Pada Jumat malam, 13 Desember 2024, langit Jakarta tampak begitu jernih, membentang luas tanpa hambatan. Bintang-bintang pun tampak berkelip, meski dalam keramaian kota yang tak pernah tidur. Suasana di sekitar Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki terasa tenang namun sarat dengan antusiasme. Malam itu, angin sepoi-sepoi menyentuh wajah, menambah kenyamanan di tengah hiruk-pikuk kota. Semua menyatu dalam kesunyian yang sesekali pecah oleh gelak tawa, seperti sebuah simfoni yang tengah mempersiapkan momen puncaknya.
Di penghujung tahun 2024, Kenduri Cinta edisi ke-251, dengan tema “FREKUENSI KEGEMBIRAAN”, seakan menjadi titik temu antara dua dimensi: alam semesta yang tenang dan hati manusia yang penuh dengan gejolak. Para Jamaah yang hadir menyatu dalam kesadaran akan malam yang cerah itu, meresapi setiap getaran yang datang dari panggung, dan menyelami makna nilai Maiyah. Kenduri Cinta edisi Desember ini terasa bukan sekadar tempat berkumpul. Ini juga adalah sebuah perayaan frekuensi, sebuah resonansi kegembiraan yang memancar di antara setiap individu yang hadir, saling menguatkan dan memperkuat energi positif yang ada di sekitarnya. Dengan harap, letupan-letupan kegembiraan-yang sementara- itu dapat dipelihara sehingga menjadi kebahagiaan yang hakiki.
Kenduri Cinta malam itu, bukan hanya sebuah pertemuan yang terjadi. Tapi momentum di mana setiap gelombang kegembiraan yang terlepas dari satu individu akan memperkuat getaran pada yang lain, membentuk sebuah resonansi yang lebih besar. Inilah yang diusahakan terus dicapai oleh mereka yang memilih untuk berbahagia bersama, saling terhubung dalam frekuensi yang mengalir tanpa henti. Malam itu, setiap kata dan setiap tawa adalah bagian dari frekuensi yang terus berputar, mengalir, dan menemukan kembali ritmenya. Begitu pula dengan tema besar malam itu: kegembiraan yang tidak hanya muncul sebagai reaksi, tetapi sebagai keputusan untuk terus bertahan dalam frekuensi yang lebih tinggi, lebih murni. Sebuah selebrasi kehidupan yang mungkin terabaikan, namun terus ada dalam setiap denyut perasaan kita.
Seperti biasa, Forum Kenduri Cinta dimulai dengan sesi sholawat yang dimulai sejak pukul 19.30 WIB, dipimpin oleh Mizani, Munawir, Rizal, Awan, Alfa, dan Adi, menjadi pembuka yang sempurna untuk membangun atmosfer kebersamaan sebelum diskusi sesi pertama.
Jam menunjukkan pukul 20.15 WIB, Sesi diskusi pertama pun berjalan, sesi dimulai dengan moderator Rizal dan Karim yang dengan ceria menyapa jamaah, mengundang mereka untuk merapat ke depan panggung mungil Kenduri Cinta. Karim kemudian memperkenalkan para narasumber yang hadir malam itu: Nanda di sisi kanan dan Mas Roni di sisi kiri, yang memberikan gambaran tentang dualitas ideologi—sebuah simbolisme yang menghubungkan kanan dan kiri, dua kutub yang sering kita rasakan dalam kehidupan. Karim sebagai moderator mengajak jamaah untuk bersama-sama membaca Al-Fatihah, mendoakan Mbah Nun dan seluruh jamaah, serta menyambut kegembiraan akhir tahun dan awal tahun baru.
Karim membuka sesi dengan menyampaikan tentang konsep frekuensi dan kegembiraan. Menurutnya, frekuensi adalah sesuatu yang berulang, dan kegembiraan serta kesedihan adalah bagian dari siklus itu. Mengingatkan jamaah bahwa keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Karim pun melanjutkan diskusi dengan sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam: “Apa yang membuat kita bergembira dan apa yang membuat kita bersedih?”
Pertanyaan ini langsung mengundang beberapa jamaah untuk berbagi cerita. Taufik Hidayat dari Cikarang, misalnya, berbagi pengalamannya. Ia mengungkapkan bahwa meski bulan ini ia tidak merasa bergembira, ia datang ke Kenduri Cinta untuk mencari kegembiraan. “Walaupun banyak masalah, setidaknya di sini saya bisa sejenak melupakan beban hidup dan menyegarkan pikiran,” kata Taufik, yang sudah enam tahun mengikuti Kenduri Cinta namun baru kali ini berani berbicara di forum.
Fidia dari Ciputat, di sisi lain, berbagi cerita tentang perasaan bahagia yang ia alami sebulan ini, namun ada kesedihan mendalam akibat kehilangan adik kandung. “Walaupun saya bekerja seperti biasa, perasaan sedih ini sering muncul, dan saya merasa kehilangan.” Masing-masing cerita jamaah ini menggambarkan realitas kehidupan yang penuh dengan kegembiraan dan kesedihan yang silih berganti.
Frekuensi Kegembiraan: Mencari Kebahagiaan dalam Kehidupan dan Bisnis
Karim kemudian memfokuskan perhatian kepada Coach Nano Sumarno, seorang praktisi bisnis yang sudah lama berkecimpung dalam bidang facility management dan konsultan peralatan gedung. Dengan penuh hormat, Karim menyambut kedatangan Coach Nano, yang dikenal sebagai sosok yang telah banyak memberikan inspirasi bagi banyak orang dalam memahami arti sejati kebahagiaan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dunia bisnis.
Coach Nano memulai dengan memperkenalkan diri secara singkat, menyoroti pengalamannya yang luas dalam dunia bisnis. Di dunia bisnis, kita sering kali berfokus pada pencapaian materi atau kesuksesan yang terlihat jelas. Namun, pada akhirnya, kegembiraan sejati adalah soal keputusan pribadi. Membuka perspektif baru tentang kebahagiaan yang tidak terikat pada kondisi eksternal.
“Jika membaca mukadimah tentang frekuensi, Kenduri Cinta itu sendiri adalah frekuensi kegembiraan. Mengapa jamaah selalu datang ke sini setiap bulan, bahkan sudah 24 tahun? Karena di sinilah kita merasa gembira. Tidak mungkin tidak bahagia jika kita datang ke Kenduri Cinta,” tambahnya, menunjukkan bahwa frekuensi kegembiraan yang tercipta di Kenduri Cinta adalah sesuatu yang terus berulang, memberi dampak positif bagi setiap orang yang hadir.
Coach Nano melanjutkan dengan mengungkapkan pandangannya tentang kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. “Kebahagiaan dan kegembiraan adalah soal keputusan. Ada empat hal yang kita bisa kendalikan dalam hidup: pikiran, tutur kata, perasaan, dan tingkah laku. Keempat hal ini menentukan bagaimana kita merespons kehidupan dan apa yang kita rasakan”. Dia menyebutkan bahwa, dengan mengelola empat hal tersebut, kita bisa menjaga sikap dan menghindari perasaan yang tidak produktif—seperti mudah tersinggung atau terbawa perasaan negatif (baper).
Mengutip isi dari buku The Principles of Success, Nano menjelaskan rumus sederhana namun mendalam tentang kebahagiaan: Event + Reaction/Response = Outcome. Kebahagiaan bukan terletak pada apa yang terjadi di luar kita, melainkan pada bagaimana kita meresponsnya. Kebahagiaan adalah keputusan. Kalau kita terus membandingkan hidup kita dengan apa yang tidak kita miliki, kita akan selalu merasa kurang dan tidak puas.
Dalam konteks bisnis, Coach Nano menekankan bahwa tujuan utama dari segala upaya adalah mencapai kebahagiaan dan kegembiraan. “Jika dalam bisnis kita hanya mengejar keuntungan, itu tidak akan membawa kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan sejati datang ketika kita menemukan makna dalam setiap langkah yang kita ambil,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Coach Nano kemudian mengajak jamaah untuk berpikir lebih dalam: “Ketika kita datang ke Kenduri Cinta, kita hadir dengan satu frekuensi. Jika kita berada di sini, kita merasa terhubung, kita merasa dipertemukan dengan frekuensi yang lebih besar. Kita datang dengan satu niat, untuk mencari kegembiraan dan kebahagiaan.” Menurutnya, frekuensi kegembiraan tidak datang begitu saja, tetapi harus dicari dan dipupuk melalui kesadaran dan keputusan untuk selalu bersyukur.
Di akhir pendapatnya, Nano menekankan kegembiraan adalah keputusan yang dapat kita buat setiap saat. Di dunia bisnis, sebagaimana dalam kehidupan pribadi, kita selalu memiliki pilihan untuk menemukan kebahagiaan. Frekuensi kita akan membawa kita kepada orang-orang dan momen yang tepat, selama kita terus menjaga semangat kegembiraan dalam hati.
Frekuensi Kegembiraan: Dari Agama Hingga Kehidupan Sosial
Karim melanjutkan pembicaraan dengan menggali lebih dalam tentang peran Kenduri Cinta sebagai ruang yang memberikan kegembiraan bagi jamaah. “Banyak orang datang ke sini bukan hanya mencari pengetahuan, tetapi kegembiraan yang sejati, yang mungkin sulit ditemukan di luar sana,” ujarnya. Karim kemudian mengajak Rizal untuk memoderasi diskusi lebih lanjut.
Rizal, kemudian bertanya pada Mas Roni, “Bagaimana cara kita ‘tune in’ ke frekuensi kegembiraan ini, terutama setelah lama bergabung dengan Kenduri Cinta?”
Roni pun berbagi cerita mengenai perjalanan spiritualnya. Dulu, ia memandang agama sebagai sesuatu yang kaku dan konservatif. Namun setelah bergabung dengan Mbah Nun dan mendalami ajaran-ajarannya, ia mulai melihat Islam dengan cara yang berbeda. Islam bukanlah hal yang rumit, justru menjadi sumber kegembiraan baginya. Ia melanjutkan bahwa keputusannya untuk berkontribusi penuh di Kenduri Cinta sejak belasan tahun lalu merupakan keputusan yang datang dari pemahaman ini.
Bagi Roni, keberadaan forum Kenduri Cinta lebih dari sekadar tempat belajar. “Dalam forum Kenduri Cinta, bukan hanya ilmu yang kita peroleh, tetapi juga nilai kebersamaan dan partisipasi aktif dari semua pihak. Forum ini bisa jadi prototype masyarakat yang ideal, di mana setiap orang berkontribusi tanpa terikat pada hierarki,” jelas Roni. Ia juga menambahkan, panggung pembicara di Kenduri Cinta tidak pernah tinggi, itu merupakan manifestasi dari semangat egalitarian, tanpa adanya sistem feodal.
Roni mengingatkan bahwa dalam kehidupan yang semakin individualistis dan kapitalistis, nilai-nilai yang diajarkan oleh Mbah Nun sangat penting untuk terus dibumikan. Mbah Nun mengajarkan kita bahwa pemahaman Islam seharusnya tidak terbatas pada pandangan ‘kiri’ atau ‘kanan’, melainkan lebih luas. Ini adalah cara kita menghadapi dunia yang penuh tantangan.
Frekuensi Kegembiraan: dari Ayunan Anak hingga Jalan Kenabian
Setelah mendengar penjelasan Roni, Karim melanjutkan diskusi dengan mengajak Nanda untuk berbagi pandangan. Dengan latar belakang dan ilmu yang luas dan mendalam, Nanda diminta untuk menjelaskan apa yang seharusnya kita pelajari dari topik ini.
Nanda membuka diskusi dengan sebuah analogi yang sederhana namun mendalam. Ia menunjukkan sebuah poster yang menggambarkan seorang anak duduk di ayunan. “Kenapa anak-anak? Karena masa kanak-kanak adalah masa yang penuh kegembiraan. Mereka tidak terbebani, tidak ada taklif mukallaf, belum ada masalah atau beban,”. Ayunan-sebagaimana yang ada di dalam poster-itu mengayun, bergerak ke satu titik dan kembali lagi ke titik median. Itu adalah frekuensi — dinamika yang bergerak naik dan turun.
Menurut Nanda, frekuensi bukan hanya soal gelombang elektromagnetik atau ilmu fisika, tetapi juga merupakan sesuatu yang lebih mendalam, berkaitan dengan perasaan dan kehidupan spiritual. Frekuensi datang dari yang statik, dari gema alam semesta. Dalam kehidupan, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Maka, dalam dinamika hidup, kita seharusnya tetap bergembira, karena semuanya berada di tangan-Nya.
Nanda mengaitkan konsep kegembiraan dengan ajaran wahyu yang telah diterima dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. “Wahyu yang datang dari Allah mengajarkan kita untuk selalu bergembira, karena itu adalah perintah-Nya. Nabi Muhammad SAW adalah sumber utama kegembiraan dan kebahagiaan,” ujarnya.
Konsep kegembiraan dan kebahagiaan menurut Nanda dibagi dalam dua istilah, farohah (kegembiraan) dan sa’ada (kebahagiaan). “Kegembiraan itu seperti iklim, sebuah snapshot dari perasaan yang datang dan pergi, sementara kebahagiaan itu lebih seperti cuaca, sebuah pola jangka panjang. Ketika kita diuji dengan kesenangan, kita harus bersyukur. Ketika diuji dengan kesulitan atau rasa sakit, kita harus bersabar.
Gembiranya seorang mukmin tidak menunggu, ia selalu ada, baik dalam suka maupun duka.
Nanda kembali mengacu pada gambar anak di ayunan. “Ada titik median di sana, titik keseimbangan. Dalam kehidupan, kita sering mengatakan ‘hidup ini begini-begini saja’. Itu adalah titik median kita. Tetapi kita harus ingat bahwa Allah menggenggam hati kita, dan Dia sangat mudah membolak-balikkan hati. Atas dasar itu, kita harus bergembira — meskipun kita tidak tahu kapan ujian datang,” tuturnya dengan tegas. “Kegembiraan sejati muncul ketika kita bersama Allah, karena Dia selalu bersama kita, meskipun seringkali kita yang lupa.”
Nanda juga menjelaskan lebih lanjut mengenai arsitektur ruh manusia. Ruh itu terdiri dari hati, qolbu, dan berbagai unsur lainnya. Semua ini berhubungan dengan frekuensi kegembiraan yang harus kita jaga.
Di akhir penjelasannya, Nanda menegaskan bahwa dalam diskusi ini, mereka semua sedang berusaha untuk menyelaraskan frekuensi mereka dengan Mbah Nun, yang menurutnya adalah jalan kenabian. Frekuensi yang kita cari di sini adalah frekuensi yang membawa kita lebih dekat kepada kebenaran dan kedamaian, yang diwarnai oleh kegembiraan sejati.
Setelah mendengarkan pandangan mendalam dari Nanda dan Roni, Rizal kembali memoderasi diskusi dengan menyoroti pentingnya sudut pandang. Ia menjelaskan bahwa dalam fisika, frekuensi adalah sebuah besaran, dan hal yang sama berlaku dalam kehidupan kita, di mana kegembiraan dan kebahagiaan juga memiliki “besaran” masing-masing. Rizal menegaskan bahwa kegembiraan cenderung bersifat sementara atau short-term, sementara kebahagiaan adalah sesuatu yang lebih permanen atau long-term. Rizal meminta Coach Nano untuk mengelaborasi lebih jauh mengenai nilai yang disampaikan oleh Nanda dan Roni terkait dengan keseimbangan antara keduniaan dan keukhrowian.
Coach Nano, dengan penuh kebijaksanaan, menceritakan pengalamannya di dunia bisnis, termasuk sebuah kerugian besar yang pernah ia alami. “Masalah kita boleh besar, tapi Allah lebih besar”, katanya, dengan senyum yang penuh ketenangan. Kalimat ini mengajarkan Coach Nano untuk tidak pernah bersedih, apapun yang terjadi. Dalam perjalanan hidup dan bisnis, kita tumbuh dan berkembang. Kita, sebagai pekerja dan pebisnis, memang sering terikat dengan keduniaan. Namun, di balik itu semua, kita juga sedang mencari ridho Allah.
Mengambil hikmah dari ilmu yang disampaikan oleh Nanda, Nano mengungkapkan, “Ilmu dari Nanda sangat mahal. Ini adalah pelajaran yang selalu saya pelajari lagi dan lagi.” Dia juga berbagi pandangannya tentang kebahagiaan: kebahagiaan itu sejatinya adalah soal menyederhanakan keinginan. Namun, ini adalah hal yang dialektis — semakin kita menyederhanakan keinginan kita, semakin kita menemukan kegembiraan. Kegembiraan itu bukan datang dari luar, tetapi dari dalam diri kita. Keduniaan itu hanya faktor pelengkap.
Menemukan Makna Kegembiraan: Refleksi dan Diskusi di Kenduri Cinta
Pada akhir sesi, Karim memberikan kesempatan kepada jamaah untuk ikut berdiskusi, dengan mengajukan pertanyaan reflektif, “Apa yang paling menggembirakan di Kenduri Cinta yang tidak didapatkan di tempat lain?” Pertanyaan ini membuka ruang bagi jamaah untuk berbagi pandangan mereka tentang betapa pentingnya menemukan ruang yang memancarkan kegembiraan yang lebih dalam daripada apa yang biasa mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.
Piar, salah satu jamaah yang telah mengenal Maiyah sejak kecil, berbagi pengalamannya. “Saya tumbuh di keluarga yang merupakan jamaah Maiyah, dan saya merasa gembira datang ke Kenduri Cinta karena bisa bertanya. Di sini saya merasa terkoneksi, bisa mendapatkan banyak sudut pandang baru, yang sulit saya temui di tempat lain,” ujarnya dengan penuh semangat. Piar kemudian melanjutkan dengan pertanyaan mendalam, “Ada konsep dualistik dunia yang berkaitan dengan frekuensi dan gelombang. Bagaimana jika jarak terhadap frekuensi itu semakin jauh? Apakah mungkin kita bisa keluar dari frekuensi dan hidup dengan ‘flat’ saja?”
Mas Roni sebagai salah satu pembicara, merespons pertanyaan tersebut dengan menyampaikan bahwa ia sangat senang karena di Kenduri Cinta semua orang bebas untuk berekspresi dan berpendapat. Diskusi malam ini sangat mengalir dan bisa diperdalam ke banyak konteks. Ia yakin Mbah Nun akan sangat bahagia melihat forum ini. Mas Roni, menekankan bahwa kebebasan berpendapat dan berbagi sudut pandang adalah esensi dari forum ini.
Coach Nano kemudian menambahkan bahwa dalam kehidupan, kita tidak bisa menghindar dari gelombang yang ada. Saat kita berada di atas, kita biasa saja. Saat kita berada di bawah, kita juga harus sabar dan biasa saja. Kegembiraan dan kesedihan adalah bagian dari perjalanan hidup. Jika kita terus bersyukur dan bersabar, kita tidak akan pernah keluar dari gelombang itu. Yang perlu kita miliki adalah prasangka baik dalam segala hal, selalu melihat sisi positif dalam setiap keadaan.
Kemudian, Nanda menanggapi lebih jauh tentang konsep ‘flat’ yang ditanyakan Piar. “Kita tidak mungkin menjadi ‘flat’. Setiap kesenangan yang kita syukuri, setiap ujian yang kita sabar, akan membawa kita pada maqom yang lebih tinggi,”. Nanda mengutip surat An-Nisa ayat 69, yang mengajarkan bahwa segala ujian dan nikmat dalam hidup ini adalah bagian dari perjalanan spiritual kita yang terus berkembang. Hidup ini tidak akan pernah datar, karena ada nilai dan pelajaran yang terus kita ambil.
Nanda juga menambahkan, Piar datang ke Maiyah dengan “memberi akal”. Kita bisa membuat pemahaman ini lebih luas lagi, yakni “hati yang dengannya kita bisa berlogika”, karena banyak hal yang tampak namun seringkali tidak terlihat dengan mata biasa. Semua derita yang kita alami dengan kesadaran untuk selalu mengingat Allah, akan mendatangkan pahala. Ia juga menekankan pentingnya menjaga prioritas antara dunia dan akhirat, sejalan dengan apa yang disampaikan Coach Nano.
Sebagai penutup sesi ini, Rizal menambahkan, “Jika hidup menjadi ‘flat’, itu jadi tidak asyik. Kita terus bergerak, naik turun, karena itulah esensi dari kegembiraan dan kebahagiaan”. Kemudian diskusi dijeda dan dilanjutkan penampilan musik dari Krist Segara, mengisi ruang dengan harmoni dan kegembiraan yang lebih dalam.
Sesi kedua dimulai pada pukul 22.10 WIB dengan Mas Tri dan Mas Hadi sebagai moderator, yang memperkenalkan forum Kenduri Cinta yang sudah berusia 24 tahun. Kenduri Cinta adalah forum egaliter, yang tidak membedakan tinggi panggung dan jaraknya. Tri kemudian mengungkapkan bahwa dalam forum Reboan sebelumnya, tema mengenai kebahagiaan dan kegembiraan menjadi topik yang seru untuk dibahas, membuka jalan bagi diskusi malam ini. Pembicara dalam sesi ini adalah Habib Husein Ja’far Al Hadar, Pandji Pragiwaksono, dan Hendri Satrio.
Setelah Mas Tri, Mas Hadi menyambut dan mulai membahas sebuah poster yang menarik perhatian, dengan kata-kata, “Jika kita tulus, kita sebetulnya tidak perlu agama.” Dari sini, tema tentang menutup tahun dengan nuansa kegembiraan pun muncul, meskipun tak ada yang tahu pasti tentang kesiapan tenda atau sound system. “Tenda tidak akan muncul begitu saja dari langit,” ujar Hadi sambil menyemangati jamaah untuk tetap bergembira. Ia kemudian memberi waktu kepada Mas Fahmi untuk membuka diskusi lebih dalam.
Mas Fahmi memulai dengan membagikan pengalamannya dalam forum Reboan bahwa awalnya, tema yang dirasa lebih tepat adalah tentang kebahagiaan, namun akhirnya bersepakat untuk bergembira. Ternyata ada perbedaan antara bahagia dan gembira. Bahagia itu nuansa jangka panjang, sedangkan gembira sifatnya sementara. Ia menghubungkan perbedaan ini dengan konsep sakinah dalam kehidupan, yang menurutnya adalah kebahagiaan yang diperjuangkan melalui mawaddah dan rohmah. Mas Fahmi berpendapat, kita mungkin hanya merasakan kegembiraan sesaat di Kenduri Cinta, tetapi dengan kegembiraan kecil ini, kita dapat menemukan kebahagiaan yang lebih banyak.
Forum Kenduri Cinta, yang sudah dikelola swadaya selama 24 tahun, juga mendapat apresiasi dari Pandji Pragiwaksoni yang juga merupakan salah satu pembicara pada sesi ini, yang menyampaikan bahwa brand Kenduri Cinta sudah matang. Setidaknya, Kenduri Cinta sudah memiliki tiga pilar utama: event atau agenda rutin yang selalu terselenggara setiap bulan, community dimana orang-orang berkumpul dalam satu komunitas, dan media yang dikelola dengan baik mulai dari media sosial, website dan lain sebagainya.
Mas Fahmi, kemudian memberikan kesempatan kepada Dr. Hendir Satrio, yang sekarang lebih senang disapa dengan Hensa, untuk menyapa jamaah Kenduri Cinta malam itu.
Kegembiraan adalah Nadi Kenduri Cinta
Hensa, yang hadir di forum sebagai pembicara, membahas fenomena politik yang terjadi belakangan ini. “Kenapa pejabat harus menggunakan label “bansos wapres” dalam membagikan bantuan? Kenapa tidak atas nama negara?” tanyanya, mengaitkan hal ini dengan hasil pilkada yang tidak sesuai dengan survei. Pertanyaan yang memancing tajam Jamaah.
Hensa kemudian mengaitkan isu kepemimpinan dan Pilkada yang baru saja selesai-dengan menyampaikan teori John P. Kotter, bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas. Visi yang baik dan jelas setidaknya, ada lima kriteria: gambaran masa depan (Picture), dorongan untuk perubahan (Change), nilai yang mendasari perubahan (Value), rencana untuk mencapai tujuan (Map), dan tantangan yang harus dihadapi (Challenge).
Ia melanjutkan dengan berbicara tentang pentingnya frekuensi kegembiraan dalam forum ini. Kata Hensa, “Kegembiraan adalah nadi dari Kenduri Cinta”. Karena kegembiraan, kita bisa berdiskusi hingga pagi. Kegembiraan yang kita rasakan adalah alasan kenapa ia hadir di forum ini. Ia juga berbagi pengalamannya ketika wartawan bertanya mengapa ia sering hadir di Kenduri Cinta, dan jawabannya sederhana, “Datang dan kamu akan merasakan kegembiraan.”
Setelah Hensa menghangatkan suasana dengan guyonan yang menyegarkan, Hadi melanjutkan moderasi dengan senyum lebar, “Hensa, jangan sampai lebih lucu dibanding Pandji,” ujarnya, menambah keceriaan di forum yang sudah terasa penuh dengan kegembiraan. Suasana menjadi lebih santai, dan diskusi berlanjut dengan penuh semangat. Hadi kemudian mengundang Habib Husein Jafar untuk naik kepanggung.
Habib Husein Ja’far, yang sudah lama menjadi bagian dari forum Reboan di Kenduri Cinta, memulai dengan mengenalkan dirinya kepada jamaah. Ia menyampaikan betapa berartinya forum ini baginya, sebagai ruang untuk menemukan perspektif baru dan merasakan kebersamaan yang begitu kuat. Ia menyampaikan apresiasi kepada komunitas ini yang telah menjadi tempat berbagi wawasan dan mengembangkan visi bersama.
Setelah itu, Hadi memberikan prolog untuk Pandji, yang sebelumnya sempat membahas visi penting dalam kehidupan. Hadi mengaitkan visi tersebut dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, di mana kegembiraan harus menjadi bagian dari kehidupan kolektif. Ia memantik Pandji untuk mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana visi tersebut dapat diwujudkan dalam masyarakat yang lebih bergembira.
Kegembiraan Kolektif dan Visi Kebahagiaan Bersama
Pandji membuka pembicaraannya dengan suasana santai dan penuh tawa. Ia mengungkapkan betapa senangnya bisa diundang ke forum Kenduri Cinta, ia merasa sangat tersanjung diundang di Kenduri Cinta ini. Pandji, sebagai seorang stan dup comedian malam itu berkelakar bahwa Kenduri Cinta adalah forum yang dihadiri oleh banyak bapak-bapak yang gemar begadang, sembari menyindir dengan humor ringan tentang masyarakat Indonesia yang gemar mencari hiburan gratis. Tawa jamaah pun pecah mendengar sindirannya yang khas.
Namun, setelah humor-humor tersebut, Pandji menggali lebih dalam tentang arti kebahagiaan. “Untuk mencapai kebahagiaan, kita harus lebih mendasar,” ujarnya. Ia menyebutkan bahwa meskipun orang bisa merasa gembira saat menonton stand-up comedy, itu tidak menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam setiap pertunjukannya, Pandji berusaha untuk menghadirkan sesuatu yang baru, yang memberikan kebahagiaan yang lebih dalam kepada penonton. “Bahagia itu tidak mungkin hanya untuk diri sendiri. Untuk mencapai kebahagiaan yang sama, kita butuh kesamaan visi, agar bisa merasakannya bersama-sama”, jelasnya.
Pandji juga menyampaikan betapa berartinya ia hadir di forum Kenduri Cinta untuk pertama kalinya. “Ini adalah kehadiran pertama saya, dan saya berharap bisa hadir lebih sering. Saya akan berusaha menyesuaikan diri dengan forum ini dan menjadi diri saya sendiri,” tambahnya. Dalam pesannya, Pandji menggarisbawahi pentingnya berbagi kebahagiaan bersama, dan bahwa melalui forum seperti Kenduri Cinta, visi kebahagiaan bisa diwujudkan secara kolektif.
Dengan sikap yang apa adanya dan penuh semangat, Pandji mengakhiri awal pendapatnya dengan harapan bahwa setiap pertemuan di Kenduri Cinta akan membawa kegembiraan yang lebih besar, baik bagi dirinya maupun jamaah yang hadir. Diskusi ini pun menambah kedalaman pemahaman tentang bagaimana kegembiraan tidak hanya ditemukan dalam kebahagiaan individu, tetapi dalam kesatuan visi dan niat bersama.
Diskusi malam itu dilanjutkan dengan Fahmi yang menyampaikan terima kasih kepada Pandji atas kehadirannya dan membuka kesempatan kepada Habib Husein untuk menyampaikan “kabar gembira”. Habib Husein memulai dengan humor ringan, menyebutkan bahwa ia hadir sebagai “utusan Tuhan, bukan utusan Presiden,” yang langsung mencairkan suasana dan disambut gelak tawa jamaah.
Kebahagiaan Sejati: Refleksi dalam Perspektif Agama dan Kehidupan
Habib Husein kemudian melanjutkan untuk membahas tema kebahagiaan dari perspektif agama. “Dalam Al-Qur’an, hidup yang baik adalah hidup yang membahagiakan,” ujarnya. Ia membahas tentang martir, orang yang rela berkorban untuk orang lain, dan bertanya, “Apakah orang yang berkorban demi orang lain tidak bahagia?” Menurutnya, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan kebahagiaan material atau sementara.
“Kegembiraan itu cenderung materialis, sementara kebahagiaan bersumber dari dalam diri kita,” kata Habib Husein. Ia menjelaskan bahwa kegembiraan seringkali datang dari luar dan bersifat fluktuatif. “Malam ini kita bisa sangat gembira, tetapi besok bisa redup atau hilang. Kegembiraan itu bergantung pada faktor eksternal, dan ini bersifat sementara,” tambahnya.
Habib Husein mengajak jamaah untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri. “Yang penting bukan mengontrol dunia luar, seperti yang diajarkan dalam filsafat Stoik, tetapi lebih pada fokus untuk mengendalikan diri kita sendiri,” ujarnya, mengutip pandangan Victor Frankl yang mengatakan bahwa kebahagiaan berhubungan dengan perspektif mental kita terhadap dunia luar. “Kita bisa menggeser sudut pandang kita untuk merasakan kebahagiaan, meskipun di tengah kesulitan,” jelasnya.
Ia juga berbicara tentang kebahagiaan dalam konteks Islam, yang berada dalam frekuensi tuma’ninah, yaitu keadaan tenang, stabil, dan berdaulat. “Ketenangan itu harus disandarkan pada Tuhan. Dengan demikian, kita bisa melihat segala sesuatu dengan lebih tenang,” kata Habib Husein. Tantangannya, menurutnya, adalah bagaimana tetap bisa berbahagia meskipun dihadapkan dengan penderitaan.
Habib Husein juga merenungkan, “Tuhan yang maha pemberi waktu, tapi seringkali kita tidak memberi waktu kepada Tuhan.” Ia menekankan pentingnya sabar dan melihat segala sesuatu dengan pandangan yang lebih universal, bukan partikular. “Dalam dunia yang penuh dengan ketergesahan, kita sering kehilangan ruang untuk refleksi. Padahal, hikmah adalah harta karun yang paling berharga dalam hidup manusia,” ujarnya.
Ia juga mengelaborasi konsep tuma’ninah dalam sholat, yang merupakan rukun dan syarat sah sholat. “Kenapa kita sholat dengan parfum, berpakaian baik, dan putih? Itu adalah pengkondisian diri”. Yang akan lebihi baik nilai pengarunya berimbas pada segala aktivitas kita setelah sholat. Menurut Habib Husein, kegembiraan yang sejati bukanlah kegembiraan sesaat, tetapi kebahagiaan yang dapat bertahan lama dan memberikan kedamaian.
Habib Husein mengakhiri pemikirannya dengan sebuah analogi, “Logika agama dibangun untuk mendorong kita menuju kebahagiaan. Namun, jika kita tidak berada pada frekuensi yang benar, kita tidak akan bisa merasakannya. Seperti halnya kopi, jika kita hanya menikmati manisnya dulu, kita tidak akan sampai selesai dapat merasakan pahitnya. Begitu juga dengan hidup, jika kita tidak melalui kesulitan dengan sabar, kita tidak akan bisa menikmati kebahagiaan yang sejati.”
Ia mengingatkan tentang kondisi dunia yang terkadang tidak reflektif.
Kenapa seorang tukang yang setiap hari bekerja membangun rumah, tetapi tidak memiliki rumah sendiri? Sama halnya dengan liburan — kita bekerja keras untuk liburan, tapi setelah itu, kita kembali tenggelam dalam rutinitas tanpa refleksi.
Menurut Habib Husein, kebahagiaan sejati adalah sebuah perjalanan yang memerlukan kedalaman dan kesadaran. “Jika kita terbuka, kita akan terus bertemu dengan agama dan menemukan kebahagiaan sejati. Kegembiraan yang sejati adalah kebahagiaan yang dapat kita sebarkan, baik kepada diri kita sendiri maupun orang lain,” tutupnya.
Mas Fahmi melanjutkan sesi dengan menyampaikan rasa terima kasih kepada Habib Husein atas pemikiran-pemikirannya yang mendalam. “Hanya di sini, Habib bisa berbicara tentang agama, teori revolusi, dan nilai kehidupan dengan begitu luas dan bermakna,” ujarnya. Fahmi menggarisbawahi bahwa forum ini memberi ruang yang luar biasa untuk menggali kebahagiaan sejati, tidak hanya dalam konteks spiritual tetapi juga dalam perspektif kehidupan sosial dan pribadi.
Setelah penjelasan dari Habib Husein yang penuh dengan refleksi mendalam tentang kebahagiaan, tuma’ninah, dan cara berpikir yang lebih universal, sesi dilanjutkan dengan jeda untuk memberi kesempatan bagi jamaah untuk merenung lebih jauh. Jeda ini diisi dengan penampilan musik yang mengalun lembut dari Krist Segara, memberikan ketenangan bagi para jamaah untuk meresapi setiap kata yang telah dibagikan dalam diskusi malam itu.
Penampilan musik ini menjadi penyeimbang yang sempurna, menciptakan suasana harmoni yang mendalam, mengundang refleksi pribadi dan memperkuat pesan bahwa kegembiraan sejati datang dari kedamaian batin yang terbentuk dari kedekatan dengan Tuhan dan pemahaman akan hidup yang lebih besar.
***
Kebahagiaan, Kegembiraan, dan Kedaulatan Diri: Refleksi di Kenduri Cinta
Di sesi puncak Kenduri Cinta, setelah beberapa diskusi mendalam yang banyak mengangkat berbagai isu sosial dan spiritual, Mas Hadi sebagai Moderator membuka ruang bagi jamaah untuk mengajukan pertanyaan. Ia memberikan kesempatan bagi peserta untuk menggali lebih dalam pemikiran para pembicara yang telah berbicara sebelumnya. “Apakah ada yang ingin bertanya atau berbagi pemikiran?” tanyanya, mengundang diskusi lebih lanjut tentang kebahagiaan, kegembiraan, dan makna hidup.
Alfredo dari Ciputat membuka diskusi dengan pertanyaan yang menarik perhatian: “Apakah kebahagiaan itu sesuatu yang alami, ataukah bisa kita olah? Bagaimana kita melatih diri untuk berbahagia?” Ia juga menyinggung tentang fenomena orang yang berbuat salah atau melawan arus, tetapi merasa bahagia. “Apakah kebahagiaan kita membuat kita tidak berdaya, bahkan ketika kita melihat orang melawan arah?” ujarnya, mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu seringkali bersifat subyektif dan tidak selalu bisa dipahami oleh orang lain. Hal ini mengarah pada pemikiran bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari dalam diri, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh konteks sosial dan hubungan kita dengan orang lain.
Refina Kusuma Anggraeni, yang datang dari Tangerang, mengangkat isu yang relevan dengan zaman digital saat ini: “Bagaimana kita bisa bahagia jika standard hidup orang lain terus mendikte kita? Bahkan sebelum kita mencapainya, kita sudah merasakan penderitaan.” Ia bertanya lebih jauh, apakah kebahagiaan itu masih dapat dicapai setelah kita mencapai segala yang kita impikan, tetapi tanpa bisa menjadi diri sendiri?. Refina menyentuh keresahan banyak orang yang hidup di bawah tekanan ekspektasi sosial, terutama yang dipicu oleh media sosial dan standard hidup yang terus berkembang.
Mas Hadi meminta kepada Hensa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hensa, yang juga seorang dosen dan memiliki pengalaman membimbing mahasiswa, berbagi cerita tentang seorang mahasiswanya yang menghadapi konflik perasaan menjelang pernikahan. Selama umroh, pasangannya menerima lamaran dari teman lama, dan Hensa bertanya, “Haruskah ia bergembira atas keputusan itu?” Pertanyaan ini membuka pembahasan tentang perbedaan antara kegembiraan dan kebahagiaan. Hensa mempertebal pernyataan bahwa kegembiraan itu subyektif dan bisa dirasakan oleh seseorang sementara orang lain merasakannya sebagai penderitaan, dan menegaskan bahwa kegembiraan sering kali bersifat sementara dan tidak selalu mengarah pada kebahagiaan sejati.
Setelahnya, Pandji melanjutkan repsons dari pertanyaan sebeleumnya. Pandangan Pandji mengarah pada kritik yang tajam terhadap cara kita sering kali mencari kebahagiaan melalui faktor eksternal. “Banyak orang mencari kebahagiaan dari luar, seperti konsumsi atau hiburan, hanya untuk mengalihkan ketidakbahagiaan mereka”. Menurut Pandji, kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai melalui hal-hal yang bersifat sementara, melainkan dari kesadaran akan kondisi sosial yang lebih besar. “Kebahagiaan itu struktural—terkait dengan politik, ekonomi, dan kondisi sosial kita,” tambahnya. Pandji menyayangkan bahwa banyak orang di Indonesia tidak peduli dengan politik, bahkan tidak ingat siapa yang mereka pilih dalam pemilu. “Indonesia adalah negara demokrasi, tetapi kualitas demokrasi kita masih diragukan, dan itu mempengaruhi kebahagiaan kita bersama,” ujar Pandji, mengajak kita untuk lebih sadar akan peran kita sebagai rakyat yang memiliki kekuatan besar.
Suasana kembali menjadi lebih hangat dan intens, ketika Habib Husein Ja’far menambahkan perspektif yang mendalam tentang kedaulatan diri. “Kenduri Cinta adalah forum yang terbuka dan ikhlas, di mana semua orang bisa berbicara dan saling percaya. Di sini, kebahagiaan bukan sekadar menikmati ilmu, tetapi juga merasakan kedamaian dalam diri,” ujarnya. Habib Ja’far mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari berdaulat atas diri sendiri. “Kebahagiaan itu berasal dari dalam diri kita, dan ketika kita bisa membahagiakan orang lain, itu berarti kita sudah bahagia. Kebahagiaan itu tidak bisa dipaksakan, ia harus datang dari ketulusan hati,” lanjut Habib, menekankan pentingnya untuk hidup sesuai dengan fitrah kita dan bukan mengikuti standar orang lain.
“Manusia seringkali terjebak dalam kebingungannya sendiri. Ketika kita bisa mengendalikan diri dan kembali kepada fitrah kita, kita akan menemukan kebahagiaan yang sejati,” ujar Habib Ja’far lagi, membahas tentang pentingnya menjaga kedaulatan diri dalam menjalani hidup. Ia menjelaskan tiga tingkatan nafsu dalam diri manusia: nafsu amarah (yang cenderung pada keburukan), nafsu lawwamah (yang bergelut antara kebaikan dan keburukan), dan nafsu mutmainnah (yang tunduk sepenuhnya pada kebaikan dan ketulusan hati). Ia menjelaskan bahwa kebahagiaan datang saat kita bisa mengendalikan nafsu kita dan kembali ke fitrah yang sejati.
Malam makin larut, Jamaah masih semangat menyimak. Tibalah pada sesi akhir. Moderator membuka satu pertanyaan terkahir. Seorang Jamaah Dika, seorang mahasiswa Hensa di kampusnya, bertanya tentang cara menjaga kebahagiaan saat merasa rindu kepada Allah. Sebagai jawabannya, Habib Husein menekankan pentingnya memahami makna di balik ritual agama. Kebahagiaan itu bukan hanya soal menjalankan ibadah, tetapi memahami makna di balik setiap langkah kita. Sholat, misalnya, bukan hanya tentang gerakan fisik, tetapi tentang penghayatan dan pemaknaan yang mendalam serta luaran Sholat itu sendiri. Acapkali kita sering terjebak pada keharusan melakukan sholat, tanpa paham betul kenapa kita mesti sholat. Ia menggambarkan bagaimana banyak orang yang menjalankan sholat tanpa benar-benar memahami esensinya, menjadikannya sekadar ritual tanpa makna yang dalam. Habib Ja’far mengingatkan bahwa kita harus berlatih untuk benar-benar memahami setiap gerakan, setiap bacaan dalam sholat, dan ini berlaku dalam semua aspek kehidupan.
Mas Hadi sebagai moderator menyampaikan bahwa kita memasuki pengujung Forum Kenduri Cinta malam itu. ia meminta Pandji dan Hensa untuk menyampaikan closing statement-nya.
Pandji menutup dengan pesan yang sederhana namun kuat:
Tugas utama kita adalah bertahan. Kehidupan itu berat, tetapi jika kita bisa bertahan, kita akan menemukan kebahagiaan pada waktunya.
Pandji mengatakan bahwa dengan bertahan, kita tidak sadar bahwa banyak sekali hal yang seharusnya berat, akan berlalu bergitu saja, sampai kita baru sadar bahwa kita mampu melewati itu semua. Ia mengingatkan semua orang bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang bisa dipaksakan atau dicari di luar diri, melainkan sesuatu yang tumbuh dari ketulusan dan keberanian untuk terus bertahan, meskipun dalam kesulitan.
Sebagai penutup, Hensa mengajak semua Jamaah Kenduri Cinta untuk menyanyikan lagu: “Buat apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira”. Semua Jamaah bersama menyanyi hanyut sejenak dalam lagu. Lagu ini bukan sekadar pengingat akan pentingnya kebahagiaan, tetapi juga ajakan untuk hidup dengan lebih ringan dan saling mendukung satu sama lain. Di Kenduri Cinta, kebahagiaan tidak hanya ditemukan dalam ilmu, tetapi juga dalam kebersamaan, dalam berbagi tawa, dan dalam menyadari bahwa kebahagiaan itu lebih menyenangkan daripada merasa susah.
Kenduri Cinta edisi Desember 2024 ini dipuncaki Indal Qiyam dengan lantunan Shohibu Baitiy serta doa penutup dari Mas Hadi. Terpancar wajah ketulusan dan sejuk dari semua wajah malam itu. Beberapa tampak menahan pecahnya air mata. Beberapa tenggelam dalam doa yang sungguh. Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tujuan akhir yang bersifat individual, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan bersama. Kebahagiaan datang dengan kesadaran dan keikhlasan, dengan mengakui dan menyadari kemampuan kita sebagai individu yang berdaulat atas diri sendiri, dan dengan memaknai setiap langkah kita dalam hidup.
Derap langkah Jamaah mulai meninggalkan Taman Ismail Marzkuki. Penggiat bergotong-royong membereskan alas terpal dan panggung. Semoga Kenduri Cinta malam itu membawa berkah dan makna yang aktualisasinya dapat berbentuk dan berbuah banyak hal.