Sementara itu, penggiat Kenduri Cinta stand by di lokasi acara, di area Taman Graha Bhakti Budaya TIM untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beberapa kali hujan gerimis turun hingga menjelang sore, namun tidak menjadi penghalang persiapan gelaran Sastra Emha di Kenduri Cinta kali ini.
Pada edisi November ini, penggiat Kenduri Cinta berkolaborasi dengan Rumah Maiyah Kadipiro untuk menghadirkan Sastra Emha di Jakarta. Agenda yang rutin terselenggara satu bulan sekali di Kadipiro itu dihelat di Kenduri Cinta edisi November 2023 ini. Sastra Emha ini pada awalnya digagas dalam rangka untuk mengingat kembali karya-karya sastra Mbah Nun yang lahir di tahun 70-an. Maka, sejak awal, gelaran Sastra Emha memang dikhususkan untuk mendiskusikan, membincangkan, dan juga membacakan karya-karya Mbah Nun pada era 1970-an. Bukan hanya puisi, tetapi juga Esai, Cerpen, dan bentuk karya yang lainnya.
Sejak dimulainya Maiyahan tadi malam, setelah nderes Al-Qur’an dan melantunkan beberapa wirid dan shalawat, penggiat Kenduri Cinta bergantian membaca puisi-puisi karya Mbah Nun pada era 70’an dan 80’an. Ada lebih dari 10 puisi yang dibaca secara bergantian. Parade puisi. Judul puisi seperti: “Simpanlah Kembali”, “Tikus”, “Abracadabra”, “Begitu Engkau Bersujud”, “Masih Perlukah Air Mata”, “Kosong” hingga “Menabung Dendam” dibacakan oleh penggiat Kenduri Cinta tadi malam.
Mengangkat tajuk “Masih adakah Sastra di dalam ruang hidup kita (?)”, sebagai sebuah tema pemantik, untuk melontarkan tanya, bagaimana kita memposisikan sastra, juga bagaimana kita menyikapi sastra dalam kehidupan kita.
Setelah parade pembacaan puisi, Fahmi dan Tri Mulyana memoderasi diskusi awal bersama Helmi Mustofa dan Rony K. Pratama. Sebelumnya, Rony telah merilis sebuah makalah yang cukup panjang untuk mengantarkan diskusi di Kenduri Cinta edisi ini. Makalah yang berjudul: “Etika, Politik, dan Poetics dalam Kesusastraan Emha Ainun Nadjib” bisa dibaca di website caknun.com.
“Apakah sastra hanya diperuntukan bagi orang-orang yang ingin mengungkapkan rasa kecengengan atau ungkapan kegalauan hati semata?”, pantik Rony K. Pratama semalam. Pantikan Rony itu bisa dijawab melalui karya-karya Mbah Nun dalam melahirkan puisi, esai dan karya sastra lainnya, bahwa produktifitas Mbah Nun dalam berkarya bukan semata-mata karena pamrih pribadi saja. Melainkan ada semangat sosial didalamnya. Kepedulian Mbah Nun terhadap rakyat kecil, orang-orang di sekitarnya, bahkan juga orang yang berjarak cukup jauh dari lingkaran Mbah Nun dan Maiyah pun, diberi perhatian ekstra oleh beliau.
Rony memiliki pandangan bahwa Sastra bukan hanya mengenai bagaimana seseorang bisa mengungkapkan ide, gagasan, keresahan yang ia pendam untuk kemudian dituangkan dalam sebuah karya sastra.
Mbah Nun sendiri sudah mulai berkarya sejak akhir tahun 60’an. Saat masih duduk di bangku SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Pada episode selanjutnya, Pak Nevi Budianto berkisah bahwa beliau mengenal sosok Mbah Nun dari sebuah kolom di Majalah Kuntum milik Muhammadiyah saat itu, pada rubric “Apa kata Emha?”, yang ditandai dengan sebuah gambar siluet pemuda berambut gondrong. Tentu saja siluet itu menggambarkan sosok Mbah Nun saat masih muda.
Rony K. Pratama memotret dalam makalah yang dituliskannya, bahwa dalam mengenal sosok Mbah Nun setidaknya ada 3 fase: Fase Emha, fase Cak Nun dan fase Mbah Nun. Ketiga fase itu sangat cukup untuk memetakan bagaimana kiprah Mbah Nun sejak muda dalam pergerakan sosial, budaya, humaniora, bahkan hingga posisi politik yang diambil oleh Mbah Nun.
Maka kemudian, kita pun dapat memetakan secara sederhana, bagaimana karya-karya Mbah Nun yang dirilis di tahun 70’an, 80’an dan 90’an saling beririsan pada fase Emha dan Cak Nun. Yang kemudian di era Maiyah, kita mengenal fase Mbah Nun dalam proses kreattifitas sastranya. Satu hal yang juga kita catat adalah, bahwa Mbah Nun saat menullis naskah teater bukanlah naskah saduran dari karya sastra orang lain, tetapi naskah tersebut ditulis orisinil, buah kreatifitas Mbah Nun sendiri. Begitu juga dengan musik puisi seperti “Jangan Cintai Ibu Pertiwi” dan “Presiden Balkadaba”.
Helmi Mustofa, sebagai Redaktur Maiyah yang menggawangi caknun.com dan mymaiyah.id saat ini kemudian melengkapi paparan Rony K. Pratama. Bahwa Mbah Nun dalam proses produktivitasnya dalam berkarya tidak hanya berorientasi pada output karaya sastra semata berupa puisi atau esai. Tetapi, Mbah Nun juga menyentuh sisi humanis dari setiap tokoh sastra yang beliau kenal. Drama Mlungsungi adalah edisi teranyar bagaimana Mbah Nun merangkul begitu banyak komunitas teater di Yogyakarta untuk kemudian reriungan mementaskan sebuah naskah drama teater. Sebelumnya, di tahun 2019, Mbah Nun mempersembahkan Ijazah Maiyah kepada Pak Sutardji Calzoum Bachri, Pak Taufik Ismail dan Pak Iman Budi Santosa (Alm) atas kemurnian dan otentisitas kemanusiaannya dan juga karya-karyanya yang luar biasa.
Mbah Nun mencontohkan bagaimana sastra bukan semata-mata hanya tentang karya sastranya saja, tetapi juga ada sisi humanis yang dibangun didalamnya. Tidak mengherankan jika kemudian Mbah Nun begitu dekat dengan W. S. Rendra, Danarto, Ashadi Siregar, Arief Budiman, Darmanto Jatman, bahkan juga dengan Kuntowijoyo dan Umar Kayam sekalipun, Mbah Nun memiliki ikatan batin yang cukup kuat. Dan tentu yang sangat spesial adalah kedekatannya dengan Umbu Landu Paranggi. Kepada sosok-sosok tersebut Mbah Nun sangat perhatian, menaruh hormat.
Tidak lengkap kiranya jika hanya membahas karya-karya sastra Mbah Nun tanpa menampilkan special performer. Tadi malam, Pak Joko Kamto dan Pak Nevi Budianto membawakan 2 karya Mbah Nun: “Menghisap Klembak Menyan” dan “Jangan Cintai Ibu Pertiwi”. Aksi teaterikal yang sangat matang, ditampilkan oleh dua tokoh senior KiaiKanjeng yang sudah lebih dari 40 tahun bersahabat dan bersaudara dengan Mbah Nun.
Marcella Zaliyanti semalam juga hadir untuk membacakan satu karya Mbah Nun yang berjudul “Wajah”. Puisi ini dipilih oleh Marcella untuk merespons situasi politik terkini di Indonesia yang sedang panas-panasnya.
Yang tak kalah spesial adalah, hadirnya Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri yang mengungkapkan testimoninya terhadap karya-karya Mbah Nun. Pak Sutardji sendiri adalah legenda sastra di Indonesia. DI usianya yang sudah menginjak 83 tahun, Pak Sutradji tampak masih semangat. Ketika penggiat Kenduri Cinta datang ke rumah beliau, bersilaturahmi dan kemudian menyampaikan rencana perhelatan Sastra Emha di Kenduri Cinta, beliau sangat antusias. Kemudian beliau meminta untuk dikirimkan beberapa puisi-puisi karya Mbah Nun dan juga esai karya Mbah Nun yang membicarakan sastra.“Puisi disangka sudah hilang, padahal puisi ada dimana-mana dan kasat mata. Apa yang dilihat di bumi memiliki makna, di surga semua sudah tak bermakna. Di bumi, batu akan hanya menjadi batu tanpa makna, tetapi jika kita eksplor lebih dalam, maka batu itu akan menghadirkan makna”, ungkap Pak Sutardji.
Menyampaikan testimony mengenai karya-karya Mbah Nun, Pak Sutradji menyampaikan:” Puisi-puisi Emha pada awalnya begitu lazim dengan keindahan, namun lambat laun untaian kata-kata indah itu menghadirkan makna. Rasa spiritualnya begitu kental, ungkapan kehambaannya teradap Tuhan diungkapkan bukan dalam rangka mencari estetika”.
Meskipun tadi malam hujan turun cukup deras, jamaah yang hadir tidak bergeming. Mereka duduk menekun, menikmati sajian karya sastra yang dibawakan berupa puisi hingga lagu. Malam yang syahdu di Jakarta, kita Ber-Sastra Emha di Kenduri Cinta.