Kenduri Cinta edisi November 2023 berkolaborasi dengan Sastra Emha. Sebuah edisi khusus yang bukan hanya sekadar membacakan puisi-puisi karya Cak Nun, tetapi juga membincangkannya sekaligus juga mempelajarinya. Kenapa sebuah puisi diciptakan oleh Cak Nun, ada fenomena apa saat puisi itu lahir, dan seterusnya.
Jika kita membuka arsip sejarah kesusastraan seorang Emha Ainun Nadjib, data yang bisa didapat adalah bahwa Cak Nun pertama kali membuat puisi pada tahun 1969. Artinya, saat itu Cak Nun masih berusia 16 tahun. Setelah diusir dari Gontor, Cak Nun menggelandang di Yogyakarta. Kemudian bergaul dengan Umbu Landu Paranggi dan juga para penyair-penyair muda Yogyakarta saat itu, hingga kemudian lahirlah Persada Studi Klub.
Ronny K. Pratama pada diskusi Kenduri Cinta edisi November lalu menegaskan kembali sesuai apa yang ditulis pada makalah yang ia siapkan sebelumnya, bahwa Emha memiliki pandangan yang tegas bahwa sastra seharusnya membebaskan sehingga dapat menghadirkan makna apa saja. Bagi Emha, sastra adalah sebuah dimensi luas yang memerlukan cakupan spesifik agar pembicaraan sastra yang membebaskan memasuki koridor secara operasional.
Di sebuah forum Maiyahan, kita pernah mendengar Cak Nun melemparkan sebuah pertanyaan: Yang manis itu rasanya atau gulanya? Yang pedas itu rasanya atau cabainya? Pada pertanyaan itu kita menemukan bahwa susunan kata dalam pertanyaan itu terdapat keindahan yang dimuatnya.
Cak Nun memiliki filosofi yang jelas, bahwa sastra harus membebaskan pelakunya. Maka Cak Nun pernah menulis sebuah tulisan yang berjudul ”Sastra yang membebaskan”. Pada episode lainnya, Cak Nun pernah menulis ”Terus Mencoba Budaya Tanding”. Hal ini semakin menegaskan bahwa Cak Nun memang tidak setuju dengan pernyataan bahwa sastra adalah sesuatu yang eksklusif, yang hanya bisa dijangkau segelintir orang saja.
Pada perjalanannya kemudian, kita bisa melihat bagaimana Cak Nun melahirkan Karawitan Dinasti bersama Nevi Budianto dan Joko Kamto diantaranya, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Teater Dinasti. Cak Nun menjadikan karya sastra bukan sekadar karya seni semata. Cak Nun menggunakan sastra untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam dari sebuah kata-kata yang disusun pada sebuah bait syair maupun naskah teater.
Pun pada era KiaiKanjeng, Cak Nun yang mempelopori musik puisi bersama Karawitan Dinasti kemudian dibawa lagi bersama Gamelan KiaiKanjeng. Pada akhirnya, sastra bukan hanya sekadar karya seni, tapi juga sebuah pertunjukan. Ia juga bukan sekadar sebuah pertunjukan kata-kata, tetapi ada nada dan juga irama di dalamnya. Keindahan puitika yang disusun oleh Cak Nun tidak hanya mempertimbangkan estetika pada sastra itu sendiri, tetapi juga estetika dalam kehidupan.
Maka, bersama KiaiKanjeng, Cak Nun memanfaatkan sastra tidak hanya sebagai karya seni pertunjukan, tetapi juga sebagai media penghubung untuk berkomunikasi dengan siapa saja yang ditemuinya. Cak Nun bersama Bu Via dan KiaiKanjeng sudah menyambangi puluhan desa, kota, kabupaten, provinsi, bahkan tidak hanya di Indonesia melainkan hingga manca negara. Cak Nun menggunakan sastra sebagai media komunikasi, sehingga Cak Nun mampu menghadapi segala situasi yang serba tidak menentu.
Apa yang disampaikan oleh Rony K. Pratama itu dipertegas oleh Sutardji Calzoum Bachri. ”Puisi pada dasarnya, pada hakikatnya adalah pertambahan makna pada kata-kata. Di dalam puisi kata-kata bertambah maknanya. Sementara di luar puisi, di kamus misalnya, kata-kata sudah ada mapan maknanya,” ungkap Bang Tardji.
Di dalam kamus, bulan hanya berarti bulan. Tetapi di dalam puisi, bulan bisa bermakna lain. Ada makna kerinduan, ada makna harapan, ada makna kasih sayang, nostalgia, kekasih dan lain sebagainya. Bang tardji tidak setuju dengan anggapan banyak orang yang menyangka puisi sudah hilang. Hal itu muncul karena orang-orang mengira puisi itu barang kasat mata. Bagi orang-orang, di dunia ini puisi tidak kasat mata.
Bang Tardji menambahkan, bahwa ketika Adam diturunkan dari surga ke bumi, dia melihat dunia itu sebagai sesuatu yang lain. Dianggapnya dunia adalah tempat bersusah payah, tempat kesukaran. Jika ingin melihat keindahan di bumi, kita harus melipatgandakan makna-makna dan arti-arti yang ada di bumi sehingga memiliki pertambahan makna. Puisi mampu untuk melakukannya. Dan kita seharusnya belajar kepada puisi.
Batu, jika dikristalkan lagi, akan menjadi sesuatu yang lain. Tidak hanya menjadi batu. Ia bisa menjadi mineral, menjadi sumber daya alam yang lain. Itulah yang namanya budaya, itulah peradaban. Puisi mengejawantahkan penggandaan makan itu dengan landasan kejujuran, sementara manusia tidak. Manusia mengeksplorasi sumber daya alam tanpa dilandasi kejujuran, sehingga pada praktiknya yang lahir adalah kapitalisme, kecurangan, keserakahan. Tidak mengherankan jika kemudian kita tidak merasakan kesejahteraan.
”Hidup adalah membuat pertambahan makna,” ungkap Bang Tardji. Pada singkong yang tumbuh itu bukan sesuatu yang istimewa, karena itu hal yang alamiah saja tanpa dieksplorasi. Saat singkong diolah menjadi sesuatu yang baru, itu baru istimewa. Cak Nun juga pada beberapa edisi Maiyahan pernah menyampaikan bahwa padi dikreatifi menjadi beras, baru kemudian dikreatifi lagi menjadi nasi, bubur, tepung dan lain sebagainya. Begitu juga dengan singkong, ia bisa dikreatifi menjadi sesuatu hal yang baru. Dan itulah yang dinamakan penggandaan makna seperti yang dijelaskan Bang Tardji. Itulah peradaban.
Menurut Bang Tardji, Sumpah Pemuda adalah sebuah puisi. Segala syarat puisi ada di dalam naskah Sumpah Pemuda. Semua itu pada 1928 adalah imajinasi, karena pada saat itu tidak ada Bangsa Indonesia. Para pemuda di tahun 1928 mengimajinasikan bahwa kelak akan ada Bangsa Indonesia, termasuk Bahasa Indonesia, juga Negara Indonesia. Saat 1928, semua itu belum ada. Maka dengan ini, bagi Bang Tardji, Indonesia lahir karena sebuah Puisi yang disebut Sumpah Pemuda itu. Maka kita jangan minder karena bangsa ini lahir karena sebuah puisi.
Bang Tardji kemudian memberikan kesan terhadap karya-karya Cak Nun. ”Puisi Emha pada awalnya sibuk dengan keindahan puitika. Lama-lama dia lebih banyak kepada puisi-puisi yang memberi makna di luar kehidupan puisi melalui puisinya. Sajak-sajaknya seperti karya Jalaluddin Rumi, ingin memberi makna kesholehan, kehambaan, spirutual,” ungkapnya.
Menurut Bang Tardji, Cak Nun dalam berpuisi tidak terlalu lama terjebak dalam karya-karya yang hanya mencari estetika. Karya-karya Cak Nun mengungkap kegelisahan, keresahan bahkan kemarahan terhadap apa saja yang ada di sekitarnya, termasuk kepada Indonesia. Cak Nun begitu lugas mengungkapkan keresahan-keresahan itu tanpa metafora dan tanpa mempertimbangkan estetika puisi.
Apa yang disampaikan oleh Bang Tardji itu bisa kita buktikan pada beberapa karya Cak Nun seperti ”Presiden Balkadaba”, ”Jangan Cintai Ibu Pertiwi”, ”Nyanyian Gelandangan”, juga ”Menghisap Kelembak Menyan” dan karya-karya yang lainnya.
Menurut Bang Tardji lagi, Cak Nun pada beberapa karya-karyanya lebih mencari kedalaman spiritual dibanding estetika. Maka tidak terlalu banyak metafor dalam puisi-puisinya. Hal itu bisa kita lihat pada ”99 untuk Tuhanku”, ”Cahaya di atas Cahaya”, ”Seribu Masjid Satu Jumlahnya”, atau karya terbaru Cak Nun ”Rahman Rahim Cinta”.
”Dia adalah penyari yang sangat lengkap, dan sajak-sajaknya bagus”, pungkas Bang Tardji.