DALAM GEMERLAP DUNIA yang semakin bising, sistem yang merajalela gelap menguasai medan derita. Kian hari semakin tinggi jeruji besi yang memenjarakan akal manusia. Terasa amat jauh realisasi harapan untuk menuju sejahtera dan bahagia. Hari demi hari terhimpit oleh berisiknya isi kepala dan isi negara. Terdengar konyol namun inilah hukum sosial dunia yang berjalan menuju sunyi yang kekal.
Semestinya, kata sejahtera dan bahagia tidak begitu rumit. Cukup jelimet saja kalo orang jawa menyebutnya. Jane ora ngono, tapi kok ruwet men to rek! Begini saja, pernahkan sebelumnya kita menyadari jebakan yang memberi arus kerumitan itu hingga isi kepala sulit mengelolanya? Itulah yang dinamakan kelebihan frekuensi informasi sehingga menjadi distorsi.
Pembeda manusia dengan makhluk lainnya teramat luar biasa, bahkan cukup sempurna. Selain diberi akal, manusia juga memiliki alat indera dan tubuh yang berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi setelah semakin dewasa, apakah kita menyadari fungsi tersebut menjadi bijak? Atau malah mengesampingkan Pencipta dalam pembuatannya? Tidak semestinya kepintaran manusia mencoba menentang ruang yang telah Maha Kuasa desain, hingga lahir kesombongan yang menenggelamkan diri menuju jurang kebencian.
Huru-hara sosial menggarisbawahi sejahtera identik dengan ketenangan isi kepala, isi perut dan isi dompet, sedangkan bahagia bersanding dengan kepuasan yang tak terukur nilainya. Tolak ukur yang cukup menggelitik, saya teringat ucapan Mbah Nun yang berkata, “Atas hak preogratif-Mu, ya Allah, selamatkanlah kami dari dunia ini.” Bisa saja kok semua itu terasa mudah untuk digenggam, namun sadarilah kekeringan hatimu yang akhirnya banyak menuntut hak Tuhan yang tak sebanding dengan usaha serta doamu ketika di dunia.
Peristiwa demi peristiwa kita lalui dengan membandingkan derita, muncullah iri yang menegatifkan isi kepala. Begitulah penjara akal manusia tercipta, tanpa disadari terpantik oleh keserakahan dunia hingga tak bisa mengenal siapa kita sebenarnya. Cukup menyedihkan, bukan? ini lah titik kelemahan manusia yang tak disentuh, tak di sirami dan tak di rawat dalam kecerdasan emosional yang disandingi dengan spritualitas, terasa dekat padahal amat jauh.
Kita begitu tau, bahkan menyadari meski hanya semenit. Namun setidaknya beranilah menuju hal yang jarang manusia sentuh hari ini untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan. Inilah penyebab kesulitan manusia dalam menerima dirinya sendiri, hingga tak mampu dalam lingkar sunyi yang Tuhan tawarkan. Keromantisan tak hanya disentuh oleh sesama manusia, tetapi juga makhluk lainnya. Kita perlu kesadaran tinggi untuk menyamankan diri bersama Tuhan dan semesta.
Kelak, kemampuan itu akan datang jika kita konsisten dalam pembelajaran. Frekuensi lainnya akan mengikuti, bahkan mendorong diri untuk terus menebar kemanfaatan sekitar. Bukankah ini keindahan sesungguhnya? Selamat menjadi manusia yang sedang berproses.