KENDURI CINTA EDISI JULI 2025 menjadi forum perdana bagi penggiat dan jamaah Kenduri Cinta memasuki seperempat abad kedua dari perjalanan cinta merajut makna menuju Indonesia mulia. Momentum ini bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1447 Hijriah, sekaligus terjadi di tengah memanasnya perang Iran dan Israel—yang merupakan eskalasi konflik antarnegara di Timur Tengah dengan semua proksi yang terlibat di dalamnya.
Peristiwa perang dan bulan Muharram tentu bisa diasosiasikan dengan banyak hal. Namun, yang paling menarik bisa kita lihat dari dua narasi, yaitu jihad di satu sisi, dan hijrah di sisi yang lain.
Meskipun jihad kerap kali dimaknai secara peyoratif dalam konteks perang dan kekerasan, kali ini kita ambil makna yang lebih umum sebagai sebuah kesungguhan. Demikian pula dengan hijrah yang lazim dipahami sebagai perpindahan fisik; kali ini kita fokuskan pada proses transformasi (perubahan yang mencakup bentuk, sifat, dan fungsi) yang lebih luas dan substansial.
Dengan demikian, Jihadul Hijriyah bisa kita definisikan sebagai sebuah upaya sungguh-sungguh untuk melakukan transformasi kehidupan. Kenduri Cinta sudah, sedang, dan akan terus berada pada frekuensi itu.
Di dalam frekuensi Jihadul Hijriyah, Kenduri Cinta telah mentransformasikan dirinya menjadi entitas yang memiliki pakem spiritualnya sendiri, tanpa merendahkan yang lain. Kenduri Cinta adalah forum yang menghormati keragaman sosio-kultural jamaahnya tanpa meninggi-ninggikannya. Kenduri Cinta adalah komunitas yang mengusung sekaligus melatih tradisi intelektual dari imajinasi kolektif ke-Indonesiaannya sendiri, bukan dengan jargon NKRI Harga Mati, tetapi dengan ruh ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’ (berdasarkan salah satu tesis Cak Nun yang dirintis sejak akhir 1970an).
Dari sini, apa yang bisa ditawarkan dari Kenduri Cinta untuk merespons dua narasi faktual besar hari ini: Jihad dan Hijrah, untuk jamaahnya, untuk Indonesia, atau bahkan untuk dunia?
Sebelum masuk ke sana, perlu diingat bahwa keduanya saling berkaitan: baik aspek ideologis dan praktisnya maupun dimensi makro dan mikro.
Secara ideologis, jihad memang tidak bisa dilepaskan dari konteks perang melawan kezaliman, penindasan, dan invasi musuh demi mempertahankan martabat dan kedaulatan. Dalam sejarah, Rasulullah Muhammad SAW, terdapat 27 kali peperangan langsung dipimpin oleh beliau (ghozwah), maupun puluhan peperangan lain dipimpin oleh para sahabat (sariyyah). Semua itu masih dianggap sebagai jihadul ashghar (jihad kecil). Beliau menegaskan bahwa jihadul akbar (jihad terbesar) bukanlah jihad di medan Perang Tabuk, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar, Perang Fathul Makkah, atau bahkan yang paling dahsyat Perang Badar, melainkan Jihadun nafs (jihad melawan musuh di dalam diri sendiri).
Secara praktis, pengertian jihadun nafs selama ini juga sering kali dibatasi hanya pada upaya mengendalikan hawa nafsu pribadi yang seolah terlepas dari konteks sosial, politik, budaya, bahkan geopolitik yang secara langsung maupun tidak langsung berimbas pada kondisi mental, spiritual, dan emosional kita sehari-hari.
Padahal, secara konkret misalnya, dampak perang Iran dan Israel terhadap kesehatan mental kita sangat nyata, misalnya karena adanya inflasi disinformasi dan hoax di media sosial yang menyesatkan. Dampak terhadap kesehatan finansial kita juga terasa, misalnya karena kenaikan harga BBM, anjloknya pasar saham, menurunnya kuota ekspor, lesunya perekonomian besar hingga UMKM, dan turunnya pertumbuhan ekonomi yang memperparah kondisi kemiskinan dan pengangguran.
Dampak terhadap kesehatan sosial pun terlihat karena kita mudah sekali terseret arus polarisasi dan pertengkaran antarkubu yang hanya berbasis sentimen pribadi, tanpa kesungguhan untuk meneliti dan memahami dengan penuh kalkulasi. Bahkan dampak terhadap kesehatan spiritual kita juga terjadi karena terganggunya kekhusyukan berjamaah untuk bermesraan dengan Allah dan berkenduri melantunkan sholawat Nabi.
Di sinilah pentingnya memaknai kembali spirit hijrah yang lebih substansial untuk memahami dialektika jihadul akbar dan jihadul ashghar dalam hidup kita.
Titik pangkalnya ada pada kesadaran ruang dan waktu. Tidakkah kita renungkan bahwa basis penanggalan Hijriah adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad, bukan momentum kelahiran atau wafatnya beliau? Ini anomali, jika bercermin dari mayoritas komunitas agama atau kepercayaan lain yang menetapkan titik awal kalender mereka dengan rujukan hari kelahiran atau kematian sang tokoh utama agama atau kelompok kepercayaan tersebut. Artinya, dimensi perpindahan ruang dan pergeseran waktu bukan didikte oleh ketokohan atau dibutakan oleh taqlid-kultus pribadi. Namun harus selaras dengan mindset hijrah, etos transformasi, dan orientasi pergerakan menuju hal-hal yang lebih baik.
Dalam konteks perang jihad yang diteladankan Kanjeng Nabi, hijrah menjadi salah satu metode atau strateginya. Perpindahan beliau dari Mekah ke Yatsrib adalah strategi rasional ketika kondisi beliau dan para sahabat mengalami himpitan di ruang terbatas bernama minoritas, intimidasi, ancaman, dan teror. Andaikan pilihan yang diambil waktu itu adalah bertahan dan nrimo, barangkali end game-nya adalah mati konyol dan narasi jihad tak akan pernah kita kenal hingga hari ini. Bukankah strategi perang gerilya yang dijalankan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman juga mengacu pada spirit hijrah tersebut?
Selemah apa pun, baik secara jumlah maupun kekuatan menghadapi musuh, menyingkir sementara untuk mengumpulkan kekuatan, menyusun strategi, menghimpun logistik, menguatkan mental, membangkitkan semangat perlawanan kelompok, serta menentukan taktik serangan balik adalah hal paling logis yang bisa dilakukan siapa pun dan di mana pun dalam kondisi peperangan.
Inilah yang dilakukan Kanjeng Nabi dengan hijrahnya untuk mentransformasikan Yatsrib menjadi Madinah. Hal serupa juga yang dilakukan para pahlawan kemerdekaan Indonesia untuk menyatukan kelompok-kelompok kecil kedaerahan Nusantara menjadi Indonesia, termasuk mungkin yang dilakukan para aktivis Revolusi Iran untuk mengubah monarki menjadi Republik Islam Iran, dan banyak lagi fenomena serupa di banyak penjuru bumi dengan pola yang sama.
Narasi jihad dengan konteks perang dengan hijrah sebagai strateginya, bisa kita manifestasikan dalam kehidupan pribadi sehari-hari.
Hari ini, kehidupan pribadi kita sangat terhimpit ketidakmengertian atas segala sesuatu yang viral, yang kita baca, lihat, dengar, dan konsumsi setiap hari. Siapa dan apa yang benar menjadi sangat relatif dan kabur, bahkan secara sengaja, sistematis, dan terstruktur didesain sedemikian rupa sehingga menjadi lebih kabur untuk sebuah agenda yang semua orang mengejarnya: keuntungan. Perihal baik dan buruk bahkan sudah susah sekali kita temukan teladan hidupnya—teladan yang tidak hanya kontekstual, tetapi juga mengutamakan hikmah dan akhlak mulia yang tidak menggurui, apalagi mengekang dan menghakimi.
Dari semua himpitan yang viral (meluas dan merata) itu, kita butuh suntikan vaksin jihad kesungguhan untuk berani melawan kemalasan, kesombongan, dan kemunafikan diri. Kita perlu berhijrah meninggalkan ketololan dan keacuhan kita menuju kerendahhatian yang cerdas dan kesabaran yang kreatif. Di Kenduri Cintalah kita belajar bersama untuk itu semua.
Desain Poster dan Gambar Ilustrasi: Redaksi KC / Heri