Jumat, 10 Januari menjadi edisi pertama Kenduri Cinta di tahun 2025. Sebagaimana mengawali tahun: semangat menjadi penuh, gairah makin menggebu, turunannya mungkin adalah rencana-rencana konkret yang sebagian kita menyebutnya sebagai resolusi. Resolusi baru kita buat, kita rancang, kita rencanakan, dan kita jalani agar tercapai. Segala yang baru kesannya segar dan menggairahkan. Segala yang akan dijalani, perlu diniatkan secara utuh dan jernih. Ada seorang bijak pernah berkata, “jalanmu akan sepanjang niatmu”. Kebulatan tekad, kedisiplinan, ketekunan, keuletan, kesungguhan, kewaspadaan dalam mentransformasi niat tersebut akan menjadi variabel penting resolusi dapat kita capai. Tentu tanpa mengesampingkan bahwa Allah berperan primer atas itu semua, dan peran-Nya amat dilatarbelakangi oleh sifat kasih sayang. Itu juga menjadi fondasi dan sebagai pengingat kita untuk tak lupa, bahkan untuk sangat yakin, hingga kita tidak diam-diam bependapat bahwa kita sendiri yang dapat menolong nasib sendiri. Ini juga menjadi bahasan yang tak luput dari diskusi di forum Reboan, Penggiat berusaha untuk saling meyakinkan, terus bersama, bergotong-royong, saling mengisi, saling menguatkan bahwa nilai Maiyah harus terus kita resapi dan keluarnya melahirkan kebaikan. Tanpa harus ditanyakan ke masing-masing kepala, semua pasti setuju bahwa Kenduri Cinta harus menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Makin kita menikmati perjalanan, maka waktu akan menjadi demikian cepat dan singkat. Tak terasa, Kenduri Cinta tahun ini akan memasuki usia ke-25 tahun. Penggiat dalam Forum Reboan, menentukan tanggal pelaksanaan Kenduri Cinta setiap bulan, membagikan jadwal tersebut ke Jamaah, sebagai bentuk komitmen dan kedalaman niat serta pernyataan sikap bahwa Kenduri Cinta akan terus berjalan. Edisi Kenduri Cinta Januari 2025 menjadi edisi ke-252 dengan mengangkat tema “Tanah Air Paradoks”. Tema yang dimasak matang, setidaknya dalam tiga pertemuan Reboan oleh Penggiat. Dialektika diskusi Penggiat setiap minggu selalu penuh kejutan. Setiap orang boleh bahkan wajib berpendapat, boleh juga menyanggah dan tak setuju, boleh saling mengkritik. Terbiasa tak sama adalah pemandangan yang sudah sangat lumrah ditemui diantara sesama Penggiat. Dalam proses itulah, wawasan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan latar belakang personal yang pasti berbeda saling bersintesis menjadi kesatuan gagasan baru yang termanifestasi menjadi satu tema. Sinau bareng bukan isapan jempol, dalam benak Penggiat ia sebuah automatism,refleks, bahkan sudah menjadi prosedural memory di kepala masing-masing. Semua hal tadi diperbesar skalanya lewat forum Kenduri Cinta bulanan–yang melibatkan lebih banyak Jamaah.

Jumat siang, Jakarta tampak terik. Panas matahari memantul dari aspal dan kaca gedung-gedung. Begitupun Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menjadi tempat rutin Kenduri Cinta bulanan. Sejak siang, beberapa penggiat sudah bersiap di lokasi: menyiapkan tenda, sound system, memastikan administrasi, dan semua kebutuhan perlengkapan acara. Jamaah di kolom komentar media sosial Kenduri Cinta pasca informasi dirilis juga saling bersahutan mengingatkan, membuat janji pertemuan, sampai-sampai tak sungkan untuk bisa “nebeng” jika memang akan berangkat dari atau berada di daerah yang sama. Sebuah ikatan yang tak mungkin dapat terjadi tanpa ada rasa percaya yang kuat. Seolah nilai Maiyah itu tanpa harus dipaksa, ia mengalir, saling memperjalankan, dan mempertemukan. Ada kalimat favorit dari salah satu Penggiat, bahwa memang Allah lewat semesta seringkali bercanda. Ia mempertemukan dapat juga memisahkan, acap kali pertemuan itu pun tanpa sengaja dibuat apalagi direncanakan, sungguh penuh paradoks.
Ibukota yang sibuk dan tak pernah mati adalah definisi Jakarta yang sesungguhnya. Tempat naungan lebih dari 11 juta jiwa penduduk yang datang dari berbagai daerah, berpacu, mengadu nasib, mengisi hidup yang mesti dimenangkan. Inilah keunikan yang dimiliki Kenduri Cinta, keberagaman orangnya, keunikan masing-masing Jamaahnya, menjadi forum miniatur Indonesia. Tidak berlebihan jika menyebut Kenduri Cinta adalah majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS-nya. Kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah dan bertumbuh secara dinamis. Istilah “Dosennya adalah alam semesta” bahkan bisa disebut benar adanya, atau setidaknya dapat diperjuangkan kebenarannya. Sejak sore hari, sudah terlihat Jamaah yang datang. Forum Kenduri Cinta dimulai pukul 19.30 WIB. Pada edisi Januari ini, seperti biasa, terlebih dahulu diawali dengan pembacaan Sholawat dan Wirid. Di panggung, Alfa, Awan, Mizani, Munawir, dan Rizal memandu Jamaah pada sesi tersebut. Suasana mulai tentram, cuaca yang tadi lumayan terik jadi semakin sejuk karena angin malam mulai berdesir lebih kuat. Jamaah mulai berduyun memadat, datang dari berbagai arah menuju lapangan Teater Besar TIM, lalu duduk bersila. Beberapa sudah menyiapkan air, makanan ringan, gorengan, rokok, dan ada juga yang menyempatkan makan terlebih dahulu dengan nasi bungkus yang sudah disiapkan sebelumnya, sambil menenteng tas kerja atau goodie bag. Ada juga yang hadir bersama keluarga. Terlihat Ibu-ibu sedang menggendong bayi dan suaminya yang memegang tas kecil berisi peralatan tempur bayi: popok, susu, dan sebagainya. Semoga kejernihan, ketulusan, dan kesungguhan dalam berkenduri cinta ini membawa berkah dan ridho dari Allah lewat kasih dan sayang-Nya. Semoga ikatan silaturahmi itu juga menjadi simpul-simpul kedekatan, sehingga tali kemesraan berbangsa dan bernegara hadir tanpa harus kita tuntut dan tagih.

Sempalan Surga, Ujian di Bumi: Paradoks Tanah Air
Memasuki pukul 20.30 WIB, sesi pertama Kenduri Cinta dimulai. Rizal dan Karim menjadi moderator pada sesi ini. Rizal meminta Jamaah untuk merapat dahulu ke sisi depan, agar yang lain yang hadir berikutnya dapat menyesuaikan. Rizal mengawali dialog dengan Jamaah mengenai tahun baru dan resolusi. Bahwa terkadang, harapan dan realita sering bertolak belakang. Karim mengambil pelantang, menyampaikan salam pembuka. Karim menyebutkan bahwa pembahasan malam ini akan sangat menarik dengan pembicara yang hadir. Ia mengajak Jamaah untuk melantunkan Al-Fatihah terlebih dahulu dan menyampaikan bahwa Kenduri Cinta tahun ini sudah berusia 25 tahun–yang pada hari itu banyak yang tidak lebih tua usianya daripada Kenduri Cinta. Tanda bahwa demografi Jamaah Kenduri Cinta hari ini didominasi oleh anak-anak muda. Ia pun menyampaikan bahwa pembicara di sesi ini akan diisi oleh Penggiat Kenduri Cinta, yakni Amien, Tri, dan Nanda. Sebagai pengantar tema “Tanah Air Paradoks”, Karim bercerita bahwa hari ini ia tidak sengaja membaca sebuah kalender di kantor dengan judul “Melodi Pembangunan Indonesia” yang didalamnya menampilkan lagu-lagu nasional. Di halaman pertama, terdapat lagu Rayuan Pulau Kelapa. Ia pun bertanya kepada Jamaah siapa penulisnya? Mayoritas tak menjawab, padahal penulis lagu tersebut adalah Ismail Marzuki yang namanya menjadi tempat dimana giat Kenduri Cinta dilangsungkan. Ini cukup paradoks, karena kita sering lupa. Ia menyampaikan hampir semua lagu nasional atau lagu kebangsaan terdapat kata “tanah air”. Sebagai refleksi, banyak tulisan Moh. Yamin dan Founding Parents kita yang lain menggunakan kata “tanah air” untuk jadi pijakan kita belajar konsep mengapa “tanah” dan “air”-yang konsep ini berbeda dengan Barat yang biasa menggunakan kata “homeland” untuk merujuk pada tempat asal atau tempat lahir. Mengenai paradoks, Karim menyampaikan ke Jamaah bahwa kita juga sekarang paradoks. Bagaimana waktu menuju akhir pekan yang harusnya dapat saja diisi dengan hal lain, seperti ke mall misalnya, namun kita menyempatkan diri untuk hadir di Kenduri Cinta. Paradoks dapat kita pahami dari makna elementer: “sesuatu yang berbeda”, dan tidak berkonotasi negatif, berasal dari dua kata: para (berbeda) dan doksa (opini/argumen) yang dapat juga kita maknai sebagai argumen yang berbeda dari fakta yang kita ketahui secara umum. Dengan definisi sederhana tersebut, kita dapat hubungkan langsung dengan “tanah air” yang menjadi tema hari ini. Karim dan Rizal kemudian meminta narasumber untuk naik ke panggung dan mulai memperkenalkan profil masing-masing pembicara. Rizal memulai moderasi forum dengan meminta Amien menyampaikan pendapatnya mengenai tema yang sudah dibahas saat Reboan, mengambil konteks Indonesia negara yang kaya, namun rakyatnya tidak sejahtera dan kaitannya dengan poster.

Amien memulai dengan paradoks di negeri ini. Negeri kita katanya adalah sempalan surga. Surga harusnya isinya adalah segala sesuatu yang nikmat dan kita tidak perlu banyak berusaha, namun kenyataannya kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan berleha-leha di negeri ini. Kemudian Ia membahas mengenai poster, mengalasi dengan kecepatan dan banyaknya informasi yang bisa kita dapati hari ini. Saking cepat dan banyaknya informasi yang kita dapat, kita tidak dapat memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berharga, ini demikian paradoks. Dengan banyaknya informasi tersebut, kita seharusnya semakin kaya dengan pengetahuan dan dapat lebih banyak berbuat, tidak hanya sekadar jadi penonton dari fenomena di sekitar kita. Pada gambar di poster terdapat tiga badut, dengan tali yang berasal dari satu tangan yang menggerakkannya, dimana terdapat lagi tali yang dikendalikan oleh tangan bayangan di atasnya. Namun, jika kita teliti, tali yang mengikat badut tersebut juga tidak benar-benar mengikat, badut masih punya keleluasaan dan bebas bergerak. Amien melanjutkan penjelasan yang lain bahwa negara sebagai konsep harusnya bertindak sebagai distributor kesejahteraan dan bertanggung jawab akan rakyatnya, namun demikian paradoks bahwa rakyat juga harus berdaulat atas negaranya dan bertanggung jawab dengan dirinya sendiri tanpa mengharap pada negara. Amien menutup pendapatnya dan memberikan waktu kepada Rizal dan Karim kembali.
Paradoks dalam Kepemimpinan dan Bisnis: Refleksi Forum Kenduri Cinta di Tengah Hujan
Karim melanjutkan bahwa forum Kenduri Cinta yang berjalan seperempat abad tidak pernah absen membahas dan mengangkat topik seputar “Indonesia”. Merefleksikan kalimat kepada forum “Apakah Indonesia juga membahas kita?” dan melanjutkan pelantang kepada Tri untuk bermurah hati memberikan landasan elementer mengapa kita harus sadar dengan paradoks yang ada serta berpendapat semerdeka-merdekanya. Tri mulai bercerita, bahwa ia sudah berkontribusi sekitar 15 tahun di Kenduri Cinta, dan biasanya jadi moderator bukan pembicara. Ia menyampaikan bahwa forum yang baik akan bergantung pada moderator sebagai human magic dari panelis yang ada. Tri bercerita bahwa ia menemukan “energi” di Kenduri Cinta. Mengenai paradoks, ia mengaitkan dengan Syair Abu Nawas yang begitu paradoks, yang berbunyi:
أعلم أن الجنة ليست مكاني، ولكني أخاف أن أُلقى في النار
“Aku tahu, surga bukanlah tempatku, namun aku pun takut dilempar ke neraka.”
Paradoks menurut Tri dapat menjadi strategi kepemimpinan dan dalam menjalankan perusahaan sesuai dengan latar belakangnya sebagai Pengusaha dan Penggiat UMKM. Ia pun menambahkan bahwa kita dapat belajar dari Pendiri Facebook dan Google, dimana ia memulai perusahaan bukan bermula pada kemungkinan keuntungan yang didapat yang biasanya dilakukan oleh banyak orang, namun fokus pada solusi dari permasalahan yang ada dan dialami banyak orang, baru kemudian memikirkan cara lain mendapatkan keuntungan. Di tengah-tengah pendapat Tri, hujan mulai turun.

Sekitar pukul 21.10 WIB hujan deras membasahi TIM, Jamaah pun merapat ke area tenda. Langit yang tadinya begitu cerah, kini gelap dibarengi dengan suara guruh. Hujan makin deras, namun Jamaah masih bertahan. Ada yang sudah siap dengan payung, beberapa tak ambil pusing, langsung ikut berdesakan di tenda, sebagian yang lain merapat ke depan gedung dan tangga Teater Besar TIM. Beberapa menit kemudian, intensitas hujan makin tinggi, angin semakin kencang, alas duduk pun basah. Tak menghalangi Jamaah yang tetap setia duduk bersila, dan dengan syukur menikmati hujan, yang mana Jamaah Kenduri Cinta selalu percaya bahwa hujan adalah salah satu bentuk rezeki yang diberikan oleh Allah, tak sedikitpun berkeluh-kesah atau menggerutu. Para Penggiat segera menutup dan mengamankan kamera, speaker dan sound system dan waspada dengan keadaan tenda. Hujan menambah suasana khusyuk malam itu. Karim meminta Jamaah untuk menyesuaikan diri, saling mengamankan, memprioritaskan Ibu-ibu dan anak balita untuk duduk di depan. Tri melanjutkan ceritanya mengenai UMKM di Indonesia yang populasinya hanya 5% dari total penduduk kita. Keluhan yang biasa terjadi adalah jualan semakin susah dan daya beli masyarakat semakin menurun. Saat UMKM berusaha berkontribusi pada ekonomi negara, malah 300 Triliun uang kita hilang dari judi daring. Saat seru diskusi, hujan semakin lebat. Karim dan Tri mengajak seluruh Jamaah melantunkan Sholawat Hasbunallah dan berdoa bersama, beriringan dengan air hujan yang turun malam itu. Tri kemudian menutup kesempatannya dengan menyampaikan bahwa selama 10 tahun ini, dua amalan Mbah Nun yang ia pakai adalah Surat Al-Quraisy, sarat makna bahwa “Selama kita berjuang, niscaya Allah akan selamatkan rezeki keluargamu” dan Surat At-Thalaq Ayat 2 dan 3: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan membukakan jalan keluar baginya. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya”. Terakhir Tri menegaskan mengenai hal yang ia juga selalu pegang, yakni: “ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ”, yang maknanya, “berdoalah, niscaya Aku (Allah) akan kabulkan”.
Menemukan Hikmah dalam Paradoks: Refleksi dan Harapan
Forum terus berjalan walau hujan masih belum reda, Karim dan Rizal melanjutkan diskusi. Karim menegaskan bahwa Mbah Nun selalu mengajarkan kita untuk selalu dapat menemukan nilai dan hikmah dari apapun termasuk hujan. Ketika kebanyakan orang banyak melihat hujan dari derasnya, tapi kita bisa menemukan hikmah dari celah deras hujan. Karim meminta Nanda untuk berbagi. Nanda menyampaikan, semoga hujan membawa keberkahan untuk semua. Mengenai paradoks, Nanda berpendapat, bahwa yang paling bahagia, gembira, dan senang berparadoks sebetulnya adalah Gusti Allah sendiri. Paradoks ada yang haq dan ada yang bathil. Salah satu paradoks Allah yang paling besar adalah manusia. Bayangkan, salah satu hal gaib seperti ruh ditempatkan pada casing yang sangat kasar yang berasal dari tanah. Sebetulnya hidup ini adalah paradoks. Salah satu ciri paradoks, adanya koeksistensi dari dua hal yang non-linear atau bertentangan. Allah mengenalkan diri-Nya sebagai Dia adalah yang paling awal tanpa permulaan, Dia adalah akhir tanpa kesudahan, sehingga Allah dapat kita pahami apabila kita dapat mencerna paradoks. Di Maiyah kita tidak hanya belajar tentang paradoks, tapi belajar dari paradoks. Mengenali Allah saja, kita membutuhkan paradoks. Contoh kecilnya, hubungan laki-laki dan perempuan, bagaimana satu makhluk yang demikian dominan secara akal, diminta berinteraksi dengan yang sangat dominan secara perasaan. Tema “Tanah Air Paradoks”, Nanda curiga bahwa hanya Indonesia di dunia ini yang dapat diuji dengan paradoks, seperti gemah ripah loh jinawi dan toto tentrem kerto raharjo yang harusnya linear malah tidak terjadi karena adanya distorsi. Nanda kemudian mengaitkan hal sebelumnya dengan poster. Indonesia yang diuji dengan paradoks begini rupa karena mungkin karena banyak penerus ulil albab. Kita dapat belajar dari firman Allah dalam Surat Yasin ayat 36:
سُبۡحٰنَ الَّذِىۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ وَمِنۡ اَنۡفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُوۡنَ
“Maha Suci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Bahwa prasyarat kita dapat mengenal Allah adalah dengan memiliki kemampuan membaca paradoks. Dari surat ini juga kita dapat belajar, bahwa berpasangan juga tidak selalu harus klop dan linear. Jika pun ada paradoks negatif, itu bisa dipahami jika kita juga sudah waskita dengan paradoks positif. Jangan-jangan juga paradoks di dunia itu, tanah airnya di sini. Nanda menutup pendapatnya mengenai hujan hari ini pun harus kita syukuri, karena pasti ada paradoks bahwa hujan adalah berkah dan diinginkan oleh orang lain, selain kita.

Tri mencoba memecah suasana dingin dengan berkelakar, bahwa Mas Nanda juga bersikap paradoks. Latar belakang Mas Nanda yang seorang pakar intelijen, namun di Kenduri Cinta justru seringkali menyampaikan ayat Al-Qur’an. Tak ayal, Jamaah pun menyambut dengan tawa. Rizal kemudian melanjutkan diskusi dengan memberikan kesempatan kepada Jamaah untuk ikut berpendapat atau bertanya. Ali, salah satu Jamaah yang berasal dari Fakfak, Papua, berargumen bahwa negara ini penuh dengan paradoks. Jika hari ini disini kita bersedih, maka kesedihan itu tidak ada apa-apanya dengan apa yang terjadi di Fakfak. Ia menyampaikan betapa senangnya dapat tetap kembali ke Kenduri Cinta. Menurut Ali, yang penting hari ini untuk Indonesia adalah pendidikan. Bukan hanya untuk Papua, tapi untuk seluruh Indonesia. Pendidikan bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang ada di Papua, namun juga bagi mereka yang tinggal di Jakarta, yang sebetulnya masih sama-sama bodoh. Jika kita punya satu orang pintar di Indonesia, maka semua masalah akan dapat diselesaikan, kita akan dapat lead dunia ini. Begitu banyak masalah dan paradoks di negeri ini, Ali memotret bahwa kita masih sangat parsial dalam menangani masalah-masalah yang ada. Masih ada egosentrisme dari bidang-bidang yang kita geluti bersama, padahal untuk menghadapi masalah, kita betul-betul harus menanganinya secara menyeluruh karena semuanya saling berkaitan. Ali dengan gaya khasnya tidak lupa melempar humor, bahwa menurutnya, parameter orang cerdas adalah mereka yang dapat menguasai dua bahasa. Seseorang yang lahir dan besar di Indonesia, akan langsung dapat menguasai dua bahasa, yakni bahasa daerah dan bahasa Indonesia, maka sebetulnya kita ini cerdas. Senyum dan tawa hadir dan pecah di wajah Jamaah. Ali juga berusaha memotret dan mengkritik fenomena, bagaimana mungkin Lulusan IPB yang core-nya adalah pertanian tetapi lulusannya banyak yang masuk perbankan. Maka, wajar jika daerah Karawang yang dulunya jadi basis produksi pangan menjadi kawasan pabrik. Ini demikian paradoks. Paradoks pada diri kita hadir dari kita bangun tidur hingga kita tidur lagi. Ali juga dengan bebas menyampaikan keresahannya mengenai kasus koruptor yang dihukum ringan yang merupakan manifestasi dari betapa paradoksnya tanah air kita ini. Ia menyebutkan bahwa kemiskinan yang terjadi hari ini bukanlah sesuatu yang alamiah, tapi memang sengaja dibuat. Apapun itu, Kenduri Cinta selalu dapat membuatnya selalu merasa kesetrum dan merasa segar ketika pulang ke rumah. Terakhir, ia menebalkan pendapatnya bahwa solusi dari kemiskinan yang ia tadi bahas adalah dengan pendidikan. Suasana makin hangat, Karim mengambil alih diskusi dan berkata bahwa harusnya Ali itu sekarang tempatnya ada di kantor wakil rakyat, bahkan harusnya bisa jadi menteri. Tawa Jamaah semakin pecah.
Menelusuri Harta Karun Mbah Nun: Puisi dan Perjalanan Kenduri Cinta

Sekitar pukul 21.50 WIB, Ian L. Betts ikut mengisi ruang diskusi malam itu. Menurutnya, Kenduri Cinta saat ini semakin bertumbuh. Ian mengawali dengan membahas tulisan Fahmi mengenai Kenduri Cinta di website caknun.com. “KC is growing up”. Ia memberikan pujian untuk semua yang terlibat, setelah kita semua ditinggal Syeikh Kamba, Cak Fuad, Kyai Muzamil, bahkan Gandhie. Ia juga bercerita, bahwa ia selalu berusaha mencari harta karun Cak Nun lewat tulisan-tulisannya. Ia membahas salah satu buku Cak Nun yang berjudul, “Mereka yang Tidak Pernah Mati”. Ia menegaskan, walaupun Cak Nun tidak hadir, tapi kita selalu bisa tumbuh bersama. Ian bercerita bagaimana keterlibatannya dalam Maiyah sejak sekitar 2004-2005. Ia pun melanjutkan, ia akan membacakan puisi yang awalnya direncanakan untuk diterbitkan dalam rangka World Poetry Festival di Brasil. Namun, karena acara tersebut dibatalkan, rencana penerbitan puisi-puisi itu pun tidak terealisasi. Selama di Inggris, Cak Nun menulis dua puisi yang menggambarkan pandangannya tentang Islam serta upayanya memperkenalkan Indonesia dan Islam di Indonesia kepada dunia internasional ketika mendapat Award of Islamic Excellence di London. Ia menambahkan, bahwa sepengetahuannya, dua puisi ini belum pernah terbit, dan ia dapatkan pada arsip email. Satu puisi ia beri Judul “Why?”, karena puisi tersebut belum diberi judul oleh Cak Nun sendiri. Puisi ini dibuat pada 22 Maret 2005. Puisi kedua berjudul “Islam Is..” yang ditulis di London pada 23 Maret 2005. Ian bacakan dua puisi itu dengan berdiri di tengah panggung, di tengah Jamaah yang masih sambil berlindung di tenda melingkar di bawah langit yang masih hujan.
Refleksi dan Optimisme: Menyongsong Masa Depan Maiyah dan Demokrasi Indonesia
Tak lama, sesi diskusi dilanjutkan. Hadi dan Fahmi menjadi moderator. Di panggung sudah bersiap Toto Rahardjo yang akrab dengan panggilan Yai Tohar, Bagus Muljadi, Rocky Gerung, dan Sabrang sebagai pembicara. Sesi pamungkas yang ditunggu-tunggu seluruh Jamaah. Hadi mulai memoderasi diskusi, menyusuri satu per satu pernyataan yang kaya gagasan. Mengingat kalimat dari Mbah Nun mengenai keberkahan hujan, ia mengajak Jamaah untuk merenungkan bagaimana hidup dapat terus berkembang bahkan di tengah tantangan. “Kita tidak pernah menghitung soal jumlah yang hadir, siapa yang hadir, dan latar belakang yang hadir, tetapi keikhlasan kita bersama inilah yang kita rindukan,” ungkapnya dengan penuh perasaan, menggambarkan esensi dari kebersamaan Kenduri Cinta. Ia melanjutkan, salah satu gagasan dari tema Kenduri Cinta kali ini adalah bagaimana kita menghadapi keadaan yang kerap kali mengombang-ambingkan kita serta kaitannya dengan Indonesia ke depan. Hadi mengingatkan, melalui buku “Demokrasi Para Perampok” karya Yai Tohar yang baru saja dirilis, bahwa ada kekuatan refleksi dan kritik yang bisa menjadi panduan dalam perjalanan bangsa ini. “Kita berada dalam sebuah ekosistem yang sangat madani”, ujarnya. Indonesia adalah penggalan tanah surga, sebuah wilayah yang gemah ripah loh jinawi. Kita ini kaya, bahkan jauh lebih kaya dari yang sering kita sadari. Ia menggarisbawahi, bahwa tanah air ibu pertiwi adalah simbol kekayaan luar biasa yang perlu dirawat, bukan sekadar dirayakan dalam retorika. Namun, refleksi ini membawa pertanyaan mendalam: “Jika Indonesia disebut dengan istilah tanah air pertiwi, maka secara analogi sama halnya dengan satu kalimat mutiara; Surga di bawah telapak kaki Ibu. Tapi, letak keindahan surga Indonesia itu di mana? Jangan-jangan kita malah sedang menjalani proses sebagai ayam yang akan mati di lumbung padi,” ujar Hadi. Sebuah perumpamaan yang mengingatkan bahwa meski berada di tengah kelimpahan, kita sering gagal memanfaatkannya dengan bijak. Hadi pun memberikan waktu kepada Yai Tohar untuk berbagi dan mengawali diskusi.
Dalam suasana yang hangat dan penuh kebersamaan, Yai Tohar membuka sesi dengan humor. Ia dengan ringan mengatakan bahwa tidak mungkin semua pembicara dikategorikan sebagai ustadz, karena nama-nama mereka tidak ustadz banget. Tawa pun mengisi ruangan, mencairkan suasana. Beliau pun, bercerita bagaimana nama “Tohar” yang diberikan Gandhie agar kedengaran terkesan Arab, padahal itu adalah singkatan dari namanya, Toto Rahardjo. Nama itu pun diamini oleh Cak Nun. Yai Tohar melanjutkan, bahwa ia tidak akan membahas bukunya secara mendalam, karena menurutnya ada orang-orang seperti Bagus Muljadi dan Rocky Gerung yang jauh lebih kapabel untuk membahas isi buku tersebut. Namun, ia tetap menyampaikan pokok-pokok penting. Ia bercerita bagaimana Cak Nun menganggap dirinya sebagai “orang yang oke, tapi tidak ada saat dibutuhkan”.


Diskusi berkembang menjadi refleksi tentang Maiyah. Saat Cak Nun bertanya, “Maiyah mau digimanakan?” Yai Tohar menegaskan, bahwa Cak Nun adalah pusat spirit Maiyah. Meski begitu, ia mengakui bahwa bentuk konkret dari Maiyah selalu menjadi perdebatan. Banyak usulan, mulai dari menjadikannya partai politik hingga ormas, muncul dari berbagai simpul. Kekuatan utama Maiyah, menurut Yai Tohar, terletak pada sifatnya yang tidak terikat pada material atau bentuk tertentu dan yang menjadi pusat adalah simpul-simpulnya. Ia mencontohkan bagaimana Maiyah telah bertahan selama puluhan tahun, misal PadhangmBulan yang berjalan 32 tahun dan Kenduri Cinta yang bertahan selama 24 tahun. Hal ini menjadi bukti, bahwa keberadaan Maiyah tidak bergantung pada struktur formal, tetapi pada simpul-simpul yang hidup di tengah masyarakat. Dengan nada haru, Yai Tohar mengenang tokoh-tokoh penting yang telah berpulang yang menjadi ujian bagi Maiyah, sebut saja Syekh Nursamad Kamba, Cak Fuad, dan Cak Nun sendiri yang kini harus lebih banyak beristirahat. “Tinggal saya,” katanya dengan rendah hati. Mengisyaratkan bahwa tanggung jawab untuk meneruskan spirit Maiyah kini berada di pundak generasi selanjutnya. Ia juga berbagi alasan di balik penulisan bukunya, yang dilatarbelakangi oleh keterbatasan geraknya.
Dalam buku tersebut, Yai Tohar membahas peninggalan Orde Baru, yaitu konsep floating mass atau “massa mengambang” yang implikasinya tidak hanya menyentuh politik, tetapi juga cara hidup masyarakat Indonesia. Ketika membahas politik, Yai Tohar menyoroti hubungan rakyat dengan partai politik yang dianggap hanya bersifat transaksional seperti halnya pasar hewan. “Parpol hanya bertemu rakyat lima tahun sekali. Kalau minta dipilih ya harus dibayar,” ujarnya, menyelipkan guyonan yang membuat peserta tergelak. Beliau juga mempertanyakan ironi pemilu: “Pemilu kok bebas rahasia. Bebas ya bebas, kok rahasia”. Yai Tohar menyoroti istilah-istilah seperti “konstituen”, yang baginya sama seperti konsumen dalam konteks jual-beli. Diskusi mengarah pada perjuangan Rocky Gerung untuk 0% threshold dan prasyarat demokrasi yang sehat agar masyarakat tidak terjebak menjadi “sampah demokrasi”. Beliau berharap bahwa di masa depan, partai politik tidak hanya berbasis anggota atau kader, tetapi benar-benar berinteraksi dan bersinggungan dengan masyarakat setiap hari, tidak hanya lima tahun sekali. Menutup pendapatnya, Yai Tohar yang telah 9 tahun tidak hadir di Kenduri Cinta, mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraannya bisa reuni dengan semua yang hadir malam itu. “Berterima kasih dan bergembira,” katanya, menutup dengan nada optimisme yang menginspirasi.

Menembus Paradoks: Membangun Narasi Indonesia Berdasarkan Pengetahuan Lokal dan Ilmu Pengetahuan
Hadi melanjutkan memoderasi, ia menyampaikan bahwa Yai Tohar dulu sangat disegani di kampus-kampus. Karena jika Yai Tohar hadir di diskusi kampus, dikhawatirkan mahasiswa akan segera berdemo, tak lama dari gelaran acara diskusi tersebut usai. Tak panjang lebar, diskusi dilanjutkan olehnya untuk mengantarkan Bagus Muljadi, Keluarga Kenduri Cinta yang diutus ke Nottingham. Yai Tohar menyambut dengan guyon celetukan Hadi tersebut, bahwa pernyataan itu belum lengkap, karena belum dibaptis di Kadipiro. Sontak Jamaah gelak tertawa. Bagus pun memulai dengan mencoba menjelaskan satu bab dari buku “Demokrasi Para Perampok” karya Yai Tohar. Ia pun mengawali dengan merespons guyonan Yai Tohar. Bagus menyampaikan, ada satu terminologi yang menarik dalam satu bab di buku yang dimulai dari halaman 161, bahwa adanya epistemic colonialismyang sangat relevan dengan apa yang ia perjuangkan hari ini.

“Demokrasi adalah sebuah paradoks itu sendiri. Satu sisi, dia memanggil representasi suara dari semua orang. Di sisi lain, dia punya tendensi untuk menjadi tiran. Jika majority atau populis berkuasa, maka minority jadi tertindas. Harus ada open society untuk mencegah populisme tidak masuk dalam demokrasi itu sendiri“
Open society adalah situasi dimana pluralisme ide dengan bebas didebatkan dan didiskursuskan, seperti forum Kenduri Cinta malam ini. Bagus menyampaikan, bahwa ia tidak mendapati forum seperti Kenduri Cinta di Inggris. Bagian penting open society, adalah adanya institusi yang mendemokrasikan ide, musuhnya adalah penyeragaman ide. Penguasaan media oleh elit politik adalah simtom dari penyeragaman ide yang terjadi. Di Indonesia, dalam bidang ilmu pengetahuan eksakta, selalu berkiblat ke Barat. Terlihat dari tidak dihormatinya pengetahuan daerah atau kearifan leluhur kita. Ia pun bercerita dan mengambil contoh betapa kekayaan pengetahuan daerah di Yogyakarta mengenai Gunung Merapi dan Laut Selatan yang cenderung spiritual dan sakral yang justru punya scientific grounding serta menjadi landasan ilmiah dalam ilmu bumi. Ia mencoba menjelaskan, bahwa leluhur kita mempunyai kekayaan pengetahuan lokal yang dapat kita dalami dan berpotensi menjadi sumber ilmu pengetahuan yang signifikan. Bagi leluhur kita, tidak ada dikotomi antara science dan believe yang dipopulerkan oleh Barat, yang kita anggap sebagai kiblat ilmu pengetahuan yang sebetulnya tidak menghormati pengetahuan lokal leluhur kita. Bagi leluhur kita, semuanya adalah pengetahuan, tidak ada dikotomi tersebut. Hal ini menjadi penting bagi Indonesia. Bagus mengaitkan kondisi Indonesia dengan kondisi dan keresahan geopolitik hari ini. Kita tidak bisa tidak peduli dengan geopolitik, alasan pertama karena tidak ada absolut morality dalam panggung geopolitik, misalnya konsep seperti liberalisme yang jadi bagian retorika Amerika, akan pupus dengan nasionalisme, ketika isu yang sedang dibahas bertentangan langsung dengan interest nasional. Narasi kemudian yang dibangun, narasi menjadi lebih penting dibanding moral absolut. Semua negara kini perang narasi. Tanah air kita seperti opsimoron. Semua hal yang kini dicari oleh dunia, seperti panas bumi, energi, hasil bumi, logam berharga, ada di bawah kita. Tidak bisa tidak, semua mata dunia akan melihat Indonesia. Ada banyak alasan negara lain ikut campur dengan kita. Kini hadir isu lingkungan hidup yang menjadi dasar pertarungan geopolitik hari ini. Di tengah pertarungan tersebut, Indonesia harus punya narasi, namun tak bisa dibangun satu malam dan tidak bisa digagah-gagahkan narasinya, karena dunia akan melihat track record kita serta scientific foundation di bawahnya. Kita masih dibayang-bayangi dengan epistemic colonialism, dimana kita direduksi dan didoktrin terus menerus dengan hal-hal gaib. Jawaban akan hal tersebut, kita harus terus belajar, menggali kekayaan pengetahuan leluhur dan budaya itu, memeriksa basis scientific-nya. Bagus beranggapan, bahwa kita punya ide yang dapat ditawarkan ke mata dunia mengenai dasar perubahan konsep materialisme. Sebagai penutup pendapatnya, Bagus menyampaikan bahwa kita dapat membangun narasi baru dengan mengerti dan melihat Indonesia dari dirinya sendiri. Harus tahu darimana narasi itu berasal. Narasi harus berdasarkan science dan sebetulnya itu semua menjadi tanggung jawab individu.
Membangun Kedaulatan Etik dan Narasi Baru di Tengah Geopolitik dan Krisis Lingkungan
Hadi lanjut memoderasi diskusi dan memberikan kesempatan kepada Rocky Gerung dan membahas mengenai kedaulatan etik. Jamaah pun bersorak seraya meminta Rocky untuk berdiri saat hendak berbicara. Seperti biasa, Rocky memulai dengan energik dan mencoba melanjutkan dialektika malam itu, ia menyinggung soal “Apakah yang dapat membatalkan epistemic colonialism? Apakah dapat dibatalkan dengan ethical supremacy? Bukan!”. Menurutnya yang dapat membatalkan epistemic colonialism adalah curiosity. Itulah yang hilang dari bangsa ini.Ia pun memotret fenomena AI yang kita manfaatkan tanpa pengelolaan pertanyaan dialektis yang baik dan curiosity. Ia pun menyampaikan kritik terhadap mental dan mindset kita yang takut akan kegagalan, padahal ilmu pengetahuan tumbuh dan dibangun oleh rentetan kegagalan. Tema malam ini “Tanah Air Paradoks”, paradoks menurut Rocky bentuk singular dari Para-para Dogs. Jamaah tertawa lepas. Ia pun menggali betapa banyak paradoks di negeri ini, mulai dari kritik mengenai Kawasan Pantai Indah Kapuk dan kaitannya dengan tanah air dan kedaulatan nelayan. Budaya kita hari ini yang tidak ada lagi kritisisme, alasan, dan mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Betapa paradoksnya program makan siang bergizi untuk anak-anak, sementara gurunya kekurangan gizi dan isu pajak. Menurut Rocky, pajak adalah cara ‘Biadab’ untuk mempertahankan peradaban, memajaki oligarki adalah cara ‘Beradab’ untuk memperbaiki peradaban.
Rocky prihatin tentang kualitas kepemimpinan negeri hari ini. Paradoks lain menurut Rocky, saat kita berbicara tentang lingkungan, namun tiba-tiba kita datang dengan program Food Estate. Akan ada 20 juta hektar sawit, namun pemerintah akan menipu mayoritas rakyat kita yang tak lulus SMP dengan narasi tutup hijau yang sebetulnya adalah lapangan golf atau lahan sawit, tidak ada biodiversitas di situ. Bagaimana membatalkan hal-hal paradoks tersebut? Terkait perubahan global, tubuh biologis kita berubah menjadi tubuh teknologis. Apakah hal ini melanggar ethical supremacy yang dibasiskan oleh kepercayaan dan agama? Amat sangat mungkin status kemanusiaan kita akan semakin lenyap, usia manusia terlalu lama di bumi, manusia terlalu arogan. Arogansi manusia terlihat dari cara kita merusak bumi. Harus ada makhluk baru untuk mengurusi bumi, makhluk semi teknologi. Indonesia didesain untuk menjadi paru-paru dunia. Narasi tersebut yang seharusnya dieksplorasi dan disuarakan ke publik, bukan malah seperti Menteri Kehutanan yang seharusnya menjaga hutan, tapi justru membuka lahan-lahan baru untuk sawit. Jika bumi merusak dirinya sendiri, ia punya cara untuk memperlihatkan kontinuitasnya. Seperti keterkaitan Gurun Sahara dan Hutan Amazon yang saling berhubungan. Bumi yang dirusak manusia, tidak punya kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Lanjut dengan nada kritik, Rocky memotret Program Food Estate di Papua dan keterlibatan militer di sana. Ada kegelisahan di masyarakat mengenai kepemimpinan Prabowo hari ini yang memang akan terus pro rakyat atau tidak. Dari begitu banyak paradoks yang tiba di kita hari-hari ini, Rocky menyampaikan, kita harus memutuskan apa yang dapat memunculkan program baru sehingga ada Politic of Hopes. Ia merasa senang dengan ada gerakan anak muda yang datang dengan ide dan gagasan seperti potret yang disampaikan Bagus mengenai demografi Kenduri Cinta. Rocky pun menyampaikan hasil survei, dimana 75% anak muda di Amerika menyatakan dengan tegas, bahwa mereka tidak percaya lagi kapitalisme, berita baik untuk Indonesia. Indonesia dirancang sebagai republik yang basisnya adalah sosialisme, terlihat dari kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ada momentum di dunia yang mengarah pada posisi baru “anti-pertumbuhan” atau degrowth. Mestinya ide semacam ini menjadi mata kuliah dasar di semua universitas. Mudah-mudahan banyak yang tahu jika ada perkuliahan gratis di Taman Ismail Marzuki seperti malam ini. Dalam ketiadaan kurikulum negara, kita membuat kurikulum sendiri yang akan diasuh oleh Maiyah. Ke depan, Rocky tegas menyampaikan, kemungkinan crack akan terjadi karena peristiwa ekonomi, karena ketidaksejajaran kehidupan bernegara di antara warga negara. Memotret pentingnya sila kemanusiaan dibanding sila persatuan pada Pancasila. Ia menyampaikan, bahwa dunia mulai bergeser dan berubah dari ide persatuan ke human solidarity dan human security. Ide seperti ini hanya dapat diucapkan oleh forum semacam ini, bukan pada talkshow. Ia menyampaikan, bahwa kita dapat memperbesar gerakan Maiyah dan penyadaran lewat ide di ruang publik dengan spektrum sosial terdekat kita masing-masing. Sebagai penutup, Rocky menyampaikan bahwa dengan hadirnya kita disini untuk memastikan bahwa Republik ini tidak boleh berakhir, dan kita akan bertahan dengan peralatan pikiran, salam akal sehat!
Membangun Keseimbangan dalam Perubahan: Refleksi tentang Cinta Tanah Air, Kesehatan Pikiran, dan Tantangan Masa Depan Indonesia
Lebat hujan tak kunjung berhenti, Jamaah masih tak berubah, masih khusyuk menyimak. Fahmi kemudian mengambil alih forum dan lanjut memoderasi. Ia menyampaikan, adanya fenomena shifting demography, ketertarikan anak muda dengan ide dan gagasan hari ini termasuk di Kenduri Cinta. Fahmi menyambut Rocky atas persetujuannya tentang pentingnya rasa ingin tahu, seperti yang pernah Cak Nun sampaikan, bahwa murid yang baik adalah murid yang pandai bertanya. Fahmi menyampaikan, bahwa Forum Kenduri Cinta dilaksanakan secara konsisten. Mereka yang hadir hari ini, walau hujan, tidak memutuskan untuk pulang, namun tetap bertahan. Kenduri Cinta tidak pernah mengumumkan siapa yang akan hadir, namun Jamaah tetap hadir konsisten, ini juga adalah bagian dari kecintaan kita pada republik ini yang ke depan akan banyak sekali tantangan. Dengan argumen tersebut, ia bermaksud untuk mengantarkan Sabrang agar turut merespon dan menyampaikan pendapatnya. Sabrang menyambut dengan salam dan menyapa Jamaah. “Minimal, dengan hujan kita dapat mendapatkan kehangatan malam ini,” Sabrang menyambung diskusi di tengah guyuran air hujan yang tak kunjung reda. Sabrang menyampaikan pengalaman diskusi dan bercanda dengan Cak Nun, “Jika kita belum putus asa dengan Indonesia, maka kita belum paham Indonesia”. Maiyah sering mendapat banyak kritikan karena kita dianggap terlalu sering ngomong tanpa berbuat apapun. Ketika adanya shifting kepada ide dan gagasan, ini modal yang sangat penting. Sabrang menyampaikan analogi:

“Semua orang pergi ke hutan dan menggergaji pohon, namun siapa yang mengasah gergajinya terlebih dahulu, akan dapat memotong secara lebih efektif. Itulah yang kita lakukan di Maiyah”.
Sabrang menyampaikan fenomena yang terjadi di Jogja hari ini mengenai industri batik, dimana biaya produksi lokal lebih tinggi dibanding impor sehingga akan lebih menguntungkan jika langsung membeli. Di saat yang sama, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang bertindak sebagai pemberi modal juga dibeli oleh pengusaha luar negeri. Sehingga mereka melakukan aktivitas end to end dari permodalan sampai pemasaran dengan model seperti tadi. Ini sebetulnya mengancam. Begitu pun dalam hidup ini, banyak sekali paradoks. Forum seperti Kenduri Cinta selalu dianggap sebagai mata bias. Mereka yang setuju dengan perubahan, mereka akan sangat dukung dan sebaliknya. Padahal Maiyah menawarkan keseimbangan. Manusia punya pola dasar, orang dengan openness tinggi cenderung kreatif dan menyerap banyak ilmu, sehingga ia melihat banyak kesempatan. Ada juga yang mempunyai contingencies tinggi, yang dia lihat adalah resiko. Ada gas dan rem, Maiyah berlaku seperti itu. Sabrang mengatakan, ia menjadi paham mengapa Cak Nun membangun Maiyah selama 40 tahun. Semua aksi datang dari pemikiran dan idea. Jika kita tidak matang dengan itu, kita akan jadi alat orang lain. Kita menghadapi masalah ril untuk dihadapi dan diperjuangkan, namun itu semua jadi peluang untuk mengisi hidup dengan penuh makna. Kita perlu keseimbangan agar melangkah dengan tepat. Ketika berbicara Indonesia, kita harus tahu sekarang kita perlu gas atau nge-rem? Kita hari ini perlu nge-gas. Kita perlu perubahan. Jangan lihat ketika Maiyah mengkritik pemerintah, bukan berarti kita tidak cinta dengan Indonesia. Salah satu paradoks, Sabrang menguliti keputusan menteri yang menunggu perintah presiden, padahal harusnya berfokus pada kebaikan rakyat, sehingga resiko yang diambil dalam keputusan adalah untuk bangsa, bukan atas dasar perintah. Karena nyatanya, ia mengabdi sebagai pembantu presiden untuk rakyatnya. Paradoks lain, Sabrang mengutip Russell Ackoff, dimana universitas yang seharusnya berisi rasio ilmu dan ruang paling tinggi kepadatannya sebagai garda depan perubahan, namun faktanya menjadi yang paling lambat perubahannya. Sabrang menyebutkan, ada alasan perlambatan negara: struktur inersia (formal dan non-formal) yang begitu besar, sehingga perubahan jadi melambat dan naluri menjaga tradisi yang memperlambat perubahan. Sabrang juga menyampaikan pendapatnya mengenai Artificial Intelligence (AI). Kita butuh critical thinking dalam mengoperasikan AI, karena ia tools sebagai refleksi kita sendiri. Forum seperti ini membuat kita semakin banyak referensi, sehingga kita bisa memilih dan menentukan sesuatu serta paham resiko. Kita di sini menghargai pertumbuhan kita sendiri dan kita coba tunjukkan ke Indonesia, bahwa kita bisa makmur bersama. Kita berjuang untuk masa depan bangsa.
Mengungkap Paradoks Indonesia: Dari Pendidikan hingga Etika Bernegara
Malam makin larut, hujan pun tak kunjung mereda, Hadi kemudian mengambil alih diskusi dan bertanya kepada Jamaah, “Apakah masih sanggup untuk melanjutkan forum?” Jamaah dengan tanpa ragu menyampaikan “lanjut”. Hadi menyampaikan, bagaimana kita tidak optimis dengan Indonesia, jika orangnya seperti ini. Waktu menunjukkan pukul 12.10 WIB, diskusi dijeda dengan penampilan dari La Hila Band. La Hila Band melantunkan lagu “Atur Saja Tuhan” dan “Jodohkan Aku dengannya”. Jamaah terbawa suasana dengan musik dan vokal yang merdu, La Hila berhasil membawa Jamaah terhanyut dalam lirik. Beberapa terlihat haru ketika lagu pertama dimainkan. Hujan mulai sedikit reda, Jamaah yang berteduh di depan Teater Besar TIM mulai merapat ke tenda dan sumber suara musik. Saking menikmati senandung musik, Jamaah meminta La Hila Band untuk lanjut membawakan lagu lain. Mereka pun lanjut membawakan lagu “Kala Cinta Menggoda” dan “Bongkar” yang makin menghangatkan Kenduri Cinta edisi Januari ini. Saat La Hila Band selesai membawakan penampilannya, Hadi kemudian meminta Sabrang dan Pathub yang juga hadir di Kenduri Cinta malam itu untuk dapat menyumbangkan beberapa nomer lagu dari Letto. Hadi menyambut, “Kita beri tepuk tangan untuk Letto Setengah”. Jamaah berteriak, bernyanyi bersama “Ruang Rindu” dan “Permintaan Hati”. Suasana gembira tidaklah berlebihan untuk menggambarkan forum yang semakin lengkap, dimana semuanya dapat saling mengisi dan mengekspresikan diri.

Fahmi dan Hadi melanjutkan sesi setelah jeda. Sebelum memulai, Yai Tohar meminta Rocky Gerung dan Bagus Muljadi agar menyampaikan testimoni dan masukan atas buku karyanya. Rocky pun tak keberatan, diawali dengan menyebut “bismillah” yang makin memecah tawa Jamaah. Rocky menyampaikan, buku ini akan membuat semua orang mengerti dalam 10 menit, namun ada orang yang sudah 10 tahun tidak mengerti bahwa semua orang mengerti bahwa dia tidak mengerti. Tetap dengan nuansa kritik, Rocky menyampaikan testimoni. Disambut Bagus, “Berbahagialah untuk orang yang kecintaannya adalah ide”. Menurutnya, buku itu harus diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Fahmi menyampaikan, bahwa lagu tadi begitu bergelora. Memanjatkan doa semoga yang kehujanan besok tetap dalam keadaan sehat, sekaligus memberikan waktu ke forum jika ada yang ingin bertanya.
Satu Jamaah Perempuan, Risma mengacungkan tangan dan berpendapat, menggarisbawahi ketika membahas AI, yang harusnya menjadi cara kita mencari kebenaran yang absolut. Terlalu banyak sistem yang mematikan akal dan tertidur terlalu dalam, sehingga tak mengenal diri sendiri. Ia bertanya, “Apa metode yang paling membantu dalam gas dan rem ketika membahas individu dan kaitannya dengan keseimbangan diri dan keluarga? Kurikulum saja tidak bisa membantu kita menghadapi perubahan zaman. Mengapa hari ini banyak Mahasiswa yang tak bisa memilah dan mendekatkan akal mereka, sehingga mengerti bagaimana cara menyelamatkan bangsa ini? Karena banyak organisasi juga serasa mati. Dalam lingkup keluarga, bagaimana metode yang efektif dalam menerapkan pendidikan?”
Pertanyaan kedua diajukan oleh Erni, dia bertanya, “Di awal kita melihat paradoks tidak dengan hal negatif saja, namun juga dari sisi positif. Apakah perlu ada keberpihakan di dalam paradoks? Pertanyaan lainnya, berkaitan dengan pendapat Bagus, fundamental apa yang perlu kita siapkan untuk menghadapi paradoks di tanah air ini? Untuk Rocky Gerung, Erni bertanya, bahwa Rocky pernah berpendapat dalam forum Kenduri Cinta, kejujuran lahir dari qolbu, apakah landasan awal, apakah baiknya berlandaskan qalbu atau akal sehat kita?”
Penanya ketiga, Aldi dari Cikarang, ikut bertanya, “Berlandaskan pendapat Bagus mengenai narasi bernegara, apa saja nilai-nilai fundamental yang menjadi dasar bagi narasi baru Indonesia dan bagaimana nilai tersebut dapat diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari?”


Fahmi memberikan waktu kepada Bagus untuk merespons pertanyaan. Bagus menyampaikan, bahwa ia yakin Mahasiswa di Nottingham pun tidak akan bertanya sedalam itu. Bagus mencoba menjelaskan dengan pernyataan Kurt Gödel, bahwa manusia bisa akses kepada kebenaran, namun mesin dan matematika pun tidak bisa membuktikannya. Bagus menjelaskan lebih rinci dengan rumus matematika sebagai cara menurunkan kebenaran. Ada sesuatu yang bisa diakses manusia sebagai sesuatu yang mutlak benar, namun komputer tidak bisa menjelaskan kebenarannya. Manusia bisa berlogika dengan cara berbeda. Logika adalah kodifikasi cara Tuhan berpikir, Tuhan adalah yang paling logis. Terdapat 9 rumus logika dan tak dapat dibuktikan dengan prinsip yang lain. Kata logis berasal dari kata Yunani, yakni “Logos” yang berarti ucapan. Itulah prinsip dasar bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Kenapa bebas? Karena dia adalah percikan dari Tuhan sendiri. Hak berbicara turun langsung dari Tuhan. Locus dari hak dan kewajiban adalah individu dan ia bersifat resiprokal. Bagus menyampaikan, jika ia akan banyak fokus pada individu dan tidak membiasakan mengeksternalisasi tanggung jawab. Hak itu resiprokal dengan tanggung jawab. Sebelum kita berbicara tentang peran Indonesia di mata dunia dengan narasi hebat, harusnya kita fokus dan pertanyakan pada locus terkecil, yakni diri kita yang bertanya apa yang dapat kita lakukan. Narasi dijelmakan dalam kehidupan sehari-hari dengan bukti. Kita biasa membicarakan hal yang kolektif tapi murah harganya, karena tak ada individual responsibility, padahal dengan bertindak fokus pada diri sendiri itu akan berdampak pada keluarga bahkan negara. “So, start with yourself!” ujar Bagus menutup pendapatnya.
Rocky menimpali pendapat Bagus mengenai Kurt Gödel mengenai the theorem of incompleteness. Yang ingin dijawab dari pertanyaan tadi adalah soal unbreakable truth yang absolut atau undecidable truth yang belum bisa dipastikan, bahkan dalam logic yang disusun secara koheren ada bagian yang tak lengkap. Kita berinvestasi mengisi bagian yang tak lengkap itu dengan meminta bantuan langit yang bernama agama, sehingga terhubung. Sampai akhirnya margin of error kebenaran dapat menjadi nol. Ada bagian yang disebut reason dan passion, lebih dalam sering disebut dengan istilah roso. Apabila kita diperintah roso dan mengandalkan reason, maka kita bukan manusia. Apabila mengabaikan passion, maka kita akan kehilangan estetika. Sebetulnya ada super ego dalam diri kita yang ditanamkan dalam banyak hal yang kita kenal dengan ‘perintah moral’. Banyak orang berupaya mengkuantifikasikan perintah moral. Menjawab pertanyaan tentang AI, Rocky menyampaikan, jika dengan rasa ingin tahu lalu kita berdialektika dengan ChatGPT, maka ia akan semakin kaya dialektikanya. Ia menyampaikan optimismenya, kendati IQ Nasional 78, tetapi jika aktivitas KC yang dilakukan setiap bulan dengan target percakapan akademis, target pertukaran ide yang tajam maka kita dapat mem-bail out kekurangan IQ Nasional. Kita harus selalu dapat mengeksplor kemampuan kita untuk mempersoalkan. Di sini terjadi kekurangajaran etis demi memungkinkan surplus logika kita bisa menutupi kekurangan etika kita. Di negeri ini, seringkali etika diartikan sopan-santun. Sopan-santun itu sejenis fufufafa atau kedunguan. Jamaah pun terbawa tawa.
Setelah itu, Sabrang langsung menambahkan. Dalam hidup, kita bermain dalam peraturan yang berlapis, ada peraturan alam dan peraturan manusia yang akan terus berubah. Namun karena permainan yang dibuat manusia selalu di dalam hukum alam yang berlaku, ada garis merahnya, yang punya nama yang berbeda dalam permainan. Dalam peraturan permainan yang paling sederhana, terdapat fairness dalam permainan kehidupan, ada right dan wrong. Sabrang membedah Eigen Value atau prinsip utama untuk dapat melihat objektivitas permasalahan. Pemahaman ini membuat kita dapat memetakan satu hal masuk ke dalam permainan yang mana. Misal masuk ke dalam permainan human atau society. Cara berpikir seperti ini akan sulit diterima di Indonesia. Kemampuan memecahkan masalah harus dipupuk sejak dini. Jika kita mengharapkan kurikulum bisa mengikuti percepatan perkembangan dunia, maka kita tidak mampu. Maka, siapa yang cepat beradaptasi, maka dia akan akan di depan. Anak-anak malas sekolah karena tidak dilatih memecahkan masalah, namun memecahkan masalah yang diberikan kepada mereka. Sehingga sekolah tidak fun. Sabrang menyampaikan konsep sekolah dari Yai Tohar yang berfokus pada pemecahan masalah sendiri adalah contoh yang baik. Menyinggung AI, dapat sangat berguna jika kita tahu Eigen Value-nya.
Yai Tohar langsung menanggapi dan berpendapat:
“Ciri-ciri orang pintar adalah ia bisa membuat sesuatu yang rumit menjadi sederhana. Ciri-ciri orang dungu, merumit-rumitkan hal yang sudah jelas”.
Yai Tohar melempar kritiknya, permasalahan pendidikan kita dari PAUD sampai Perguruan Tinggi terjadi karena kita diminta untuk belajar dan menghafal sesuatu yang sudah jelas. Sabrang mengelaborasi pertanyaan yang disampaikan mengenai paradoks. “Prinsipnya, hidup tidak punya kewajiban apapun, hidup itu tentang konsekuensi,” ujar Sabrang. Setelah itu, Rocky menanggapi pertanyaan tentang lebih penting mana, qalbu atau akal sehat. Rocky menyampaikan, akan tergantung pada masalah mana yang kita hadapi. Apakah dapat diselesaikan di kepala atau di batin. Rocky berpesan kepada Jamaah:
“Beri kesempatan pada pikiran untuk merambah bidang yang berbahaya sekalipun. Toh, kita tahu bahwa ada batas yang diberi oleh alam semesta, yang ketika berbahaya, sensor-sensor psikologis kita mulai bekerja ”
Rocky berpijak pada filsafat Hegel, yang menyatakan bahwa segala sesuatu bermula dari lingkungan paling kecil, yakni keluarga. Di dalam keluarga, terdapat nilai-nilai bersama (share value) yang menjadi fondasi pembentukan negara. Namun, ketika negara terbentuk dan kehilangan identitas primernya sebagai negara, maka individu-individu di dalamnya berubah menjadi warga negara. Sebagai warga negara, idealnya individu harus bebas. Pemegang perintah di dalam negara adalah pemerintah. Sayangnya, pemerintah sering dianggap sebagai pemilik kekuasaan, bukan sekadar pengelola mandat. Prinsip ini tergerus karena tipe negara yang dikembangkan cenderung bersifat organik, bukan mekanik. Akibatnya, prinsip-prinsip negara sering kali diterapkan layaknya hubungan dalam keluarga. Rocky menyoroti bahwa “bapak negara” seharusnya tidak dipilih setiap lima tahun sekali. Hegemoni seperti ini terus tumbuh, terutama ketika status warga negara harus dilegitimasi secara hukum. Hal ini membuka potensi bahwa warga negara dapat dihukum oleh sistem yang dibuat. Padahal, dengan cara tersebut, kesederhanaan kita dalam bergaul sebagai manusia menjadi hilang. Ini adalah salah satu persoalan utama dalam etika bernegara. Rocky mengajak untuk memulai dari hal-hal mendasar. Sayangnya, sistem pendidikan kita bersifat feodal, sehingga kreativitas berpikir dan keindahan dalam pemikiran sering kali harus tunduk pada kurikulum yang dibuat oleh negara. “Kita ingin melakukan ‘hal-hal yang tak terpikirkan’ (do the unthinkable). Inilah yang memungkinkan kita bercakap-cakap di sini,” ujar Rocky. Ia pun menutup pendapatnya dengan pernyataan tajam, “Yang membuat negeri ini dungu adalah survei dan talkshow.” Jamaah pun menyambut dengan tawa.

Pencarian Kebenaran dan Refleksi Kolektif
Diskusi dilanjutkan, Jamaah diberikan kesempatan untuk bertanya. Hadi sebagai moderator kembali memberi kesempatan kepada Jamaah. Seorang Jamaah perempuan dari Purwakarta kemudian bertanya. Ia mencoba menjelaskan poster Kenduri Cinta Januari dengan kondisi Purwakarta hari ini. Ia bercerita, jika ia bekerja di salah satu instansi pemerintahan. “Sekarang banyak ASN di angkatannya itu pemberontak,” ia berujar. Bertanya kepada Rocky yang sempat menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tumbuh dari rentetan kesalahan, “Butuh berapa banyak lagi kesalahan yang harus diperbuat pejabat kita agar mendapat ilmu pengetahuan bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja?” Untuk Sabrang, “Seberapa frustasi Mas Sabrang melihat kondisi Indonesia saat ini? Apa yang dapat kita lakukan selain melatih pemikiran kita?” Untuk Bagus, “Sebelumnya dijelaskan adanya dikotomi science dan kepercayaan, bagaimana cara kita menghadapi fenomena itu di masyarakat kita, dimana orang-orang pintar tidak lebih didengar daripada orang popular?” Terakhir pertanyaan untuk Yai Tohar, “Sebagai tokoh senior yang sudah lama hidup di negara ini, bagaimana pendapat Yai terhadap 100 hari kinerja pemerintahan ini?”
Penanya terakhir, Yoga dari Kebagusan, menanggapi pernyataan pembicara mengenai environmental ethics. Adanya paradoks bahwa industri minyak hari ini berlomba untuk juga dapat menginjeksi karbon karena isu lingkungan. “Mengapa misi environmental ethics tidak diberikan ke kita-kita ini, justru ke industri yang ujungnya komersil?”
Fahmi melanjutkan diskusi, memberikan kesempatan kepada Yai Tohar. Beliau kemudian merespon, “Saya kan saking frustasinya, jadi ngapain saya mikirin Prabowo?” Yai Tohar menyampaikan, bahwa saat ini beliau tidak lagi ingin memikirkan Indonesia, cukup memikirkan Maiyah. “Saya seperti Petani, pengetahuan saya sebatas tanah yang saya miliki,” ujar Yai Tohar melanjutkan. Menurut beliau, ada dua aliran perubahan: progres dan perubahan relasi. Contohnya, “Kemiskinan itu adalah masalah atau akibat?” tanya Yai Tohar kepada Jamaah. Hal ini akan berpengaruh pada cara kita berlaku dan memecahkannya. Contoh lain, money politic itu adalah akibat dari perpolitikan kita seperti ini. “Dulu ketika usia 20-an, beliau seakan dapat ‘mengecat langit’, namun di usia hari ini, kok malah sampai saat ini tidak berbuat apa-apa,” ungkap beliau. Yai Tohar berpesan, bahwa Maiyah pada akhirnya adalah tentang keluarga. Beliau berpandangan, bahwa beliau fokus pada apa yang dekat dengan dirinya.
Diskusi berlanjut, Fahmi menanggapi mengenai 100 hari pemerintahan Prabowo, bahwa itu juga akan sesat logic, apakah nanti setelah itu kita terus akan evaluasi atau tidak. Fahmi meminta Bagus untuk menjawab pertanyaan Jamaah. Bagus menjawab, “Winston Churchill pernah berkata, bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk. Namun lebih baik dari yang pernah dicoba dan akan dicoba,” tegasnya. Untuk melihat buruknya demokrasi cukup bertanya pada pemilih rata-rata. Demokrasi akan sebagus sistem pendidikan yang mendukungnya. Jika orang tidak tahu uang dalam praktik money politic itu berasal dari mana, maka siapapun yang menjanjikan subsidi akan dipilih. Bagus menegaskan:
“Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri, harus ditopang oleh open society. Jika tidak, maka hanya akan ada populisme. Yang kita inginkan, pluralisme dalam berpikir”.
Open society artinya orang bebas mengemukakan pendapat, mendialektikannya, dan menyuarakannya tanpa takut dipersekusi. Yang penting dari open society adalah institusi yang membuat ide atau pemikiran, universitas contohnya. Jika yang terjadi popularitas jadi mata uang politik, maka pasti ada yang salah. Kebohongan enam kali lebih cepat penyebarannya dibandingkan kebenaran. KIta perlu memerangi kebodohan, karena lebih banyak orang meninggal karena kebodohan bukan karena kejahatan. Jika kita lihat media sosial kita hari ini diisi oleh sampah, harusnya kita malu. Negara sedang tidak baik-baik saja. Hal ini termanifestasi dari cara pemerintah mengajak untuk meng-endorse kebijakan. Apakah yang diajak adalah pemikir, artis, atau pelawak? Menjadi refleksi bersama. Namun Bagus menyampaikan, bahwa ada yang indah di sini, ia melihat jam yang menunjukkan pukul 2 pagi. Ia melihat bahwa di Kenduri Cinta, ia melihat hopes. Menjawab pertanyaan mengenai lingkungan, target nett zero kita 2060, dan itu tak masuk akal. Siapa yang akan peduli dengan lingkungan hidup? Sedangkan sebagian besar orang indonesia masih peduli dengan apa yang akan ditaruh di meja besok. Sehingga pemimpin bukan hanya narasi yang diperlukan, tapi butuh kecanggihan membuat narasi, sehingga bisa menerjemahkannya ke lowest pyramid of needs yang akan menjawab permasalahan primer kita. Bagus menyatakan, “Bencilah kebodohan!”

Rocky dengan sigap langsung menanggapi pertanyaan-pertanyaan. Rocky bercerita mengenai pembangunan energi hijau di Kalimantan yang tidak paham konsep emisi. Tak lupa ia bercerita, bagaimana ASN kita terpaku pada the black letter of regulation. Rocky menyatakan, bahwa kondisi ini akan berat karena berkaitan dengan kelegaan berpikir terbuka. Ia lanjut bercerita perjalanannya di Jambi, dimana karena alasan regulasi, permasalahan penggantian gayung di sebuah kamar mandi umum (MCK), hanya dapat diganti dengan menunggu turunnya APBD. Ia juga mengkritik universitas, mengenai perubahan kurikulum yang hanya dapat diubah dalam 5 tahun, padahal ilmu pengetahuan berkembang begitu cepat, selalu berubah dalam rentang waktu tiap 8 jam. Rocky menyampaikan esensi buku “The Structure of Scientific Revolution”. Jika terdapat anomali di ilmu teknis atau normal science, maka paradigmanya berubah. Makin lama, anomalinya begitu cepat. Jadi tidak mungkin kita dapat bersaing secara cepat dengan China, contohnya ialah dengan kondisi sekarang ini. Kebakaran Smelter Freeport, kebijakan ekspor bahan mentah, dan kritisisme yang penting untuk kita miliki, menjadi topik yang tak luput dari bahasan Rocky. Kembali ke persoalan demokrasi, di benak dan pengetahuan kita, demokrasi sering kali adalah soal pemilu, soal lima tahunan. Padahal, demokrasi adalah ide tentang percakapan warga negara tiap hari. Kita dibuai seolah-olah demokrasi adalah pesta lima tahunan. Jika kita produksi demokrasi dengan bentuk yang sempurna, tidak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antar warga negara, karena setiap orang dapat memberi dalil. Demokrasi mengandalkan argumentative society. Ia pun lanjut mengkritik mengenai pemilihan Rektor Universitas yang di dalam prosesnya tidak betul-betul punya niat kompetisi dan benar-benar bertindak sebagai Rektor untuk kemajuan, tapi hanya untuk jabatan. Kita dalam bahaya karena gugup berpikir radikal. Kita ingin kembali dan memulai lagi, bahwa demokrasi juga adalah habit of the heart yang di dalamnya adalah percakapan. Ia kembali menekankan definisi democracy is the government of reason through government by the people.

“Demokrasi bukan dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan pemerintahan akal melalui pemerintahan orang. Itulah demokrasi.”
Kita harus filter pemimpin kita nanti dari sekarang, agar bukan hanya elektabilitas yang diunggulkan pertama kali, tapi etikatabilitas dan intelektualitasnya. Harus ada uji ketiga hal tersebut. Sebagai penutup, dengan gaya khasnya ia berkata, “Kita ingin buat kurikulum baru yang memungkinkan semua orang menulis mata kuliahnya sendiri,” tegasnya.
Sabrang kemudian menanggapi semua isi diskusi malam itu. Permainan tentang Indonesia bukanlah permainan paling fundamen. Sebelum jadi Indonesia, kita adalah manusia. Bahwa jika peduli Indonesia, maka kita cinta Indonesia. “Kita sering salah dipahami, padahal kita berkumpul di sini karena kita cinta Indonesia, walaupun kita punya pilihan untuk tidak peduli”.Sabrang menutup bahwa tanggungan utama kita adalah Tuhan. Dalam semua permainan akan ada menang, kalah, ada berhasil, ada tidak, tapi jika kita sungguh-sungguh sebagai manusia, kita dapat menghadap balik ke hadapan Tuhan dengan gagah. ”Tuhan, kita tidak menyia-nyiakan hidup, kita masuk dalam permainan, berhasil atau gagal, tapi saya mati dengan tersenyum dan berani bertanggung jawab di hadapan-Mu”.Sabrang memberikan waktu kepada moderator dan mengingatkan bahwa tidak ada kebencian di forum, karena pada dasarnya kita cinta Indonesia.


Pukul 02.21 WIB diskusi selesai. Kenduri Cinta Januari 2025 ditutup dengan Indal Qiyam dan Shohibu Baiti seperti biasa. Pada wajah yang datang di malam itu, terpancar wajah kesungguhan seolah menegaskan bahwa kebersamaan lewat sinau bareng menjadi hal yang akan selalu dirindukan. Perjumpaan akan selalu ditutup dengan perpisahan. Doa yang dipimpin Hadi jadi penutup harapan seluruh Jamaah malam itu–yang tentu datang dengan banyak permasalahan hidupnya masing-masing. Mungkin membawa beban dan tantangan masing-masing, namun di Kenduri Cinta semua seolah dibasuh oleh kejernihan pikiran dan hati. Esoknya, semua kembali pada rutinitas masing-masing. Kembali pada hari-hari biasa. Semoga pertemuan pada edisi Kenduri Cinta ke-252 ini memberikan banyak manfaat. Hujan reda tepat setelah forum selesai. Penggiat bergotong-royong membereskan alas terpal dan panggung. Suasana TIM jadi begitu syahdu, mengisyaratkan salam dan selamat merindu untuk pertemuan berikutnya. Seperti biasa, akan ada banyak momen yang luput dari reportase, akan ada banyak kutipan yang tertinggal dalam catatan–yang hanya akan kita dapati langsung di dalam Forum Kenduri Cinta. Demikian Reportase Kenduri Cinta Januari 2025.
(Red KC/Ansa)