Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Reportase

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

Redaksi Kenduri Cinta by Redaksi Kenduri Cinta
May 21, 2025
in Reportase
Reading Time: 31 mins read
Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

JAKARTA, 16 MEI 2025 — Hujan turun sejak siang di Jakarta. Air menyelinap tenang ke sela-sela aspal dan trotoar yang retak. Udara basah dan langit suram mengiringi Jumat sore yang tampak enggan menjadi malam. Tapi menjelang pukul enam, langit membuka sedikit ruang. Kota mulai bernapas lebih ringan. Di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM), lampu-lampu menyala dan manusia mulai berdatangan—bukan untuk menyaksikan pertunjukan teatrikal atau konser populer, melainkan untuk duduk bersama, bersila, dan mendengarkan. Kenduri Cinta edisi 256 bulan Mei digelar, dengan tema: “ANGON LAA ROIBA”.

Forum Kenduri Cinta bukan sekadar diskusi malam. Ia adalah perayaan yang tidak mengenal panggung, tidak menyisakan penonton, dan tidak pernah menjadikan mikrofon sebagai satu-satunya corong suara. Dalam Kenduri Cinta, semua setara: berbicara, mendengar, berpikir, dan meresapi. Tema “Angon Laa Roiba” adalah ajakan halus namun mendalam untuk menertibkan kembali batin dan akal dari keraguan, serta menggembalakan nurani agar tidak tercerai oleh kecepatan zaman.

Tidak banyak yang ingat bahwa Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat forum ini digelar, bukan hanya sebuah kompleks seni. Ia lahir dari visi besar: menjadikan Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota politik, tapi juga sebagai pusat kebudayaan nasional. Diresmikan pada 10 November 1968 oleh Gubernur Ali Sadikin, TIM dibangun sebagai ruang artikulasi kreativitas, pertemuan antara tradisi dan kemodernan, tempat dimana seniman, pemikir, dan warga dapat meneguhkan identitas kultural bangsa lewat karya dan wacana.

Sejak era setelah Reformasi bergulir, TIM menjadi rumah yang konsisten bagi Kenduri Cinta, salah satu simpul Maiyah. Bulan Mei, bukan bulan yang hampa makna. Ia menyimpan jejak sejarah: bulan Pendidikan, bulan Reformasi, dan dalam konteks Maiyah, bulan Maiyah. Sebab di bulan inilah, tujuh puluh dua tahun silam, Emha Ainun Nadjib—bocah angon dari Jombang yang kelak menjadi pusat dan poros Maiyah—dilahirkan.

Maiyah tidak menjadikan kelahiran sebagai perayaan tokoh secara berlebihan. Tidak ada kultus terhadap tanggal, tidak ada pemujaan terhadap figur. Sebab dalam kerangka berpikir Maiyah, yang dirayakan bukanlah dari mana seseorang datang, tapi ke mana ia menuju. Sebagaimana Islam tidak menandai kelahiran Nabi sebagai tonggak sejarah, melainkan memilih Hijrah sebagai permulaan kalender, Maiyah pun menempatkan perjalanan, bukan permulaan, sebagai esensi hidup.

Jumat malam itu bukan sekadar mengenang kelahiran Cak Nun, tapi menyelami ruh hijrahnya: dari gaduh menuju hening, dari keraguan menuju keteguhan, dari ketidaktahuan menuju keutuhan. Kenduri Cinta menjadi ruang tadabur dan tafsir terbuka, tempat siapa pun bisa membaca ulang sejarah—bukan dengan nada kebencian, melainkan dengan cinta yang kritis dan jernih.

Ratusan bahkan ribuan orang hadir malam itu. Mereka datang bukan karena undangan formal, tetapi karena rasa percaya: bahwa berpikir bersama dalam suasana yang egaliter adalah kebutuhan zaman. Tidak ada selebrasi, tidak ada seremoni. Hanya tenda sederhana, tikar, musik akustik, diskusi yang mengalir, dan kesediaan untuk diam. TIM, seperti pada puluhan tahun sebelumnya, kembali menjadi tempat untuk menyemai kemungkinan, bahwa kebudayaan bisa hadir bukan sebagai tontonan, tapi sebagai percakapan.

Di malam itu, forum ini mengajarkan kembali makna ruang. Bahwa menjaga TIM bukan hanya tentang fisiknya, tapi tentang menjaganya sebagai ekosistem berpikir. Di kota yang sibuk mengejar pembangunan, Kenduri Cinta memilih untuk merawat peradaban—dengan sabar, dengan kasih, dan dengan jalan sunyi yang tidak pernah kehilangan cahaya.

Forum Kenduri Cinta malam itu resmi dimulai pukul 19.30 WIB di pelataran Teater Besar Taman Ismail Marzuki, diawali dengan pembukaan yang khidmat dan menyentuh. Para penggiat—Rizal, Awan, Alfa, Rizal Harjanto, Munawir, dan Akhmad Mizani—memimpin lantunan sholawat dan doa bersama, mengalunkan keheningan yang sarat makna. Suasana berubah menjadi syahdu, menghadirkan kedamaian yang meresap hingga ke relung hati jamaah. Lebih dari sekadar ritual pembuka, momen ini menjadi simpul batin yang merekatkan kebersamaan dan menyelaraskan kesadaran spiritual, membuka ruang hati dan pikir untuk menyambut perbincangan malam itu dengan jiwa yang bersih dan terbuka.

Laku Angon: Melayani dengan Tulus dan Bersungguh-Sungguh

Sesi diskusi dimulai dengan suasana hangat dan penuh perhatian. Rizal dan Mizani tampil sebagai moderator malam itu, mengenakan kemeja putih yang mencerminkan kesederhanaan sekaligus kesiapan mereka memandu forum. Rizal membuka sesi dengan salam yang lantang dan sapaan hangat kepada jamaah, mencairkan suasana dan mempererat kedekatan antar sesama. Mizani kemudian mengajak seluruh jamaah untuk sejenak bersyukur, mengingatkan bahwa bulan Mei adalah bulan kelahiran Cak Nun, sebuah momen penting yang patut direnungi dan dirayakan sebagai bentuk cinta dan doa. Setelah pembukaan singkat, moderator mempersilakan Ansa, Karim, dan Bang Lims untuk bergabung sebagai pemantik dan pembicara diskusi sesi awal, membuka ruang perbincangan yang akan membawa forum menyelami tema malam itu.

Selanjutnya, moderator mempersilakan Ansa untuk memulai pembahasan tema “Angon Laa Roiba”. Dengan tenang dan penuh kejelasan, Ansa menguraikan kembali fondasi pemikiran yang telah dipaparkan dalam mukadimah. Ia menyoroti bahwa “angon” bukan sekadar aktivitas pastoral menggiring hewan, melainkan sebuah simbol spiritual dari kepemimpinan yang melayani, menemani, dan menjaga dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang tidak berjarak, tidak serba memerintah dari atas, melainkan menyatu, membaur, dan tumbuh bersama umatnya.

Sebelum masuk lebih jauh ke pemaknaan, Ansa mengajak jamaah untuk merenungi kembali hakikat forum Kenduri Cinta itu sendiri—sebuah ruang perjumpaan batin yang telah dibangun, dirawat, dan dimuliakan oleh sosok yang menjadi pusat dari keberadaan forum ini: Cak Nun. Ia mengingatkan bahwa Cak Nun bukan hanya penggagas, tetapi juga guru kehidupan yang melalui karya, laku, dan keteladanannya telah memperjalankan kita dengan berbagai intensi dan jalan hidup yang berbeda, namun pada akhirnya disatukan dalam kasih sayang dan kebersamaan di dalam forum ini. “Kita semua diperjalankan oleh berbagai hal, tetapi kita dipertemukan di sini oleh cinta,” ucapnya.

Dalam refleksinya, Ansa juga mengutip salah satu tulisan penting Cak Nun berjudul “Kita ini Penggembala atau Gembalaan”, yang terbit di Republika pada tahun 2001. Tulisan itu menggarisbawahi filosofi “bocah angon” atau anak gembala, yang dalam pandangan para Wali di Jawa, justru menjadi lambang kepemimpinan sejati. Penggembala sejati memilih berada di belakang, bahwa kepemimpinan tidak selalu harus di garis depan. Seorang pemimpin justru adalah sosok yang membimbing dari belakang, menjaga agar yang digembala tetap berada di jalur yang benar, tanpa kehilangan arah.

Ansa menekankan bahwa pemimpin seperti itu adalah mereka yang tidak rakus kuasa, bersahaja dalam laku hidup, egaliter, siap menghadapi kenyataan paling keras dalam kehidupan rakyatnya. Kita membutuhkan manusia yang bersedia menjadi biasa, yang justru karena itulah paling layak untuk memimpin. Dalam konteks ini, “Angon Laa Roiba” bukan sekadar tema, melainkan tawaran cara hidup dan kepemimpinan: menggembala tanpa ragu, membimbing tanpa memaksa, memimpin tanpa haus kuasa. Sebuah laku yang lahir dari cinta dan keyakinan, bukan ambisi dan kekuasaan. Ansa menutup pendapatnya dengan memberikan pelantang dan meminta moderator untuk melanjutkan.

Setelah Ansa menyampaikan pemantik awal, Mizani kemudian mempersilakan Karim untuk melanjutkan pembahasan sekaligus mempertebal landasan diskusi. Selain itu, Karim juga diberi ruang untuk memperkenalkan sosok Bang Lims kepada Jamaah sebelum nantinya berbagi perspektif. Dengan hangat dan santai, Karim menyapa Jamaah diselingi canda khasnya yang akrab dan mencairkan suasana. Ia mengajak Jamaah untuk kembali merenung dan memaknai nilai-nilai Maiyah yang selama ini telah diwariskan melalui keteladanan hidup Cak Nun sebagai role model utama.

Karim juga mengajak jamaah untuk bersama mendoakan kesembuhan Cak Nun dengan bacaan Al-Fatihah, mengawali forum dengan penuh khidmat. Ia kemudian membahas konsep kepemimpinan dalam konteks Islam, khususnya istilah abdan nabiyah yang membedakan Nabi Muhammad dari nabi-nabi lain.

Berbeda dengan mulkan nabiyah yang merujuk pada nabi sebagai raja atau penguasa, abdan nabiyah menggarisbawahi sosok nabi sebagai hamba yang melayani. Karim menegaskan bahwa parameter tertinggi kemanusiaan adalah siapa yang paling bermanfaat bagi sesama, bukan yang paling berkuasa. Konsep ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali makna kepemimpinan yang berlandaskan pelayanan dan pengabdian, bukan dominasi.

Karim tak lupa mengajak seluruh Jamaah untuk berganti posisi duduk menghadap ke kanan, lalu memijat bahu orang di sebelahnya—dan sebaliknya. Suasana pun berubah cair seketika. Tindakan sederhana ini membuat para Jamaah, yang sebagian besar belum saling mengenal, seolah menjadi keluarga yang telah lama berbagi ruang dan waktu. Sebuah jalinan keakraban pun terbangun, sejalan dengan semangat kebersamaan yang selalu menjadi ruh utama Kenduri Cinta.

Karim lalu memperkenalkan Susanto Salim—yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Bang Lims—sebagai sosok yang akan banyak berbagi dalam forum malam itu, khususnya tentang makna “angon” yang begitu erat dengan nilai melayani. Ia menekankan bahwa kehadiran Bang Lims merupakan bentuk nyata dari laku kepemimpinan yang melayani dengan tulus dari bawah. Sejak tahun 2005, Bang Lims telah menempuh perjalanan panjang lebih dari dua dekade dalam dunia cleaning services. Ia memulai karier sebagai Office Boy (OB) dan petugas kebersihan, kemudian tumbuh melalui pengalaman dan integritas hingga menjadi General Manager, dan akhirnya mendirikan perusahaannya sendiri. Kisah hidupnya bukan hanya inspiratif, tetapi juga mencerminkan secara nyata semangat “angon” dalam konteks kehidupan modern—memimpin tanpa harus berada di depan, melayani dengan penuh dedikasi, dan tetap rendah hati dalam keberhasilan. Setelah pengenalan itu, Karim memberikan kesempatan kepada Bang Lims untuk menyampaikan pandangannya kepada Jamaah.

Bang Lims membuka pembicaraan dengan penuh semangat dan rasa syukur. Ia menyampaikan betapa beruntungnya dirinya telah diperjalankan untuk bisa hadir di Kenduri Cinta malam itu. Dengan penuh rasa hormat, ia mengenang bahwa dirinya telah mengenal sosok Cak Nun sejak lama melalui pementasan teater—sebuah perkenalan awal yang kelak membawanya pada pemahaman dan kedekatan spiritual yang mendalam. Dalam forum ini, Bang Lims juga membagikan kisah pencarian jati diri dan keyakinan yang ia tempuh hingga akhirnya memeluk Islam. Baginya, agama dan kepercayaan adalah perkara personal—hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan yang penuh kebebasan, ketulusan, dan keheningan.

Lebih dari sekadar kesaksian spiritual, Bang Lims menghamparkan spektrum luas pengalaman hidupnya. Ia membagikan bagaimana ia membaca celah kebutuhan pasar dan membangun bisnis cleaning service dengan fondasi melayani secara total. Dari titik nadir sebagai petugas kebersihan toilet di gedung-gedung pencakar langit, ia bertumbuh dalam kerasnya realitas—bergelut dengan kotoran, menyapa urinoir lebih sering daripada manusia. Namun dari situ pula ia memupuk ketekunan, keuletan, dan disiplin yang akhirnya membentuk integritas kepemimpinan. Semua itu ia sampaikan kepada Jamaah dengan energi yang menyala dan keyakinan yang membumi. Jamaah pun menyimak dengan penuh perhatian; wajah-wajah yang semula tenggelam dalam keheningan berubah menjadi cahaya antusiasme yang menyala dalam kehangatan kebersamaan.

Dalam kelanjutan kisahnya, Bang Lims bercerita bahwa kini ia mengelola usaha pelatihan khusus di bidang cleaning services, sebuah bidang yang jarang dilihat orang sebagai peluang serius, namun justru di sanalah ia menemukan jalan pengabdian. Dengan gaya bercerita yang ringan dan penuh humor, ia berseloroh bahwa saking akrabnya dengan dunia kebersihan, ia bahkan bisa mengklasifikasikan jenis-jenis kotoran manusia, lengkap dengan alat pembersih yang tepat dan teknik penanganannya. Tawa Jamaah pun pecah, tapi tak menutupi nilai mendalam dari kesaksiannya. Bang Lims adalah contoh nyata bahwa tak ada profesi yang rendah, yang ada hanyalah persepsi sosial yang keliru. Melalui pengalamannya, ia menegaskan bahwa setiap pekerjaan adalah mulia, selama dijalani dengan cinta, kejujuran, dan ketulusan. Baginya, inti hidup adalah melayani: bukan soal posisi, tapi tentang bagaimana hati kita hadir untuk sesama. Sebuah pesan yang menohok sekaligus memerdekakan: “Cintailah pekerjaanmu, karena di situlah Tuhan hadir dan menyertai.”

Sesi pertama ditutup dengan ruang tanya-jawab yang dimoderasi oleh Rizal dan Mizani. Suasana semakin hangat ketika Mizani melontarkan guyonan-guyonan renyah yang membuat Jamaah tertawa ringan namun tetap fokus. Dalam momen itu, dua jamaah bertanya kepada forum. Ferdi penanya pertama mengawali dengan pengakuan bahwa ini adalah kunjungan pertamanya ke Maiyah. Ia mengajukan pertanyaan mendalam mengenai konsep angon dalam kepemimpinan, khususnya bagaimana menjadi pemimpin yang tidak hanya memimpin tetapi juga membersamai.

Ferdi juga menanyakan tentang sikap keseimbangan dalam memimpin: kapan waktu yang tepat untuk bersikap keras dan kapan harus lembut, terutama dalam mengelola karyawan. Pertanyaan ini membuka ruang dialog untuk memahami kepemimpinan yang humanis dan adaptif dalam konteks kerja dan penggembalaan.

Bang Lims langsung menjawab dan menegaskan bahwa dalam kepemimpinan angon, segala sesuatu harus diawali dengan basmallah agar niat ibadah tidak batal, dan yang terpenting adalah menebar kasih sayang tanpa sikap judgmental yang bisa berujung kebencian dan iri hati. Ia menyoroti tipikal pekerja Indonesia yang perlu pendekatan tarik-ulur—terlalu keras memutus hubungan, terlalu lembut membuat belagu—oleh karena itu penting menerapkan gamifikasi agar pekerjaan terasa menyenangkan. Bang Lims juga mengingatkan pentingnya prinsip kedaulatan, bahwa kita semua berdaulat dan hanya tunduk pada Allah, serta perlunya refleksi diri oleh pemimpin karena interaksi dengan orang lain mencerminkan diri sendiri.

Kemudian, Wisnu, salah satu jamaah, mengangkat tangan dan menyampaikan pertanyaan yang menyentuh banyak hati: “Apa yang bisa kita lakukan jika dalam proses ‘angon’ kita merasa lelah? Dan kepada Penggiat Kenduri Cinta, apa yang membuat kalian tetap bertahan selama 25 tahun menjalankan forum ini tanpa henti? Apa kiat dan resepnya?”

Pertanyaan itu langsung ditanggapi oleh Bang Lims. Dengan nada reflektif, ia menyampaikan bahwa sering kali kita terjebak dalam asumsi bahwa yang pertama dibutuhkan dalam bekerja adalah niat. “Padahal,” tegasnya, “yang paling awal adalah Bismillah—semuanya dimulai dari Allah.” Ia melanjutkan bahwa mentalitas dan cara pandang jauh lebih menentukan daripada sekadar semangat sesaat. Terlalu sering kita memanjatkan doa agar dimudahkan, padahal yang lebih utama adalah memohon agar dikuatkan. Sebab dari penguatan itulah kita belajar menghadapi tantangan, bukan untuk menghindar darinya. Bang Lims menutup, “Doa yang kita panjatkan bukan agar masalah segera hilang, tapi agar kita sanggup menanggung beban yang lebih besar dan naik ke tingkatan hidup yang lebih tinggi.”

Ansa kemudian turut terpanggil untuk merespons. Ia menekankan bahwa di Maiyah, kita dibiasakan untuk menilik kehidupan dengan cara pandang yang lebih luas, melampaui instan dan superfisial. Ketika lelah, kehilangan arah, dan merasa goyah, yang menjadi bahan bakar bukan sekadar motivasi, melainkan kesadaran mendalam bahwa hidup ini bukan persinggahan singkat, ia adalah laku panjang, sebuah maraton, bukan sprint.

“Hidup itu dinamis,” ucap Ansa, “pikiran naik-turun, hati kadang mengendur, tapi kita selalu diingatkan oleh Cak Nun bahwa hidup bukan soal hasil, melainkan soal apakah kita berjuang atau tidak” Ia mengutip kalimat Cak Nun yang akrab dalam telinga Jamaah: ”Suatu jarak akan terasa sangat jauh jika hati kita tidak bersabar.” Dari situlah, menurutnya, mungkin kunci yang membuat Penggiat tetap bertahan selama ini. Visi yang jernih, kesabaran yang panjang, dan keyakinan yang bulat bahwa nilai-nilai Maiyah bukan sekadar wacana, melainkan jalan hidup.

Sesi pertama akhirnya ditutup dengan hangat oleh moderator, menandai jeda sejenak sebelum forum diskusi dilanjutkan. Untuk mengendorkan otot pikiran dan merilekskan tubuh yang sejak awal forum tegang oleh kontemplasi dan refleksi, hadirlah Ale Sampurna naik ke panggung dengan gitar dan senyum akrabnya.

Dalam kesyahduan malam Jakarta, Ale menyanyikan beberapa lagu pilihan yang menyentuh, membalut ruang Kenduri Cinta dengan suasana hangat dan teduh. Suara Ale mengalir tenang, seperti aliran sungai yang membersihkan hati, mengisi rongga batin para Jamaah yang mayoritas adalah para pekerja—yang selama seminggu penuh berjibaku dengan rutinitas, tekanan, dan hiruk pikuk dunia. Musik malam itu bukan sekadar hiburan, tetapi jeda spiritual. Sejenak mereka duduk diam, menyimak, bernyanyi kecil, dan mungkin tanpa sadar, merasa pulih. Kemudian, salah satu jamaah, Imelda, juga turut tampil membacakan puisi setelah penampilan dari Ale.

**

Malam sudah melewati pukul 22.00 WIB, Plaza Teater Besar TIM semakin sesak oleh jamaah yang antusias. Sesi diskusi dilanjutkan dengan suasana hangat. Kali ini, Hadi, Karim, dan Tri Mulyana memegang kendali sebagai moderator. Tanpa banyak prolog, mereka membuka forum dengan sapaan singkat, lalu mengundang para pembicara maju ke panggung.

Satu per satu nama dipanggil:Sabrang, Anies Baswedan, Cania Citta, Arie Putra, Budi Adiputro, dan Fahmi—menyusul duduk bersila di panggung pendek Kenduri Cinta. Sorak sorai jamaah pun pecah, khususnya saat Anies Baswedan melangkah maju, menambah semarak dan energi malam itu.

Hadi membuka sesi dengan guyonan ringan yang mengalir lancar, mengantarkan Sabrang naik ke panggung untuk membuka diskusi dan menyambut para pembicara. Gelak tawa jamaah pecah, suasana menjadi cair—sebuah nuansa khas yang hanya bisa dirasakan langsung dalam forum ini.

Sabrang pun memberi salam hangat sebagai tuan rumah malam itu. Dengan canda khasnya, ia menyebut dirinya kaya akan warisan Cak Nun, bukan hanya karena forum seperti ini, tapi juga karena kaya masalah yang harus dihadapi. Jamaah menyambutnya dengan tawa riang, menambah keakraban malam itu.

Harmoni Tindakan dan Tujuan: Esensi Rasionalitas dalam Perubahan

Setelah sambutan hangat dari Sabrang, Hadi mempersilakan Cania Citta membuka diskusi malam itu. Dengan senyum hangat, Hadi berseloroh bahwa terutama para pria pasti akan sangat antusias mendengar pandangan Cania. Cania pun menyapa jamaah dengan penuh semangat, “Halo semuanya”, yang langsung disambut riuh oleh jamaah.

Cania memulai dengan menegaskan betapa pentingnya konsep rasionalitas dalam memahami tindakan manusia, khususnya dalam ranah sosial dan politik. Menurutnya, rasionalitas bukan sekadar kemampuan berpikir logis secara mekanis, melainkan soal keselarasan antara tindakan yang kita ambil dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, rasionalitas adalah harmoni antara cara dan hasil yang diharapkan.

Ia juga mengingatkan bahwa selama ini konsep rasionalitas kerap disalahpahami atau disempitkan maknanya, bahkan sering digunakan untuk kepentingan politik semata. Dalam konteks tersebut, tindakan yang tampak rasional belum tentu membawa kebaikan bagi masyarakat secara luas, melainkan lebih pada memenuhi kepentingan tertentu saja. Oleh sebab itu, untuk benar-benar memahami apa itu rasionalitas, kita harus mulai dari memahami keinginan atau “will” yang mendasari sebuah tindakan atau gerakan sosial.

Menurut Cania, keinginan ini bersifat bebas dan kompleks. Oleh karenanya, diperlukan analisis yang mendalam untuk menelaah motivasi di balik setiap keputusan dan langkah yang diambil. Tanpa pemahaman yang tepat tentang keinginan tersebut, penilaian kita terhadap rasionalitas bisa menjadi keliru dan menyesatkan.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa rasionalitas sesungguhnya berfungsi sebagai alat untuk mempermudah tercapainya keinginan itu. Jadi, tindakan yang rasional adalah tindakan yang paling efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan yang sudah ditetapkan oleh keinginan bebas tadi.

Dengan cara pandang ini, kita pun dapat mengidentifikasi change factors yang sesungguhnya menggerakkan dinamika sosial dan politik. Memahami akar keinginan serta faktor perubahan ini memungkinkan kita untuk bertindak tidak hanya secara pragmatis, tapi juga dengan kedalaman filosofis dan strategi yang matang. Sehingga, perubahan yang diupayakan menjadi lebih bermakna dan berkelanjutan bagi kehidupan bersama. Cania kemudian menutup pendapatnya dan menyerahkan forum kepada moderator.

Angon sebagai Pemimpin: Estetika, Dialog, dan Keseimbangan dalam Dinamika Politik

Diskusi semakin intens saat moderator mempersilakan Arie Putra, penggagas Total Politik, untuk berbicara. Dengan canda ringan, Arie membuka dengan pernyataan dengan suara khasnya, “Musuh forum ini ternyata bukan kekuasaan, tapi asam urat,” yang langsung memecah suasana menjadi riuh tawa, menandai bahwa diskusi serius tak selalu harus kaku.

Arie memulai dengan membedah tema Kenduri Cinta edisi Mei. Ia menyampaikan bahwa kekuatan seorang angon — sosok penggembala atau pemimpin dalam makna filosofis — terletak pada estetika dalam bertutur kata. Estetika ini bukan sekadar keindahan verbal, melainkan kemampuan membangun empati dan rasa bersama di antara sesama manusia. Dalam estetika itulah, kita bisa merasakan satu sama lain secara lebih dalam dan membangun hubungan yang tulus.

Lebih jauh, mentalitas angon menuntut tiga kriteria mutlak agar seseorang layak menjadi pemimpin: pertama, tidak berbohong karena kebenaran adalah fondasi kepercayaan; kedua, tidak terjerat oleh nafsu duniawi yang bisa menjerumuskan pemimpin pada keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan; ketiga, pemimpin harus benar-benar memahami apa yang diucapkannya agar kata-kata tidak menjadi kosong dan menyesatkan.

Arie menyoroti fenomena zaman sekarang di mana hampir semua hal diideologisasi secara berlebihan, sehingga banyak kata-kata kehilangan makna yang sesungguhnya. Kondisi ini menciptakan “terlalu kata, miskin makna” dan berimbas pada “terlalu banyak diksi, miskin aksi,” yakni ketidakmampuan masyarakat untuk bergerak maju secara produktif dan bermakna. Pola ini menghalangi masyarakat melakukan dialog internal yang sehat, yang sejatinya penting untuk pertumbuhan dan perubahan sosial.

Dalam era banjir informasi dan polarisasi, kita mengalami isolasi yang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman pemikiran. Arie menekankan bahwa tugas angon adalah mampu membedakan antara yang bersifat ideologis keras dengan yang bisa dibuka untuk dialog. Dengan kemampuan ini, masyarakat bisa tumbuh dengan keseimbangan, menghindari perang argumen yang tak berujung dan stagnasi akibat keraguan diri yang berlebihan.

Ia memperingatkan bahwa kita tengah terperangkap dalam sebuah jebakan kaku yang ia sebut “The Iron Cage” yang membatasi ruang bagi lompatan-lompatan perubahan positif. Namun, ia juga menegaskan optimisme bahwa meski kita berbeda-beda, kita tetap bisa hidup berdampingan dan menemukan alasan-alasan untuk saling menghormati dan memperkuat kehidupan bersama.

Dengan pendekatan angon yang estetik dan berempati, Arie mengajak kita menapaki jalan politik dan sosial yang tidak hanya memprioritaskan kekuasaan, tapi juga kemanusiaan dan dialog sebagai kunci tumbuh dan berubah bersama.

Arie Putra juga menyelipkan canda ringan tentang Anies Baswedan, mengingatkan kebiasaan unik “menggigit bibir” Anies yang sampai kini masih terngiang di kepalanya. Guyonan itu menambah keriuhan dan gelak tawa jamaah bahkan sampai terpingkal-pingkal. Anies pun tak baper dan menikmatinya. Beginilah jika kemesraan dan kedekatan menjadi dasar diskusi, tak membuat jarak di hati sehingga tak ada yang merasa disakiti.

Lir Ilir dan Revolusi Diri: Membaca Zaman lewat Cak Nun

Setelah gelombang tawa dan gagasan dari Arie Putra, giliran Ian L. Betts diminta untuk turut menyampaikan pandangannya, khususnya mengenai perjalanan dan warisan pemikiran Emha Ainun Nadjib. Dengan dialek khas Britania dan bahasa Indonesia yang fasih, Ian membuka dengan penghormatan: “Bulan ini kita merayakan kelahiran Cak Nun.” Ucapan itu langsung menghangatkan suasana malam, mengingatkan semua yang hadir bahwa forum ini tidak hanya membicarakan masa depan, tetapi juga menghormati akar dan jejak.

Ian mengawali dengan mengakui bahwa ia tidak lahir di Indonesia. Namun justru dari “ketidakhadirannya sejak awal” itu, ia merasa mendapatkan keuntungan: perspektif luar yang membantunya melihat Indonesia dengan cara yang berbeda. Ia mencontohkan lagu Lir Ilir, sebagai simbol peralihan zaman dan transisi makna. Menurutnya, Cak Nun menerjemahkan Lir Ilir bukan sekadar tembang spiritual, melainkan sebagai filosofi pengaliran nilai dan perubahan. Sebuah warisan budaya yang tidak kaku, tetapi lentur dalam membawa makna moral, kepemimpinan, kehangatan, dan kerja sama ke tengah zaman yang terus berganti.

Ia juga mengenang pengalamannya mendampingi KiaiKanjeng pada tahun 2005 ketika diundang ke Vatikan dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Sebuah momen lintas iman yang merepresentasikan semangat keterbukaan dan persaudaraan semesta yang selalu dibawa oleh Maiyah. Menurut Ian, Cak Nun melalui Maiyah telah menghadirkan unifikasi nilai—sebuah kerja penyambung antara yang spiritual, sosial, dan kultural—yang jarang ditemukan dalam ruang publik hari ini.

Ian menambahkan kegelisahannya tentang dunia yang sedang memasuki zaman baru: era teknologi tinggi dan revolusi material. Ia menggarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan kini bergerak lebih cepat daripada imajinasi, menimbulkan tantangan besar dalam mengelola transisi global—baik dalam iklim, nilai, maupun tatanan sosial. Maka yang dibutuhkan adalah kapasitas untuk melakukan revolusi diri (self-revolution). Sebuah kemampuan untuk tetap utuh di tengah guncangan zaman.

Menutup pandangannya, Ian menegaskan bahwa Anies Baswedan bukan orang asing di forum ini. “Ia adalah bagian dari kita,” tuturnya, meneguhkan bahwa ruang Kenduri Cinta bukan sekadar forum diskusi, tapi ekosistem nilai yang menghargai keberagaman pandangan, selama semua berpulang pada kemanusiaan.

Kenduri Cinta: Ruang Temu, Ruang Tumbuh

Setelah Ian L. Betts memukau hadirin dengan tafsir mendalamnya tentang Lir Ilir, Hadi tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia menyelutuk, bahwa baru Ian-lah malam itu yang membahas Lir Ilir dengan begitu puitis dan reflektif—padahal bukan putra asli Indonesia. Forum pun kembali hidup. Kali ini, giliran Budi Adiputro, rekan Arie Putra di Total Politik, yang diminta menyambung diskusi.

Dengan nada akrab dan hangat, Budi membuka dengan kesan pribadinya tentang suasana Kenduri Cinta malam itu. Ia mencatat betapa Mas Anies tampak begitu nyaman berada dalam forum ini, bukan sebagai politisi, tapi sebagai manusia yang menyatu dengan suasana. Namun bukan hanya malam itu ia menyaksikan keintiman seperti ini.

Budi mengaku dirinya bukan sekadar pengamat dari kejauhan. Ia telah mengikuti forum Kenduri Cinta sejak tahun 2006. Bahkan seringkali terlibat hingga larut malam, menyatu dalam perbincangan dan keheningan yang penuh makna. Salah satu edisi yang berkesan baginya adalah saat tema “Sesat Sesaat” diangkat—menghadirkan juga Mbah Surip yang kala itu menorehkan warna tersendiri dalam forum.

Bagi Budi, Kenduri Cinta bukan sekadar ruang diskusi. Ia menyebutnya sebagai ruang temu yang dahsyat—tempat di mana agamawan, seniman, akademisi, bahkan politisi, dapat duduk setara. Tidak ada keistimewaan yang diberi hanya karena jabatan. Bahkan, katanya, ketika politisi hadir ke forum ini, mereka bisa saja dikuliti habis oleh para jamaah, dibedah gagasannya tanpa ampun—namun justru karena itu, ia mengapresiasi keberanian siapa pun yang datang.

Ia mengenang banyak momen, ketika forum ini menjadi tempat orang-orang datang membawa beban hidup, namun pulang dengan hati yang lebih ringan. Kenduri Cinta adalah tempat di mana persoalan bisa ditertawakan, dan kesedihan bisa dikemas dalam kegembiraan spiritual. Sebuah dinamika yang langka di ruang publik kita hari ini.

Budi pun mengutip kalimat Cak Nun yang menurutnya amat penting: *“*Makanan utama orang Indonesia adalah biji-bijian, namanya ‘Bismillah’.” Kalimat ini, baginya, bukan sekadar metafora spiritual, tetapi juga filosofi ketahanan—baik lahiriah maupun batiniah. Bahwa dengan menyebut Bismillah, manusia Indonesia dibekali kekuatan untuk tetap berdiri, berjalan, dan bertahan, bahkan ketika dunia luar terasa rapuh dan tidak berpihak.

Jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 23.30 WIB, namun cahaya mata jamaah masih terang terlihat. Tibalah waktu Anies Baswedan diberikan ruang untuk berpendapat.

Angon sebagai Sistem Nilai: Bukan Sekadar Pemimpin, Tapi Rujukan Etik

Jam telah bergeser jauh melewati tengah malam. Namun, cahaya dari mata para jamaah masih menyala. Bukan sekadar karena lampu, tetapi oleh gairah mendengarkan dan kehausan untuk berdialog. Dalam atmosfer yang tetap hangat dan jernih, giliran Anies Baswedan diminta menyampaikan pandangan di malam yang penuh silang-pikir dan silang-rasa itu.

Anies membuka dengan rasa terima kasih dan kerinduan. Ia menyebut Kenduri Cinta sebagai ruang bebas yang ekspresif, tempat segala pendapat dan pandangan dapat mengalir tanpa batas. “Kalau kita menginginkan forum bebas,” katanya, “jangan beri tembok pembatas.” Ia melanjutkan, “Negara tidak berhak memberikan rasa takut kepada rakyatnya.” Ia juga menyempatkan doa dan harapan untuk kesembuhan Cak Nun, yang disebutnya sebagai penjuru nilai bagi forum ini.

Menanggapi tema besar malam itu—“Angon”—Anies memberi catatan bahwa dalam banyak tradisi, terutama dalam agama-agama samawi, para nabi adalah penggembala. Ia menggarisbawahi bahwa menggembala adalah soal kepemimpinan: merawat, mengarahkan, dan menjadi rujukan. “Hewan ternak selalu bergerombol,” tuturnya. *“*Begitu pula bangsa: ia butuh arah, bukan sekadar gerak.”

Anies lalu mengaitkan hal itu dengan kondisi politik dan kepemimpinan saat ini. Ia menyebut bahwa polarisasi tidak selalu harus berujung pada konflik atau kekerasan. Polarisasi pemikiran adalah bagian dari dinamika hidup dalam demokrasi. Yang menjadi masalah, katanya, adalah ketika perbedaan itu ditakuti, disingkirkan, bahkan ditiadakan. “Jika ada kompetisi, sah adanya perdebatan. Tapi yang keliru adalah ketika perdebatan dilarang,” tegasnya.

Dalam konteks itu, ia menyinggung pentingnya narasi dan nilai. Kepemimpinan, katanya, tak cukup jika hanya ditentukan oleh kalkulasi untung-rugi. Sebab kalkulasi itu rawan menghasilkan oportunisme. “Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang menjadikan nilai sebagai rujukan,” kata Anies. Ia lalu mengacu pada figur Cak Nun yang diikuti bukan karena jabatan, melainkan karena integritas dan nilai-nilai yang dihidupinya.

Ia menekankan bahwa krisis terbesar kita hari ini bukan hanya ekonomi atau teknologi, melainkan krisis integritas. Banyak yang memiliki kewenangan, namun tidak layak dijadikan rujukan. Maka pekerjaan rumah kita hari ini adalah mengembalikan pribadi-pribadi yang berintegritas untuk bersedia masuk dan membersihkan wilayah politik—yang selama ini keras, terjal, dan seringkali menggerus nurani.

Ia juga menyebut pentingnya rasionalitas. Dalam konteks ini, rasional bukan sekadar logika, tetapi juga keberanian membandingkan, mengukur, dan menguji gagasan. “Tidak ada kemajuan tanpa kompetisi gagasan. Dan tak ada gagasan yang sehat tanpa komentar dan kritik,” ujarnya.

Sebagai penutup, Anies mengusulkan agar narasi “Angon” tidak sekadar dimaknai sebagai individu atau institusi, tetapi juga sebagai sistem nilai dan gagasan. Ia menyebut bahwa sebagaimana dulu bangsa ini punya trilogi pembangunan sebagai pegangan, maka hari ini kita perlu kembali pada dasar—yakni Pancasila, terutama sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itu, menurutnya, bisa menjadi pengangon kolektif bangsa ini ke depan.

Darurat Kepercayaan: Menata Ulang Kepemimpinan dan Realitas Bangsa

Melewati dini hari, diskusi dilanjutkan namun semangat para jamaah tetap menyala, Sabrang Mowo Damar Panuluh memberikan pandangannya di forum. Bukan hanya sebagai penanggap, ia tampil sebagai penyulam benang-benang percakapan dari berbagai narasumber sebelumnya—merangkainya menjadi lebih utuh, jernih, dan reflektif.

Ia membuka dengan pernyataan yang menggelitik*, “*Pemimpin pembohong kadang perlu… dalam keadaan perang.” Ucapan ini bukan pembenaran atas ketidakjujuran, melainkan pengingat bahwa konteks menentukan tafsir atas tindakan. Namun ia segera menyingkap lapisan yang lebih dalam: bahwa Indonesia hari ini sedang mengalami krisis yang lebih genting dari sekadar kepemimpinan pragmatis—yakni darurat kepercayaan.

Menurut Sabrang, salah satu akar dari konflik sosial adalah perebutan realitas. Ketika masing-masing orang memegang versi kebenarannya sendiri tanpa ada ruang untuk menyinkronkan, maka benturan tak terelakkan*.* “Kalau persepsi kita berbeda dan tidak pernah bertemu dalam diskusi, kita akan bermasalah,” tegasnya. Maka, katanya, masalah personal harus dapat dikonversi ke format komunal agar bisa dihidupi bersama. Tanpa mekanisme itu, bangsa ini hanya akan terdiri atas kumpulan individu yang berserakan.

Di titik inilah Sabrang menyatakan bahwa Indonesia kekurangan infrastruktur kepercayaan—jaringan kejujuran yang menjadi dasar relasi sosial. “Kita bahkan tidak percaya hukum kita sendiri. Di Indonesia, jangan percaya pada perjanjian,” ucapnya getir. Inilah situasi dimana polarisasi bukan hanya terjadi karena perbedaan ide, tetapi karena hilangnya fondasi logika dan integritas yang menghubungkan satu warga dengan yang lain.

Baginya, membangun Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada elite atau kelompok tertentu. “Kita perlu seluruh resources dari seluruh penjuru Indonesia. Semua pikiran harus punya hak untuk didengarkan,” katanya. Sebab ide terbaik sering datang dari tempat yang tak disangka. Ia mengingatkan: lawan kita bukan saudara kita sendiri—melainkan persoalan besar di tingkat negara dan global.

Menjawab kegelisahan sebagian orang yang ingin Maiyah “difungsikan” secara politik, Sabrang dengan tegas mengutip pesan Cak Nun, “Jangan biarkan Maiyah jadi ormas atau partai. Kalau hidup, biarkan hidup. Kalau mati, biarkan mati. Karena yang membuat adalah Allah.” Dengan kata lain, Maiyah adalah ruang spiritual dan kultural yang harus tetap cair, bebas dari ambisi institusionalisasi.

Sabrang kemudian menyodorkan pemaknaan mendalam atas istilah angon—tema utama Kenduri Cinta malam itu. Menurutnya, angon bukan sekadar tindakan menggembala, tapi sebuah state of mind: kondisi mental yang sabar, jernih, dan sadar akan kompleksitas realitas. “Tidak ada manusia yang mampu menampung seluruh kenyataan,” katanya. Maka syarat dari kepemimpinan adalah kesediaan untuk jujur, sabar, dan membuka diri terhadap dialog.

Ia menutup dengan menyatakan bahwa Maiyah tidak merasa lebih suci atau lebih unggul dari siapa pun. Tapi satu hal yang menjadi kekuatannya adalah keberanian untuk menatap keburukan, bukan hanya yang ada di luar, tapi juga yang bercokol dalam diri sendiri. “Fairness itu ide Tuhan, bukan ide manusia,” tuturnya.

Dengan tenang, nyaris tanpa agitasi, Sabrang mengajak semua yang hadir malam itu untuk mengambil jalan sunyi sebagai pengangon: menjadi pemimpin dalam arti paling personal dan paling luas. Bukan karena kekuasaan, tetapi karena nilai. Bukan karena jabatan, tapi karena kepercayaan. Dan bukan untuk menguasai, tetapi untuk merawat—realitas, perbedaan, dan Indonesia.

**

Forum Kenduri Cinta Edisi Mei 2025 dilanjutkan dengan penampilan musik dari Misti Clans yang isinya adalah penggiat Kenduri Cinta: Rizal Harjanto, Mizani, dan Dhana. Mereka membawakan beberapa lagu yang membuat jamaah larut dan ikut bernyanyi bersama. Salah satu momen mengharukan terjadi saat mereka membawakan lagu “Perahu Retak” yang liriknya merupakan karya Cak Nun, menghadirkan nuansa syahdu sekaligus penghormatan. Kejutan pun hadir ketika Pathub Letto datang ke tengah forum. Bersama Sabrang, ia diminta jamaah untuk ikut bernyanyi. Dengan canda hangat, Hadi menyebut duet itu sebagai “Letto Setengah” dan meminta mereka membawakan lagu Letto. Permintaan itu pun dipenuhi, membuat forum ditutup dengan tawa, nyanyian, dan rasa kebersamaan yang begitu kuat.

Setelah itu, sesi tanya-jawab dibuka untuk jamaah yang hadir. Diskusi pun berlanjut. Bagi Ika, seorang jamaah, bulan Mei ini bukan hanya soal ulang tahun Cak Nun—melainkan juga Anies. Dalam sebuah podcast yang tayang sekitar seratus hari pemerintahan Prabowo, Anies Baswedan menyarankan agar publik memberikan benefit of the doubt pada pemerintah. Beri mereka waktu. Beri ruang untuk niat baik.

Namun waktu, seperti hujan yang terus turun pada tanah yang retak, tak selalu menyuburkan harapan. Sudah hampir tujuh bulan berlalu, dan Ika menyebutnya sebagai rentetan kekecewaan yang bersambung. Maka ia bertanya, “Berapa lama kita harus bertahan dalam keraguan yang diberi nama harapan itu?”

Pada poster Kenduri Cinta hari ini, seekor domba memamah rumput kering. Ia tetap makan, meski tak bergizi. Sebuah alegori, entah disengaja atau tidak, tentang kepemimpinan yang kehilangan kapasitas angon. Orang yang mengangon tidak lagi tahu bagaimana cara mengangon. Dan yang diangon? Mereka tetap berjalan, meski tahu arah yang dituju tak pasti. Ika bertanya pula, “Bagaimana cara menjadi pintar sebagai orang yang di-angon? Tapi mungkin pertanyaannya yang lebih mengganggu, apakah kita memang mau di-angon?”

Penanya lain, Ramos, mengalihkan sorot ke ranah yang lebih struktural—tempat dimana fondasi negara diuji bukan oleh niat, tetapi oleh sistem. Ia tak berbicara soal kekurangan dana atau sumber daya, tetapi tentang lembaga-lembaga yang gagal bekerja sebagaimana mestinya. Sebuah negara, katanya, tidak jatuh karena miskin, tapi karena kelembagaan yang lumpuh.

Dalam demokrasi, meritokrasi semestinya menjadi pangkal tolak—mereka yang ahli, yang berintegritas, yang punya kapasitaslah yang mestinya memimpin. Tapi hari ini, panggung politik lebih banyak dihuni oleh para pesulap wacana, yang viral lebih dipilih daripada yang visioner. Yang pandai memanen simpati, lebih dipercaya daripada yang mampu memikul beban.

“Lalu bagaimana caranya memilih pemimpin yang meritokratis dalam demokrasi yang sibuk dengan akrobat popularitas?” Ramos mengajukan nama Anies Baswedan—bukan sebagai gugatan, melainkan sebagai cermin. Ia bertanya, “Apakah Anies memilih tim berdasarkan meritokrasi, ataukah ada ukuran lain yang ia gunakan?”

Jamaah lain, Risma, juga ikut berbagi suara. Suara yang terdengar adalah kegelisahan yang lebih dalam—bukan tentang kebijakan, tapi tentang kepercayaan. Dalam dunia yang katanya terbuka dan rasional, justru propaganda yang tumbuh subur. Rasionalitas kerap dibahas di forum-forum akademik, bahkan dijadikan dalih oleh para elite, tetapi di ruang publik, yang lebih sering muncul adalah doktrinasi. Narasi tunggal dipaksakan, seolah kebenaran hanya boleh datang dari satu arah.

Bagi Risma, ini bukan sekadar soal siapa yang memimpin, tetapi bagaimana rakyat diposisikan. Kita yang di-angon, katanya, semakin sulit menggembala nalar sendiri. Polarisasi tak sekadar membelah pendapat, tapi meretakkan rasa percaya. Dan ketika trust hilang, tak ada rekonsiliasi yang mungkin tumbuh.

Ia bertanya, “Adakah upaya nyata untuk menyembuhkan luka-luka sosial-politik hari ini? Mengapa tak ada rekonsiliasi dari konflik yang berbasis kepercayaan? Mengapa luka dibiarkan menganga, seolah waktu bisa menyembuhkan tanpa usaha?”

Bagi Risma, yang tersisa adalah kelelahan. Kita terlalu sibuk mengurusi isu, sampai lupa siapa diri kita. Baik sebagai individu, maupun sebagai bangsa yang dulu pernah bermimpi besar dan percaya.

Ketika Demokrasi Dipompa Lagi

Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan dengan cemas dan getir, kemudian dijawab tidak dalam bentuk solusi, melainkan tafsir. Budi Ariputro menanggapi bukan dengan kepastian, tapi dengan perumpamaan yang ia kutip dari ****Wimar W. Witoelar—sebuah metafora yang sederhana, namun menggugah: demokrasi, katanya, ibarat pompa air yang tak pernah digunakan selama lebih dari tiga dekade. Kita memilikinya, tapi membiarkannya berkarat dalam diam. Ketika reformasi datang, kita mencoba memompanya lagi. Air yang keluar pertama-tama memang keruh—bercampur karat, debu, dan sisa-sisa kekuasaan lama. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Demokrasi, bagi Budi, bukan sistem yang sempurna, tetapi ia satu-satunya yang memberi ruang untuk terus belajar menjadi warga. Jangan sampai kita, karena lelah dengan keruhnya air, memilih kembali ke sumur yang kering, ke zaman di mana suara dibungkam dan nalar dipelintir.

Di tengah kebisingan propaganda, di antara erosi kepercayaan, dan dalam iklim yang tak lagi ramah terhadap perbedaan, Budi mengajak agar kita tidak menyerah. Pompa itu harus terus dijalankan, karena hanya dengan begitu, air bersih itu—yang disebut partisipasi, musyawarah, keadilan, atau bahkan sekadar ruang untuk bicara—akan mengalir. Pelan, tapi mungkin.

Kebijaksanaan yang Diangon

Karim yang juga sebagai moderator, tak sekadar menjadi penjaga alur. Ia sesekali menyalakan percik api diskusi. Ia meminta Arie Putra untuk turut bersuara. Maka lahirlah satu fragmen penting dari diskusi malam itu. Tentang angon, tentang negara, tentang kebijaksanaan yang tak cukup hanya dihafalkan dalam buku kewarganegaraan.

“Angon itu soal melayani,” ujar Arie. Sebuah kalimat yang sederhana tapi, seperti pisau kecil yang menyingkap luka besar, mengoreksi satu penyakit sistemik: politik gagasan yang berjalan sendiri, tanpa tubuh pelayanan. Negara, lanjutnya, seharusnya tahu siapa yang sedang dilayani, sebelum menentukan apa yang paling dibutuhkan.

Arie menyitir Max Weber, sosiolog Jerman yang tak asing bagi ruang-ruang kuliah ilmu sosial: negara adalah entitas yang memonopoli kekerasan. Tapi pengetahuan tentang itu, tanpa kebijaksanaan, hanya akan menciptakan administrasi yang dingin. Birokrasi yang kaku. Lebih buruk, kekuasaan tanpa nurani.

Meritokrasi, dalam pandangan Arie, bukanlah daftar nama yang dikurasi berdasarkan IPK atau jabatan akademik. Ia adalah proses dialektik yang tumbuh dan bergerak bersama semangat zaman. Orang-orang yang pantas memimpin bukan mereka yang sekadar “siap”, tapi mereka yang dipersiapkan oleh sistem yang sehat.

Zastrouw Al-Ngatawi pernah mengingatkan, “Demokrasi datang untuk mengevaluasi keburukan monarki—monopoli kekuasaan, stagnasi kepemimpinan, ilusi ketuhanan dalam raja.” Tapi, kata Arie, demokrasi belum tentu mampu meneruskan kebaikan dari sistem lama: etika menjaga kekuasaan, bukan mengeksploitasinya. Dalam monarki, seorang pangeran dipersiapkan. Di Ottoman, Sultan Mehmed bahkan mengalami kerasnya didikan dari penasihat kerajaan—karena kelangsungan bangsa dianggap lebih penting dari kenyamanan pribadi.

Sementara di republik ini, meritokrasi masih berkelahi dengan sensasi. Partai politik yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi, justru sering menjadi sarang negosiasi pragmatis. Arie menghitung, jika partai sehat, 60–70 persen persoalan bangsa bisa selesai. Tapi hari ini, yang sering kita lihat justru sebaliknya, partai menjadi alat distribusi kekuasaan, bukan rumah dialektika.

“Kekuatan seseorang diuji ketika kekuasaan ada di tangannya,” tutup Arie.

Maka, angon bukan sekadar menggiring domba. Ia adalah kompas moral, penjaga arah, dan ruang diskursif di mana fairness bukan sekadar jargon, melainkan praksis harian dalam tiap keputusan. Pemerintah, seharusnya, tidak hanya tahu ke mana menggiring. Tapi tahu, siapa yang mereka layani.

Dari Pelayanan Menuju Pergerakan

Sesudah Arie dan Budi, jamaah tampak terdiam sejenak—takjub, barangkali. Tapi bukan karena pujian atau retorika. Melainkan karena kedalaman, ketepatan, dan keberanian menempatkan “politik” kembali ke tempatnya yang luhur. Ketika mikrofon beralih ke Anies Baswedan, suasana berubah, tapi tak bergeser dari derajat kesadaran. Ia datang bukan untuk menggurui, melainkan memberi kerangka—frame of understanding—atas paradoks hari itu.

“The best predictor of your future behaviour is your past behaviour,” ujarnya mengawali. Kalimat sederhana, tetapi tak ubahnya pisau bedah bagi ruang demokrasi yang hari ini sesak oleh kosmetika pencitraan. Janji kampanye, kata Anies, hanya bisa kredibel jika ditopang oleh rekam jejak. Demokrasi tidak boleh hanya menjadi seni mengelola harapan, tetapi juga kemampuan menunaikan kepercayaan.

Meritokrasi tak bisa berhenti di panggung pemilu. Ia harus menjadi arsitektur dasar yang menopang semua sektor, dari birokrasi sampai pendidikan, dari diplomasi hingga olahraga. Ketika yang di “atas” gagal menjaga, maka seluruh struktur akan ikut rapuh. “Yang bisa menerapkan meritokrasi adalah yang ada di atas, tidak bisa dimulai dari tengah,” katanya tegas.

Ia menyebut contoh: seorang guru dari Sumatera mengeluhkan penerimaan P3K yang penuh nepotisme. Ketika protes, jawabannya justru mencerminkan pembusukan sistemik: *“*Yang di Jakarta saja bisa seperti itu, kenapa di Sumatera tidak boleh?” **Bukankah ini logika pembusukan vertikal?

Brazil, katanya, selalu lolos ke Piala Dunia karena meritokrasi dijaga di sepak bolanya—sementara sektor lain porak poranda karena patronase. Demokrasi pun begitu, jika partai politik tidak menjadi penyaring awal dengan merit, maka publik tak punya pilihan yang bermutu. Sementara merit sendiri, tanpa integritas dan relevansi, hanyalah angka-angka kering dalam CV.

Anies bicara pula soal ownership. Ia menolak gagasan bahwa rakyat hanya pelayan atau pengguna. Republik ini, tidak didirikan atas dasar jasa pelayanan, tapi atas dasar pergerakan. Jika mempertahankan republik hanya jadi program pemerintah, maka pertempuran Surabaya 10 November 1945 tak akan pernah terjadi. Dalam gerakan, ada kepemilikan. Dalam kepemilikan, ada keterlibatan. Dalam keterlibatan, ada kepercayaan.

Integritas, kata Anies, bukan sekadar moralitas. Tapi kapasitas untuk mengambil keputusan tanpa menimbang untung pribadi. Ia mencontohkan Syafruddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia yang saat sanering tidak memberitahu istri dan keluarganya demi integritas kebijakan. Bandingkan dengan hari ini, sebelum keputusan diketuk, bocorannya sudah viral di grup WhatsApp.

Ia mengingatkan, dalam demokrasi, tidak ada musuh. Yang ada hanyalah lawan—dan lawan dalam demokrasi harus saling menguatkan, bukan saling menghabisi. Maka dari itu, kampanye rekonsiliasi harus dimulai, seperti balon yang diikat di tengah saat pemilu, setelahnya ia kembali bulat. Demokrasi bukan tentang menang, tapi tentang merangkul. Tentang sikap kenegarawanan, bukan hanya strategi elektoral.

Dan akhirnya, pelayanan—yang sering dijadikan standar minimal kepemimpinan—seharusnya ditransformasikan. Dari pelayanan menuju kerja sama, dari kerja sama menuju kolaborasi, dan dari kolaborasi menuju pergerakan. Sebab republik ini lahir bukan dari birokrasi, tetapi dari keberanian orang-orang biasa yang merasa memiliki negeri ini.

Kapal Indonesia: Seruan dari Gelombang Maiyah

Sabrang turut menambahkan dari pertanyaan dan respon yang sudah disampaikan pembicara lain. Ia berbicara dengan suara yang tenang namun tajam, mengurai benang kusut demokrasi Indonesia yang pelik. Dari Maiyah, ia menyampaikan pesan yang sederhana namun sarat makna: “Mbok rakyat dilibatkan.”

Kata-kata itu bukan sekadar seruan biasa. Ia mengingatkan pada sebuah paradoks zaman: Soekarno pernah berkata, “Lebih mudah zamanku karena lawannya penjajah, tetapi zamanmu akan lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.” Memang benar, melawan penjajah jelas musuhnya bisa dikenali, bahkan berujung pada pertempuran fisik. Tapi bagaimana ketika musuh itu adalah sesama anak bangsa? Bagaimana ketika perpecahan datang dari dalam?

Sabrang menolak gagasan yang sudah akrab namun problematik, bahwa partai politik adalah penentu pemimpin. Demokrasi, ia ingatkan, bukanlah hal yang otomatis bisa diterima dan dimengerti oleh semua orang. Bahkan Plato, sang filsuf agung, meragukan proses pemilihan itu. Karena memilih bukan sekadar hak, melainkan sebuah kemampuan—skill—yang harus dipelajari dan diasah.

Di sinilah problematika besar kita muncul. Semua punya hak suara, tapi berapa banyak yang benar-benar mampu memilih dengan penuh kesadaran? “Kampanye lewat TikTok dan Instagram jadi efektif,” katanya, “bukan karena kualitas ide, melainkan karena kemampuan memilih masyarakat masih terbatas pada apa yang bisa dipahami dengan instan.”

Demokrasi tanpa pendidikan politik, tanpa kemampuan memilih, hanyalah arena yang kacau, tempat preferensi pribadi berputar tanpa landasan yang kokoh. “Kita buta politik,” ujar Sabrang. “Kita tak punya parameter lain kecuali naluri dasar manusia.”

Di tengah kebingungan itu, ada kekuatan, viralitas. Sabrang melihat viral sebagai tanda bahwa masyarakat masih punya potensi bergerak, asalkan ada kemampuan untuk merumuskan masalah secara jelas. Karena entitas bernama Indonesia punya tujuan besar, yakni memakmurkan rakyatnya. “Musuh kita,” **katanya tegas, “adalah siapa saja yang menghalangi kemakmuran itu.”

Di ranah hukum dan keadilan, Sabrang membawa kita kepada etika sebagai lautan tempat hukum berlayar. Ia menyinggung eksperimen Skinner dan studi fairness monyet sebagai gambaran naluri keadilan yang melekat pada makhluk hidup, bukan hanya manusia.

Namun, kita selalu defensif. Kenapa? Karena tanpa metodologi untuk menghadapi krisis dan tanpa transparansi, kita kehilangan visibilitas akan kenyataan. Yang tersisa hanyalah prasangka, yang memperkeruh suasana.

Di sini, kejujuran muncul sebagai modal utama yang paling berharga. Seperti Nabi Muhammad yang disebut Al-Amin—yang dijuluki jujur sebelum mengemban misi kenabian—kejujuran menjadi pondasi untuk mempercayai dan memperbaiki. “Tanpa kejujuran, kita tak akan tahu masalah dan tak punya kesempatan memperbaiki,” tegas Sabrang.

Maiyah tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin kesempatan. Kesempatan untuk ikut membangun bangsa bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek yang bergerak bersama, dalam sebuah gerakan yang melampaui program pemerintah. “Kami siap membantu, asalkan tujuannya jelas,” ujar Sabrang.

Sabrang menutup dengan sebuah permohonan yang menyentuh: “Wahai para pemimpin dan pemerintah, beri kami ruang dan kesempatan untuk ikut berjuang dan mendukung mimpi Indonesia. Kami bukan musuh. Kami hanya ingin membuka tabir apa yang sebenarnya terjadi dan ikut membangun.”

Di akhir malam itu, satu kalimat menggetarkan ruang diskusi: “Indonesia adalah kapal kita bersama. Seburuk apapun kondisinya, kami tidak akan membiarkan kapal ini karam. Kami mau berjuang bersama.”

Dalam hening yang sempat menyusup setelah kata-kata itu, tersimpan harapan besar, bahwa demokrasi bukan sekadar sistem yang berfungsi secara mekanik, tapi sebuah pergerakan yang melibatkan seluruh rakyat dengan kejujuran, etika, dan keberanian untuk bersama-sama menjaga kapal bangsa ini tetap mengarungi samudra perubahan.

Penutupan: Melabuhkan Inspirasi, Menyalakan Optimisme

Sebagai penutup sesi diskusi, Anies Baswedan mengajak setiap jamaah yang hadir untuk berhenti sejenak — tidak sekadar menutup, tapi juga meresapi. **”Kita melakukan refleksi kolektif,” katanya lembut, “setiap kita melihat, mendengar, dan merenungkan. Namun, pengalaman dan pesan yang kita bawa pulang pasti berbeda, tergantung dari mana kita berdiri dan apa yang kita rasakan.”

Kata-katanya mengajak setiap jamaah untuk tidak buru-buru menutup forum malam itu, karena di dalamnya tersimpan kekayaan yang tak ternilai: dialog, pengalaman, dan pengetahuan yang lahir dari interaksi manusia yang jujur dan terbuka.

“Forum ini adalah ruang inspirasi,” ujarnya. “Inspirasi itu bukan hasil meditasi yang terasing, melainkan buah dari interaksi — malam ini kita berinteraksi dengan pikiran, dengan hati, dengan semangat.”

Ia mengingatkan, rasa memiliki terhadap republik ini harus semakin kuat. *”*Kita tidak ingin kapal Indonesia karam,” ucap Anies, “tetapi kita ingin kapal ini berlayar dengan gagah menuju cita-cita luhur: keadilan dan kemakmuran bagi semua.”

Di tengah derasnya arus skeptisisme yang memangkas kepercayaan bangsa, Anies memanggil kenangan akan kata-kata Soekarno: “Berikan saya 10 pemuda, kita akan mengguncang dunia.” Sebuah keyakinan yang lahir di tengah keterbatasan—saat 95 persen bangsa masih buta huruf. Namun Bung Karno tidak pernah pesimis.

“Mudah-mudahan,” Anies menutup, **”ruang bebas seperti yang kita nikmati malam ini, membawa kita pada hari-hari yang lebih cerah.”

Dalam kesunyian yang menyusup setelah kata-katanya, tersimpan janji dan harapan. Bahwa meski gelombang cobaan menerpa, layar kapal bangsa ini akan tetap terbentang, mengarungi samudra masa depan dengan semangat bersama, optimisme, dan cinta yang tak pernah padam.


Menjelang pukul tiga dini hari, suasana Kenduri Cinta perlahan mengendap dalam kekhidmatan. Setelah rentetan diskusi yang padat makna dan dialog yang menyentuh nalar dan nurani, forum ditutup dengan lantunan Indal Qiyam—sebuah penanda bahwa Kenduri Cinta Edisi Mei 2025 telah sampai pada ujungnya, namun ruhnya masih menggema dalam dada para jamaah. Syair Shohibul Baiti mengalun pelan, membalut udara dini hari dengan keharuan yang lembut. Jamaah berdiri tenang, sebagian memejamkan mata, larut dalam lantunan yang tak hanya musikal tapi juga spiritual.

Dalam hening yang menyelimuti Taman Ismail Marzuki itu, doa penutup dipanjatkan, mematri seluruh percakapan dan permenungan malam dalam simpul yang khusyuk. Pesan tentang angon—yang tak lagi sekadar menggembala, tetapi merawat, mengarahkan, dan memahami diri sendiri serta sesama—menjadi kesimpulan tak terucap namun terasa kuat di hati setiap yang hadir. Cahaya lampu temaram tak mampu menandingi nyala yang tersisa di mata para jamaah.

Di sela khidmat itu, kerinduan pada sosok Cak Nun terasa begitu lekat. Nama dan doa untuk beliau beberapa kali terucap, mengalir dari lisan yang penuh cinta dan syukur. Di bulan Mei ini, saat beliau genap berusia 72 tahun, doa-doa terbaik dipanjatkan untuk kesehatan, keberkahan usia, dan keteguhan beliau dalam menjadi penjuru nilai bagi jutaaan hati yang terus belajar mencintai Indonesia dan memanusiakan manusia. Forum Kenduri Cinta telah selesai, namun semangatnya—seperti biasa—masih menggembala mereka yang pulang membawa pertanyaan, harapan, dan tekad baru. Sampai bertemu kembali pada Kenduri Cinta edisi Juni 2025, sebagai penanda 25 tahun perjalanan forum ini berdiri—seperempat abad melayani, memelihara makna, dan kesetiaan pada nilai.

(Red KC/Ansa)

SendTweetShare
Previous Post

Gunung Kembar dan Bebek Kiri: Warisan Visual Pendidikan Kita

Next Post

Bagaimana Hari-Hari Kami Berbagi Api

Redaksi Kenduri Cinta

Redaksi Kenduri Cinta

Redaktur Kenduri Cinta

Related Posts

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan
Reportase

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

June 20, 2025
Trapsila: Patrap Tumraping Sila
Reportase

Trapsila: Patrap Tumraping Sila

April 15, 2025
Kenduri Cinta reportase puisi puasa
Reportase

Puisi Puasa: Menjernihkan Hati, Menjaga Asa

March 19, 2025
Reportase Kenduri Cinta Estafet Syukur
Reportase

Estafet Syukur: Merayakan Syukur dengan Kesungguhan dan Kasih Sayang

February 20, 2025
Reportase kenduri cinta tanah air paradoks
Reportase

Tanah Air Paradoks: Menyemai Pemikiran, Mencari Kebenaran dalam Kebersamaan

January 25, 2025
Frekuensi Kegembiraan Perjalanan Menuju Kebahagiaan Sejati
Reportase

Frekuensi Kegembiraan: Perjalanan Menuju Kebahagiaan Sejati

December 24, 2024

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta