Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Reportase

REPORTASE: SILAT(U)RAHIM IBU PERTIWI

Redaksi Kenduri Cinta by Redaksi Kenduri Cinta
September 17, 2025
in Reportase
Reading Time: 26 mins read
REPORTASE: SILAT(U)RAHIM IBU PERTIWI

MALAM ITU, beberapa sisi Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki masih tergenang karena hujan deras yang turun di sore hari. Tapi, itu semua tak mengurangi niat jamaah untuk hadir dan kembali berkumpul dalam kekhidmatan Kenduri Cinta edisi ke-260, yang diselenggatakan pada tanggal 12 September 2025. Shalawat mengikat awal, merapikan ritme sebelum memasuki sesi-sesi yang penuh.

Jay, pegiat teater, turut menyelaraskan ritme setelah sesi shalawat dengan membacakan sebuah puisi berjudul “Menyorong Rembulan” karya Cak Nun. Ia tidak menjadikan panggung dramatis berlebihan; ia hanya menempatkan kata pada posisi yang membuat jamaah sadar bahwa malam ini bukan untuk riuh, melainkan untuk menautkan tema yang telah disiapkan: “Silat(u)rahim Ibu Pertiwi”.

Tema “Silat(u)rahim Ibu Pertiwi” sengaja ditulis dengan tanda kurung untuk menandai dua kata: silat (kecakapan, siasat, kedisiplinan) dan rahim (ruang mengasuh, melindungi, menumbuhkan). Keduanya menjadi kaca pembesar untuk membaca keadaan bangsa. Malam itu, rangkaian sesi mengalir seperti percakapan di teras rumah: ada yang mengawali, ada yang menimpali, ada yang bertanya, ada yang tidak setuju, tetapi tetap duduk mendengar. Semua diarahkan pada satu tujuan: menyambungkan nalar dengan rasa cinta tanah air tanpa kehilangan akal sehat.

Mencari Kebenaran di Tengah Kegaduhan Sosial dan Politik

Ibnu dan Mizani, yang bertugas sebagai moderator, mengawali sesi dengan menyapa jamaah. Mereka juga mengajak Haddad, Pram, dan Nanda naik ke panggung sebagai pembicara. Sebelum memulai diskusi, Ibnu dan Mizani menyampaikan dukacita dan doa bagi korban tragedi yang terjadi belakangan ini.

Nada duka tersebut tidak dihamparkan sebagai seremoni, melainkan sebagai sebuah cara membangun konteks batin bahwa ada rasa genting di ruang publik. Kata kuncinya distrust—ketidakselarasan antara aspirasi masyarakat dan tindakan pemerintah. Oleh karena itu, moderator mengingatkan kontrak sosial yang mendasar: negara menarik pajak dari rakyat, maka rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang nyata dan setimpal.

Dalam aspek ekonomi, beberapa gejala terlihat: perlambatan, mengecilnya kelas menengah, inflasi yang paling keras memukul kelompok miskin, dan ukuran kemiskinan yang dirasa tidak representatif. Kekesalan itu diperparah oleh tontonan politik yang terkesan populis, sementara DPR tampak akrab dengan pemerintah. Sebuah kontradiksi dari mandat aslinya untuk mengoreksi dan menjaga keputusan demi kepentingan bangsa.

Ibnu kemudian mengingatkan pentingnya langkah reformasi pada institusi: menerapkan meritokrasi nyata, menghentikan represi pada masyarakat sipil, serta menindak tegas korupsi di Indonesia. Ibnu menegaskan bahwa tanpa perbaikan ini, ketidakpercayaan publik akan mengeras, memicu pola perlawanan yang berulang dalam sejarah bangsa, seperti pada 1965, 1974, 1991–1996, 1998, dan seterusnya. Namun, perlawanan tanpa kebijaksanaan bukan jaminan kesejahteraan, sehingga warga perlu waskita: jernih melihat situasi, sadar manipulasi, tahu kapan harus berhenti, dan berhenti sejenak agar tak menambah korban.

Mizani melanjutkan bahwa Kenduri Cinta selama 25 tahun memilih berjalan di tengah masyarakat. Dengan mengedepankan bahasa yang sama, kebebasan berpikir, dan kemandirian dari jamaah untuk jamaah, forum ini menyediakan ruang di mana kritik dan canda bisa hidup tanpa syarat, mengakomodasi topik serius maupun ringan bagi siapapun yang hadir. Forum ini dengan demikian menjadi ruang natural bagi percakapan di teras depan, renyah, bernas tapi  tak turut semegah pangung politik atau hiburan-hiburan di ibu kota.

Haddad membuka dengan jujur bahwa malam itu ia “dipaksa naik panggung”, sebuah tugas yang tidak biasa baginya yang lebih sering menjadi penulis notulensi. Ia mengawali dengan dua hal yang membuatnya sedih: situasi negara yang menelan korban jiwa dan perdebatan di media sosial pascademo yang bergeser menjadi serangan personal, menjauh dari substansi masalah.

“Perdebatan yang sehat seharusnya menabrakkan tesis dan antitesis, untuk menjadi sintesis,” ujarnya. Bukan sekadar adu gengsi yang berujung pada polarisasi dan konflik horizontal. Untuk mencapai sintesis, kita perlu memahami cara memandang sebuah fenomena.

Haddad kemudian mengutip Immanuel Kant, menjelaskan perbedaan antara fenomena (apa yang ditangkap panca indra) dan noumena (hakikat sebenarnya). Ia mencontohkan ledakan yang terdengar berbeda—”duar,” “dor,” atau “boom”—karena itu adalah fenomena. Sementara noumena adalah hakikat fisiknya. Sering kali, orang keliru menganggap fenomena sebagai hakikat.

Dari sana, ia menyarikan perspektif Cak Nun tentang tiga lapis kebenaran:

  1. Bener karepe dewe (realitas subjektif): kebenaran versi diri sendiri.
  2. Benere wong akeh (realitas intersubjektif): kebenaran yang disepakati bersama, seperti Pancasila.
  3. Bener kang sejati (realitas objektif): kebenaran yang tidak bergantung pada persepsi, seperti panjang 5 cm yang akan selalu 5 cm.

Menurut Haddad, dua lapis pertama bukan anak tangga menuju yang ketiga, bukan pula hierarki yang kaku. Keduanya harus berdialektika sebagai jalan menuju kebenaran yang lebih jernih. Meskipun kebenaran objektif bisa diukur untuk hal-hal materiil, hal imateriil seperti keadilan, rasa sakit, atau ketakutan hanya bisa didekati melalui kesepakatan, skala, atau indeks.

“Kita harus sadar ada banyak level kebenaran. Dengan banyak opsi kebenaran, yang salah dan benar menjadi spektrum, bukan hitam-putih.” —Haddad

Ia mengkritik kecenderungan untuk mencari kebenaran tunggal, seperti menjawab soal pilihan ganda. Di lapangan sosial, kebenaran sering berupa rentang. Ketika kebenaran berbentuk spektrum, kita butuh kewaskitaan—kemampuan menimbang berbagai sudut pandang sebelum mengeluarkan vonis. Contohnya demo. Narasi “ditunggangi asing” atau “diprovokasi” mungkin mengandung kebenaran parsial, tetapi sering kali real voice masyarakat tidak didengarkan. Yang disorot hanya noise-nya, sementara aspirasi inti menghilang dalam keributan.

Pada titik kebuntuan, Haddad menawarkan “Segitiga Cinta” ala Cak Nun sebagai orientasi. Skemanya sederhana: kita hidup di dalam lingkaran dunia, dan di luarnya ada sebuah segitiga. Puncaknya adalah Allah, satu sisi Nabi Muhammad, dan sisi lainnya kita (manusia). Ia menjelaskan bahwa segitiga ini bukanlah dogma baru, melainkan sebuah pengakuan atas keterbatasan. Ketika akal dan data tidak lagi mampu memberikan jawaban, kita mengakui kebutuhan akan rujukan Ilahiah.

Haddad menutup dengan ajakan bahwa ketika Ibu Pertiwi sedang susah, jangan menambah bebannya. Diam sejenak, endapkan informasi, perluas sudut pandang lewat membaca dan berdialog, dan buka diri terhadap kemungkinan bahwa kebenaran itu bertingkat. Dari situ, kita bisa mencari puncak segitiga—mengakses petunjuk Allah lewat teladan Nabi—sebagai sandaran solusi sejati.

Pram melanjutkan diskusi dengan menjelaskan asal-usul kata pertiwi dari bahasa Sanskerta pṛthvī, yang berarti ‘bumi’ atau ‘dunia’. Dengan demikian, Ibu Pertiwi secara harfiah adalah Mother Earth. Ia menjelaskan bahwa kebudayaan Mother Earth muncul lebih awal dalam sejarah peradaban dibanding figur dewa maskulin, lahir dari intuisi manusia yang merasakan adanya kekuatan yang mengayomi, menjaga, dan menyuburkan. Contohnya adalah Dewi Sri di Indonesia, Isis di Mesir, bahkan berhala Lata yang dipuja sebagai simbol kesuburan di Jazirah Arab zaman dulu.

Pram lalu menggambar tingkatan makhluk: mineral, tumbuhan, binatang, manusia. Ia menyoroti anggapan bahwa tumbuhan itu “pasif”, padahal mereka memiliki insting bertahan hidup yang kuat—akarnya mampu menembus batu dan mencari celah demi mendapatkan air. Dalam sejarah panjang bumi, terjadi berbagai proses evolusi memungkinkan kehidupan yang kompleks. Contohnya, organisme yang membantu mengubah komposisi atmosfer, membuka jalan bagi makhluk lain.

Sementara itu, manusia memiliki mandat yang jelas sebagai khalifah—sebagai pengelola dan penjaga bumi. Mandat ini bukan sekadar gelar, melainkan menuntut nalar, kerja sama, dan disiplin. Ia memberikan contoh sederhana yang mustahil dikerjakan sendirian, seperti mikrofon atau rantai pasokan makanan di kota besar; semuanya adalah hasil kolaborasi.

Mengutip Cak Nun, Pram menceritakan tentang iblis yang turun ke bumi dan merasakan pengalaman panas-dingin atau basah-kering, yang berbeda dari surga yang “netral”. Menurutnya, bumi adalah ruang penggemblengan.

“Bangsa kita telah ditempa keadaan. Digembleng, hampir jatuh, bangkit kembali. Digembleng lagi, hampir hancur lebur, bangkit lagi. Tanpa keadaan sulit, kita tidak akan berkembang.” —Pram

Dari kisah ini, ia menyimpulkan sebuah kedisiplinan sederhana: kesulitan adalah alat belajar, sedangkan kenyamanan tanpa kerja keras cenderung membuat kita stagnan. Sayangnya, manusia sering mencari jalan pintas.

Kembali ke tema, Ibu Pertiwi dapat diartikan sebagai “rahim” yang mengasuh, sementara silat adalah kecakapan untuk mengelola. Keduanya bukan hal yang berlawanan. Sebaliknya, rahim tanpa silat rentan dieksploitasi, dan silat tanpa rahim dapat berubah menjadi kekerasan. Oleh karena itu, Pram mendorong komunikasi, sosialisasi, dan kerja sama sebagai kebiasaan dasar. Ia mengingatkan bahwa praktik budaya untuk bersyukur kepada bumi, seperti ritual atau tata kelola pangan, selalu berisiko disusupi provokasi. Tugas kita, katanya, bukanlah menertawakan tradisi, melainkan menjernihkan dan menguatkan niat mulianya: merawat kehidupan.

Pada giliran Nanda, arah pembicaraan bergeser ke dimensi spiritual—masih dalam bingkai tema. Ia mengingatkan bahwa Maulid Nabi bukan sekadar perayaan kelahiran manusia teladan, melainkan pengingat misi rahmatan lil ‘alamin. Nanda mengutip sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah menciptakan seratus rahmat… Dia tahan di sisi-Nya 99 rahmat, dan Dia lepaskan hanya satu rahmat saja.” Sejumlah ulama berpendapat bahwa satu rahmat yang dilepaskan itu dihadirkan dalam pribadi Nabi Muhammad.

Nanda kemudian mengurai dua nama: Ahmad (nama langit) dan Muhammad (nama di bumi). Ahmad berarti “yang telah sempurna memuji” sekaligus “yang paling dipuji”, mencerminkan kelengkapan tugas kerasulan. Ketika “turun” ke bumi, Ahmad menjadi Muhammad, yang berarti “yang terus-menerus sangat dipuji”, menandakan kelanjutan teladan bagi manusia. Dari sini, Nanda menggambarkan bahwa Nabi Muhammad seperti pantulan cahaya yang dapat kita rujuk, karena Allah sendiri tidak terjangkau secara zahir. Dengan demikian, ilmu Muhammad adalah ilmu tentang cara hidup dan mati yang benar. Hal ini tercermin dalam zikir sehari-hari, seperti doa bangun tidur dan sebelum tidur: “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da ma amatana” dan “Bismikallahumma ahya wabismika amut“.

“Nabi Muhammad adalah standard par excellence ukuran langit sekaligus perjuangan di bumi.” —Nanda

Nanda menautkan topik korupsi dan kekacauan sosial pada jarak spiritual. Nafsu, sebagai mesin bertahan hidup, perlu dikendalikan. Tanpa rahmat yang terhubung pada Ahmad atau Muhammad, nafsu mudah menyeleweng.

“Sejarah manusia bisa dibaca sebagai sejarah penyimpangan ketika rahmat ditinggalkan,” jelas Nanda. Pada titik ini, keributan seputar “elemen asing” sering menjadi pengalihan. Baik yang korup maupun yang mengaku melawan korupsi sama-sama bisa kebablasan ketika tidak membersamai Muhammad.

Ia mengutip Surah Yusuf ayat 53, “Innan nafsa la ammaaratum bissuuu’i,” yang berarti nafsu cenderung menyuruh pada keburukan, kecuali bagi yang dirahmati Allah. Dengan demikian, rahmat adalah kunci. Kezaliman bukan hanya memukul fisik, melainkan juga memadamkan cahaya yang kita peroleh dari Nabi Muhammad.

Nanda menyoroti narasi yang sengaja dibentuk untuk membuat publik hanya menyalahkan pihak eksternal—”iblis”, “asing”, “mereka”—atau hanya domestik, sehingga kedua sisi yang seharusnya dihadapi bersama tidak pernah bertemu. Ia memberi contoh sejarah: Imam Ali adalah figur awal yang tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan pada masa Khalifah Utsman. Saat itu, yang bermasalah bukan pribadi Khalifah, melainkan orang-orang di sekitarnya yang mengambil keuntungan. Ketika demonstrasi besar terjadi, Imam Ali justru mendeteksi anasir lain di balik massa. Akhirnya Utsman terbunuh oleh tindakan anarkis, dan yang gugur setelahnya adalah orang-orang saleh: Ali, Hasan, Husein. Pelajarannya: jangan mengulang pola yang menabrak keadilan atas nama amarah, sebab korban utama justru orang-orang baik.

Nanda juga menjelaskan bahwa kita sering dicekoki dengan dialektika palsu—baik yang bersifat historis, materialistis, maupun naluriah yang seolah-olah menjanjikan solusi hitam-putih atas segala masalah. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Dalam pandangannya, Al-Fatihah justru mengajarkan suatu kerangka berpikir yang lebih mendalam dan holistik, yang ia sebut sebagai “quadrilektika”: yang maghdub, yang dhollin, koalisi antara maghdub dan dhollin, dan segala hal yang ada di luar siratal mustaqim.

Di akhir bagiannya, Nanda menegaskan kembali fungsi “mukadimah” Kenduri Cinta: memfilter kegaduhan, termasuk yang di kolom komentar, agar aspirasi asli tidak tenggelam. Ia menutup dengan sebuah gambaran: kedekatan dengan jalan Nabi berbanding lurus dengan kerapuhan hati, di mana air mata bukanlah tanda kelemahan, melainkan ketepatan rasa.

“Kegaduhan sering kali diadakan untuk menutupi aspirasi asli yang bersahaja.” —Nanda

Sesi awal tidak berhenti pada tiga narasumber utama. Arnol dan Ilham ikut menajamkan diskusi lewat pertanyaan mereka. Arnol menanyakan bagaimana cara mengendalikan hawa nafsu dengan Ahmad/Muhammad, sedangkan Ilham meminta penjelasan yang lebih dalam mengenai konsep rahmatan lil ‘alamin.

“Hawa nafsu tidak bisa ditaklukkan murni oleh diri sendiri. Maka algoritma Muhammad perlu diaktifkan,” jawab Nanda. Shalawat berfungsi sebagai rem, dan dianjurkan untuk terus-menerus bershalawat dan bersalam kepada Nabi. Istigfar seharusnya datang setelah rem itu bekerja, bukan kebalikannya. Pola ini menegaskan ritme batin: sebelum menjauh dari yang haram, aktifkan dulu rem agar laju kebiasaan buruk melambat.

“Di zaman ketika dosa disaturasi secara massal,” kata Nanda, “ampunan juga dibentangkan luas melalui syafaat.” Sikap kita terhadap pendosa idealnya penuh rahmat terhadap orangnya, tanpa melegalkan perbuatannya. “Moderasi” yang sehat bukan permisif; ia menolong manusia keluar dari perbuatan.

Lebih lanjut, Nanda juga menjelaskan bahwa dari satu rahmat Allah yang dihadirkan melalui Nabi Muhammad, mengalir segala kebaikan di alam semesta—mulai dari hewan yang menyayangi anaknya hingga kasih sayang suami-istri. Oleh karena itu, silaturahim yang ingin kita tawarkan kepada Ibu Pertiwi mustahil terwujud tanpa terhubung kepada “Sang Rahmat” (Nabi Muhammad). Di tengah ruang sosial yang penuh kemasan dan platform, Nanda menyarankan sebuah uji sederhana: apakah seseorang atau suatu gerakan benar-benar terhubung pada rahmat? Yang penting bukan sekadar atribut, melainkan arah.

Di ujung paparannya, Nanda mengingatkan bahwa struktur korupsi dapat dipetakan: siapa yang paling butuh sistem koruptif? Ia menilai kemiskinan jarang dimasukkan dalam pembahasan HAM, padahal ia melanggar martabat manusia. Sementara media sosial bekerja seperti panggung dengan tata kelola yang bukan milik publik. Dalam ruang seperti itu, wacana mudah ditarik-tarik oleh kepentingan yang lebih besar. Dengan demikian, “urusan rahmat” tidak berhenti di akhirat; ia juga pertarungan dunia untuk memadamkan atau menutup aliran rahmat.

Sejauh sesi awal, semua pandangan yang tegas.

  1. Dari Haddad, kita diajak meninggalkan pola berpikir biner. Kebenaran di lapangan sosial lebih sering berupa spektrum. Dengan kewaskitaan, publik dapat menyaring noise, memberi tempat pada voice. Ketika kebuntuan muncul, Segitiga Cinta menjadi kompas, bukan untuk menggantikan data, melainkan mengarahkan niat dan prioritas.
  2. Dari Pram, kita diajak untuk kembali pada mandat khalifah: merawat bumi dengan kecakapan (silat) yang berpijak pada niat merawat (rahim). Kesulitan jangan dihindari; ia alat latihan. Komunikasi dan kerja sama adalah disiplin dasar agar silat tidak berubah menjadi kekerasan, dan rahim tidak disalahgunakan.
  3. Dari Nanda, ukuran rahmat ditaruh di tengah. Nama Ahmad–Muhammad bukan diskusi linguistik belaka; ia penanda orientasi. Tanpa rahmat sebagai rujukan, antikorupsi pun bisa koruptif, karena termakan keributan dan narasi palsu. Sejarah—dari Utsman hingga Ali—memberi contoh bahwa amarah liar bisa membunuh orang saleh dan merusak tatanan. Filter diperlukan agar aspirasi asli tidak hilang.

Di titik ini, “Silat(u)rahim Ibu Pertiwi” semakin jelas maknanya. Silat adalah disiplin cara, rahim adalah disiplin tujuan. Cara tanpa tujuan menjelma manipulasi; tujuan tanpa cara merosot menjadi wacana.

Membaca Bumi, Menata Diri

Tri dan Karim naik panggung menyapa jamaah. Dalam sesi ini, mereka bertugas sebagai moderator. Kemudian, mereka memperkenalkan para narasumber di sesi kedua: Sabrang, Nanda, dan Prof. Premana—yang sebelumnya juga sempat hadir di edisi Februari 2024.

Setelah menyapa jamaah, Karim menegaskan suasana batin forum dengan kalimat: “Ibu Pertiwi sedang menangis.” Kalimat itu bukan untuk menambah dramatisasi, melainkan sebagai tanda peringatan atas keadaan negeri. Meskipun suasana forum tetap gembira dan cair, tema besar malam itu tidak pernah hilang. Ada pekerjaan bersama yang serius.

Prof. Premana membuka dengan klarifikasi metodologis: manusia sering terlalu cepat menafsirkan gejala alam sebagai pertanda tertentu. Sains, di sisi lain, bergerak lambat dan hati-hati saat menghubungkan fenomena alam dengan dampaknya bagi manusia. Kalau pun ada penerjemahan, tingkat spekulasinya tinggi. Sebab, sains berfokus pada pertanyaan “bagaimana”—mengenai proses dan sebab-akibat—bukan pada pertanyaan “mengapa” yang terkait makna terdalam.

Ia memberikan perspektif skala. Bumi hanyalah satu dari beberapa planet yang mengitari Matahari, yang hanya satu dari miliaran bintang di galaksi Bima Sakti. Galaksi kita sendiri hanyalah satu dari triliunan galaksi di alam semesta. Secara fisik, bintang dan galaksi yang jauh tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa harian kita. Namun, secara substansial, unsur-unsur kimia di tubuh manusia—helium, karbon, besi, nitrogen, dan oksigen—terbentuk miliaran tahun lalu di dalam perut bintang melalui reaksi nuklir. Keterhubungan fisik ini nyata, meskipun terjadi sangat jauh dan lampau.

Prof. Premana juga menyinggung instrumentalisme dalam praktik manusia. Ia mencontohkan petani zaman dulu yang menggunakan rasi Orion sebagai penanda musim tanam. Ketinggian Orion tentu tidak menyebabkan hujan, sebab musim hujan lebih dipengaruhi oleh posisi Matahari–Bumi–Bulan, dinamika atmosfer–samudra, dan faktor lokal. Namun, korelasi itu berguna dan dipakai secara praktis. Kini, pola-pola lama banyak yang terputus; hujan tak menentu, dan petani pun kebingungan. Penyebabnya bukan bintang, melainkan tindakan manusia itu sendiri: perubahan iklim dan degradasi lingkungan.

Ia kemudian membahas konsep “ibu” yang sering kita gunakan, seperti Ibu Kota, Ibu Pertiwi, dan mother nature. Menurut Prof. Premana, “ibu” adalah entitas yang melahirkan, merawat, membesarkan, melindungi, mengayomi, dan mendidik. Alam juga memiliki mekanisme pemulihan diri (homeostasis), tetapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sayangnya, keinginan manusia untuk memproduksi dengan cepat sering mengganggu proses pemulihan alami ini, sehingga menumpuk residu masalah.

Mengenai bencana alam—gempa, tsunami, letusan gunung, atau banjir—ia mengajak kita untuk mengubah sudut pandang. Alih-alih buru-buru menyebut “alam marah”, akan lebih akurat jika bencana dilihat sebagai bagian dari proses alami bumi. Gunung berapi sudah ada jauh sebelum manusia. Pulau Jawa subur karena aktivitas geologis, dan konsekuensinya, risiko bencana meningkat seiring dengan padatnya populasi di area tersebut. Kita tidak bisa meminta gunung untuk diam; kitalah yang harus menyesuaikan cara hidup. Prinsip yang sama berlaku dalam ranah sosial-politik: ketika kita marah pada wakil rakyat, ingat juga siapa yang memilih mereka. Energi amarah kita terbatas, jadi harus digunakan secara efektif.

Di akhir paparannya, Prof. Premana berpesan, “Latih dialog yang substantif, tulus, saling percaya, dan saling hormat. Tanpa itu, yang tersisa hanya amarah yang tidak menyelesaikan apa-apa.”

Menanggapi paparan Prof. Premana, Karim meminjam konsep homeostasis sebagai kemampuan menyesuaikan diri agar sistem tetap seimbang. Ia menyebut Kenduri Cinta punya karakter seperti itu: bukan organisasi formal, tetapi memberi sumbangsih pada penyeimbangan sosial. Jamaah adalah “makhluk-makhluk homeostasis”, yang berlatih menata diri di tengah situasi yang berat, supaya tetap bisa berdampak positif.

Nanda menyambung diskusi dengan memetakan manusia sebagai makhluk transisi yang hidup di keseimbangan dinamis. Ia menyebut manusia sebagai “insan kartika”, bahwa tubuh kita tersusun dari unsur-unsur yang lahir di bintang-bintang (hasil proses nuklir kosmik), sementara roh adalah urusan Allah. Dengan memuat dua elemen yang tampak berlawanan ini, wajar jika hidup manusia kontradiktif dan berlapis.

Ia mengurai dua nama Allah yang lazim kita sebut:

  • Ar-Rahman: ukuran-ukuran Allah yang mengatur semesta. Ini adalah qadar yang berlaku umum tanpa memandang iman, seperti hukum aerodinamika.
  • Ar-Rahim: rahasia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang. Tidak ada surah khusus bernama Ar-Rahim karena pernyataan rahim ini diwakili oleh Nabi Muhammad SAW.

Nanda menekankan bahwa silaturahim bukan sekadar hubungan sosial, melainkan ikatan sakral yang berakar pada kata “rahim”—simbol rahasia ilahi yang menyatu dengan jasad saat roh ditiupkan ke dalamnya. Ia lalu merinci dimensi manusia secara bertingkat:

  • Ruh, tindakan Allah yang suci dan akan kembali kepada-Nya;
  • Nafs, batas antara fisik dan psiko-kognitif, tempat dorongan dasar seperti lapar, marah, dan sakaratul maut dirasakan;
  • Kalbu, pengendali nafs yang menjadi pusat niat dan iman;
  • Fuad, bagian terdalam kalbu yang mengelola sabar dan syukur;
  • Albab atau Lubb, inti terdalam kesadaran spiritual tempat manusia mampu menangkap hakikat dan merenungkan tanda-tanda Tuhan.

Dengan memahami lapisan-lapisan ini, manusia diajak menyadari kompleksitas dirinya, membersihkan nafs, menyehatkan kalbu, dan mengaktifkan albab—agar mampu kembali ke Siratal Mustaqim, dan menjadikan silaturahim sebagai jembatan spiritual untuk saling mengingatkan dan membangunkan kesadaran kolektif.

Dari struktur tersebut, Nanda menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat transisional. Potensinya bisa setinggi malaikat, tetapi juga bisa jatuh serendah-rendahnya. Maka, silaturahim berarti bertemunya upaya dari dua pihak atau lebih untuk mendekati standard kenabian di bidangnya masing-masing. Jika hanya satu pihak yang berusaha, ketimpangan akan muncul dan kezaliman pun terjadi.

“Mewarisi kenabian adalah memiliki akal dan penglihatan kalbu untuk berpikir dan melihat seperti Nabi.” —Nanda

Penderitaan sebagai Tolak Ukur Keadilan

Sabrang melanjutkan diskusi ke arah keresahan sosial. Demo tidak muncul dalam kekosongan. Ia mengilustrasikannya seperti jerawat meradang—sebuah gejala yang terasa sakit, memerah, dan membesar jika tidak segera diatasi.

Sebuah peristiwa besar memerlukan pemicu. Aksi 212, misalnya, tidak berujung rusuh karena tidak ada “bendera bersama” yang mendorong semua pihak melampaui batas. Sebaliknya, kehilangan nyawa, seperti pada tahun 1998, menjadi pemicu yang sangat kuat karena semua orang sepakat bahwa hal itu salah. Di sinilah pentingnya kecermatan dalam membaca pemicu.

“Pemimpin,” katanya, “perlu memiliki situational awareness.” Mereka perlu memahami konteks, membaca batas, dan berperilaku seperti seorang ayah yang menjaga tutur kata di depan anak-anaknya.

Sabrang juga mengingatkan agar para pemimpin tidak menggunakan tolak ukur yang keliru. Menganggap penderitaan sebagai “sebagian kecil” dapat menumpulkan kepekaan. Padahal, satu orang yang menderita pun layak diperhatikan. Oleh karena itu, Sabrang menawarkan tolak ukur yang sederhana namun ketat: pain (penderitaan).

Ia menjelaskan bahwa pain bersifat universal, bahwa setiap orang pasti merasakannya dan tak ada yang berdebat saat sedang mengalami sakit. Bahkan, dunia ini bisa dipahami dan didefinisikan dari sudut pandang pain, karena pengalaman rasa sakitlah yang sering kali membentuk cara manusia memaknai kehidupan.

Asal-usul pain sendiri, menurutnya, justru berasal dari cinta: seperti rasa sakit yang dialami saat belajar keras demi masa depan yang lebih baik, atau menahan lapar saat berpuasa demi nilai-nilai spiritual yang diyakini. Dalam konteks ini, pain bukan sekadar penderitaan, melainkan juga bentuk pengorbanan yang lahir dari niat baik dan tujuan mulia.

Pada dasarnya, pekerjaan apa pun hakikatnya adalah upaya untuk mengurangi pain orang lain, sehingga wajar jika upaya tersebut dihargai dengan uang. Petugas ambulans dan pemadam kebakaran, misalnya, dihormati karena mereka secara langsung mengurangi pain masyarakat. Mereka menjadi simbol pelayanan yang tulus dalam meredakan penderitaan.

Begitu pula seharusnya para pejabat: mereka layak dihormati jika berhasil mengurangi pain rakyat, bukan malah menambahnya. Jika justru menambah beban dan penderitaan rakyat, maka demo sebagai bentuk protes menjadi sah dan layak dilakukan. Rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan yang menyengsarakan.

Namun, ia juga menegaskan bahwa demo yang merusak fasilitas umum atau menutup akses jalan justru menimbulkan pain baru bagi orang lain, sehingga menyimpang dari tujuan awalnya, yaitu mengurangi, bukan menambah, penderitaan. Aksi protes yang kontraproduktif seperti ini justru mengkhianati semangat keadilan yang ingin diperjuangkan.

Sabrang juga menyoroti pain yang dialami Ibu Pertiwi: tanah dieksploitasi, ekosistem dipangkas demi pembangunan jalan, dan penambangan mengambil lebih banyak daripada yang dikembalikan. Mitigasi, seperti pembangunan jembatan satwa di jalan tol, adalah contoh upaya untuk mengurangi pain bagi hewan. Ia menegaskan, pemerintah tidak perlu membuat semua orang makmur, tetapi tidak boleh ada yang menderita—itu adalah standard minimal. Jika standard minimal ini pun gagal, tidak ada lagi pembenaran di baliknya.

“Ukurlah dari pain: siapa mengurangi penderitaan, siapa menambah. Kebijakan jadi jelas.” —Sabrang MDP

Mewujudkan Situational Awareness sebagai Refleks

Menjelang sesi terakhir, panggung diselingi jeda dengan penampilan Sokrat. Penampilannya menjadi transisi, menjaga ritme forum sebelum memasuki sesi tanya jawab. Tri dan Karim kembali memandu, mempersilakan tiga penanya naik ke panggung: Ika Nur dari Wonosobo, Dimas dari Bekasi, dan Ali, yang lahir dan besar di lingkungan Madura.

Ika memulai dengan pertanyaan yang ia tangkap dari percakapan bulan sebelumnya: sampai tingkat pendidikan apa seseorang mulai berperilaku benar, seperti tidak membunyikan klakson sembarangan, mengantre dengan tertib, dan tidak membuang sampah sembarangan? Ia menyimpulkan dari Sabrang bahwa kepintaran atau banyaknya bacaan tidak otomatis membuat seseorang bertindak benar, melainkan yang terpenting adalah situational awareness. Pertanyaan lanjutannya: bagaimana melatihnya? Apakah kembali pada literasi, nurani, atau akal universal?

Sabrang menjawab bahwa situational awareness bukanlah alat untuk menemukan keputusan “paling benar”, melainkan keputusan yang “paling optimal” demi masa depan yang diharapkan. Ia menjelaskan bahwa masa depan bersifat spekulatif; kita mengumpulkan data yang tidak lengkap untuk mengoptimalkan hasil. Agar awareness ini selalu menyala, ia harus diturunkan dari Sistem Dua (proses berpikir sadar dan lambat) ke Sistem Satu (respons yang refleks dan otomatis).

Bagaimana caranya? Melalui latihan harian. Sabrang mengutip pepatah Jawa, “Ilmu kelakone kanti laku,” yang berarti ilmu menjadi milik kita melalui tindakan. Saat kita bertindak, kita adalah aktor; saat merenung di malam hari, kita adalah sutradara yang mengevaluasi tindakan kita untuk diperbaiki esok hari. Ritme harian—bertindak lalu mengevaluasi—adalah cara agar situational awareness menjadi sebuah refleks.

Ia menambahkan bahwa kepintaran hanyalah jalan, bukan tujuan. Ada orang yang tidak menonjol secara kognitif tetapi sangat tajam dalam membaca situasi dan mengambil tindakan yang tepat. Sabrang menggunakan contoh dari serial Naruto: Shikamaru yang strategis meski malas; Rock Lee yang unggul bukan karena jutsu, tetapi karena disiplin kerja; dan Naruto sendiri yang bukan terpintar, tetapi memiliki ketekunan dan energi. Intinya, manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling melengkapi. Jabatan atau pencapaian hanyalah jalan; jika dijadikan tujuan, orang cenderung menyalahgunakannya.

Ika menambahkan sudut pandang bahwa marah sering kali membuang energi dan memperkeruh suasana. Namun, ia juga memahami bahwa marah seringkali merupakan emosi sekunder yang di baliknya ada rasa sedih, malu, atau kecewa. Ketika dialog menemui jalan buntu, marah terkadang diperlukan untuk mengguncang keadaan demi memicu perubahan. Ia mencontohkan kebijakan yang menurunkan standard kemiskinan menjadi Rp20.000 per kapita per hari—sebuah tindakan yang berlawanan dengan aspirasi publik—sebagai contoh denial terhadap realitas.

Sabrang menanggapinya dengan membedakan antara marah sebagai metodologi dan amarah (rage) sebagai ledakan ego. Menurutnya, marah yang metodologis memiliki tujuan objektif, mengenal batas, dan tahu kapan harus berhenti. Sebaliknya, rage tidak memiliki rem dan sangat berbahaya. Ia memberi contoh intervensi tegas terhadap anak kecil yang hendak melakukan hal berbahaya: hal itu bisa dilakukan tanpa amarah yang berlebihan. Prinsipnya adalah iling lan waspada—ingat tujuan dan waspada pada proses. Tujuan itulah yang menjadi batas.

Haruskah Saya Percaya Primbon?

Ali, yang tumbuh di lingkungan Madura dengan tradisi kuat seperti penggunaan primbon untuk hari baik pernikahan, sesajen, dan menyiram air kapur saat ada kematian, merasa bingung—haruskah ia mengikuti tradisi itu atau tidak? Ia lantas meminta sudut pandang dari ketiga narasumber yang hadir malam itu.

Prof. Premana menjawab bahwa pertanyaan Ali sangat valid. Menurutnya, sains hanyalah kumpulan pengetahuan yang teruji tentang alam fisik, bukan keseluruhan realitas. Aspek spiritual dan pengalaman batin tidak sepenuhnya berada dalam domain fisik, sehingga wajar jika ada fenomena yang tidak bisa dijelaskan oleh sains.

Ia menjelaskan perbedaan antara astronomi dan astrologi. Astrologi sering menggunakan data astronomi yang benar (misalnya posisi planet saat kelahiran), tetapi kemudian memperluasnya menjadi klaim kausal tentang watak atau nasib tanpa dasar ilmiah. Di sinilah astrologi menjadi pseudo-sains—mirip sains, tetapi bukan sains. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa dimensi spiritual manusia sangat kuat. Fokus dan latihan batin dapat memengaruhi perilaku, sehingga ritual tampak “berhasil.” Sikap yang ia tawarkan adalah kerendahan hati: pengetahuan sains belum lengkap, dan kita harus terus melatih berpikir kausal agar setiap keputusan bisa ditelusuri dan diperbaiki. Ia menganjurkan “benang tunggal” dalam berargumen, yaitu membangun landasan yang mudah dibongkar jika salah, daripada merangkai benang ganda yang sulit dibetulkan.

Nanda kemudian mengaitkan hal ini dengan konsep qada dan qadar. Menurutnya, semua yang terpetakan sains maupun yang belum, adalah qadar (ukuran) Allah. IPTEK adalah cara manusia berinteraksi dengan qadar. Sementara qada adalah putusan per kasus, di mana tawakal menjadi penting. Sabrang menyarankan untuk membangun keputusan dengan landasan ilmiah yang kita kuasai, sambil mengakui bahwa hasil akhirnya adalah ciptaan Allah.

Mengenai primbon dan sejenisnya, Sabrang memberikan penjelasan yang menyeimbangkan antara penghargaan terhadap tradisi dan ketegasan dalam kerangka tauhid. Ia tidak serta-merta menolak primbon, melainkan menempatkannya dalam posisi yang proporsional: sebagai alat bantu observasi, bukan penentu takdir.

Primbon, menurutnya, dapat dimanfaatkan sebagai bentuk observasi kebetulan (co-incidental)—semacam pola yang muncul berulang dalam pengalaman kolektif manusia—dan bisa berfungsi sebagai instrumen pengumpul data tambahan. Dalam konteks zaman sekarang, ia menyamakannya dengan indikator dalam era big data: bukan sebagai penyebab, tapi sebagai sinyal atau pola yang bisa diamati, dicatat, dan dianalisis untuk memahami tren atau kecenderungan tertentu. Dalam batas ini, primbon bisa menjadi semacam “arsip budaya” atau “peta fenomena sosial-alamiah” yang bernilai historis dan antropologis.

Namun, yang menjadi masalah dan harus diwaspadai adalah ketika primbon diangkat menjadi kausalitas mitologis, seolah-olah bintang, hari kelahiran, atau tanda alam tertentu memiliki kuasa menentukan nasib manusia. Padahal, dalam keyakinan tauhid, kekuasaan mutlak tetap berada di tangan Allah. Tidak ada kekuatan di langit maupun di bumi yang berdiri sendiri di luar kehendak-Nya. Primbon, seandainya pun memiliki korelasi, hanyalah co-indicator, sebagai penanda bersama yang paling jauh dan tidak mutlak. Apalagi, dalam realitas kontemporer, pola alam—iklim, gejala sosial, bahkan ritme kehidupan—telah banyak berubah akibat intervensi manusia dan dinamika global, sehingga ketergantungan pada primbon sebagai “ramalan pasti” menjadi semakin tidak relevan.

Secara praktis, primbon bisa bermanfaat bagi sebagian orang dan tidak bagi yang lain. Jadikan itu sebagai sumber data tambahan yang dipertimbangkan bersama faktor-faktor lain. Sabrang memberikan contoh yang lugas: restu mertua mungkin lebih menentukan keberhasilan pernikahan daripada primbon atau zodiak. Jika primbon dapat membuat mertua merasa yakin dan dihargai, maka itulah manfaatnya. Namun, ia mengingatkan agar waspada terhadap confirmation bias, yaitu kecenderungan manusia untuk menangkap kejadian yang mengonfirmasi prediksi ambigu. Tempatkan ilmu pada porsinya: semakin banyak ilmu, semakin baik kita bisa mengantisipasi dan mengoptimalkan masa depan.

Kontinuitas Gerakan untuk Perubahan

Dimas mengajukan sebuah pengamatan krusial malam itu: mengapa reformasi dan revolusi sering berhasil mengganti rezim, tetapi gagal memelihara aspirasi masyarakat setelahnya? Ia bertanya apa yang harus dijaga agar momen perubahan tetap selaras dengan aspirasi awal.

Sebagai pelajaran sejarah, Nanda menyoroti Revolusi Prancis. Ia menolak pandangan yang menguduskan revolusi begitu saja. Revolusi, yang awalnya idealis, bergeser menjadi tirani (di bawah Robespierre), lalu kekuasaan mutlak (oleh Napoleon), dan pada akhirnya justru menguntungkan pihak-pihak lain, seperti jaringan perbankan yang terkait dengan deklarasi politik. Pelajarannya: jangan hanya melihat snapshot atau potongan, tetapi perhatikan kausalitas dan alur secara keseluruhan. Perubahan dapat menyimpang dari aspirasi awal jika struktur dan orientasinya tidak diawasi.

Sabrang memetakan persoalan sosial—seperti demo atau kerusuhan—menggunakan Iceberg Model, yang terdiri dari empat lapisan bertingkat: pertama, Event, yaitu gejala paling permukaan yang mudah terlihat namun sering kali hanya memicu reaksi sesaat; kedua, Pola, yakni kejadian berulang yang menunjukkan adanya dinamika sistemik di balik peristiwa insidental; ketiga, Struktur, mencakup aturan, tata kelola, dan mekanisme rekrutmen yang membentuk dan mempertahankan pola tersebut; dan keempat—yang paling mendasar—Mental Model, yaitu cara berpikir, nilai, dan akhlak kolektif yang menjadi akar dari seluruh struktur di atasnya.

Menurut Sabrang, perubahan yang berkelanjutan tidak mungkin terjadi jika hanya berfokus pada event atau bahkan pola; transformasi sejati harus dimulai dari merombak mental model, karena dari situlah struktur dibangun, pola terbentuk, dan event akhirnya bermunculan. Dengan Iceberg Model ini, ia mengajak kita menyelam lebih dalam, melampaui reaksi emosional, menuju perubahan sistemik dan spiritual yang mendasar.

Jika kerusakan hanya terjadi pada lapisan event, demo dapat membawa perubahan. Namun, jika masalah sudah merambah struktur—misalnya, kekosongan regulasi pascatragedi atau mekanisme pemilihan yang memunculkan figur tidak kompeten—maka perubahan harus menyasar lapisan yang lebih dalam. Lapisan terdalam, mental model, adalah yang paling sulit; para Nabi diutus untuk membenahi akhlak karena dari sanalah struktur, pola, dan event akan ikut terbenahi. Ia menyebut Indonesia menghadapi wicked problem, di mana masalah terus bergerak dan tidak memiliki jawaban yang statis.

Sabrang juga menyoroti kesenjangan antara realitas yang diklaim oleh otoritas dan yang dialami oleh warga. Selama data keliru, kebijakan akan terus meleset. Di sinilah teknologi mungkin bisa membantu: kecerdasan buatan berpotensi merangkai realitas personal menjadi gambaran kolektif yang lebih objektif. Untuk masalah sosial, reduksionisme (memecah masalah menjadi bagian kecil) seringkali tidak cukup. Dibutuhkan system thinking, yaitu pemahaman tentang hubungan, kausalitas, feedback loop, dan delay.

Sabrang lalu memberi studi banding:

  • Gerakan Occupy Wall Street di AS (2011) meredup karena tidak memiliki representasi dan proses birokratisasi gagasan. Gerakan ini mudah “disusupi” dan padam dalam hitungan bulan.
  • Gerakan 15M di Spanyol (2011) juga memudar karena pertemuan yang tak berujung tanpa hasil konkret, dan kalah cepat dari organisasi yang didukung negara.

Pelajaran dari ini adalah perlunya birokratisasi gerakan. Ini bukan berarti harus menjadi partai atau organisasi massa klasik, melainkan menata sebuah wadah yang mampu menjaga ide tetap hidup saat gelombang perjuangan menurun.

Akhirnya, Sabrang mengembalikan diskusi pada parameter pain: tentang siapa yang bersedia menanggung pain—waktu, tenaga, dan risiko—demi merawat kontinuitas gerakan. Ia menutup dengan pesan agar menyandarkan semangat pada kepercayaan kepada Tuhan dan keyakinan bahwa setiap usaha tidak akan sia-sia. Hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi nilai dari usaha itu tetap ada karena kita telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

“Keburukan yang terorganisir bisa menang melawan kebaikan yang berantakan. Teknologi kini menawarkan cara baru untuk berorganisasi, dan hal ini perlu dipikirkan sejak sekarang.” —Sabrang MDP

Penutup Malam

Menjelang pukul 02.43 WIB, forum ditutup dengan Indal Qiyam. Rangkaian diskusi dari sesi kedua dan ketiga memberikan tiga poin penting yang melengkapi sesi awal:

  1. Metode membaca realitas: Sains memiliki batasannya, tetapi sangat berguna untuk memahami proses. Sementara itu, spiritualitas memberikan orientasi. Keduanya harus digunakan secara proporsional.
  2. Ukuran sederhana untuk kebijakan: Pain (penderitaan). Ukuran ini membumi dan dapat digunakan baik oleh warga maupun pemerintah: siapa yang mengurangi penderitaan, dan siapa yang menambahnya?
  3. Menjaga perubahan: Untuk menjaga agar perubahan tidak menyimpang, perlu dilakukan perbaikan pada struktur dan mental model. Selain itu, ide-ide perubahan harus melalui proses birokratisasi agar tahan lama dan tetap relevan, serta menggunakan system thinking.

Pada akhirnya, tema “Silat(u)rahim Ibu Pertiwi” menyoroti satu sikap utama mengenairefleksi sebelum bertindak. Sesi awal mengingatkan kita untuk meninggalkan pola pikir biner dan berpegang pada teladan Nabi. Sesi kedua menambahkan disiplin dalam membaca alam dengan hati-hati dan menata keseimbangan sosial. Terakhir, sesi ketiga mengikat semua itu menjadi praktik nyata dalam melatih situational awareness harian, menempatkan tradisi pada tempatnya, dan mengawal perubahan melalui perbaikan struktur dan cara pandang sistemik.

Di tengah kegaduhan, suara keras bukanlah satu-satunya kekuatan. Hening sejenak juga bisa menjernihkan. Kesunyian sesaat bukanlah tanda menyerah, melainkan upaya agar tidak terseret dalam hiruk-pikuk angkara. Oleh karena itu, berselawat dan meneguhkan prinsip Rahman–Rahim menjadi landasan etis, agar aspirasi tidak berubah menjadi “silat amarah,” melainkan silaturahim yang memuliakan sesama.

Jika para penyelenggara negara dan warganya konsisten pada prinsip-prinsip ini—bersikap empatik, berdialog, jujur pada data, dan siap memikul beban amanah—maka silat (ketegasan dalam bertindak) dan rahim (keteguhan dalam merawat) akan bertemu dalam cinta yang penuh waskita untuk Ibu Pertiwi.

Teks: Redaksi KC / Ibnu

Foto: Redaksi KC / Yudi

SendTweetShare
Previous Post

Merdeka dari Penantian

Next Post

Pewaris, Perintis, dan Penjaja Bakso di Simpang Jalan

Redaksi Kenduri Cinta

Redaksi Kenduri Cinta

Redaktur Kenduri Cinta

Related Posts

REPORTASE: MENGHADIRKAN CAHAYA
Reportase

REPORTASE: MENGHADIRKAN CAHAYA

October 15, 2025
REPORTASE: RUANG SEMPIT KEMERDEKAAN
Reportase

REPORTASE: RUANG SEMPIT KEMERDEKAAN

August 20, 2025
Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan
Reportase

Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan

July 16, 2025
Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan
Reportase

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

June 20, 2025
Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani
Reportase

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

May 21, 2025
Trapsila: Patrap Tumraping Sila
Reportase

Trapsila: Patrap Tumraping Sila

April 15, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta