro dan contra dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden kali ini tidak bisa terhindarkan. Dan pada akhirnya, harus diakui bahwa tidak seluruh warga negara Indonesia memilih berdasarkan kriteria mengenai sosok yang pantas untuk menjadi Presiden. Pramono menyampaikan, mengutip dari salah satu buku karya Ronggowarsito; Pustaka Raja Purwa, bahwa seorang pemimpin itu setidaknya memiliki delapan kriteria kepemimpinan. Yang pertama memiliki sifat Bumi; dia memberikan atau menaikan kemakmuran bagi orang-orang di sekitarnya. Dan kalau sifat Bumi ini dimiliki, biasanya ia adalah orang yang kaya, karena dia dermawan. Kemana-mana derma, kasih uang, berbagi kesejahteraan. Yang kedua, Matahari, sikapnya sifat Matahari itu konsisten. Matahari setia memancarkan sinarnya, ia tidak peduli dengan awan yang menghalangi pancaran sinarnya. Dia tetap konsisten menyinari, itu konsistennya. Sifat yang ketiga adalah Baruna. Baruna itu menerima pendapat, seperti laut atau samudera, menerima apa saja yang dialirkan kepadanya.
Kemudian yang keempat adalah Agni. Sifat keberanian. Ketika ia menghadapi ada suatu hal yang kurang baik, itu dia akan melawan atau dia berani melindungi rakyatnya disini. Sifat kelima adalah Langit. Langit itu mempunyai kompetensi kecakapan, pengetahuan yang luas. Keenam adalah sifat Bayu Sifat ini memiliki pengaruhnya sangat dirasakan meskipun tidak kelihatan. Ketujuh adalah Bulan. Sebuah sifat yang mampu membuat rakyatnya damai dan persuasif. Sifat kedelapan adalah Bintang, sifat yang memberi arah. Seorang pemimpin adalah yang mampu mengarahkan rakyat dan negerinya akan dibawa ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Kembali ke tema Inverted Indonesia, Faras, penggiat KC lainnya, menyampaikan bahwa ada banyak sekali peristiwa yang kita alami sehari-hari itu berkebalikan dengan sesuatu yang kita harapkan. Ada saatnya kita mengambil sebuah keputusan, kita berharap yang baik, namun yang terjadi adalah sesuatu yang buruk. Begitu juga sebaliknya, ada saatnya kita menjalani sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan bagi kita, namun ternyata ada dampaik yang baik untuk diri kita di kemudian hari.
”Keputusan yang baik bisa menimbulkan efek yang baik dalam jangka panjangnya. Sebenarnya ini yang harus kita perhatikan juga untuk membuat keputusan-keputusan kita di kehidupan sendiri kita. Karena terkadang keputusan yang dalam jangka pendek menguntungkan, tetapi dalam jangka panjang ternyata tidak menguntungkan. Karena ada banyak faktor yang kita tidak pertimbangkan. Maka dalam mengambil keputusan juga kita harus mempertimbangkan faktor-faktor itu agar keputusan yang kita ambil bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama”, ungkap Faras.
Menentukan Sumbu Dari Sebuah Konsep Keterbalikan
Setelah jeda musik dari kelompok Barak Karinding, Tri Mulyana dan Hadi Aksara memoderasi sesi diskusi utama malam itu. Sabrang MDP, Ari Wulu dan Ustads Noorshofa hadir di panggung mungil Kenduri Cinta malam itu.
Seperti yang kita ketahui, beberapa hari lalu Sabrang menghadiri Forum Multipolar dan Kongres Russophile di Moskow Rusia. Sabrang hadir atas undangan dari Pemerintah Rusia. Ada satu cerita yang disampaikan oleh Sabrang saat di ruang transit sebelum Kenduri Cinta. Sabrang bertemu dengan Profesor Nikita, seorang Profesor dari Rusia yang pernah bertugas di Indonesia bahkan mampu berbahasa Indonesia dengan fasih. Ternyata, Profesor Nikita ini pernah hadir dalam satu edisi Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki saat ia masih bertugas di Indonesia. Diceritakan oleh Sabrang, ia sangat kagum dengan forum Kenduri Cinta ini karena egaliternya. Yang ia heran adalah, bagaimana forum ini diselenggarakan malam hari, hingga menjelang subuh, semua orang duduk dengan tenang, menghargai satu sama lain, dan tentu saja para pedagang kopi keliling yang menjajakan kopi berlalu lalang di tengah kerumunan forum. Prof Nikita tertawa melihat fenomena penjaja kopi itu. Kok bisa, ditengah-tengah forum diskusi mereka dengan santainya menjajakan kopi dengan menembus lautan manusia.
Ya, itulah suasana Kenduri Cinta beberapa tahun lalu saat masih di gelar di area halaman depan Taman Ismail Marzuki sebelum direvitalisasi. Sangat berbeda dengan suasana Kenduri Cinta saat ini, karena memang pedagang tidak diperbolehkan untuk masuk dan berjualan di dalam area TIM.
Malam itu Sabrang mengajak salah satu temannya dari Jogja, yaitu Ari Wulu. Putra dari Pak Sapto Raharjo, seorang Maestro Gamelan di Yogyakarta yang menggagasa Yogyakarta Gamelan Festival dan sudah berjalan selama 29 tahun. Beberapa personel KiaiKanjeng pun cukup akrab dengan Ari Wulu ini. Karena Yogyakarta Gamelan Festival adalah warisan dari Pak Sapto Raharjo yang dipertahankan agar dapat terus diselenggarakan. Semangatnya sama dengan Maiyah, sebuah festival yang digagas sejak awal tanpa mengandalkan bantuan sponsor.
”Beliau ini mendapatkan warisan Yogyakarta Gamelan Festival yang sudah berjalan 29 tahun. Kami ini sama-sama mendapatkan warisan bukan berupa rekening perusahaan atau kekuasaan. Yang diwariskan adalah acara yang tidak boleh ada sponsornya. Kalau saya ngobrol sama dia, ya ketawa-ketawa aja, sejarahnya hampir sama, sama-sama berusaha menghindar dari tanggung jawab, digeret lagi dan akhirnya nggak bisa lari dari tanggung jawab. Yowis lakoni sing ono ae. Nggak ada pilihan lain. Urip lak yo cuma mengisi kegiatan antre menunggu mati”, Sabrang memperkenalkan Ari Wulu.
Sabrang kemudian masuk untuk mengupas tema INVERTED INDONESIA dari sudut pandang Fisika. ” . Lihat gambar (poster KC) inverted, gambarnya, apa yang bisa dilihat dari situ? Kalau Anda ngomong konsep inverted, terbalik, itu harus ada yang namanya sumbu. Kalau gak ada sumbu, anda gak akan bisa ngomong kebalik. Kebalik dimana? Gimana kebaliknya? Kalau gak ada sumbunya kok. Ya cuma konfigurasi beda kalau gak ada sumbu. Nah sifat sumbu itu adalah tolak ukur yang ada di luar dari objek yang dia balik tersebut”, Sabrang menjelaskan bahwa untuk sebuah keterbalikan atau inverted, harus ada sumbunya.
”Artinya sumbu atau tolak ukur seperti meteran, itu selalu berdiri sendiri sebagai tolak ukur, sebagai pancang dari yang diukur. Dia gak terpengaruh sama yang diukur. Alat timbang, alat ukur. Nah, sumbu ini nih harus ada di luar dari apa yang mau kita definisikan sebagai terbalik itu tadi. Nah, Problemnya adalah kalau kita ngomong perilaku manusia, sumbunya apa?”, Sabrang memancing jamaah untuk mulai berfikir merespons tema Kenduri Cinta kali ini.
”Di sini kita harus berpikir lebih dalam. Dalam manusia, itu tidak ada sumbu yang universal. Ada banyak konsep yang digunakan sebagai sumbu atau axis dalam bahasa Inggris. Kalau ada konsep yang namanya pake sumbu Agama, artinya terbalik atau tidak peraturannya sumbunya adalah agama. Karena manusia yang ikut peraturan agama. Kita tidak bisa mengolah peraturan agama. Kita nggak bisa mempengaruhi, karena itu sumbunya. Tidak mungkin yang diukur mempengaruhi alat ukurnya”, lanjut Sabrang.
”Jadi alat ukurnya ada yang pakai Agama. Tapi tidak semua pakai agama lho, Agama juga ada madzhabnya beda-beda. Artinya dalam kehidupan bermasyarakat itu tidak ada sumbu yang bisa dipakai oleh semua orang. Di rumah sakit jiwa, yang normal adalah yang sakit jiwa. Jadi apakah kita mengatakan bahwa dokter rumah sakit jiwa itu yang paling tidak normal diantara situ? Karena sumbunya yang mayoritas adalah orang gila. Sekarang pertanyaannya, Indonesia ini terbalik, ini tidak seharusnya. Lihat, emang sumbu kita seperti apa? Kita pakai standar apa nih?”, Sabrang kembali melontarkan pertanyaan lanjutan.
Masing-masing kita memiliki standar, banyak dari masyarakat di Indonesia yang menyatakan bahwa situasi saat ini adalah situasi yang baik-baik saja dan tidak ada masalah. Tapi ada yang juga menganggap bahwa situasi saat ini adalah situas yang terbalik, merasa bahwa situasi ini nggak beres keadaannya. Maka dari itu, harus ditemukan cara ukur yang berbeda selain dengan sumbu yang tepat itu tadi. Cara ukur yang berbeda disebut sebagai cara ukur relatif. Misalnya ada pertanyaan; Anda tinggi atau pendek? Kalau ditanyakan Anda tinggi atau pendek? Itu kan tidak ada sumbunya. Tolok ukurnya bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Anda tinggi atau pendek? Sangat relatif.
Relatif dibandingkan Siapa? Kalau dibandingkan anak kecil mungkin Anda tinggi, dibandingkan orang bule, Anda bisa jadi pendek. Artinya posisi seseorang ketika pakai ukuran relatif itu tidak bisa berbicara dengan pijakan sumbu yang kita asumsikan di sini. Kita harus membandingkan dengan rata-rata orang berbicara mengenai tinggi dan pendek.
”Nah Demokrasi itu adalah salah satu cara untuk mengukur rata-rata. Rata-rata ini orang waras dalam tanda petik dari sudut pandang pribadi, rata-rata ini orang asing. Yang salah sumbu kita ini. Karena memang rata-ratanya kayak gini, dan itu jadi sumbu masyarakat”, Sabrang melanjutkan. Dalam kondisi seperti ini, kita kemudian bisa memprediksi bagaimana masa depan yang akan terjadi.
”Tapi kamu gak bisa ngapa-ngapain. Karena kebetulan dalam sekelompok manusia, itu memang mereka setuju dalam satu identitas bersama. Identitas kita apa kebetulan? Indonesia, ngakunya. Yang diikrarkan sumbunya apa? Hukum ngikuti etika, ngikuti peraturan, ngikuti agama bahwa ternyata perilaku di masyarakat tidak mengikuti sumbu itu yang terjadi bukanlah inverted, yang terjadi adalah munafik. Artinya ada sumbu yang kita lakukan dan ada sumbu yang kita ikrarkan. Dan yang kita ikrarkan, yang kita lakukan tidak sama”, lanjut Sabrang.
”Artinya ini orang inverted. Munafik, kan gitu aja artinya. Ya jangan jadi bagian dari itu, gitu aja”, singkat Sabrang. Pada kenyataannya kemudian kita merasa tidak setuju, mungkin ada sesuatu yang kelihatan tidak beres dari sudut pandang kita, itu boleh saja. Semua orang boleh punya pandangan sendiri-sendiri, semua orang boleh punya sumbu sendiri-sendiri, tapi pada akhirnya perlu ada sumbu yang kita setujui bersama.
”Secara formal yang kita setujui bersama adalah hukum. Hukum itu dibawah etik, etik itu dibawah morality. Lagi-lagi, tapi kembali ke moraliti jadinya relatif. Betul ya, ngomong etik jadinya relatif. Gimana membuat ini menjadi tidak relatif?”, lanjut Sabrang.
”Dijadikan sumbu yang namanya sumbu hukum. Makanya sekarang pertarungannya melawan hukum atau tidak. Jadi masalah karena hukum, gini itu sudah konsep yang bagus. Tapi kita satu langkah lagi ke depan. Hukum itu tidak ada kecuali digunakan”, Sabrang melanjutkan.
”Jika ada orang berkelahi, kemudian dibawa ke pengadilan, baru kita temukan fungsi hukum yang berlaku. Yang tidak bisa dipecahkan oleh moral dan etik, akan dipecahkan oleh hukum. Dan masalahnya kemudian adalah kalau hukum hanya diaplikasikan pada momen tertentu, berarti ada yang mengendalikan hukum. Kita yang bertanggung jawab terhadap pengaplikasian hukum, kemudian kita menyandarkan moral dan etika kepada hakim yang menjalankan hukum tersebut Kalau ternyata yang menjadi hakim, mahkamah, hakim, atau dan seterusnya itu, ternyata tidak bisa menjaga yang ukuran relatif menjadi ukuran yang statis, kita enggak punya harapan sebagai bangsa”, Sabrang memantik dengan pernyataan yang pesimis.
”Jadi, saya tidak ngomong bahwa kita tidak ada masalah. Tapi masalahnya bukanlah benar-salah dari sudut pandang kita. Benar-salah dari relatifitas ukuran dan dari sumbu yang kita setujui bersama tapi ternyata kita hianati bersama. Dalam tanda petik; seperti itu. Saya nggak ngomong bahwa saya ikut mengkhianat karena saya juga yang menjadi korban, kan gitu. Tapi jangan salah, kita gak bisa gampang nunjuk orang, kita sama-sama satu yang namanya Indonesia”, lanjut Sabrang.
“Dan yang mengkhianati adalah bagian dari Indonesia juga, itu saudara-saudara kita juga. Dalam satu tubuh itu ada sel yang sehat, ada sel kanker, ada seterusnya. Tapi itu sama-sama satu badan, harus kita cintai terus, harus kita jaga terus. Artinya, mungkin kita nggak sehat-sehat amat nih kalau dari sudut pandang relatif ke belakang. Relatif gini kemudian, sehat atau enggak sesebuah sosialitas itu gimana sih? Kan gak ada sumbunya juga. Oke, gimana ukurnya kemudian? Kalau satu society pengennya apa sih? Pengennya makmur. Seperti siapa? Misalnya kita pakai satu contoh. Seperti zaman Majapahit. Dibandingkan era Majapahit dulu dengan sekarang, kira-kira bagaimana? Sangat relatif ukurannya. Dibandingkan dengan zaman nabi, relatif ukurannya juga”, lanjut Sabrang.
”Saya tidak ingin Maiyah itu menjadi forum yang dengan mudah nge-judge ini bener ini salah dan seterusnya, tapi kita mengukur benar pertanyaan, dan kemudian kalau kita ngomong bahwa ini nggak beres, kita tahu betul apa yang harus kita lakukan, kita tahu betul mengukurnya seperti apa. Indonesia tidak sedang baik-baik saja, Dan kita tidak bisa dengan mudah menunjuk sel siapa yang tidak beres. Karena sebenarnya kalau Anda ngomong partai yang nggak beres, politisnya nggak beres, itu yang milih rakyat semua. Maaf itu sih, ya kan?” lanjut Sabrang disambut tawa jamaah. Karena memang harus diakui, bobroknya politik di Indonesia juga atas sumbangsih rakyatnya yang memilih pada setiap Pemilu dilangsungkan.
Tapi kita tetap hidup bersama, apapun yang terjadi kita tetap tidak bisa meng-cancel ke Indonesiaan kita. Harus kita pecahkan bersama, yang invert kita balik lagi, minimal kita mampu membikin sebuah lingkungan yang sedikit mencoba ’waras’. Dengan ukuran yang tidak subjektif, tapi ukuran yang objektif. Bukan tentang close mind atau open mind. Tapi ini urusan objektifitas. “Kita bukanlah orang yang paling benar menunjuk siapa yang salah. Kita juga bukan orang yang salah yang kemudian tidak berani untuk berbuat apa-apa. Kita tahu bahwa kita tidak sempurna, tapi kita tidak takut dan berani untuk membenarkan keadaan ketika dibutuhkan. Harapannya seperti itu”, pungkas Sabrang.
Tak kunjung habis meneladani Rasulullah SAW
Ustadz Noorshofa kemudian dipersilakan oleh moderator, beliau menyapa jamaah Kenduri Cinta; ”Bismillahirrahmanirrahim. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, Alhamdulillahi bini’matihi tatimmu s-salihat, asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu la sharikalah, wa ashadu anna muhammadin abduhu wa rasuluh, Allahumma shalli wa sallim wa barik ala Sayyidina Muhammadin wa ’ala alihi wa sahbihi ajma’iin amma ba’d. Kita Fatihah dulu buat Mbah Nun. Mudah-mudahan Allah angkat penyakitnya, diberikan kesehatan yang sempurna khususan Mbah Nun, Allahumma rabba-n-naas adzhibil ba’sa. Isfihi anta syaafiih, laa syifaan Illa syiifaauka syifaan laa yughadhiru saqoman. Sai’un Lillah Lahu Al-Fatihah”, Ustadz Noorshofa diawal mengajak jamaah membaca Al Fatihah dikhusukan untuk Cak Nun.
”Mohon maaf pada malam hari ini saya agak berbeda biasanya pakai celana panjang, ini pakai kain karena ini akal-akalan saya jadi kebetulan tadi ada taklim kalau saya pulang dulu saya gak akan bisa berangkat kemari karena istri saya, saya termasuk PSTI, Persatuan Suami Takut Istri”, Ustadz Noorshofa menyapa jamaah dan disambut tawa jamaah. Ustadz Noorshofa memang adalah seorang Kyai di Jakarta Utara, sering mengisi kajian-kajian di Jakarta. Alhamdulillah, tersambung dengan Kenduri Cinta, sehingga menambah khasanah warna keilmuan yang ada di Kenduri Cinta.
Beberapa bulan ini Ustadz Noorshofa memang tidak sempat bergabung di Kenduri Cinta, karena satu dan lain hal. Lama-lama, rasa kangen itu tidak bisa ditahan. Sehingga di edisi Maret ini, bersamaan dengan bulan Ramadlan, Ustadz Noorshofa menyempatkan diri untuk hadir di Kenduri Cinta. ”Saya kangen dengan Jamaah Maiyah, mudah-mudahan rasa kangen saya ini juga sama dengan yang dirasakan oleh Jamaah Maiyah sekalian”, lanjut Ustadz Noroshofa.
Bukan Ustadz Noorshofa namanya kalau dalam ceramahnya tidak menyelipkan cerita-cerita jenaka. Seperti di Kenduri Cinta edisi Maret ini, ada cerita jenaka seorang istri yang galak yang dimasukkan ke sebuah sumur oleh suaminya karena ia tidak tahan dengan omelan istrinya. Setelah beberapa saat, ada Jin yang keluar dari sumur itu, kemudian menyatakan kepada si suami tadi; ”Saya nggak tahan dengan istri ente, ngomel mulu di bawah”. Sebuah jokes yang sudah sering disampaikan oleh Ustadz Noorshofa, tapi selalu saja lucu jika diceritakan lagi.
Berkaitan dengan tema Kenduri Cinta, Ustadz Noorshofa menyambungkan dengan Puasa. Bahwa dalam sejarah Islam, pasca selesainya perang Badar, Rasulullah SAW berpesan kepada seluruh sahabat bahwa setelah menyelesaikan perang Badar dan memenangkannya, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat bahwa akan menghadapi perang yang lebih berat dari perang Badar, yaitu perang melawan diri sendiri.
”Tapi ada yang paling berarti dalam diri kita adalah jiwa kita. Maka tadi dari sudut mana kita memandang, kita pakai sumbu apa, itu kan berpengaruh terhadap jiwa kita. Maka ketika ruh itu keluar dari jasad, itu ada satu kalimat malaikat yang diucapkan kepada ruh tadi; Yaa ayyatuha-n-nafsu-l-mutmainnah, irji’i ilaa robbiki rodliyatan mardliyah. Itu sebetulnya ucapan malaikat, ketika ruh akan keluar dari jasad diiringi dengan kalimat tadi. Wahai jiwa-jiwa yang tenang, yang menghadapi hidup dengan ketenangan, yang berjalan dalam jalan yang sudah ditentukan, tenang hidupnya. Dia gak akan gelisah menghadapi kehidupan tadi”, lanjut Ustadz Noorshofa.
Ustadz Noorshofa menjelaskan kembali mengenai perang melawan diri sendiri. ”Bagaimana kita bisa mengendalikan diri? Kata Nabi ada empat jenis manusia yang diharamkan oleh Allah dari neraka. Arba’un man kunna fiihi harrahullahu ta’alaa ’alaa-n-naari wa ’ashomahu mina-sy-syaithooni: man malaka nafsahu hiina yarghobu, wa hiina yarhabu, wa hiina yasytahii wa hiina yaghdlobu.”, lanjut Ustadz Noorshofa.
4 jenis manusia itu adalah manusia yang mampu mengendalikan diri saat ia senang, saat ia takut, ketika ia punya cita-cita, dan terakhir yang mampu mengendalikan diri saat ia marah.
“Semua orang pasti diberikan kesenangan. Ada kesenangan, ada penderitaan. Setiap orang berbeda-beda tadi. Seperti tadi, dari sumbu mana kita melihat, dari sudut mana kita melihat maka Nabi Sulaiman saja nggak kuat ketika diberikan kesenangan oleh Allah. Ia multi talenta, apa saja dia bisa lakukan Nabi Sulaiman. Bahkan boleh dikatakan kerajaannya itu tidak ada tandingannya. Dia bisa mengendarai angin, dia bisa terbang, dia paham bahasa binatang, dan jin-jin tunduk kepada Nabi Sulaiman. Timbul kekaguman terhadap dirinya, fa’ajab. Ujub. Jadi ujub itu belum sombong. Jadi ujub itu adalah ketika kita merasa lebih dari yang lain dan itu adalah upaya kita, itu udah ujub. Dan kalau dipelihara timbulnya adalah sombong”, lanjut Ustadz Noorshofa memberikan contoh bagaimana seorang Nabi Sulaiman pun diuji atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya.
”Maka kalau kita sudah merasa, oh di kaca ini saya yang paling hebat, istighfar banyak-banyak. Astaghfirullah…, kehebatan diri kita, kemampuan diri kita itu nggak lepas daripada pertolongan Allah. Kita nggak punya daya, nggak punya upaya. Jadi ketika kita merasa ujub, itu akan timbul sombong. Nabi Sulaiman sama, merasakan hal itu. Ketika dia merasa lebih dari yang lainnya, timbul kesombongannya. Ternyata Nabi Sulaiman nggak bisa mengendalikan diri ketika diberikan kesenangan oleh Allah. Begitu juga dengan Nabi Ayub. Diberikan kemiskinan ketika dia senang, dia bisa melewati tadi. Tapi ketika dia diberikan penyakit, kemudian dimiskinkan oleh Allah, diberikan segala macam penderitaan, tapi dia bisa melewati itu semuanya”, lanjut Ustadz Noorshofa.
”Maka orang lebih tidak kuat ketika diberikan kenikmatan dengan kesenangan dibandingkan dengan kesusahan dan kesulitan. Maka ini yang nanti akan membuat kita menjadi inverted. Ketika kita tidak bisa mengendalikan diri kita dalam keadaan senang. Orang-orang yang di sana itu melihat keberhasilan, itu dalam sudut pandang mereka, mereka dalam kesenangan yang luar biasa. Tapi ingat, wakullu dzun ni’matin ma’sudun kata nabi, setiap kenikmatan yang kau dapatkan pasti ada orang yang hasut kepadamu. Maka jangan bikin orang hasut disebabkan kamu tidak bisa menahan diri. Jadi orang kaya jangan kelihatan senangnya. Jadi orang miskin jangan kelihatan susahnya. Kalau miskin maka kelihatan orang miskin. Jangan kelihatan susahnya”, lanjut Ustadz Noorshofa.
Ustadz Noorshofa kemudian melanjutkan penjelasan Hadits Rasulullah SAW tadi, jangan pula sampai kita tidak mampu mengendalikan diri saat kita merasa takut. ”Semua orang diberikan oleh Allah rasa takut, tapi bisa enggak kita kendalikan diri kita pada saat kita takut? Minal khaufi wal juu’i dari rasa takut dan rasa lapar, wa naqsim minal amwal takut kehilangan harta, was samarot gagalnya panen. Tapi kuncinya adalah wa basyiris shobirin. Berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar melewati rasa takut tadi. Kita takut apakah sampai kepada bulan Ramadlan akhir nanti. Apakah sampai nanti pada ujung daripada Ramadlan ini. Banyak orang-orang yang dulu bersama kita yang hari ini nggak ada bersama dengan kita”, lanjut Ustadz Noorshofa menyampaikan bahwa takut akan kematian pun jangan sampai membuat kita tidak mampu mengendalikan diri.
Yang ketiga adalah, mengendalikan diri saat kita memiliki cita-cita. ”Istikharah. Allahumma inni astaghiruka biilmika wa astaghdiruka bikudratika. Karena Allah yang menentukan mana yang terbaik buat kita. Asa an takrahu shay’an fahuwa khairul lakum, wa asa an tuhibbu shay’an fahuwa syarul lakum. Apa yang kau anggap baik di depanmu ternyata buruk di mata Allah, apa yang kau anggap buruk bisa jadi baik di mata Allah. Disitulah rasa takut dan kesabaran Allah berikan kepada diri kita”, lanjut Ustadz Noorshofa.
Dan yang keempat adalah, mampu mengendalikan diri saat marah. Ustadz Noorshofa bercerita, suatu hari ia diundang ceramah di sebuah Masjid, namun karena satpam di Masjid itu tidak mengenali beliau, satpam meminta Ustadz Noorshofa untuk memarkir mobilnya di luar Masjid. Saat itu Ustadz Noorshofa merasa marah, karena merasa direndahkan. Hingga akhirnya setelah Taklim saat berjalan menuju keluar Masjid, Ustadz Noorshofa tersadar, dirinya sedang sombong dan marah saat tidak menerima teguran dari satpam tadi. Ustadz Noorshofa merasa dengan sorban dan peci yang dikenakan kemudian membuat beliau merasa lebih tinggi derajatnya dari satpam tadi.
”Rasulullah dari 124.000 nabi terpilih menjadi 313 Rasul. Dari 313 Rasul terpilih menjadi 25. Dari 25 terpilih lagi menjadi 5 Ulul Azmi. Dari 5 terpilih lagi menjadi 2 Ibrahim dan Muhammad dari 2 terpilih lagi menjadi 1 yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Tapi nabi tidak menganggap itu adalah kemuliaan yang tinggi buat dirinya. Pada saat dia berda’wah, di taif, dilemparin batu, Nabi nggak marah. Padahal Khadijah baru saja wafat, meninggal dunia. Abu Thalib baru saja wafat, meninggal dunia. Semua yang mem-back up nabi sudah tidak ada dan Nabi menghibur dirinya untuk berdakwah. Tapi apa yang Nabi dapatkan, dilemparin batu. Tangan Nabi sebelah menutup muka, tangan sebelah mengangkat tangan mendoakan orang yang menyakiti beliau; Allahummahdi qaumi, fa’innahum la ya’alama. Ya Allah maafkanlah orang-orang yang menyakiti saya. Dia tidak tahu saya nabi. Kalau dia tahu saya nabi, tidak mungkin dia akan menyakiti saya”, Ustadz Noorshofa kembali mengisahkan salah satu kisah Rasulullah SAW dalam berdakwah.
”Itu sampai malaikat jabal, malaikat gunung yang mengapit taif minta izin kepada Nabi Muhammad. Ya Muhammad, ista’dzin sa’arfa hadzal jabalain. Izinkan aku Yaa Muhammad, aku akan angkat dua gunung ini. Aku akan binasakan semua yang menyakiti kamu. Apa kata Nabi? ’Jangan, kalau kalian binasakan mereka, siapa yang akan menyembah Allah?’. Sampai di depan pintu syurga pun yang disandang oleh Nabi, kenabian yang paling mulia dia lepaskan. Aati baaba-ljannah yauma-lqiyamah, aku datangi pintu syurga pada hari kiamat. Nabi yang cerita, fayaqulu-lkhadin penjaga pintu syurga bertanya, Man inta siapa kamu berani-beraninya menyuruh saya membuka pintu syurga? Nabi sebut apa? Ana Muhammad, nggak disebut ana Rasulullah atau Ana Nabiullah, enggak. Ana Muhammad, disebut namanya. Hal ata’alal insani hinu minaddari lam yakun shay’an madhura.”, lanjut Ustadz Noorshofa.
Ketika Anda dilahirkan, belum ada yang nempel di pundak Anda. Profesor, dokter ini. Hanya sebuah nama. Maka ketika sudah di depan pintu syurga, Nabi hanya menyebutkan Ana Muhammad, saya adalah Muhammad. Tidak dia sebut: Ana nabiAllah. Penjaga pintu syurga itu menjawab: Muhammad aku diperintahkan oleh Tuhan ku untuk tidak membuka pintu ini sebelum kau yang pertama kali membuka. Masuklah Nabi membuka pintu syurga, dan Nabi tidak langsung masuk, didoakan umatnya semuanya supaya bisa masuk ke dalam syurga. Ini sikap kerendahan hati.
Bersambung….