Nilai Nilai Cak Nun pada model Simon Sinek
Transisi teknologi yang cepat hari ini menggambarkan sebuah kondisi bahwa kita mencicipi nikmat Allah yang luas dan besar. Akan tetapi tatanan hidup zaman ini selain cepat juga sangat siklikal mengenai arah dan tujuan. Cepat, viral instan, dan sukses dalam format ringkas adalah tuntutan materialistis yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam gemuruh perubahan dan transformasi teknologi, kita sering lupa memberi jeda sejenak dan bertanya, “Sebenarnya arti semua ini apa?”. Apa yang kita lakukan dalam hingar-bingar ini? Apakah kita merawat nilai, mengedepankan pencapaian-pencapaian, atau pada dimensi lain kita bergegas membelakangi tugas kita; sebagai pewaris nabi, menjaga iman tetap kepada Allah?
Album Shohibu Baity, menjadi momentum ketika arah hingar-bingar dunia itu dikendalikan dalam dunia, ‘Allah menjadi Tuan Rumahku’ menjadi landasan dasar bahwa nilai-nilai yang dipegang akan digenggam sebagai bahan bakar hidup. Ketika sistem kehidupan kita makin bising, penting bagi kita untuk kembali ke dalam—bukan sekadar diam, tetapi menata ulang kesadaran, dan merajut ulang nilai. Sebab hanya dengan nilai yang dirawat, hidup bisa kembali punya makna. Jangan sampai kita menuju kehidupan yang kering dan gersang—yang kehilangan kelembutan ruhani, nilai-nilai luhur, dan kedalaman kemanusiaan yang sebenarnya. Relevansi pemikiran dan praktik Cak Nun menjadi penting; karena beliau menempatkan nilai sebagai fondasi peradaban—bukan sebagai wacana normatif, melainkan sebagai energi hidup yang harus dijaga dan dihidupi.
Cak Nun dan Kenduri Cinta, melalui ratusan pertemuan Maiyah selama lebih dari dua dekade, telah merawat suatu tradisi kultural yang tak hanya unik, tetapi sangat esensial bagi ekosistem nilai-nilai itu sendiri: keteladanan akan sesuatu yang dipegang teguh, yaitu Allah sebagai garansi.
Kenduri Cinta bukan sekadar forum diskusi atau ruang pengajian—ia adalah ruang bernaung batin, tempat manusia menjadi manusia tanpa syarat. Tidak penting siapa kamu, apa pekerjaanmu, berapa saldo rekeningmu, atau dari golongan mana kamu berasal—yang penting adalah apakah kamu hadir dengan niat baik, bersedia belajar, dan siap menyimak orang lain dengan kasih.
Di tengah era yang memisahkan manusia berdasarkan kelas, profesi, dan gelar, Kenduri Cinta seolah olah hadir dengan kesetaraan ontologis: bahwa setiap manusia layak dihargai karena keberadaannya, bukan karena perannya. Tak ada kursi VIP, tak ada panggung yang menjauhkan—semuanya duduk lesehan dalam lingkaran yang menyetarakan tubuh dan hati.
Nilai yang dibangun Kenduri Cinta bukanlah teori atau slogan, melainkan kondisi yang hadir setiap hari dengan mengedepankan spiritualitas sebagai acuan pandang. Nilai yang terkadang dalam diam-diam mendoakan seseorang yang bahkan tak tahu namanya. Ini bukan romantisme spiritual, tetapi realisme kultural Indonesia—warisan tak tertulis yang tak banyak mendapat tempat di kurikulum atau kebijakan, tapi hidup di antara rakyat yang masih punya hati. Ribuan jamaah Maiyah menjalani itu setiap malam, dalam ruang-ruang sunyi yang tidak disorot media. Maka, saya sangat paham dan maklum ketika Harvard merilis laporan tahun 2024 yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia, bukan karena penghasilan per kapita, melainkan karena kualitas hubungan sosial, spiritualitas, dan syukur yang tinggi.
Dengan kata lain, Indonesia bukan bahagia karena kaya, tetapi karena memelihara nilai-nilai yang tak bisa dibeli: toleransi, kesederhanaan, rasa cukup, dan kesetaraan spiritual. Semua ini berakar kuat dalam tradisi budaya dan spiritualitas rakyat. Cak Nun, melalui Maiyah Kenduri Cinta, adalah penjaga akar itu—agar tidak tercabut oleh gelombang globalisasi yang menyeragamkan dan menekan. Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi strategi kultural jangka panjang: memperkuat sistem kekebalan kolektif bangsa, bukan dari virus, tapi dari krisis makna yang pelan-pelan menggerogoti banyak bangsa lain di dunia.
Di sisi lain, dunia bisnis dan ekonomi global saat ini mencoba merumuskan ulang arah. Muncul banyak pemikiran baru yang mencoba menggeser orientasi dari sekadar profitability menuju purpose. Salah satunya datang dari Simon Sinek, pemikir kepemimpinan dan bisnis yang memperkenalkan rumus:
S = (V > P) * C
Revenue hanya akan terjadi jika Value (nilai) lebih besar dari Price (harga), dan dikomunikasikan secara tepat (Communication).
Rumus ini bukan hanya formula pemasaran, tetapi juga bisa dibaca sebagai rumus moral dan spiritual. Sinek mengajak kita untuk memulai segala sesuatu dengan pertanyaan ‘mengapa’, bukan hanya ‘apa’ atau ‘berapa’. Ia menyiratkan bahwa orang membeli bukan karena murah, tetapi karena mereka merasakan makna. Produk dan jasa menjadi saluran nilai, bukan sekadar alat transaksi.
Jika diterapkan dalam konteks Indonesia, maka Maiyah Kenduri Cinta sudah lama menjalani prinsip ini: memberi tanpa berharap kembali, berbagi bukan demi branding, dan menyambungkan manusia bukan demi reputasi. Di Maiyah, “penjualan makna” berlangsung tanpa iklan, tanpa target, tapi tetap bertumbuh karena nilai yang ditawarkan melebihi harga yang dikenakan—karena tidak ada harga. Gratis, tapi tak murahan.
Nilai seperti ini tidak lahir dari teori atau slide presentasi. Ia lahir dari nglakoni—proses panjang jatuh, luka, pengampunan, bangkit, dan memilih hadir kembali. Cak Nun menyebutnya sebagai perjalanan batin yang mengasah manusia agar tidak hanya tahu, tapi mengerti. Maka value yang dimaksud di sini bukanlah nilai komoditas atau strategi merek, tetapi nilai yang mengakar dalam jiwa dan menyebar dalam tindakan. Ini nilai yang membuat seseorang tetap menyapa meski lelah, tetap berbagi meski sempit, tetap hadir meski tak dianggap.