Pencarian Makna yang Tak Berujung
“Cakrawala” adalah kata yang begitu indah, tetapi sepertinya sangat jarang kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saking indahnya, mungkin kita lebih sering menjumpai kata cakrawala dalam konteks kesusastraan. Di balik keindahan kata cakrawala, ia menyimpan makna yang begitu mendalam. Secara etimologi, cakrawala berasal dari kata cakravala dari Bahasa Sansekerta yang berarti lengkung langit. Dalam Bahasa Indonesia, cakrawala berarti sudut pertemuan langit dan bumi.
Meskipun cakrawala didefiniskan sebagai pertemuan langit dan bumi, sebenarnya langit dan bumi hanya terlihat bertemu saja karena keduanya hanya akan bertemu di hari kiamat. Kata cakrawala itu sendiri menuntun kita untuk mendekatkan sesuatu yang tidak pernah bisa bertemu. Sama dengan kalam Allah yang sering kali diibaratkan sebagai samudra yang tak bertepi sehingga mustahil bagi manusia untuk sepenuhnya memahaminya secara menyeluruh. Namun, seperti halnya kita berusaha mendekati cakrawala, kita juga harus terus berusaha untuk mendekati makna kalam Allah. Proses ini adalah sebuah perjalanan tanpa akhir, di mana manusia terus berusaha untuk memahami kalam Allah. Meskipun pemahaman sempurna dan utuh mungkin tidak pernah tercapai, upaya ini akan membawa kita pada kedamaian batin dan kebahagiaan sejati.
Manusia sering dihadapkan pada pertanyaan mendasar: siapa aku, dari mana aku berasal, dan ke mana aku akan pergi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar upaya intelektual, melainkan perjalanan yang berakar pada pengenalan diri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita bisa menggali tugas manusia yang sudah disampaikan Allah dalam Surat Al-Baqarah: 40, Innii jaa’ilun fil ardhi khalifah, yang menegaskan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Allah telah memilih manusia untuk mengelola bumi dan segala isinya.
Sebagai pembuka diskusi, Mas Pram mentadabburi ayat tersebut dan dihubungkan dengan filosofi aksara jawa. Bahwasanya, sebagaimana disebutkan dalam aksara Jawa, Hanacaraka yang berarti ada utusan. Manusia adalah utusan Allah untuk menjadi khalifah di bumi. Sebagai khalifah, manusia harus Datasawala, memiliki kewajiban untuk mematuhi perintah Allah dan pasrah terhadap ketentuan Allah. Dengan itu, maka manusia akan mencapai Padha Jayanya, mencapai harmoni dengan Allah melalui ridho dua arah, dari manusia ke Allah dan Allah ke manusia. Sedangkan action item yang diperlukan untuk mencapai harmoni tersebut diterangkan di Maga Batanga, manusia harus mematikan hawa nafsu dan egonya.
Untuk menentukan parameter khalifah yang baik, kita perlu menggabungkan pemahaman tentang peran khalifah sebagai wakil Allah di bumi dengan prinsip mengenal diri sendiri. Sebagaimana dikatakan dalam tradisi Islam, Man ’arafa nafsahu faqad arafa rabbahu yang berarti barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Seorang khalifah yang baik adalah mereka yang memahami dirinya sendiri. Dengan mengenal potensi dan kelemahan diri, seorang khalifah dapat memahami perannya di dunia dan lebih baik lagi mengenal Allah.
Mengenal diri bukan hanya menyadari keberadaan fisik, tetapi juga menyelami hakikat ruhani, yang menjadi jalan menuju kebijaksanaan. Di awal diskusi Mas Pram memaparkan filosofi “wadah dan isi” dalam budaya Jawa yang menjadi refleksi mendalam tentang hakikat manusia: jasad hanyalah wadah, sedangkan ruh adalah inti keberadaan. Untuk menebalkan konsep mengenali diri, Mas Pram juga menyampaikan tentang filosofi kelahiran manusia yang dibagi menjadi tiga tahap: kalahiran jati (fisik), sarwa budi (batin), dan kaluhuran jati (ihsan).
Setelah melewati proses mengenal diri secara fisik dan batin, manusia memasuki tahap kaluhuran jati. Pada tahap ini, manusia mulai mencari pemaknaan tentang sangkan paraning dumadi, asal dan tujuan hidup manusia. Dalam proses pencarian itu, manusia akan berusaha untuk selalu berbuat baik karena merasa diawasi oleh Tuhan dalam setiap tindakannya. Dengan kata lain, kaluhuran jati adalah puncak dari perjalanan spiritual seseorang, di mana manusia hidup dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin terang cahaya batin yang dimiliki. Cahaya batin ini yang nantinya akan menjadi kompas yang memandu manusia dalam menjalani hidup.
Menyatukan Sains dan Spiritualitas dalam Pencarian Tuhan
Cakrawala adalah simbol batas antara langit dan bumi, seringkali menjadi metafora bagi keagungan dan kedalaman kehidupan. Puncak gunung, tepi pantai, atau bahkan puncak menara menjadi saksi bisu bagi keindahan cakrawala. Semakin tinggi seseorang mencapai titik pandang, semakin luas dan indah cakrawala yang terbentang di hadapannya. Begitu pula dalam kehidupan, mereka yang telah mencapai puncak keilmuan, pengalaman, dan kebijaksanaan akan mampu melihat keindahan dan kompleksitas kehidupan dengan lebih jernih.
Sejak lahir, manusia dibekali rasa ingin tahu. Manusia selalu berusaha memahami dunia di sekitar kita untuk memperluas cakrawala dan juga bagian dari proses mengenal diri. Semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa luas dan kompleksnya alam semesta. Namun, paradoksnya, semakin banyak yang kita tahu, semakin kita menyadari betapa sedikit yang sebenarnya kita ketahui. Realitas akan keterbatasan diri justru menjadi pendorong bagi kita untuk terus berkembang. Perjalanan ini tidak hanya tentang menambah pengetahuan obyektif, tetapi juga tentang menemukan makna. Sayangnya, sistem pendidikan kita seringkali mendikotomikan sains dan spiritualitas.
Mas Nanda memaparkan keresahannya tentang klaim bahwa sains membawa pencerahan, padahal hakikatnya pencerahan sejati berasal dari Allah. Mas Nanda mengambil contoh bahwa sejauh ini, 95% semesta teridentifikasi sebagai dark matter dan dark energy, yang berarti hanya 5% bagian dari semesta yang kasat mata yang bisa dijadikan pijakan sains. Keterbatasan sains dalam menjelaskan 95% semesta ini mengingatkan kita bahwa ada dimensi yang lebih besar, yaitu spiritualitas, yang dapat membantu menjembatani ketidaktahuan ini.
Dikotomi sains dan spiritualitas ini membuka jalan untuk memahami konsep yang lebih mendalam. Mas Karim mengelaborasi kata “Anallah” yang mengacu pada upaya untuk menemukan Tuhan dalam diri sendiri dan dalam segala sesuatu yang ada di alam semesta. Dengan kata lain, “Anallah” adalah upaya untuk menyatukan sains dengan spiritualitas. Pencarian hubungan antara sains dan spiritualitas ini sangat jarang kita jumpai di dalam pendidikan formal, tetapi hampir selalu ada dalam ruang-ruang eksplorasi di berbagai forum Maiyah.
Maiyah menjadi wadah yang ideal untuk mengeksplorasi hubungan antara sains dan spiritualitas. Untuk dapat memperluas cakrawala pengetahuan, Mbah Nun mengajarkan kita untuk selalu rendah hati. Dengan memposisikan diri sebagai murid, kita akan lebih terbuka untuk menerima ilmu dari siapa pun, baik itu dari orang yang lebih tua, lebih muda, atau bahkan dari pengalaman sehari-hari.
Memperluas cakrawala tidak hanya terbatas pada sumber yang tertulis, tetapi juga melibatkan membaca kondisi sekitar kita. Dengan mengamati alam, masyarakat, dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan. Di berbagai kesempatan, Mbah Nun selalu memulai setiap edisi Maiyah-an dengan hal-hal yang sederhana. Melalui pendekatan yang sederhana ini, Mbah Nun mengajak kita untuk merenung dan menemukan makna hidup yang lebih luas dari hal-hal kecil di sekitar kita.
Pengalaman pertama Mbak Ade bersentuhan dengan Maiyah telah membuka cakrawala baru tentang Islam dari sudut pandangnya. Beliau terkesan dengan cara Mbah Nun menyampaikan pesan-pesan Islam yang begitu sederhana namun mendalam. Salah satu pesan yang paling membekas adalah tentang pentingnya mencari ridho Allah dalam setiap tindakan.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan kerja, Mbak Ade mempertanyakan bagaimana sikap kita apabila dihadapkan pada dilema antara nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai perusahaan. Mas Nanda merespons dengan konsep ummatan wasathan atau umat yang berada di tengah-tengah. Sebagai ummatan wasathan, kita diharapkan dapat menjadi penyeimbang antara berbagai kepentingan, menjaga keseimbangan antara sains yang rasional dan spiritualitas yang penuh makna.
Mas Karim juga menambahkan bahwa kita harus mampu meneladani Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, Innama buitstu liutammima makarimal akhlak. Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk selalu mencari solusi yang adil, bijaksana, dan mengedepankan manfaat bagi orang banyak , bahkan ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pendapat. Beliau juga mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada sesama, tanpa memandang latar belakang atau status sosialnya. Hakikatnya, Islam menekankan untuk mengusahakan output yang mengedepankan kemaslakhatan.
Pada akhirnya, sains dan spiritualitas tidak harus dilihat sebagai dua entitas yang bertolak belakang, tetapi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Dalam kehidupan modern, sains dapat membantu kita memahami dunia fisik, sementara spiritualitas memberikan makna dan arah yang lebih dalam bagi perjalanan kita sebagai manusia.
Mencari Diri dalam Cermin Kehidupan
Pertanyaan sederhana, “Siapakah aku sebenarnya?” membawa kita pada perjalanan pencarian diri yang tak berujung. Untuk mengetahui diri, kita membutuhkan cermin. Jika untuk melihat wajah saja kita memerlukan cermin, lalu dengan apa kita bisa melihat gambaran diri yang lebih utuh? Mas Sabrang mengungkapkan bahwa kehidupan kita sendiri adalah cermin yang paling akurat. Setiap peristiwa, interaksi, dan tantangan adalah refleksi dari diri kita.
Saat kita merenung dan mengamati pola hidup, benang merah yang menghubungkan berbagai peristiwa sering kali menjadi lebih jelas. Pola-pola ini mungkin menunjukkan kebiasaan yang perlu diubah atau potensi yang belum tergali. Refleksi ini tidak hanya berlaku bagi individu, tetapi juga bangsa. Bang Hensa menyampaikan bahwa pencarian jati diri bangsa kerap berkaitan dengan sejarahnya, mengutip para penerima Nobel Ekonomi 2024, Daron Acemoglu, James A. Robinson, dan Simon Johnson dalam Why Nations Fail. Mereka menjelaskan bahwa sejarah kolonial memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan sebuah negara. Pola penjajahan yang bersifat inklusif, seperti yang diterapkan Inggris di beberapa koloninya, memungkinkan masyarakat lokal berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Sebaliknya, pola penjajahan ekstraktif, seperti yang dialami Indonesia, berfokus pada eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan kolonial, meninggalkan warisan ketimpangan ekonomi dan politik yang signifikan.
Namun, apakah warisan ini terjadi begitu saja? Tidak. Semua kesulitan ini dapat dilihat sebagai bagian dari kurikulum kehidupan yang disusun oleh Allah. Kesulitan tersebut adalah ujian yang bertujuan memperkuat iman dan membimbing manusia menemukan kembali jati dirinya. Perspektif ini membawa kita pada cara memandang kehidupan, di mana Mas Sabrang menganalogikan kehidupan sebagai sebuah permainan. Dalam permainan ini, ada aturan dan batasan yang justru memberikan makna. Kita sering lupa bahwa kita sedang bermain, dan tantangan dalam hidup menjadi sarana untuk memahami peran kita di dalamnya.
Hidup, seperti permainan, memiliki tingkatan. Pada tingkatan awal, kita mungkin hanya menjadi pengamat dari luar, seperti permainan kartu. Di tingkat berikutnya, kita mulai terlibat sebagai peserta. Ada pula tahap di mana kita sepenuhnya tenggelam, lupa bahwa kita sedang bermain. Kehidupan, dengan segala kompleksitasnya, mungkin merupakan permainan yang dirancang Allah dengan begitu canggih sehingga kita tidak menyadarinya. Dalam permainan ini, setiap tantangan adalah kurikulum yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Allah telah mempersiapkan berbagai macam tantangan yang jika kita telaah lebih dalam, ada satu tema besar di dalam setiap masalah yang kita alami. Bersama masalah itu pula ada hikmah yang harus kita ambil sebagai pembelajaran ke depan. Masalah-masalah tersebut, baik besar maupun kecil, sejatinya adalah kurikulum kehidupan yang dirancang oleh Allah untuk menuntun kita memahami jati diri.
Setiap tema atau masalah dalam hidup mencerminkan sifat, kebiasaan, atau potensi yang harus kita pelajari. Misalnya, seseorang mungkin selalu menghadapi kegagalan karena terlalu berani mengambil risiko. Pola ini adalah cermin yang menuntunnya mengubah cara pandang demi pertumbuhan. Dalam dunia spiritual, mengenali diri berarti mengurangi ego dan keinginan. Semakin kita mengurangi “aku,” semakin dekat kita kepada Yang Maha Lengkap.
Mas Fahmi menguatkan bahwa refleksi ini juga menjadi inti dari nilai Maiyah. Dalam Maiyah, kita belajar bahwa kehilangan, seperti kepergian Mas Gandhie, bukan untuk diratapi tetapi untuk diambil hikmahnya. Mas Gandhie, dengan perannya mengorkestrasi Kenduri Cinta, menunjukkan bagaimana seseorang bisa menjalankan tugas hingga selesai meskipun dunia tidak ideal. Kehilangan ini menjadi pengingat bahwa hidup harus terus berjalan, terlepas dari apapun kondisi yang kita hadapi.
Mas Hadi menambahkan bahwa Kenduri Cinta juga menawarkan cara pandang yang seimbang terhadap kehidupan. Tidak alergi terhadap pemerintahan, tetapi juga tidak menutup mata terhadap kekurangan. Dengan pendekatan yang objektif, Kenduri Cinta berusaha mencari kebenaran demi kemaslakhatan bersama. Sikap ini mengajarkan kita untuk terus bergerak maju, meskipun dunia yang kita jalani jauh dari kesempurnaan.
Hidup adalah cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya. Para penerima Nobel Ekonomi mengingatkan kita akan pentingnya memahami warisan sejarah, sementara Maiyah mengajarkan cara mengambil hikmah dari tantangan hidup. Dengan memahami diri dan sejarah yang kita jalani, kita dapat menjalankan peran kita sebagai khalifah di bumi dengan lebih bijaksana. Pada akhirnya, refleksi diri bukan hanya perjalanan untuk mengenal siapa kita, tetapi juga jalan untuk memahami peran kita sebagai manusia yang membawa manfaat bagi semesta.
Awal dari Kehidupan yang Sesungguhnya
Manusia diciptakan dengan tujuan yang mulia. Pertanyaan tentang tujuan hidup ini telah menjadi renungan manusia sejak zaman dahulu. Allah memberikan petunjuk yang jelas tentang tujuan penciptaan manusia. Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, banyak mengisahkan perjalanan hidup para nabi dan rasul yang senantiasa mencari kebenaran dan meninggikan kalimat Allah. Mas Fahmi mengingatkan bahwa kehidupan manusia adalah perjalanan yang tidak main-main, karena Allah menciptakan manusia dengan penuh kesungguhan dan tujuan besar. Sebagaimana disampaikan oleh Mas Hadi, manusia diciptakan sebagai pemenang dari jutaan sperma dan dibekali potensi terbaik. Namun, jangan sampai manusia terjebak dalam permainan dunia hingga lupa terhadap janji yang pernah dibuat kepada Allah.
Ustadz Nurshofa kemudian memberikan alas diskusi dengan pertanyaan reflektif yang terkandung dalam surat Al-Insan:1, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” Pertanyaan besar yang harus kita jawab adalah: Untuk apa kita diciptakan?
Dalam hidup ini, kita seringkali lupa bahwa kehidupan dunia hanya merupakan satu fase dari lima fase besar yang harus dilalui setiap manusia. Fase pertama adalah Alam Ruh, di mana setiap jiwa telah bersaksi kepada Allah tentang ketuhanan-Nya sebelum lahir. Selanjutnya, ada Alam Rahim, yaitu masa manusia dipersiapkan di dalam kandungan ibu. Setelah dilahirkan, kita memasuki Alam Dunia, tempat kita diuji dengan berbagai ujian. Setelah itu, manusia akan menjalani Alam Barzah, yaitu masa setelah kematian menunggu kebangkitan. Kemudian, kita memasuki Alam Mahsyar, tempat di mana semua amal akan diperhitungkan. Kematian bukanlah titik akhir, melainkan pintu gerbang menuju kehidupan yang kekal. Setiap manusia akan melewati tahapan-tahapan ini menuju surga atau neraka, tergantung pada amal perbuatannya.
Untuk memahami makna dari kehidupan yang lebih abadi, kita dapat mengambil pelajaran dari perjalanan Nabi Ibrahim yang menunjukkan bagaimana kehidupan ini adalah ujian yang mempersiapkan kita menghadapi kehidupan setelah mati. Salah satu kisah penuh hikmah mengisahkan tentang pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Allah dalam Al-Baqarah:260, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati,” yang bukan didasarkan pada keraguan, melainkan keinginan mendalam untuk mendapatkan ketenangan hati (mutmainnah). Allah pun menunjukkan kekuasaan-Nya melalui perintah kepada Nabi Ibrahim untuk mencincang empat ekor burung, dan memanggil mereka. Burung-burung itu hidup kembali atas perintah Allah. Dari kisah ini, kita belajar bahwa iman manusia membutuhkan penguatan melalui refleksi, pembuktian, dan pengalaman spiritual.
Kehidupan di dunia ini bisa diibaratkan sebagai try-out, sebuah ujian yang harus kita jalani untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang lebih abadi. Ustadz Nurshofa mengingatkan bahwa meskipun dunia ini penuh dengan cobaan, kita harus tetap berusaha untuk menjadi lebih baik. Allah telah menetapkan takdir-Nya untuk setiap manusia, tetapi manusia tetap harus berusaha dan berdoa, karena takdir hanya berubah dengan ikhtiar. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat, hendaklah dia menanamnya.” Hadis ini mengajarkan bahwa kita harus terus berbuat kebaikan tanpa mengkhawatirkan hasilnya, karena hasil adalah urusan Allah. Sebelum kematian datang, kita harus terus menanam benih kebaikan, meskipun hasilnya tidak selalu tampak di dunia.
Iman, Islam, dan Ihsan adalah celupan warna dari Allah yang akan mengarahkan kita dalam perjalanan hidup. Iman memberikan dasar keyakinan, Islam menuntun kita untuk taat kepada Allah, dan Ihsan menyadarkan kita bahwa setiap perbuatan kita diawasi oleh Allah. Celupan warna ini adalah pedoman untuk tetap berada di jalan yang benar dan mempersiapkan diri menghadapi perjalanan menuju Allah. Meskipun kematian adalah kepastian yang harus kita hadapi, namun ia bukanlah akhir dari segalanya. Kematian menjadi indah jika kita kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang cukup. Kepulangan kepada Allah adalah kembali ke rumah sejati, tempat segala kerinduan bermuara.
Eksplorasi Makna dalam Ketidakpastian
Dalam upaya mencari jawaban atas pertanyaan tentang tujuan hidup, kita seringkali menggunakan berbagai macam cari, mulai dari penalaran logis hingga intuisi. Pencarian makna ini adalah perjalanan pribadi yang mengandung ketidakpastian, dan dalam ketidakpastian itu, kita menemukan proses yang tidak pernah selesai.
Mas Vicky berbagi pengalaman pribadi, tentang masa di mana ia merasa hilang dalam pertanyaan besar seperti “Kenapa saya adalah saya?” dan “Kenapa saya diciptakan?” Bagaimana kita bisa menarik diri dari perenungan yang mendalam ini dan kembali ke kenyataan? Menurut Mas Sabrang, kita harus memahami bagaimana akal manusia bekerja dalam mencari kesimpulan dan memutuskan, terutama dalam ketidakpastian. Penalaran manusia, dapat digolongkan dalam tiga jenis: induktif, deduktif, dan abduktif.
- Penalaran Induktif: Proses penarikan kesimpulan dari hal-hal yang khusus ke hal-hal yang umum. Penalaran ini membutuhkan bukti yang cukup, baik positif maupun negatif, untuk menjelaskan suatu subjek secara komprehensif.
- Penalaran Deduktif: Penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang lebih khusus, dimulai dari teori atau hipotesis, dan menguji validitasnya melalui data.
- Penalaran Abduktif: Membuat kesimpulan yang mungkin berdasarkan apa yang diketahui. Ini adalah penalaran yang sering kali tidak lengkap baik dalam bukti maupun penjelasan, dan lebih eksploratif, terkadang menghasilkan pemahaman baru atau teori yang lebih baik.
Mas Sabrang menjelaskan lebih lanjut bahwa manusia sangat jarang mengambil keputusan dengan informasi yang lengkap. Waktu terus berjalan, dan kita sering kali tidak akan pernah memiliki semua informasi yang dibutuhkan untuk kesimpulan yang sempurna. Karena itu, kita harus bertanggung jawab atas pengetahuan yang kita miliki saat ini. Kita belajar, kita bertanggung jawab dengan apa yang kita tahu, dan meskipun salah, hal itu merupakan bagian dari perjalanan menuju kebenaran. Proses ini adalah kesempatan untuk terus belajar dan berkembang.
Mas Hasbi, dalam diskusi ini, memberikan analogi kehidupan sebagai sebuah permainan. Dalam sebuah permainan, kita memiliki tujuan yang jelas—main quest. Namun, dalam kehidupan nyata, tujuan kita sering tidak begitu jelas. Bagaimana jika yang kita lakukan adalah side quest? Mas Hasbi bertanya, bagaimana cara kita menyadari main quest kita dalam kehidupan ini? Untuk mencapai itu, Mas Sabrang menekankan bahwa dengan keterbatasan waktu, pendekatan nalar abduktif menjadi pilihan yang masuk akal. Kita bisa mengambil petunjuk dari hal-hal yang kita minati atau yang menarik perhatian kita. Ketertarikan ini bukan hanya untuk kepuasan pribadi, tetapi untuk memperdalam pengetahuan kita dalam bidang yang kita minati. Semakin banyak pemahaman yang kita peroleh dari berbagai bidang, semakin jelas kita dapat melihat kepingan puzzle kehidupan dan mengetahui mana yang merupakan main quest dan mana yang hanya side quest.
Di ranah spiritualitas, Mas Adi mengajukan pertanyaan tentang apakah konsep “Anallah” dapat dipraktekkan. Menurut Mas Sabrang, hal ini sangat mungkin diaplikasikan, karena jika Allah telah mengatakan sesuatu, itu pasti bisa dilakukan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa setiap individu memiliki perjalanan spiritual yang unik. Kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai atau pandangan kita pada orang lain, karena yang wajib bagi kita adalah mengenal diri sendiri. Mas Sabrang menekankan pentingnya untuk mengisi rapor diri sendiri, bukan orang lain, dalam perjalanan kita mengenal Tuhan dan diri kita. Seperti yang ia katakan, orang terbaik menurut Islam adalah yang bermanfaat bagi sesama. Terkadang, ketidaktahuan kita juga harus diterima karena mungkin Allah tidak menginginkan kita bertanggung jawab atas ilmu itu.
Mas Khairul menyoroti pentingnya kesadaran akan keterbatasan dan kelengkapan dalam hidup. Dalam kehidupan, kita selalu terikat dengan keterbatasan, namun untuk bertauhid (menyembah Tuhan), kita harus melepaskan keterbatasan itu. Apakah mungkin kita bisa menjalani keterbatasan sambil tetap merasa lengkap? Mas Sabrang menanggapi ini dengan mengajak kita untuk menyadari peran kita dalam kehidupan. Bekerja, misalnya, adalah peran yang kita pilih dengan parameter-parameter tertentu. Namun, yang berbahaya adalah ketika kita lupa bahwa kita sedang menjalani peran tersebut. Seiring waktu, kita akan semakin menyadari bahwa kesadaran aktor akan keterbatasannya, serta kesadaran sutradara, akan membebaskan kita untuk menjalani kehidupan dengan bijak.
Bang Hensa menambahkan dimensi filosofis dengan kutipan terkenal Rene Descartes, “Cogito ergo sum” – “Saya berpikir, maka saya ada”. Ini mengingatkan kita bahwa eksistensi manusia berakar pada kemampuan berpikir, bertanya, dan mencari jawaban atas segala hal yang tidak diketahui. Ini adalah dorongan alamiah manusia yang mendorong kita untuk terus mencari makna, menemukan jati diri kita. Namun, Bang Hensa juga mengajukan pertanyaan reflektif, kenapa sholat tidak membuat kita kaya? Ini mengingatkan kita bahwa tujuan dari ibadah tidak selalu berhubungan langsung dengan pencapaian materi, tetapi lebih pada pembentukan diri dan keseimbangan spiritual.
Mas Sabrang mengakhiri dengan pendapatnya mengenai dogma. Dogma diperlukan dalam setiap tindakan yang kita lakukan, karena dengan dogma, kita bisa bertindak meskipun kita belum mengetahui kebenaran sepenuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melakukan maintenance, seperti merawat motor. Maintenance ini mungkin tidak berkaitan langsung dengan tujuan utama kita, tetapi sangat penting untuk menjaga konsistensi dan kestabilan. Sholat, misalnya, adalah bentuk pemeliharaan untuk diri kita, menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Sholat bukan tentang mencapai tujuan tertentu, tetapi lebih sebagai cara untuk menjaga agar kita tetap konsisten dalam perjalanan hidup kita.
Refleksi Diri Untuk Mawas Diri
Pencarian makna hidup adalah sebuah perjalanan yang tak berujung, seperti cakrawala yang selalu tampak jauh di depan, namun terus menarik kita untuk mendekat. Dalam perjalanan ini, manusia dipanggil untuk mengenali dirinya sendiri sebagai langkah awal menuju pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan tugas mulia sebagai khalifah di bumi. Kehidupan bukanlah sekadar pencarian jawaban atas pertanyaan eksistensial, tetapi juga pengelolaan dan pemeliharaan dunia ini dengan penuh kesadaran, baik secara spiritual maupun fisik.
Melalui penggabungan sains dan spiritualitas, kita menemukan bahwa keduanya saling melengkapi dalam pencarian kebenaran yang hakiki. Seperti halnya sebuah permainan yang memiliki aturan dan tujuan, hidup juga mengharuskan kita untuk memahami setiap langkah dan tantangannya, sambil terus merenung dan berusaha berbuat baik. Iman, Islam, dan Ihsan menjadi tiga pilar yang memandu kita dalam menjalani perjalanan ini, memberi arah dan makna yang mendalam.
Pada akhirnya, setiap individu memiliki perjalanan spiritual yang unik, dan melalui refleksi diri, kita dapat menemukan tujuan hidup yang sejati. Dengan terus belajar, bertumbuh, dan menjaga keseimbangan dalam hidup, kita akan semakin dekat dengan pemahaman yang lebih tinggi dan kehidupan yang lebih bermakna. Pencarian ini, meskipun tidak akan pernah berakhir, adalah perjalanan yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih dekat. (RedKC/Haddad-Ansa)