“Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa cahaya.”
BEGITU petuah lama yang sering kita dengar sebagai masyarakat awam. Kalimat ini sederhana, tetapi menyimpan filosofi mendalam, bahwa ilmu sejatinya tidak hanya untuk mengasah akal, melainkan juga menundukkan hati. Berbicara tentang ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan dari kultur budaya yang sudah ada di Indonesia. Salah satu yang paling mencolok dan kentara jika membahas ilmu dan adab adalah model pendidikan kultural Indonesia yang khas: “Pesantren Nusantara”. Kita tahu eksistensi atau keberadaan pesantren sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Sejarah mencatat, pesantren sudah eksis jauh sebelum berdirinya negara ini. Sejak abad ke-15, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren menjadi pusat penyebaran Islam dan pendidikan rakyat.
Pendidikan yang dikembangkan oleh Pesantren selalu mengedepankan adab sebagai jantung pendidikan, sementara ilmu adalah ruhnya. Namun di era modern yang serba terbuka, kedua hal ini sering disalahartikan, yang berujung pada kondisi bahwasanya adab sebagai budaya pesantren dianggap sebagai sebuah bentuk “Feodalisme” dan meninggalkan sisi “Egaliterisme”. Kondisi feodalisme yang menekankan penghormatan hierarkis dan egaliterisme yang menuntut kesetaraan sering kali dipertentangkan. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kondisi feodalisme yang berlebih akan mengarah kepada kondisi kesenjangan sosial dan diskriminasi serta menghilangkan nilai egaliterisme Padahal, kedua konsep tersebut bisa hidup berdampingan dalam harmoni yang mendidik sekaligus membebaskan.
Feodalisme di pesantren kerap dipahami sebagai bentuk struktur sosial yang kaku, di mana posisi kiai dan santri terpisah oleh jarak simbolik yang tinggi. Namun sejatinya, feodalisme di sini bukanlah bentuk kekuasaan, melainkan sistem nilai yang mengajarkan takzim, khidmah, dan kerendahan hati. Santri patuh bukan karena takut, tetapi karena sadar bahwa ilmu menuntut hormat. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujādalah ayat 11, Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Ayat tersebut menunjukan bahwa penghormatan terhadap guru dan ilmu bukan bentuk penindasan, melainkan jalan menuju keluhuran derajat.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, Syaikh Al-Zarnuji memberikan nasihat: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu, kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya.” Dalam praktiknya, struktur yang disebut feodalisme di pesantren memiliki fungsi pendidikan yang mendalam. Ia melatih santri untuk belajar dalam kerendahan hati, mengutamakan keberkahan di atas kecerdasan, dan mengedepankan adab sebelum ilmu. Melalui khidmah, seorang santri belajar disiplin dan tanggung jawab sosial, kondisi yang terjadi ini bukan alat penindasan, melainkan media penempaan moral. Pembelajaran ini mengasah santri agar kelak menjadi manusia yang siap memimpin dengan adab dan empati.
Namun zaman terus bergerak. Dunia yang saat ini serba modern semakin menuntut keterbukaan dan partisipasi. Generasi muda kini tumbuh di era di mana suara ingin didengar, gagasan ingin dihargai, dan kebenaran tidak lagi ditentukan oleh posisi sosial. Di titik inilah nilai egaliterisme muncul dan bertumbuh secara masif. Santri mulai diajak berdialog, bukan hanya mendengar; diberi ruang berpendapat, bukan sekadar menerima. Perubahan ini bukanlah ancaman, melainkan penanda bahwa pesantren sedang menyesuaikan diri dengan semangat zaman. Rasulullah pernah bersabda, “Mudahkanlah urusan manusia dan jangan mempersulit mereka.” (HR. Bukhari, No. 6125). Hadist tersebut menjelaskan bahwa pendidikan Islam sejatinya adalah ruang pemberdayaan, menguatkan dan mengedepankan kesetaraan bukan menekan salah satu pihak.
Pemikiran bahwasanya feodalisme dan egaliterisme adalah satu kesatuan dalam dunia pendidikan juga diungkapkan oleh Bung Karno, yang berkata, “Pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan, bukan dari adabnya.” Ungkapan ini menyiratkan keseimbangan yang sejalan dengan nilai-nilai pesantren: kebebasan berpikir harus berakar pada rasa hormat, dan penghormatan kepada guru tidak boleh mematikan daya kritis. Sementara Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menambahkan perspektif yang indah: “Di pesantren, engkau belajar bukan untuk menjadi siapa-siapa, tetapi untuk tahu siapa dirimu.” Kutipan ini menggambarkan hakikat pendidikan pesantren yang sebenarnya: bukan melahirkan manusia yang tunduk tanpa berpikir, tapi menumbuhkan insan yang sadar tempatnya di hadapan Tuhan, guru, dan sesama manusia.
Pesantren hari ini bukan sedang kehilangan arah, tetapi tengah mencari bentuk terbaiknya di tengah perubahan zaman. Feodalisme yang mendidik menjaga akar tradisi dan adab, sedangkan egaliterisme yang membebaskan membuka jendela dunia baru bagi para santri untuk berani berpikir kritis. Keduanya adalah kekuatan yang, bila dipadukan dengan bijak, akan melahirkan generasi yang beradab, berpengetahuan, dan berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun. Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang tunduk atau bebas, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara hormat dan merdeka. Mungkin, di situlah pesan paling penting dari dunia pesantren untuk zaman ini: bahwa tunduk tidak selalu berarti terbelenggu, dan kebebasan tidak selalu berarti kehilangan arah. Sebagaimana api memberi cahaya tanpa membakar, pesantren mengajarkan bahwa ilmu harus memancarkan kebijaksanaan, mendidik dengan hormat, membebaskan dengan cinta.






