Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Reportase

REPORTASE: WARTHASASTRA

Redaksi Kenduri Cinta by Redaksi Kenduri Cinta
December 18, 2025
in Reportase
Reading Time: 24 mins read
REPORTASE: WARTHASASTRA

Hujan deras bercampur angin kencang mengguyur Jakarta sore itu. Sisa-sisa awan mendung terbawa menutupi langit di halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Harum tanah basah turut menyambut langkah kaki para jamaah Kenduri Cinta. Cahaya panggung sederhana, memantulkan kehangatan ke wajah-wajah jamaah yang duduk bersila di atas hamparan terpal. Satu per satu mereka berdatangan dengan latar belakang yang beragam: , sebagian masih mengenakan pakaian kerja, sebagian lain hadir bersama kawan, ada pula yang datang bersama keluarga.

Diantara hiruk pikuk kota dan rutinitas yang melelahkan, malam itu mereka bertemu dalam satu niat yang sama: berkumpul, berbagi, dan menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan pada Kenduri Cinta edisi 263: Warthasastra

Forum dibuka dengan pembacaan Tawashshulan yang didampingi oleh Mizani, Munawir, Haddad, Awan, dan Rizal. Lantunan doa mengalir pelan, meneduhkan suasana, sekaligus menjadi penanda dimulainya Kenduri Cinta edisi 263. Di antara hening dan kekhusyukan, jamaah diajak menata niat bahwa pertemuan malam itu bukan sekadar forum diskusi, melainkan ikhtiar bersama untuk membersihkan cara mendengar, membaca, dan memaknai warta yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Usai lantunan Tawashshulan menutup pembukaan forum dengan suasana khidmat, panggung kemudian diisi oleh dramatic reading yang dikombinasikan dengan aksi teatrikal oleh Jay. Dengan gestur yang terukur dan intonasi yang tegas, Jay membawakan tulisan Cak Nun berjudul Realitas Sejarah sebagai Aktor serta Dagang Informasi. Teks-teks tersebut dihidupkan bukan semata sebagai bacaan, melainkan sebagai pengantar reflektif yang menyingkap relasi antara sejarah, warta, dan kepentingan. Dari panggung sederhana itu, jamaah diajak perlahan masuk ke tema Warthasastra—tentang bagaimana informasi diproduksi, diperdagangkan, dan memengaruhi kesadaran manusia hari ini.

“Kenduri Cinta Academy menjadi ikhtiar untuk membaca, merumuskan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai Cak Nun dalam bahasa zaman.” —Tri Mulyana

Setelah penampilan Jay, Ansa naik ke panggung dan terlebih dahulu menyampaikan apresiasi kepada Jay sebagai penggiat Kenduri Cinta sekaligus seniman Taman Ismail Marzuki. Ia kemudian mengajak jamaah untuk merapat ke depan dan mengisi ruang-ruang kosong, agar mereka yang datang belakangan tetap dapat menyesuaikan tempat dengan nyaman. Suasana pun terasa lebih padat dan menyatu, menegaskan watak Kenduri Cinta sebagai ruang kebersamaan.

Memasuki pembukaan diskusi, Ansa menandai pertemuan ini sebagai edisi akhir tahun 2025, sebuah momentum reflektif untuk membaca ulang arah dan makna perjalanan bersama. Ia memperkenalkan Tri yang malam itu mendampinginya sebagai moderator, lalu memanggil para narasumber yang akan terlibat dalam forum: Ian L. Betts, Mufthie, dan Pram. Ketiganya naik ke panggung dengan balutan pakaian putih, menghadirkan kesan sederhana sekaligus simbolik, seolah menjadi kanvas kosong bagi gagasan-gagasan yang akan dirajut sepanjang diskusi.

Tri kemudian mengambil alih forum dengan mengawali ucapannya dengan rasa terima kasih kepada seluruh jamaah yang hadir. Ia menyinggung kondisi cuaca Jakarta sore itu yang cukup ekstrem hujan deras mengguyur kawasan Jakarta namun tak menyurutkan langkah jamaah untuk tetap datang dan berkumpul. Bagi Tri, kehadiran ini bukan sekadar soal fisik, melainkan penanda kesungguhan batin untuk terus belajar dan bertumbuh bersama.

Memasuki substansi, ia menyebut tema diskusi di penghujung tahun ini sebagai sebuah pertemuan antara “kiri dan kanan”, sebuah dikotomi yang sejak awal memang disiapkan dengan mukadimah yang dalam. Dalam alur penjelasannya, Tri turut menginformasikan bahwa pada 26 November 2025 lalu, para penggiat Kenduri Cinta telah menyelenggarakan Kenduri Cinta Academy di Winners Cafe. Kehadiran Kenduri Cinta Academy, menurutnya, berangkat dari kebutuhan untuk mentransfer nilai-nilai Cak Nun dan marja’ Maiyah lainnya ke dalam bentuk “padatan-padatan” yang lebih aplikatif secara semangat dan praksis.

Karena sifatnya yang akademis, Kenduri Cinta Academy diharapkan menjadi ruang elaborasi nilai. Tri menekankan bahwa pendekatan Islam yang dilakukan Cak Nun sangat luas, tidak semata tekstual, melainkan kultural menggunakan budaya sebagai medium untuk mentransfer Islam secara lebih inklusif dan membumi. Dalam konteks itu, Kenduri Cinta Academy menjadi ikhtiar untuk membaca, merumuskan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut dalam bahasa zaman.

“Setiap informasi selalu hadir bersama teks dan konteks. Namun dalam praktiknya, konteks sering kali terpinggirkan.” —Ansa Gaora

Tri kemudian mengumumkan bahwa pertemuan kedua Kenduri Cinta Academy akan dilaksanakan pada Rabu, 17 Desember, dengan mengangkat buku Markesot Bertutur melalui tajuk Markesot Bertutur: Divine in the Ordinary. Tema ini, menurutnya, masih bersambung erat dengan diskusi malam itu. Ia mengingatkan bahwa sesi kedua Kenduri Cinta Academy hanya membuka kuota untuk 30 orang, dengan mekanisme seleksi berupa pengajuan latar belakang alasan kehadiran sebuah proses yang ia sebut, setengah berseloroh namun serius, sebagai “war tiket”.

Masuk ke inti tema edisi ini, Tri menjelaskan bahwa diskusi malam itu dirumuskan dari tiga kata kunci: Warta, Artha, dan Sastra. Ia memandang ketiganya sebagai representasi dikotomi dua kutub yang saling tarik-menarik dalam kehidupan manusia modern. Warta, atau berita dan informasi, melahirkan dilema di tengah banjir informasi yang kian tak terbendung antara suara yang bermakna (voice) dan kebisingan (noise). Artha, yang merujuk pada harta atau uang, ia ilustrasikan melalui realitas politik: bagaimana seorang politisi tidak cukup hanya bermodal kapasitas, tetapi juga dituntut memiliki “isi tas” untuk bisa melangkah.

Diantara dua kutub itu, sastra hadir sebagai kanal yang berbeda bahkan kontradiktif. Sastra, bagi Tri, adalah medium pembebasan. Ia mencontohkan bagaimana seorang gubernur di Jerman melawan kebijakan Angela Merkel bukan dengan retorika politik, melainkan melalui puisi-puisi Goethe. Dari situ, Tri menegaskan bahwa sastra bekerja dalam jangka panjang, berbeda dengan warta dan artha yang cenderung beroperasi dalam logika jangka pendek. Sastra berkelindan dengan kebudayaan dan Pendidikan membentuk cara berpikir, merawat kepekaan, dan menyiapkan generasi.

Sebagai penutup paparannya, Tri menyinggung sebuah peristiwa tragis: insiden sopir MBG yang menabrak sekolah hingga menewaskan dua orang. Peristiwa semacam ini, menurutnya, tidak cukup hanya diwartakan sebagai kabar duka, tetapi harus ditempatkan dalam konteks pembelajaran bersama. Di titik inilah Warta, Artha, dan Sastra diuji: apakah informasi hanya berhenti sebagai berita, atau mampu diolah menjadi kesadaran kultural yang mencegah tragedi serupa terulang.

Menanggapi pemaparan Tri, Ansa menegaskan arah diskusi. Ia menggarisbawahi bahwa tema Kenduri Cinta edisi 263 sejatinya dapat diurai menjadi dua atau tiga kata kunci utama, yang mukadimahnya telah disiapkan dan dapat dibaca di kenduricinta.com sebagai landasan berpikir bersama. Tema ini, menurut Ansa, bukanlah tema abstrak yang lahir dari ruang kosong, melainkan respons langsung terhadap realitas sosial hari ini terutama dalam relasi manusia dengan warta atau informasi. Ditengah derasnya arus kabar, masyarakat kerap diposisikan hanya sebagai konsumen, bukan subjek yang sungguh-sungguh memaknai apa yang mereka terima.

Ansa menjelaskan bahwa setiap informasi selalu hadir bersama teks dan konteks. Namun dalam praktiknya, konteks sering kali terpinggirkan karena teks terutama yang bersifat sensasional mendominasi ruang media sosial. Kekaburan pun muncul ketika publik terjebak pada headline, viralitas, dan legitimasi dari pihak-pihak yang memiliki kuasa atas narasi. Informasi yang sampai ke tangan masyarakat, katanya, bukanlah sesuatu yang netral; ia telah melalui berbagai lapisan proses: editing, pembelokan makna, hingga penguatan narasi tertentu yang menguntungkan kepentingan tertentu pula.

Di titik inilah, Ansa melihat adanya dilema besar antara percepatan narasi dan kebutuhan manusia akan perenungan. Informasi bergerak dengan kecepatan tinggi, sementara pemaknaan membutuhkan waktu, keheningan, dan jarak. Ketimpangan ini membuat publik perlahan kehilangan kedaulatan berpikir, karena tanpa sadar mereka didikte oleh pihak-pihak yang menguasai produksi dan distribusi narasi. Manusia tidak lagi bertanya “apa maknanya”, melainkan sekadar bereaksi terhadap apa yang lewat di hadapan mata.

“Sastra berperan sebagai medium yang mengaktifkan imajinasi dan kesadaran, karena pengetahuan tidak hanya lahir dari membaca, tetapi juga dari mendengar, menulis, dan mengalami.” —Mufthie

Untuk memperdalam persoalan tersebut, Ansa kemudian mengundang Pram untuk masuk ke ranah yang lebih filosofis: bagaimana narasi bekerja melalui tipu daya, atau yang ia sebut sebagai ruling with deceptions. Ia mengajak jamaah untuk bersama-sama menelisik bagaimana pemberi informasi dapat menguasai pembacanya, bukan dengan paksaan, melainkan melalui pengelolaan persepsi sebuah mekanisme halus yang bekerja pelan namun efektif dalam membentuk cara pandang, sikap, bahkan pilihan hidup manusia.

Menjawab alas diskusi dari Ansa, Pram membuka paparannya dengan sebuah pengakuan yang jujur sekaligus getir. Ia menyadari bahwa kemungkinan besar hanya sedikit hadirin yang benar-benar membaca mukadimah tema diskusi. Bukan semata karena malas, tetapi karena cara hidup hari ini memang mendorong manusia lebih gemar scrolling ketimbang membaca secara utuh. Banjir informasi, ditambah kecanggihan teknologi dan kecerdasan buatan, perlahan membuat manusia enggan berpikir mendalam. Banyak orang akhirnya hanya ikut arus, mengulang narasi, tanpa sungguh-sungguh memahami isi dan arah dari informasi yang dikonsumsi.

Pram kemudian mengurai persoalan ini melalui kerangka tingkat kesadaran manusia. Ia menjelaskan bahwa pada Level 1, manusia digerakkan oleh naluri bertahan hidup, ketakutan, kebutuhan makan, dan rasa aman. Level 2 bergerak pada kebutuhan sosial: relasi, komunitas, dan pasangan hidup. Sementara Level 3 adalah kebutuhan akan pengakuan, self-esteem, atau keinginan untuk “diakui”. Menurutnya, pada titik inilah banyak jebakan bekerja. Keinginan untuk diakui yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai dorongan akan eksistensi telah menggeser kekuatan kolektif buruh dari kekuatan politik menjadi sekadar konsumen. Jika pada dekade 1950–1970-an buruh bisa berontak dan berjuang secara massal, maka sejak 1980-an, kekuatan itu dilemahkan dengan kemudahan konsumsi: merek, gaya hidup, dan simbol-simbol identitas yang perlahan mengalihkan energi perlawanan menjadi kepuasan semu.

Dalam konteks inilah Pram menekankan makna deception atau tipu daya. Ia mengutip Sun Tzu bahwa seluruh peperangan bertumpu pada penipuan. Cara kerja penipuan modern, menurutnya, bukan lagi dengan kekerasan terbuka, melainkan dengan penguasaan informasi. Ketika masyarakat mulai tergerak karena merasa ada yang tidak beres, perhatian mereka segera dialihkan ke isu lain, konten lain, atau sensasi baru, hingga perlahan lupa pada substansi perjuangan itu sendiri. Ia mengaitkan kondisi ini dengan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History, yang menyebut bahwa sejarah seolah berakhir karena manusia berhenti memperjuangkan hak-haknya dan justru sibuk membangun citra diri, identitas, dan pengakuan personal. Dalam skema ini, penguasa cukup menciptakan aturan main yang membuat publik tenggelam dalam konsumerisme.

Pram lalu mengajak jamaah melampaui Level 3. Ia menyebut Level 4 sebagai fase pertumbuhan, dan Level 5 sebagai tahap di mana manusia mulai melihat dirinya secara utuh—menyelaraskan dunia batin dan dunia luar, mencari otentisitas, serta menerjemahkan nilai yang diyakini ke dalam tindakan nyata. Di atas semuanya, ada Level 6: compassion atau belas kasih universal, sebuah kesadaran yang tidak lagi berpusat pada diri sendiri, melainkan pada kemanusiaan secara luas.

Untuk menjelaskan otentisitas, Pram menengok sejarah Nusantara. Ia mencontohkan Borobudur dan Prambanan sebagai produk peradaban agraris yang wajar membangun monumen besar di daratan. Namun ketika konteks berubah datangnya Kubilai Khan, dinamika politik, dan munculnya Raden Wijaya lahirlah Majapahit sebagai peradaban maritim. Fokus pun bergeser ke pesisir, pelabuhan, dan laut, tanpa lagi membangun candi-candi raksasa. Islam kemudian menyebar cepat karena selaras dengan karakter maritim tersebut. Dari sini, Pram menegaskan bahwa otentisitas harus sejalan dengan konteks: peradaban laut harus membangun pelabuhan, bukan memaksakan candi.

Ia menutup paparannya dengan refleksi yang lebih purba. Mengutip temuan kerangka Romito dari 10.000–12.000 tahun lalu, Pram menyebut bahwa manusia purba justru memiliki kepedulian tinggi. Orang-orang lemah, cacat, atau kecil dikuburkan dengan penghormatan layaknya raja. Tidak ada distraksi, tidak ada media sosial, sehingga perhatian manusia tertuju pada sesama. Sebaliknya, manusia modern justru semakin mudah terpecah belah karena sibuk membuktikan diri, mengejar identitas eksklusif, dan tanpa sadar merusak yang lain. Dalam situasi seperti inilah, tipu daya bekerja paling halus—ketika manusia merasa bebas, padahal pikirannya sedang digiring.

Tri menyambung diskusi dengan mengajukan pertanyaan tentang peran media sosial di tengah derasnya arus informasi. Ia menyoroti kecenderungan generasi Milenial dan Gen Z yang semakin enggan membaca teks panjang, sementara logika media sosial menuntut perhatian dalam hitungan detik. Dalam situasi seperti itu, Tri mempertanyakan apakah media sosial masih mampu memberi nilai tambah bagi struktur berpikir dan pendidikan, atau justru memperdangkal cara masyarakat memaknai informasi.

Menjawab hal tersebut, Mufthie mengajak melihat persoalan dari sudut yang berbeda. Menurutnya, masyarakat Indonesia sejak awal memang lebih kuat dalam tradisi literasi lisan, sebagaimana terlihat dari budaya tutur dan cerita rakyat. Hal ini menjelaskan mengapa media audiovisual seperti TikTok berkembang pesat, karena narasi diserap melalui apa yang dilihat dan didengar. Ia tidak terlalu mempersoalkan rendahnya minat baca, melainkan menekankan bahwa setiap masyarakat memiliki jalur literasinya sendiri.

Mufthie kemudian mengaitkan tema warta dengan konsep naba’—berita besar yang seharusnya menggugah kesadaran dan perenungan. Di dunia akademik, ia mencatat kecenderungan mahasiswa yang lebih memilih ringkasan instan ketimbang membaca langsung, namun justru melihat media sosial sebagai peluang untuk membuka diskursus publik dan menumbuhkan kembali daya kritis.

Ia menegaskan peran sastra sebagai medium yang mengaktifkan imajinasi dan kesadaran, karena pengetahuan tidak hanya lahir dari membaca, tetapi juga dari mendengar, menulis, dan mengalami. Di tengah budaya konten yang serba singkat, Mufthie mengingatkan pentingnya introspeksi—baik bagi penyampai maupun penerima informasi—agar tidak terjebak pada permukaan makna. Ia memperjelas dengan menyinggung perjalanan para nabi dalam menemukan kebenaran: melalui kesalahan, pencarian, keberanian berpikir, dan perenungan. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dari proses menyepi dan refleksi, bukan sekadar dari tumpukan informasi.

“Cara kerja penipuan modern bukan lagi dengan kekerasan terbuka, melainkan dengan penguasaan informasi.” —Pramono Abadi

Ansa kemudian menanggapi paparan Mufthie dengan menegaskan bahwa Kenduri Cinta adalah ruang yang sulit dikotakkan: bukan semata forum akademik, pengajian, atau kebudayaan, melainkan satu kesatuan proses belajar manusia. Di tengah derasnya arus informasi yang digerakkan algoritma, ia mengajak jamaah untuk kembali menempatkan manusia sebagai subjek yang perlu terus bertanya, merenung, dan mengkritisi diri sendiri.

Ansa menyoroti bagaimana narasi hari ini kerap saling dibenturkan, bukan lagi antara baik dan buruk, melainkan antara kebaikan yang satu dengan kebaikan yang lain. Dalam kondisi seperti itu, mengejar yang paling viral dan aktual justru sering mengaburkan objektivitas. Ia mengingatkan metode Cak Nun tentang cara pandang, sudut pandang, dan resolusi pandang, sekaligus menegaskan bahwa literasi tidak berhenti pada membaca teks, melainkan membaca dengan kesadaran nilai Iqra’ bismi Rabbika khalaq.

Mengaitkan tema malam itu dengan pemikiran Cak Nun tentang realitas sejarah, Ansa mengajak jamaah untuk tidak berhenti pada “buih” informasi, melainkan menelusuri konteks dan kepentingan di baliknya: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Di situlah Kenduri Cinta, menurutnya, menjadi ruang untuk mempertajam nalar, empati, dan kebijaksanaan, agar manusia tidak sekadar menjadi konsumen warta, tetapi subjek yang sadar dan bertanggung jawab.

Tri kembali mengajak jamaah untuk merapat ke depan, sembari mencairkan suasana dengan mengingatkan Ian tentang “utang pantun” dari edisi sebelumnya. Dengan nada bergurau, ia menyinggung bahwa orang Barat jarang berpantun—sebuah pembuka ringan sebelum diskusi kembali mengalir ke inti tema.

Menanggapi itu, Ian L. Betts tersenyum dan langsung “membayar” utangnya. Ia membuka dengan pantun yang memadukan bahasa Indonesia dan Inggris, sekaligus menyapa Mariam, tamu sekaligus temannya dari Denmark. Dari sana, Ian masuk ke gagasan Warthasastra sebagai cara menata dunia dengan kesadaran rasa conscious feeling way bukan sekadar berpikir cepat, tetapi membaca realitas dengan kedalaman.

Ian menjelaskan bahwa warta bukan hanya berita atau news, melainkan kabar tentang urusan dunia yang membawa kebenaran dan kesadaran. Sementara sastra adalah pedoman: semacam risalah atau manual hidup yang memberi metode untuk memahami dan menavigasi realitas. Keduanya saling terkait warta mentransmisikan kenyataan, sastra memberi kerangka untuk menafsirkannya.

Ia lalu mengaitkan Warthasastra dengan karya-karya Cak Nun, terutama seri Markesot Bertutur yang tampak ringan dan lucu di permukaan, namun menyimpan disiplin membaca tanda, ayat, dan isyarat kehidupan. Melalui sastra, manusia diajak bersikap kritis terhadap media, narasi politik, dan produksi informasi digital yang serba cepat, manipulatif, dan kerap mematikan dimensi moral.

Dalam dunia yang mudah terbelah oleh hoaks, buzzer, dan polarisasi, Warthasastra, menurut Ian menjadi penyangga kewarasan. Ia membantu membedakan kabar yang jujur dari yang menipu, serta mengembalikan nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kesantunan, dan tanggung jawab. Sastra, dalam pengertian ini, bukan pelarian dari realitas, melainkan alat untuk membaca dunia sehari-hari: menemukan yang ilahi dalam yang biasa, dan memahami bagaimana dunia membaca manusia.

Ian menutup dengan pantun kedua, tentang embun, rahasia semesta, dan Warthasastra sebagai penunjuk jalan pulang ke fitrah. Tepuk tangan jamaah pun mengalir, menandai peralihan suasana dari canda menuju perenungan yang lebih dalam. Mariam kemudian diperkenalkan sebagai tamu dari Denmark yang telah enam bulan terakhir berada di Indonesia untuk menjalani program magang di Chamber of Commerce. Dalam waktu dekat, tepatnya pekan depan, ia akan kembali ke negaranya.

Ia mengungkapkan bahwa Indonesia bukan pilihan yang kebetulan. Bukan kali pertama ia datang, dan ketertarikannya terutama terletak pada masyarakatnya—the people—serta keindahan alam dan suasana hidup di Indonesia. Mariam pun menyampaikan harapannya untuk kembali suatu hari nanti, setelah menyelesaikan studinya, sebagai bentuk keterikatan yang telah terbangun selama tinggal di sini.

Menutup sesi awal, Ansa menegaskan bahwa diskusi pada bagian selanjutnya tidak akan bertumpu pada teknologi sebagai objek, melainkan pada manusia informasi sebagai subjek utama. Ia mengingatkan kembali ruh Kenduri Cinta sebagaimana tertuang di akhir mukadimah: sebuah ruang yang relevan bukan untuk menawarkan solusi instan, tetapi sebagai “laboratorium hidup tempat manusia dilatih agar tidak mudah percaya pada permukaan, tidak takut meragukan arus utama, dan terus mengasah kemampuan membaca arus bawah realitas dengan integritas spiritual dan intelektual.”

“Sastra bukan pelarian dari realitas, melainkan alat untuk membaca dunia: menemukan yang ilahi dalam yang biasa, dan memahami bagaimana dunia membaca manusia.” —Ian L. Betts

Forum kemudian memasuki jeda pertama. Suasana menjadi lebih cair ketika Farid, putra Mbah Surip, menemani jamaah dengan iringan musik reggae. Beberapa lagu yang akrab di telinga dilantunkan, mulai dari Maiyah, I Love You Full, Alhamdulillah Aku Bisa Ngaji, Tak Gendong, Bangun Tidur, hingga Lir-Ilir dan Pacarku Seorang Seniman, memberi ruang rehat sekaligus kebahagiaan sebelum forum kembali dilanjutkan.

Malam kian bergerak menuju larut. Udara Jakarta terasa lebih tenang setelah jeda pertama usai. Jamaah kembali merapat ke hadapan panggung, menyusun ulang perhatian yang sempat beristirahat. Setelah ruang dihangatkan oleh jeda, forum Kenduri Cinta memasuki babak berikutnya: sesi diskusi kedua, yang dibuka dengan kehadiran moderator dan para pembicara malam itu.

Tri mengundang Fahmi untuk membersamainya memandu diskusi, sekaligus mempersilakan para narasumber naik ke panggung: Rocky Gerung, Nanda Avalist, dan Yudi Purnomo. Susunan ini disebut sebagai formasi yang “komplit”, karena isu-isu yang dibawa saling mengisi—dari persoalan lingkungan dan hutan, refleksi Hari Anti Korupsi, hingga dimensi spiritual dan kebijaksanaan dalam membaca realitas hari ini.

Diskusi diarahkan untuk menajamkan cara berpikir dalam membaca perilaku kolektif bangsa. Tri menyinggung respons warganet pasca-bencana di Sumatera, ketika generasi muda mulai mempertanyakan hutan mana yang gundul dan wilayah mana yang dieksploitasi. Tabir informasi yang dulu tak kasatmata perlahan tersingkap. Namun bersamaan dengan itu, muncul paradoks: kekritisan publik terlihat tinggi di luar musim pemilu, tetapi kerap melemah ketika berhadapan dengan kepentingan elektoral sesaat.

Dari sana, pertanyaan pun mengemuka apakah gejala kebodohan elektoral ini khas Indonesia, atau juga dialami oleh negara-negara berkembang lainnya. Sesi kedua pun dibuka dengan kegelisahan-kegelisahan itu, sebagai pijakan untuk membaca lebih dalam relasi antara informasi, kesadaran, dan tanggung jawab manusia di tengah arus zaman.

Nanda membuka sesi kedua dengan menempatkan diri sebagai murid di hadapan para guru, sebuah sikap yang ia tekankan agar setiap pandangannya tetap terbuka untuk dikoreksi. Dari titik itu, ia melanjutkan benang diskusi tentang artha, sastra, dan warta dengan mengajak jamaah kembali ke wilayah yang lebih mendasar: wisdom kenabian atau nubuwah, sebagaimana selama ini dihidupkan dalam ruang Kenduri Cinta.

Ia menandai deception kebohongan sebagai isu kunci zaman ini. Jika dahulu kebohongan dipahami sebatas informasi yang tidak sesuai dengan realitas, maka dalam kebudayaan strategis hari ini kebohongan telah bermetamorfosis menjadi kemampuan menciptakan realitas baru yang berjarak dari kebenaran. Melalui information warfare, masyarakat tidak lagi dibelah antara benar dan salah, melainkan antara salah dan salah, hingga lahir norma moral defensif: memilih keburukan yang dianggap paling kecil.

Dalam kondisi semacam itu, Nanda menekankan pentingnya demokratisasi penguasaan warta dan sastra agar medan permainan tidak sepenuhnya dikuasai instrumen kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa secara kenabian, kebohongan hanya dibenarkan dalam tiga situasi terbatas perang, mendamaikan konflik, dan relasi suami-istri di luar itu, kebohongan justru menjadi sumber pembelengguan manusia.

Nanda juga membedakan secara tegas antara data, informasi, dan keterangan. Keterangan, menurutnya, memiliki dimensi spiritual karena berkaitan dengan cahaya (An-Nur). Di sinilah transparansi tidak selalu identik dengan kejujuran: sesuatu bisa tampak terbuka, tetapi sejatinya tetap menipu jika dirancang dengan kecerdikan. Fenomena masyarakat yang tampak kritis pun ia gambarkan sebagai kecerdasan musiman, yang naik-turun mengikuti siklus elektoral.

Ia menyinggung dunia yang hari ini kita huni sebagai hasil desain panjang sekitar seratus tahun terakhir, sebuah sistem yang kini berada di ujung siklusnya. Kebenaran, katanya, sering terenkripsi di balik teka-teki, sementara disinformasi justru membelenggu manusia, termasuk dalam bentuk perbudakan tak sukarela di dalam tatanan pasar. Di tengah mesin deception yang terus bekerja, Nanda melihat jamaah Kenduri Cinta sebagai potret generasi Nusantara yang menolak dibelenggu—memandang kemerdekaan bukan sebagai hadiah sistem, melainkan sebagai hak dasar setiap jiwa.

“Kebohongan telah bermetamorfosis menjadi kemampuan menciptakan realitas baru yang berjarak dari kebenaran.” —Nanda Avalist

Menyambung kegelisahan tentang realitas sosial dan kemanusiaan yang dibicarakan sebelumnya, Fahmi membuka dengan menyampaikan simpati atas bencana banjir bandang di Aceh dan Sumatera. Ia mengajak jamaah untuk tidak terjebak pada perdebatan mengenai lembaga mana yang paling layak menerima bantuan, melainkan mengedepankan kepedulian yang nyata serta kontribusi yang langsung dirasakan oleh para korban.

Dalam konteks itu, Fahmi kemudian memperkenalkan Yudi dengan menyinggung persambungan panjang antara Kenduri Cinta, Cak Nun, dan jejaring di KPK. Hubungan tersebut telah terjalin sejak era Pak Busyro sekitar 2012–2013 dan terus berlanjut hingga fase-fase krusial, termasuk peristiwa yang menimpa Novel Baswedan pada 2018–2019. Persambungan ini bukan sekadar relasi personal, melainkan pertautan nilai dan keprihatinan yang tumbuh dari waktu ke waktu.

Ia menegaskan bahwa Kenduri Cinta tidak selalu hadir sebagai forum yang membahas politik atau korupsi secara langsung. Namun, ada semangat yang sama-sama dirawat di ruang ini: kecintaan pada Indonesia dan kerinduan agar negeri ini dikelola dengan lebih baik, lebih adil, dan lebih bermartabat.

Giliran Yudi mengambil alih panggung dengan membuka suasana lewat kelakar ringan. Ia menyebut Rocky Gerung sebagai saksi hidup keaslian ijazahnya, sebab Rocky pernah menjadi dosennya. Tawa jamaah pun pecah, sebelum Yudi perlahan mengarahkan pembicaraan ke isu yang jauh lebih serius: relasi antara kerusakan lingkungan, keserakahan, dan korupsi.

Yudi mengajak jamaah mengingat pelajaran menggambar di bangku SD—gunung, matahari, jalan, sawah, dan pohon—sebuah gambaran alam yang ideal dan seimbang. Menurutnya, banjir bandang yang terus berulang hari ini bukanlah musibah yang datang tiba-tiba, melainkan konsekuensi yang sangat bisa diprediksi. Hutan yang seharusnya menyerap air telah ditebang jutaan hektar, sebuah operasi besar yang mustahil terjadi tanpa alat berat, truk-truk logistik, dan basecamp pekerja. Ia mempertanyakan bagaimana aktivitas sebesar itu bisa luput dari pengawasan, atau “ditutup mata”, oleh aparat dan kementerian terkait.

Akar dari semua itu, tegas Yudi, adalah keserakahan. Ia mengutip Gandhi: “Dunia ini cukup untuk semua orang, kecuali untuk orang yang serakah.” Korupsi, menurutnya, tidak pernah lahir dari kemiskinan, melainkan dari kerakusan orang-orang yang sejatinya sudah berkecukupan. Ia menyinggung pengalaman KPK yang pernah menyita rekening koruptor dengan belasan digit nol—sebuah gambaran telanjang tentang rakusnya kekuasaan.

Ironi semakin terasa ketika Yudi mengingatkan peristiwa Operasi Tangkap Tangan yang terjadi tepat di Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember, terhadap seorang kepala daerah yang sebelumnya baru saja berceramah soal anti korupsi. Ia menggambarkan bagaimana banyak koruptor tidak lagi takut: mereka bisa tersenyum saat ditangkap, merasa dirinya korban tebang pilih, menikmati fasilitas penjara yang relatif nyaman, mendapatkan hukuman ringan, hingga remisi dengan berbagai cara. Setelah bebas, sebagian tetap kaya, kembali berpolitik, bahkan disambut sebagai tokoh terhormat. Di titik ini, Yudi menyebut hukum di Indonesia kerap terasa seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Ia mempertanyakan makna peringatan Hari Anti Korupsi yang hanya berlangsung sehari, sementara 355 hari sisanya seolah berjalan seperti biasa. Jika laporan-laporan pelanggaran lingkungan dan korupsi terus diabaikan, Yudi mengingatkan, mimpi Indonesia Emas 2045 berisiko berubah menjadi Indonesia Cemas. Paradoks pun muncul: negara diklaim sedang tidak baik-baik saja, namun di saat yang sama barang-barang mewah dan simbol kemewahan elite justru bertebaran. Seolah yang gelisah adalah rakyat, sementara penguasa tetap nyaman.

Yudi menutup dengan penegasan getir: korupsi pada akhirnya hanyalah alat untuk mempertahankan kekuasaan. Masalah paling serius muncul ketika penegak hukum dipilih oleh kekuasaan itu sendiri, karena sejak saat itu independensi runtuh, dan keadilan perlahan kehilangan maknanya.

“Korupsi tidak pernah lahir dari kemiskinan, melainkan dari kerakusan orang-orang yang sejatinya sudah berkecukupan” —Yudi Purnomo

Di tengah alur diskusi yang kian menghangat, Hensa tiba di lokasi dan langsung bergabung bersama narasumber yang lain. Kehadirannya menambah spektrum pandangan dalam sesi ini, terutama karena latar belakangnya sebagai pengamat komunikasi politik yang kerap menyoroti relasi antara wacana publik, kekuasaan, dan persepsi masyarakat. Tanpa banyak seremoni, Hensa menyatu dalam forum, menyimak dinamika diskusi yang telah lebih dulu mengupas korupsi, lingkungan, dan permainan narasi dalam ruang publik.

Fahmi kembali mengambil peran sebagai penghubung diskusi. Ia menyampaikan terima kasih kepada Yudi dan Rocky Gerung, lalu menarik benang ke akar tema malam itu. Fahmi mengingatkan bahwa kegelisahan soal warta dan informasi berangkat dari posisi Cak Nun sebagai wartawan sekaligus sastrawan—seorang produsen informasi sejak masa Orde Baru—yang berbeda jauh dengan kondisi hari ini, ketika masyarakat lebih banyak berperan sebagai konsumen informasi, mengikuti arus viral media sosial dan kanal digital. Dari titik itu, Fahmi melemparkan pertanyaan kunci kepada Rocky Gerung: bagaimana kualitas para produsen informasi hari ini, dan mungkinkah cita-cita Indonesia Emas 2045 dicapai di tengah situasi bangsa yang terasa semakin amburadul.

Menanggapi itu, Rocky Gerung langsung menguji tema secara konkret melalui sebuah kasus yang sempat ramai: sosok pejabat publik yang mengangkut beras di lokasi bencana. Bagi Rocky, informasi tersebut tidak bisa disebut sebagai warta apalagi sastra; yang bekerja di sana adalah nama dan jabatan pelakunya. Peristiwa itu menjadi viral bukan karena maknanya, melainkan karena sosok publik yang melakukannya. Senyum ke kamera, gestur tubuh, dan momen yang direkam dinilai sebagai bentuk deception—manipulasi simbolik untuk pencitraan. Dari situ, Rocky meminta Nanda mengaitkannya dengan landasan etik dan teks keagamaan.

Nanda merespons dengan mengutip Al-Hujurat ayat 6, yang menegaskan bahwa jika datang kabar dari pihak yang patut dicurigai, maka yang diperlukan bukan sekadar cross-check, melainkan bayan: penjelasan yang jernih dan utuh. Merujuk pada kenabian Daud, Nanda menegaskan bahwa fondasi kekuasaan sejatinya adalah keadilan dan etika, bukan sekadar kekuatan atau dominasi.

Rocky kemudian melanjutkan dengan penekanan yang lebih tajam. Ia mengkritik kecenderungan sebagian tokoh agama hari ini yang pengetahuannya lebih berakar pada “geologi” tambang daripada teologi nilai. Ia juga menambahkan bahwa pemimpin yang jujur seharusnya mengejar etikabilitas, bukan sekadar elektabilitas. Survei dan popularitas tak boleh menjadi alat pembenaran ambisi. Karena deception hampir pasti hadir dalam kekuasaan, maka kemampuan mengujinya harus bertumpu pada integritas rakyat sendiri. Seorang pemimpin, kata Rocky, mesti lulus ujian etik dan intelektual sekaligus—agar sanggup berbicara di level global tentang keamanan dunia, etika lingkungan, dan solidaritas kemanusiaan. Jika tidak, ia bukan pemimpin, melainkan sekadar pedagang kepentingan.

Dalam konteks zaman kecerdasan buatan, Rocky menambahkan bahwa intelektualitas menjadi kian penting. AI justru memancing manusia untuk bertanya, sehingga mutu pertanyaanlah yang menentukan kedalaman berpikir. Ia menutup dengan analogi satir: di tengah kegemaran membagi-bagikan skincare, yang lebih dibutuhkan para wakil rakyat justru brain care (perawatan otak)—agar pikirannya benar-benar “glowing”. Rocky pun melempar gagasan penutup yang mengundang tawa jamaah sekaligus renungan: etikabilitas dan intelektualitas pemimpin sebaiknya diuji di Kenduri Cinta, barulah elektabilitasnya diuji di Lembaga Survey KedaiKOPI.

Tri menyambung diskusi dengan menyoroti siklus elektoral lima tahunan yang kerap membuat masyarakat “lupa lalu ingat kembali” ketika dampak kebijakan terasa. Menurutnya, kunci agar tidak terjebak pengulangan adalah memiliki batas, kriteria, dan kesadaran yang jernih dalam memilih. Ia mengkritik bagaimana isu-isu penting sering tertutup oleh banjir informasi remeh yang sengaja diproduksi agar perhatian publik cepat berpindah, sehingga cara berpikir kritis melemah.

Hensa merespons dengan menyetujui gagasan Rocky Gerung agar calon pemimpin diuji etik dan intelektualitasnya di ruang seperti Kenduri Cinta, meski ia ragu para calon berani hadir. Ia kemudian mengingatkan bahaya AI yang merangkum informasi tanpa seleksi kebenaran, berpotensi menciptakan kebingungan dan gaslighting publik. Contoh nyata ia ambil dari bencana di Sumatera: minimnya pernyataan resmi negara dan keterlambatan informasi memicu bias besar, padahal peringatan dini sudah ada. Menurutnya, fokus kini harus bergeser ke rehabilitasi dan rekonstruksi yang serius, serta membuka jalur bantuan non-uang bagi korban.

Menutup bagian ini, Nanda menegaskan bahwa barang sitaan negara, seperti pakaian selundupan, secara hukum dan etika dapat disalurkan kepada korban bencana. Jelang jeda kedua, Bersama The Tambels jamaah mengirim Al-Fatihah untuk para korban, sebelum suasana diendapkan lewat iringan musik The Tambels. The Tambels kemudian mengiringi jeda dengan membawakan lagu Bongkar, Kasih Jangan Kau Pergi, Terlalu Manis, dan Bento, menghadirkan suasana reflektif sekaligus menghangatkan kebersamaan jamaah di penghujung sesi.

“Pemimpin yang jujur seharusnya mengejar etikabilitas, bukan sekadar elektabilitas. Survei dan popularitas tak boleh menjadi alat pembenaran ambisi.” —Rocky Gerung

Memasuki sesi ketiga, Fahmi menyampaikan salam dari Rocky Gerung yang harus pamit lebih awal karena penerbangan pagi. Ia menjelaskan bahwa sesi ini dibuka sebagai ruang tanya jawab yang lebih tenang, setelah sesi sebelumnya terasa cukup “dar der dor”. Tujuannya sederhana namun penting: memberi ruang bagi jamaah untuk bertanya, belajar, sekaligus mengkalibrasi informasi-informasi yang masih abu-abu agar tidak terjebak pada sumber yang keliru. Jamaah pun diminta merapat ke depan, menandai dimulainya dialog yang lebih intim.

Arista membuka sesi tanya jawab pertanyaan dengan membawa titipan dari suaminya. Ia mengajukan kegelisahan tentang algoritma informasi yang kini lebih memaksimalkan emosi ketimbang kebenaran, serta mempertanyakan kemungkinan merancang “algoritma Rahman Rahim” yang tetap berintegritas tanpa runtuh secara ekonomi. Ia juga menyoroti peran komunitas sipil dalam mengangkat narasi arus bawah di tengah banjir informasi, dan kemungkinan literasi alternatif yang bisa diterima kurikulum tanpa dicap subversif.

Pipit kemudian mengajukan pertanyaan tentang tanggung jawab ekologis agama. Ia mempertanyakan minimnya fiqh ekologis dalam wacana Islam, serta kemungkinan pergeseran penekanan tafsir agar agama mampu menggerakkan umat menjaga alam. Ia menutup dengan pertanyaan polos namun tajam dari anaknya yang berusia delapan tahun: jika kerusakan dan kiamat sudah pasti, di mana letak makna berbuat baik dan memperbaiki dunia?

Bima menyusul dengan kegelisahan tentang disrupsi informasi dan AI. Ia mengaitkannya dengan strategi bahwa keputusan diambil bukan hanya dari informasi benar, tetapi juga dari informasi palsu dan tipu daya. Ia meminta pandangan para narasumber tentang langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan manusia hari ini untuk menyinergikan perbedaan informasi, budaya, dan cara pikir.

Menjawab berbagai pertanyaan itu, Yudi menegaskan bahwa kejahatan dan kerusakan merajalela karena orang baik memilih diam dan aman. Korupsi dan bencana ekologis, menurutnya, terjadi karena pembiaran yang sistemik. Perlawanan selalu berisiko, tetapi tanpa kegelisahan, nalar justru patut dipertanyakan. Ia menyoroti bagaimana hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bagaimana bencana sudah diprediksi namun terus diulang, dan bagaimana rakyat dibuat reaktif dalam logika “no viral, no justice”.

Yudi menutup dengan penekanan bahwa perubahan tidak lahir dari massa besar, melainkan dari creative minority—minoritas yang berpikir, berani, dan merawat ingatan. Forum seperti Kenduri Cinta, baginya, adalah ruang untuk menjaga kegelisahan itu tetap hidup, agar rakyat tidak sepenuhnya jinak, lupa, dan mudah dikendalikan.

Hensa menanggapi disrupsi informasi dengan menekankan bahwa AI bekerja dengan cara mengumpulkan seluruh data, baik yang benar maupun salah—tanpa memiliki tanggung jawab moral atas kebenaran. Karena itu, AI rentan memanipulasi, memproduksi halusinasi, dan melahirkan brain rot ketika dijadikan jalan pintas berpikir. Dalam konteks bencana, ia menyoroti absennya crisis center, media center, dan pernyataan resmi negara, sehingga ruang publik justru dipenuhi pencitraan tokoh politik alih-alih informasi yang menenangkan dan membantu korban. Hensa mengingatkan, AI bisa menjadi fitnah besar jika dipercaya secara membabi buta; manusia perlu kembali mengandalkan original intelligence, rajin melakukan cek ulang, serta menempatkan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti nalar. Pencitraan saat bencana, menurutnya, masih bisa ditoleransi asalkan memenuhi tiga syarat: empati yang nyata, ketulusan, dan dampak langsung bagi korban.

Nanda memperdalam dengan mempertanyakan kemungkinan “Algoritma Rahman Rahim”. Baginya, AI tidak memiliki niat (intent), sehingga tidak mungkin memikul dimensi etik dan spiritual tersebut. Al-Qur’an, jelas Nanda, bekerja melalui algoritma kenabian yang membedakan antara ayat hukum dan ayat hikmah yang hanya bisa ditangkap oleh nurani, bukan sekadar logika data. Ia menegaskan perbedaan antara informasi dan keterangan (cahaya), serta pentingnya menjadikan teologi sebagai titik berangkat dan teknologi sebagai simpulan, bukan sebaliknya.

Dalam isu ekologi, Nanda menjelaskan bahwa fiqh selalu lahir dari konteks zamannya; kerusakan alam masif adalah produk modernitas industri. Namun ia mengingatkan bahaya fitnah ketika pelaku perusakan justru tampil sebagai penyelamat. Menjawab titipan pertanyaan anak delapan tahun tentang makna memperbaiki dunia yang pasti berakhir, Nanda menegaskan: mandat manusia adalah memakmurkan bumi selama Allah menghendaki sebagaimana kepastian kematian tidak pernah membenarkan percepatan kehancuran.

“Pencitraan masih bisa ditoleransi asalkan memenuhi tiga syarat: empati yang nyata, ketulusan, dan dampak langsung.” —Hendri Satrio

Memasuki dini hari, Kenduri Cinta tidak ditutup dengan jawaban, melainkan dengan pengendapan. Seluruh percakapan, kritik, dan kegelisahan yang berlapis sepanjang malam seolah ditarik kembali ke satu titik sunyi: kesadaran bahwa manusia memang tidak ditugaskan untuk menuntaskan segalanya, tetapi untuk menjaga arah. Dalam dunia yang riuh oleh warta dan tipuan, sikap paling jujur justru adalah terus belajar membaca, meragukan, dan merawat nurani.

Pukul 02.14, forum ditutup dalam kekhusyukan Indal Qiyam. Jamaah berdiri, melantunkan Shohibu Baiti—sebuah pengakuan lirih tentang kepemilikan, kepulangan, dan ketergantungan manusia pada Yang Maha Memiliki. Tidak ada klimaks selain keheningan yang penuh makna. Malam pun selesai, bukan sebagai akhir, melainkan sebagai pengingat: bahwa di tengah arus besar realitas, manusia masih punya ruang untuk bersujud, mengingat, dan pulang ke kejernihan.

Teks: Redaksi KC / Haddad
Foto: Redaksi KC / Yudi

SendTweetShare
Previous Post

Peradaban Cahaya; Terang, Keterangan, dan Informasi

Redaksi Kenduri Cinta

Redaksi Kenduri Cinta

Redaktur Kenduri Cinta

Related Posts

Reportase: Fragmen Kesadaran
Reportase

Reportase: Fragmen Kesadaran

November 19, 2025
REPORTASE: MENGHADIRKAN CAHAYA
Reportase

REPORTASE: MENGHADIRKAN CAHAYA

October 15, 2025
REPORTASE: SILAT(U)RAHIM IBU PERTIWI
Reportase

REPORTASE: SILAT(U)RAHIM IBU PERTIWI

September 17, 2025
REPORTASE: RUANG SEMPIT KEMERDEKAAN
Reportase

REPORTASE: RUANG SEMPIT KEMERDEKAAN

August 20, 2025
Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan
Reportase

Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan

July 16, 2025
Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan
Reportase

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

June 20, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta