Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Segala yang Pergi, Segala yang Tinggal

Mukhammad Rizal by Mukhammad Rizal
July 7, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Segala yang Pergi, Segala yang Tinggal

ADA SATU momen di pagi hari yang selalu membuatku terdiam lebih lama daripada seharusnya. Saat teh mengepul, saat suara ayam tetangga terdengar jauh, saat jendela belum sepenuhnya dibuka. Momen itu seperti jeda rahasia antara dunia yang riuh dan batin yang diam-diam mendamba sesuatu yang tak bisa disebut.

Aku sering berpikir, manusia barangkali diciptakan bukan untuk selalu menang, melainkan untuk terus merasakan kehilangan demi kehilangan. Kita dilahirkan sambil melepaskan—sejak kita keluar dari rahim ibu, kita sudah belajar berpisah. Lalu sepanjang hidup, kita terus-menerus melepas: melepas waktu, melepas orang-orang yang dulu begitu kita genggam, melepas mimpi yang gagal tumbuh, melepas versi diri yang tak lagi sesuai.

Ada orang-orang yang singgah, meninggalkan tawa di ruang tamu ingatan kita. Ada pula yang datang hanya untuk menguji seberapa jauh kita bisa berdamai dengan patah. Sisanya, kita simpan dalam folder-folder kenangan yang jarang kita buka, takut kangen tiba-tiba menetes sebagai air mata di pipi yang pura-pura tegar.

Dulu, aku selalu berpikir bahwa hidup itu tentang menuntut. Kita minta segalanya sesuai rencana: cinta yang tak berkhianat, persahabatan yang setia, karier yang melesat naik tanpa jatuh. Tapi perlahan aku sadar, semua tuntutan itu cuma cara kita menghindari satu kenyataan paling sederhana: kita ini rentan, dan justru di sanalah keindahan kita.

Ada satu siang, aku duduk di warung tua pinggir jalan, sendirian. Pemilik warung menyajikan teh panas tanpa gula. di meja lain, seorang bapak tua menatap rokoknya yang tinggal separuh, seolah di situ seluruh cerita hidupnya tertinggal. Aku memperhatikan bagaimana asap rokok itu naik ke langit, hilang tanpa pamit. Mungkin seperti itulah perasaan manusia yang terus berharap pada sesuatu di luar kendali.

Aku teringat pada percakapan dengan seorang teman lama, yang bertanya, “Kenapa kamu kelihatan selalu tenang? Bukankah kamu juga punya banyak masalah?” Aku hanya menatap cangkir, sambil tertawa pelan. Karena apa yang harus dijawab? Semua orang punya beban, tapi tak semua orang mengundang dunia untuk ikut menanggungnya. Ada luka yang lebih baik dirawat dalam diam, agar tak jadi tontonan yang sia-sia.

Tenang bukan berarti tanpa badai. Tenang itu saat kita sadar, apa pun yang kita genggam, pada akhirnya akan lepas juga. Bukan karena semesta kejam, melainkan karena kita diciptakan untuk belajar melepaskan. Seperti daun yang jatuh di halaman, ia tak pernah protes pada angin. Ia hanya jatuh, perlahan, lalu diterima tanah dengan sabar.

Aku tidak bilang kita harus selalu pasrah. Bukan. Ada kalanya kita harus marah, menangis, menuntut jawaban. Tapi setelah itu, akan tiba satu titik di mana kita harus duduk, diam, dan menerima. Kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada di dalam diri. Kita tak pernah punya kuasa penuh atas orang lain, cuaca, nasib, bahkan tubuh kita sendiri.

Ada malam-malam di mana aku terjaga, memikirkan orang-orang yang dulu pernah begitu dekat, tapi kini hanya muncul sebagai nama samar di kontak telepon. Ada malam-malam di mana aku rindu diriku yang dulu—naif, penuh harap, mudah percaya pada janji. Tapi semakin lama, aku mulai paham: semua itu bukan untuk disesali, melainkan untuk disyukuri. Dengan segala yang pergi, kita dipaksa bertumbuh. Dengan segala yang tinggal, kita diingatkan untuk merawat.

Aku pun belajar memelihara kesunyian. Tak semua hal perlu diumumkan, tak semua luka perlu dipamerkan, tak semua cinta perlu dimenangkan. Kadang, hanya dengan duduk dan mendengar napas sendiri, kita menemukan ruang terdalam yang sering kita abaikan.

Ada yang bilang, orang-orang seperti aku ini terlalu dingin. Tapi bagiku, diam bukan dingin, diam adalah cara paling jujur untuk mengakrabi diri. Dalam diam, kita tak butuh penonton, tak butuh pengakuan. Kita hanya butuh kesetiaan pada napas yang naik-turun, pada detak yang masih mau menua bersama kita.

Beberapa orang mencari makna dengan menaklukkan gunung tertinggi atau menyelami laut terdalam. Aku, cukup dengan mendengar bunyi detik jam di dinding saat malam terlalu sunyi. Kadang aku berpikir, kita sibuk sekali mencari jawaban di luar, padahal pertanyaan terpenting justru bersembunyi di dalam.

Di warung tua itu, sebelum aku pulang, si bapak tua tadi menepuk bahuku. Katanya, “Jangan lupa semua yang pergi hanya sedang pulang ke asal.” Aku hanya mengangguk. Dalam hati, aku ingin bilang, “Ya, aku tahu. Karena sebetulnya, kita semua juga sedang pulang. Ke mana? Entah. Tapi kita semua menuju satu keheningan yang sama.”

Setiap kehilangan yang kita alami hari ini adalah latihan. Latihan untuk tidak menggantungkan bahagia pada apa pun yang fana. Latihan untuk tetap berjalan meski tak lagi ditemani. Latihan untuk percaya bahwa hari ini, sekecil apa pun langkah kita, tetap bernilai.

Aku menulis ini bukan untuk mengajari siapa pun. Siapa yang bisa mengajari tentang hidup, kalau masing-masing kita punya medan perang sendiri? Aku hanya ingin menemani, seperti duduk di sampingmu sambil minum teh panas tanpa gula. Kita boleh saling diam, saling merasakan, tanpa perlu saling menyembuhkan.

Malam nanti, jika kamu terjaga dan merasa sepi, cobalah dengar bunyi detak jantungmu. Itu adalah bukti bahwa kamu masih di sini, masih punya kesempatan. Kesempatan untuk marah, untuk memaafkan, untuk tertawa, untuk menangis, untuk jatuh cinta lagi, untuk patah lagi, untuk bangkit lagi.

Kalau besok pagi kau bangun, jangan lupa menyapa dirimu di cermin. Ucapkan selamat pagi pada segala yang telah pergi, dan segala yang masih tinggal. Peluk dirimu yang rapuh, dan katakan: “Terima kasih sudah bertahan.” Di balik semua riuh doa, tawa, rencana, dan perpisahan, kita semua hanya sedang belajar satu hal: bagaimana mencintai apa yang tersisa, sambil perlahan melepas apa yang tak bisa lagi kita genggam.

Maka mari berjalan, perlahan. Tanpa beban harus selalu utuh. Tanpa janji akan selalu lengkap. Cukup berjalan, cukup bernapas, cukup hadir, karena itu sudah lebih dari cukup.

SendTweetShare
Previous Post

Ada Kenduri Cinta di Mata Bapak

Next Post

Mukadimah: Jihadul Hijriyah

Mukhammad Rizal

Mukhammad Rizal

Related Posts

Who Wants to be a Mediocre?
Esensia

Who Wants to be a Mediocre?

July 14, 2025
Wewaler: Rezeki Dipatuk Ayam
Esensia

Wewaler: Rezeki Dipatuk Ayam

July 13, 2025
Ada Kenduri Cinta di Mata Bapak
Esensia

Ada Kenduri Cinta di Mata Bapak

July 6, 2025
Dari Patah Hati Menuju Samudra Cinta
Esensia

Dari Patah Hati Menuju Samudra Cinta

July 5, 2025
Alam: Objek Eksploitasi atau Subjek Kehidupan?
Esensia

Alam: Objek Eksploitasi atau Subjek Kehidupan?

July 3, 2025
Dunia adalah Bagian dari Desa Saya
Esensia

Dunia adalah Bagian dari Desa Saya

July 1, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta