Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

25 Tahun Kenduri Cinta: Setia Menjadi Forum yang Egaliter

Fahmi Agustian by Fahmi Agustian
June 17, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
25 Tahun Kenduri Cinta Setia Menjadi Forum yang Egaliter

SAYA MENULIS refleksi ini setelah semalam menyaksikan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia dibantai oleh Jepang dengan skor telak 6–0. Banyak analisis, banyak alasan, dan tentu saja banyak bahan diskusi yang bisa kita bahas dari kekalahan tersebut. Pertandingan itu memang berlangsung timpang. Kualitas tim Jepang yang jauh lebih unggul menjadikan skor tersebut terasa wajar. Bagi kita, para pendukung Indonesia, kekalahan dari Jepang adalah sebuah calculated loss—kekalahan yang bisa diprediksi sejak awal.

Namun yang mengecewakan, tim kita tampak tak mampu memberikan perlawanan berarti. Bahkan satu pun tendangan ke arah gawang Jepang tidak tercatat sepanjang pertandingan.

Pencapaian Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) bukanlah hasil kerja satu-dua tahun. Mereka bahkan telah menargetkan diri untuk menjadi juara dunia pada tahun 2050. Ironisnya, salah satu inspirasi awal pembangunan sistem sepak bola mereka datang dari GALATAMA—liga sepak bola utama di Indonesia pada masa lalu. Kini, Jepang memetik hasil dari perencanaan matang dan perjalanan panjang yang dijalani secara konsisten. Banyak pemain Jepang kini merumput di klub-klub besar Eropa, menandakan bahwa pemain Asia pun layak bersaing di level tertinggi.

Sepak bola, bagi sebagian besar masyarakat dunia, bukan sekadar hiburan. Ia adalah ruang bersama, tempat rakyat merasa bersatu. Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, rakyat tidak membutuhkan tambang atau proyek-proyek strategis nasional untuk merasa bahagia. Mereka hanya butuh hiburan yang jujur, seperti sepak bola—untuk sejenak mengendapkan penat hidup sehari-hari.


Dua puluh lima tahun yang lalu, pada bulan Juni 2000, sekelompok orang menginisiasi sebuah forum terbuka di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta sebuah nama yang dipilih. Dalam istilah budaya, Kenduri adalah semacam perayaan, kesyukuran, pesta. Jika ditranslasi ke bahasa inggris, kami menyebutnya: The Feast of Love.

Beberapa nama inisiator yang disebut oleh Pak Munzir antara lain: Syahid Ibrahim, Arman, Adi Pudjo, Rusydi, Boim, Andrie Sis, Andre, Oman, termasuk Rony Oktavianto—yang masih aktif hingga hari ini. Tentu semua itu juga tak lepas dari peran besar Cak Nun saat itu. Seperempat abad berlalu, forum ini masih tegak berdiri di Jakarta.

Kenduri Cinta lahir dari kesadaran bahwa rakyat membutuhkan wadah untuk berkumpul, berbicara, dan berbagi. Sebuah forum terbuka yang mempersilakan siapa pun hadir—apa pun latar belakangnya. Jakarta yang keras dan penuh tekanan menjadi medan yang tepat bagi forum seperti ini untuk tumbuh.

Banyak yang menyebut Kenduri Cinta sebagai oase di tengah padatnya ibu kota. Sebuah ruang untuk berhenti sejenak, merenung, menyerap energi. Di kota yang gemerlap, kota di mana uang berputar—bahkan hampir 80% perputaran uang nasional terjadi di sini—Kenduri Cinta hadir setiap bulan, tepatnya di Jumat kedua, menjadi tempat bernaung sejenak dari bisingnya dunia.

Yang datang pun beragam. Dari berbagai usia, latar pendidikan, etnis, agama, profesi—semuanya berkumpul tanpa sekat. Forum ini menjadi ruang egaliter yang hidup dari kejujuran dan kehangatan pertemuan.

Sebagai komunitas, Kenduri Cinta bertahan berkat kesadaran akan pentingnya regenerasi. Pergantian penggiat terjadi secara alami. Mereka yang terlibat hadir dengan semangat yang sama: menjaga nilai-nilai yang diajarkan oleh Cak Nun. Mereka setia menjalani proses, tumbuh bersama forum ini, dan terus berkreasi demi keberlanjutannya.

Selama 25 tahun, Kenduri Cinta dikelola oleh manusia-manusia dengan wajah yang berbeda. Generasi awal memiliki tantangannya sendiri. Generasi sekarang menghadapi dinamika yang lebih kompleks. Namun satu hal yang tak berubah adalah semangatnya. Forum ini terus bertahan, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

Seperti halnya sepak bola yang menjadi hiburan paling jujur bagi rakyat, Kenduri Cinta pun menawarkan hiburan—bukan dalam bentuk sorakan di stadion atau euforia gol—melainkan hiburan yang lebih dalam: ketenangan batin, kebahagiaan dalam berpikir, dan kelegaan dalam menemukan makna.

Di tengah hidup yang penuh tekanan, banyak orang datang ke forum ini bukan semata mencari jawaban, tapi untuk merasakan kehadiran. Kenduri Cinta menjadi tempat di mana siapa saja bisa hadir, tanpa tiket, tanpa syarat, tanpa seleksi—dan itulah esensi hiburan sejati: membebaskan dan memanusiakan.

Forum ini bukan panggung selebriti. Tidak ada sekat antara yang bicara dan yang mendengar. Di Kenduri Cinta, rakyat diberi tempat untuk bersuara, berdialog, dan saling menguatkan satu sama lain. Seperti sepak bola yang menyatukan jutaan orang dalam satu stadion atau layar televisi, Kenduri Cinta menyatukan kerinduan rakyat akan ruang yang jujur dan merdeka.

Apa yang dilakukan Jepang dalam membangun sepak bola mereka adalah contoh bagaimana kesabaran dan ketekunan membuahkan hasil. Mereka belum selesai—target mereka masih di depan. Tapi saat ini, mereka sudah bisa mencicipi hasil dari apa yang mereka tanam dan rawat.

Begitu pula dengan Kenduri Cinta. Forum ini mungkin tidak memiliki target jangka pendek, menengah, atau panjang sebagaimana JFA membangun sepak bola Jepang. Tapi Kenduri Cinta punya mimpi yang tak kalah besar: “Menegakkan Cinta, Menuju Indonesia Mulia.”

Mimpi itu menjadi visi jangka panjang yang terus dijalani. Dalam kerendahhatiannya, forum ini menempatkan diri seperti semut Ibrahim—yang membawa tetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Tak peduli besar kecil dampaknya, tapi jelas keberpihakan dan niatnya.

Sebagai pribadi yang pernah atau masih bersentuhan dengan Kenduri Cinta, dan tentu juga dengan Cak Nun, kita pantas mengakui bahwa ada pengaruh besar dari forum ini dalam kehidupan kita. Sedikit atau banyak, pasti ada. Nilai-nilai yang kita serap dari Kenduri Cinta tidak selalu tampak di permukaan, tapi tumbuh perlahan dalam cara kita berpikir, bersikap, dan berbuat.

Selamat ulang tahun, Kenduri Cinta. Perjalanan belum selesai. Kita akan terus berjalan. Kita akan terus menanam. Dan kita akan tetap percaya bahwa setiap benih cinta yang kita tanam, akan berbuah di waktunya.

SendTweetShare
Previous Post

Menyeberangi Bara, Membawa Damar

Next Post

Pertumbuhan tanpa Deru

Fahmi Agustian

Fahmi Agustian

Related Posts

Who Wants to be a Mediocre?
Esensia

Who Wants to be a Mediocre?

July 14, 2025
Wewaler: Rezeki Dipatuk Ayam
Esensia

Wewaler: Rezeki Dipatuk Ayam

July 13, 2025
Segala yang Pergi, Segala yang Tinggal
Esensia

Segala yang Pergi, Segala yang Tinggal

July 7, 2025
Ada Kenduri Cinta di Mata Bapak
Esensia

Ada Kenduri Cinta di Mata Bapak

July 6, 2025
Dari Patah Hati Menuju Samudra Cinta
Esensia

Dari Patah Hati Menuju Samudra Cinta

July 5, 2025
Alam: Objek Eksploitasi atau Subjek Kehidupan?
Esensia

Alam: Objek Eksploitasi atau Subjek Kehidupan?

July 3, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta