PADA edisi Agustus 2025 yang bertepatan dengan dua hari jelang Peringatan 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Kenduri Cinta kembali mengajak untuk menatap diri dalam ramah-riuhnya malam Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2025. Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki menjadi saksi berkumpulnya jiwa-jiwa yang turut mempertanyakan makna dari kemerdekaan yang sejati. Di bawah tenda yang sederhana, jamaah berbondong-bondong hadir dari kantor, dari pabrik, dari kampus, dari terminal, atau dari kamar-kamar kontrakan berdinding tipis. Mereka datang dari berbagai tempat untuk duduk bersila, mendengar, menimbang, dan saling menambal bagian-bagian rapuh dalam ruang sempitnya masing-masing.
Pada pukul 19.45 WIB, forum dibuka dengan pembacaan Surat Yasin dan Sholawat yang menjahit suasana menjadi khidmat. Irama doa tidak tergesa; ia mengalir seperti sungai yang sejak lama hafal lekuk tebing. Tangan-tangan diangkat, kepala-kepala menunduk, mata-mata pejam. Di sela napas yang ditarik bersama, terdapat rasa lega yang tidak bisa dijelaskan oleh istilah manapun: rasa dipeluk oleh sesuatu yang lebih besar. Hingga pukul 20.15 WIB, gema wirid yang merayap di antara tiang-tiang tenda seperti menegaskan kompas forum: sebelum kata-kata, ada hening; sebelum pendapat, terdapat sebuah takzim.
Malam itu, tema besar yang menjadi pangkal perbincangan ditata dalam frasa paradoksal: Ruang Sempit Kemerdekaan. Sempit, karena nyatanya banyak orang merasa gerak hidupnya kian terbatas. Kemerdekaan, karena di atas kertas kita telah 80 tahun merdeka. Dua kata itu berjalan berdampingan sambil saling menyoal.
Pembuka: Pertanyaan yang Tidak Selesai
Ibnu—yang malam itu bersama Mizani sebagai moderator sesi pertama—mengajukan pertanyaan yang menempel di kepala: “Sudahkah kita merdeka?” Ia mengurai dua arus yang sering dipakai pemikir klasik ketika berbicara tentang kebebasan: negative freedom (kebebasan dari batasan: dari kolonialisme, dari larangan berbicara, dari kekangan paksa) dan positive freedom (kebebasan untuk melakukan sesuatu: untuk belajar, berkarya, memilih jalan hidup). Secara formal, kita telah mengunci pintu kolonialisme fisik delapan dekade lalu. Tetapi secara batin, sosial, ekonomi, budaya—apakah “kebebasan untuk” itu sungguh kita rasakan?
Ibnu dan Mizani mengingatkan satu hal yang memancing perhatian jamaah: Kenduri Cinta telah dua puluh lima tahun berdiri tanpa sponsor. Ketidakbergantungan itulah yang memungkinkan forum ini menampung tema, kritik, canda, dan tak jarang air mata tanpa rambu-rambu yang dipasang oleh kepentingan di belakang panggung. “Merdeka” di sini bukan slogan; ia adalah keputusan sehari-hari yang bukan tanpa biaya, ia adalah keputusan yang dijaga dengan ketabahan.
Mizani lalu memanggil tiga nama untuk memantik percakapan: Pramono, Ian L. Betts, dan Boim. Tiga orang, tiga sudut pandang, satu panggilan: menelisik di mana sempit-nya, mengapa “kemerdekaan”-nya.

“Kemerdekaan bukan tujuan akhir tapi laku yang harus terus diperjuangkan.” —Boim
Betawi dan Pertanyaan-Pertanyaan Kemerdekaan
Boim membuka suaranya dengan pantun, seperti menaburkan garam di atas meja sebelum makan agar rasa lebih hidup. Ia lalu mengaitkan dua istilah yang kerap tertukar: kemerdekaan dan kebebasan. Kemerdekaan, baginya, bersifat komunal—urusan republik, urusan bersama. Kebebasan lebih individual—hak seorang manusia terhadap dirinya. “Sering disamakan, padahal tidak sama,” ujarnya. Sebagai anak Betawi, ia mengaku lama memendam perasaan getir: orang Betawi, kata Boim, belum pernah sungguh-sungguh merasakan buah kemerdekaan, selain ketika perayaan HUT Jakarta yang menyala sesaat. Di hari-hari biasa, mereka sering jadi tuan rumah yang menyewa kamar di rumahnya sendiri.
Boim menyebut dua regulasi yang dalam pengalaman mereka menghadirkan kabut: UU No. 3/2022 tentang Pemindahan Ibu Kota yang pada awalnya sempat diharapkan memberi babak baru, dan UU No. 2/2024 tentang Daerah Khusus Jakarta—keduanya, di mata Boim, bukan membuat terang, tetapi memanjangkan tanda tanya. “Status Jakarta dan masa depan orang Betawi jadi tidak jelas,” katanya. Di tengah kebimbangan itu, Boim dan kawan-kawan mengupayakan sesuatu yang konkret: mendorong perubahan Perda Pelestarian Kebudayaan Betawi menjadi Perda Pemajuan Budaya Betawi. Bukan sekadar “melestarikan” sebagai benda peninggalan, tetapi memajukan—dengan dukungan pembiayaan, skema insentif pajak bagi industri yang memajang budaya Betawi, juga sanksi yang tegas bagi yang mengabaikannya.
“Harusnya bisa seperti Bali,” katanya, “di mana budaya dirajut menyatu dengan industri pariwisata.” Persoalannya, Jakarta adalah kota mencari uang, bukan kota menghabiskan uang. Struktur ekonominya beda. Namun upaya untuk memajukan bukan berarti mustahil. Kemerdekaan, bagi Boim, bukan tujuan akhir tapi laku yang harus terus diperjuangkan. Dan ia menutup bagiannya dengan doa agar perjuangan memajukan kebudayaan Betawi tidak lagi menjadi cerita yang saban tahun diulang sebagai rencana.
Kolonialisme Mental, Bob Marley, dan Burung dalam Sangkar
Pram mengambil giliran. Ucapannya mengarah ke “sikap mental” yang membuat ruang batin kita sempit. Ia menengok ke belakang, pada 1908, ketika kata “Indonesia” mulai dijahit dalam narasi kebangsaan, namun belum cukup kuat mempersatukan. Ia menyebut Muhammad Yamin yang merujuk “Nusantara” dari Pararaton—sebuah upaya memanggil kembali benang sejarah yang lebih tua, agar jalinan persatuan tidak semata bertumpu pada penamaan modern yang asing.
Tetapi kolonialisme yang paling lama hidup bukanlah bentuk fisik. Ia tinggal di kepala. Pram menyebut narasi tentang “pribumi buta huruf” hanya karena tidak menulis dengan huruf Latin. Sementara kenyataannya, masyarakat Nusantara mengenal aksara-nya sendiri, dari lontar hingga hanacaraka. “Kita seharusnya mencontoh Jepang yang tetap menjaga martabatnya lewat kanji,” ujarnya pelan.
Ia mengutip kisah Bani Israil dalam QS. Al-Baqarah: 61—bagaimana manusia yang sudah dicukupkan manna dan salwa masih memohon kembali adas dan sayuran; seakan-akan mendamba belenggu karena nyaman dipasok. “Seperti burung dalam sangkar,” kata Pram, “yang tak siap terbang karena terbiasa disuapi.” Analogi itu menyentuh: banyak dari kita menganggap aman sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Akibatnya, kemerdekaan terasa sempit karena kita sendiri berdiri rapat-rapat di pintu keluar.
Pram membedakan liberty (kebebasan individu) dengan independence (kedaulatan). Mbah Nun—yang menjadi kisi nilai Kenduri Cinta—lebih menekankan independence: berdaulat terhadap diri dan keputusan. Kenduri Cinta yang tidak memakai sponsor adalah salah satu contoh praktis: kedaulatan yang dijaga dari godaan dan intervensi. “Ruang sempit kemerdekaan,” simpulnya, “muncul ketika mental belum bebas.” Kita memilih sepatu bukan karena fungsinya yang menjaga langkah, melainkan karena gengsi yang menjaga citra. Ia kemudian mengutip lirik Bob Marley: “Emancipate yourselves from mental slavery; none but ourselves can free our minds.” Perbudakan mental tidak selalu tampak, tetapi ia persisten, halus, dan akrab.
“Manusia,” ia mengingatkan, “lahir dari setetes air yang hina.” Kutipannya merujuk pada QS. Al-Mursalat: 20-22—tentang proses dirawat dan ditumbuhkan oleh Allah. Hamba tetaplah hamba. Namun sebagai khalifatullah, manusia dititipi mandat: berjuang dan bergembira di tengah tekanan, bukan tunduk padanya.

“Sebagai khalifatullah, manusia dititipi mandat: berjuang dan bergembira di tengah tekanan, bukan tunduk padanya.” —Pramono
Membaca Maiyah dari Jarak yang Dekat
Ian berbicara dengan aksen British yang akrab di telinga jamaah Kenduri Cinta. Jelang 80 tahun kemerdekaan, ia mengingat pertemuannya dengan karya-karya yang menyigi Maiyah dari luar. Ia memperkenalkan buku Islamic Spectrum in Java karya Prof. Timothy Daniels (University of Pittsburgh). Dalam risetnya, Daniels menuliskan sebuah bab khusus tentang “Maiyah, Komunitas, dan Orang Biasa”, menelisik bagaimana Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) membangun jejaring nilai dan kebersamaan yang unik, terutama di era 1990-an ketika Indonesia diguncang konflik yang mengantar pada Reformasi.
Daniels menyebut adanya sembilan nilai fundamental: segitiga cinta (Allah, Muhammad, kemanusiaan), perdagangan dunia-akhirat, jangan salah niat, siklus peradaban, kebenaran-kebaikan-keindahan, langit dan bumi, hingga neraca manfaat-kerugian. Semua itu, menurut Ian, merapat pada puisi Cak Nun “Salam Maiyah” yang menyimpulkan bahwa Maiyah terjadi di mana pun kita berada, dengan siapa pun kita, apa pun yang kita alami… bersama Allah dan Rasul-Nya.
Kemerdekaan, bagi Ian, adalah syarat minimal untuk bertahan sebagai bangsa yang ingin tumbuh. Ia menyebut 1998 sebagai momen “kemerdekaan kedua”—sebuah lompatan dari gelap menuju remang. Tapi akar ke arah itu tumbuh jauh sebelumnya: drama “Perahu Retak” (1992) yang mengisyaratkan retakan sosial kita; kumpulan esai “Titik Nadir Demokrasi” (1996) yang mengkritik pemerintahan Orde Baru sebelum badai krisis datang; sampai catatan kesaksian “Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto” yang merekam upaya mempertemukan pikiran-pikiran yang berserak. Ian juga menyebut “The Nation of The Laughing People”, naskah Cak Nun yang memotret sejarah dengan kelakar yang getir, rencananya dibawa ke Inggris sebagai cermin yang bisa memantik dialog lintas budaya.
“Cak Nun,” kata Ian, “adalah humanis.” Siapa pun bisa duduk di lingkaran Maiyah, apa pun agamanya, selama ia bersedia memanusiakan manusia lain. Ian mengutip seorang peneliti muda, Rony Pratama, yang menilai peran Cak Nun dalam Reformasi bukan sekadar sebagai saksi, melainkan sebagai penyembuh luka bangsa. “Apa pun yang kita lakukan di sini,” Ian menatap jamaah, “adalah Maiyah.” Kalimat itu menegaskan etos: bukan panggung, bukan nama. Yang hidup adalah laku bersama.
Sehari yang Paling Merdeka
Dari ujung panggung, Ali Condet mengangkat topik yang terasa agak rawan: sejarah. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Ali mengulang kalimat itu bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai peringatan. Ia membenarkan hal yang sering terbalik sebut: pembaca Proklamasi adalah Ir. Soekarno, bukan Bung Hatta. Kesalahan yang remeh, tetapi krusial: bangsa yang salah mengingat akan salah melangkah, sebab kompasnya sudah miring dari awal.
Ali menyodorkan hipotesis yang tajam: Indonesia, baginya, benar-benar merdeka hanya 24 jam—dari 17 Agustus 1945 pukul 10.00 hingga 18 Agustus 1945 pukul 10.00. Setelah itu, ketika UUD 1945 disahkan, terutama Pasal 2 ayat 1, terbuka peluang satu entitas dapat memegang banyak jabatan. “Dari situlah,” ucapnya getir, “kita membuka pintu bagi kekuasaan yang memanjang.” Ia mengakui pada hari-hari awal republik, keputusan semacam itu bisa dimaklumi oleh minimnya jumlah orang yang siap memegang amanah. Namun di kemudian hari, konsekuensinya mahal: rakyat kehilangan kedaulatannya, digantikan oleh “wakil partai”.
Pancasila, kata Ali, sering dibaca terbalik. Kita meloncat ke sila kelima—keadilan sosial—sementara tiang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sering ditinggal jadi poster di dinding. “Bagaimana membangun rumah tanpa tiang?” tanyanya. Tetapi di balik kegetiran itu, ia tidak lupa menyebut watak dasar bangsa ini yang selalu bangkit. Menjelang Proklamasi, diskusi-diskusi seperti Kenduri Cinta bertebaran di banyak tempat. “Semoga,” harapnya, “Kenduri Cinta bisa ikut menolong bangsa untuk tidak kehilangan arah.”
Ia menutup dengan sebutan yang hangat: Kenduri Cinta adalah cermin Indonesia yang seharusnya, sama rata, sama rendah, sama tinggi—orang datang, menyambung energi baik. Dan di antara semua kisah, ia menuturkan kepolosan seorang bocah kelas dua SD bernama Nina yang menolak “masuk surga sekarang” karena takut benar-benar “diambil saat itu juga”. Kemerdekaan, kata Ali, pada mulanya adalah kejujuran seterang itu—sebelum ia mengalami nasib dirajut oleh akal-akalan.

“Kenduri Cinta adalah cermin Indonesia yang seharusnya; sama rata, sama rendah, sama tinggi—orang datang, menyambung energi baik.” —Ian L. Betts
Senasib Sepenanggungan yang Hilang
Piar yang berangkat dari kerumunan jamaah turut mengambil bagian dengan premis yang pahit: kemerdekaan masyarakat kita terlalu sempit karena cenderung menyempit pada urusan diri dan keluarga. “Rasa senasib sepenanggungan,” katanya, “seperti pupus.” Setelah merdeka, kita kehilangan tujuan bersama; lantas demokrasi direduksi menjadi antre membeli sembako murah dan berganti bendera profil di medsos.
Ia mencontohkan bagaimana uang pajak sebatas jadi angka, bukan cermin amanah. “Yang menikmati kemewahan justru para elit,” lanjutnya. Kasus-kasus viral datang dan pergi; pada akhirnya kita akan “memaafkan” karena kelelahan atau karena isu baru menimpa kepala—sebuah keramaian yang bekerja seperti hipnosis. Pengecualian? Piar menyebut kemarahan rakyat Pati—momen ketika rasa sepenanggungan mendorong warga bertahan bersama. “Tapi di skala nasional,” ia menghela napas, “rasanya kita belum merasakan itu.”
Pram menyetujui: “Penjajahan informasi” nyata adanya. Kita dihempas konten remeh—disengaja oleh siapa?—sementara hak istimewa yang lebih besar melenggang tanpa koreksi. Mizani menimpali, “Yang berkumpul di sini pasti peduli. Bukan sekadar membahas, tetapi menarasikan dan memuisikan bangsa ini.” Boim menyelingi dengan petuah: “Kalau kita ngerasa cubit itu sakit, ya kita jangan nyubit.” Ia mencontohkan kemerdekaan Cak Nun ketika menolak tayang televisi jika ada iklan, atau ketika tema dan narasumber bukan keputusan yang merdeka—“Cak Nun itu manusia merdeka,” tegasnya—juga pengalamannya sendiri saat menjadi komisaris BUMD yang memilih tidak membenarkan keputusan yang tidak masuk akal, meskipun berisiko.
Malam makin padat. Tetapi kata-kata tidak membuat sesak; ia justru membuka ventilasi di kepala.

Desa, Negara, dan Jalan Antara
Sesi kedua dibuka oleh Hadi, Fahmi, dan Karim. Hadi menandai usia 80 tahun kemerdekaan dengan makna sansekerta “merdeka” yang berkait pada kemakmuran dan kesejahteraan. “Kita bangsa garuda,” ia mengutip Cak Nun, “yang sedang merasa jadi emprit.” Tetapi semoga si emprit tiba-tiba ingat ia sebetulnya garuda—dan membentang sayapnya.
Fahmi menceritakan asal mula tema “Ruang Sempit Kemerdekaan” yang lahir dari Forum Reboan, diskusi Rabu malam para penggiat Kenduri Cinta yang berangkat dari tulisan-tulisan Cak Nun. Salah satu yang menjadi palung rujukan adalah “Indonesia Bagian dari Desa Saya”. Di Mentoro 1970-an, televisi datang bukan hanya sebagai hiburan. Ia datang membawa kacamata baru yang mengubah tafsir: hidup di kota terlihat lebih “enak.” Orang-orang desa bermigrasi tanpa cetak biru kerja dan keahlian, hanya karena melihat tetangga pulang dengan uang dan oleh-oleh. “Narasi ingin seperti mereka,” kata Fahmi, “membuat banyak langkah kita tidak lagi dipandu oleh niat, melainkan oleh ilusi kebutuhan.”
Ironinya, hari ini batas desa-kota kian kabur. Internet membuat panggung dari halaman rumah. Konten kreator bermunculan di kampung; tanah desa mendadak dikuasai segelintir tangan yang paham permainan, harga properti meroket, orang desa terdesak di tanahnya sendiri. Di tengah percakapan sebulan itu, para penggiat berjumpa dengan Marco Kusumawijaya, penggerak koperasi hunian. Diskusi tentang “ruang sempit” lantas turun dari awang-awang filsafat ke lantai konkret: bagaimana menyediakan rumah layak tanpa membayar mahal pada industri yang selalu menuntut margin?
Fahmi menautkan tema ke cerita “Ada Berapa Hasan di Desa?”—tentang Hasan, anak penjahit dan ibu rumah tangga yang dibebani ekspektasi sekolah tinggi dan bekerja di kota demi keluarga. Fenomena yang kini kita sebut sandwich generation. Di bahu anak muda, tumpang tindih tanggung jawab menyempitkan ruang nafasku, nafasmu, nafas kita. Di sinilah “ruang sempit” bermakna ganda: sempit oleh struktur, sempit oleh lintasan batin yang selalu membandingkan diri.
Karim menegaskan, tema bukan sindiran pada kemerdekaan bangsa. Ruang sempit di sini bisa berarti Kenduri Cinta itu sendiri—ruang kecil yang membahagiakan, tempat orang yang merasa sempit datang dan belajar memanfaatkan batas. “Merdeka,” kata Cak Nun yang dikutip Karim, “bukan kebebasan sebebas-bebasnya. Merdeka adalah mengerti batas-batas.” Orang yang memahami batasan justru orang yang merdeka, karena ia tahu bagaimana bergerak, kapan berhenti, ke mana menghadap. “Kita semua terbatas,” ujar Karim, “tapi sedikit yang bisa optimal memanfaatkan keterbatasan.”

“Merdeka, kata Cak Nun, bukan kebebasan sebebas-bebasnya. Merdeka adalah mengerti batas-batas.” —Karim
Koperasi, Rumah, dan Demokrasi yang Dilakukan Secara Konkret
Giliran Marco Kusumawijaya memaparkan yang dibawanya: Koperasi Serba Usaha Rumah Flat Menteng. Ia datang dengan beberapa penghuni. Ia mulai dari sejarah yang menyisakan jejak genting: perang kemerdekaan memaksa setengah penduduk Bandung meninggalkan kota; ketika kembali, orang membangun rumah seadanya. Surabaya serupa. Lalu di 1970-an, Indonesia cukup “kaya raya”—Borobudur direstorasi dengan uang sendiri dari manfaat oil booming. Tetapi setelah korupsi mengambil jalan, kemakmuran itu luntur.
“Tetapi membangun pasar adalah keharusan,” kata Marco. “Membangun rumah tidak pernah gratis.” Pemerintah jadi bergantung untuk melibatkan swasta; subsidi mengalir lewat pengembang, lalu menetes ke individu. “Hari ini,” ia menyipitkan mata, “yang menilai kredit rumah bersubsidi justru bank dan pengembang.”
Pertanyaannya terdengar sederhana, namun jawabannya mencemaskan: kenapa harga rumah selalu naik? Inflasi perumahan lima kali lebih tinggi dari inflasi barang rata-rata; di Jakarta, bisa 15–20% per tahun. Gaji? Naiknya tidak sepadan. “Maka,” ujar Marco, “kami mencari ruang sempit: sebuah skema di mana orang bisa tinggal layak tanpa harus memikul beban margin pengembang, biaya marketing, dan pajak transaksi yang berulang-ulang.”
Modelnya belajar dari Kampung Susun Akuarium: pemerintah menyewakan tanah kepada koperasi untuk dikelola. Pemerintah menarik setoran langsung dari koperasi—lebih efisien ketimbang mengejar satu per satu rumah tangga. Rumah Flat Menteng berdiri di lokasi strategis—Menteng, dekat Stasiun Sudirman, MRT, Halte Tosari. “Tidak perlu mobil,” katanya, “itu menurunkan beban hidup.”
Angka-angka yang ia sodorkan seperti: 40 m² di koperasi setara harga 16 m² di pasar; 80 m² setara 20 m². Mengapa? Karena tidak ada biaya keuntungan pengembang (yang lazimnya 20–30%, bahkan bisa ratusan persen di lokasi strategis), tidak ada biaya marketing (cukup pengumuman via WhatsApp), tidak ada transaksi jual-beli berkali-kali (sehingga pajak transaksi tak berulang). Biaya dihitung dari harga bahan bangunan yang stabil—sekitar Rp8 juta/m² untuk bangunan 4 lantai. Berlaku hitungan kasar: unit 40 m² memerlukan sekitar Rp320–350 juta, sudah termasuk sewa tanah. Sewa tanahnya? 0,45% dari perkiraan harga tanah—jauh di bawah hitungan pengembang (1–3%), sementara harga tanah sendiri sering cuma spekulasi tanpa transaksi nyata.
Konsekuensi menjadi anggota koperasi: Anda tidak memiliki unit dalam pengertian aset yang dapat diperdagangkan di pasar. Anda berhak menikmati manfaat hunian sebagai anggota. Jika berhenti, koperasi mengembalikan simpanan pokok; unit tidak bisa dijual kepada pihak lain sesuka hati, dan tidak boleh berhenti dalam lima tahun pertama agar tidak ada praktik flip yang merusak ekosistem.
Marco membandingkan dengan Singapura: 94–97% warga tinggal di hunian HDB; unit tidak bisa diperjualbelikan semena-mena, pembelian memakai CPF (tabungan wajib), dan bisa ditinggali selamanya. “Kami hanya ingin menekan harga agar orang bisa tinggal layak,” ujarnya, “memberi ruang sempit yang aman untuk berhuni selamanya.”
Koperasi, baginya, adalah ruang sempit demokrasi: SHU boleh proporsional terhadap simpanan (mirip PT), tetapi ketika RAT digelar, satu orang satu suara—berbeda dengan PT di mana suara setara persentase saham. Dengan cara demikian, demokrasi dipraktikkan di ekonomi, bukan hanya di bilik suara.
Karim menyahut, “Ketika batas dipahami, ada kemerdekaan untuk memilih. Kita sering mengira merdeka datang dari luar. Padahal ia tumbuh dari dalam. Bagaimana kita mengaplikasikan itu?”

“Koperasi adalah ruang sempit demokrasi; dengan demikian demokrasi dipraktikkan di ekonomi, bukan hanya di bilik suara.” —Marco Kusumawijaya
Matryoshka, Sistem, dan Rule of The Game
Sabrang menjawab dari arah lain. Ia memulai dengan metafora yang akrab baginya: manusia seperti virus—berkembang biak, lalu membunuh inang karena gagal memahami pola kehidupan. Ia menyodorkan matryoshka: hierarki lingkaran dari Tuhan (pencipta hukum fisika) → tata surya → bumi → alam → manusia → suku atau bangsa → negara → pemerintah (yang berpakaian lima tahunan). Setiap lingkaran kecil tunduk pada aturan yang lebih besar. Siapa pun yang melawan pola seperti ini akan punah.
“Maka,” ia bertanya, “apa yang merdeka?” Yang merdeka adalah negara.” Kemerdekaan adalah hak menentukan nasib sendiri, tetapi dibatasi kemerdekaan pihak lain. Tindakan yang menghalangi kebebasan orang lain—Sound Horeg di jalan, misalnya—adalah penjajahan. Tugas pemerintah adalah menciptakan tatanan (rule of the game) yang adil, sehingga perilaku manusia mendukung kelangsungan hidup negara dan bangsa.
Hukum, baginya, bukan alat balas dendam, melainkan penjaga keseimbangan. Pencuri TV merugikan individu; korupsi merugikan negara; korupsi pendidikan merugikan bangsa. Hukuman harus proporsional terhadap lingkaran dampak. Ia mengkritik hukum yang sering jadi alat kekuasaan, sementara putusan bisa “murah”—bergantung “hidayah” atau kepentingan.
BUMN, di pandangannya, semestinya berfungsi ganda: membantu pertahanan negara dan masyarakat, baru kemudian mengejar untung. Jika BUMN menargetkan profit yang menggilas swasta, itu seperti virus yang membunuh inang. “BUMN harus membuka lapangan yang belum ada swastanya,” tegasnya, “jadi pionir; sekalipun rugi di awal. Negara mendapatkan pajak dari ekosistem usaha yang tumbuh.”
Pendidikan adalah urusan bangsa, bukan hanya urusan negara. Ia membutuhkan dana abadi, semacam endowment yang membuatnya tidak ikut naik-turunnya ekonomi. “Menaruh pendidikan pada mekanisme pasar,” katanya, “sama saja menyuruh kapal jiwa kita menumpang ombak.”
Sabrang lalu membedakan cara pandang reduksionis—mengumpulkan komponen terbaik—dengan sistemik—menjaga hubungan antar komponen. “Mobil terbaik,” ia memberi contoh, “tidak lahir dari kumpulan sparepart terbaik jika relasi antar-bagiannya tidak cocok.” Alam memberi pelajaran umpan balik negatif (kelinci-rumput) untuk menjaga keseimbangan; ekonomi modern sering merayakan umpan balik positif—yang satu naik, lainnya ikut naik—termasuk kesenjangan. Maka yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin jauh tertinggal. Ketika itu terjadi, mereka yang berada di bawah kehilangan motivasi untuk ikut bermain.
Ia mengutip peringatan Soekarno: “Penjajahan berikutnya dilakukan oleh bangsamu sendiri.” Tetapi ia juga percaya, mereka yang mengkritik pemerintah—mengibarkan “Jolly Roger” kalau perlu—sesungguhnya mencintai negara. Frustrasi adalah tanda kepemilikan. Pemerintah semestinya mendengarkan, bukan mencurigai—inilah big data yang sesungguhnya: suara rakyat.
Sabrang juga menyinggung perubahan aturan main dalam olahraga (offside di sepak bola, scoring bulutangkis) yang diubah demi permainan—bukan demi satu klub. “Mengubah undang-undang untuk kepentingan diri,” katanya, “sama dengan menghancurkan bangsa.” Kemakmuran semua orang bukan tugas negara. Yang wajib adalah aturan main yang adil—sehingga setiap orang punya pilihan untuk menjadi makmur atau tetap sederhana.
Di penghujung sesi, malam seperti memanjang, tetapi bukannya melelahkan, forum terasa menguatkan.

“Hukum bukan alat balas dendam, melainkan penjaga keseimbangan.” —Sabrang MDP
Dari Kritik Demokrasi hingga Pilar Literasi
Hendri Satrio membuka bagian akhir dengan menyebut pidato Puan Maharani yang menggarisbawahi pentingnya mendengar suara rakyat. Ia juga menyinggung pidato Prabowo yang mengecam pembeking tambang ilegal—menyebut potensi ratusan triliun yang bisa jadi milik negara. “Demokrasi butuh diawasi,” kutipnya. Pemerintah butuh kritik. “Sejuk,” kata Hensa, “mengingat sulitnya menyampaikan kritik hari ini.”
Hensa memberikan spektrum gesekan di lapangan akibat kenaikan PBB yang terjadi di Pati, di Jombang, di Cirebon.Orang memaknai merdeka berbeda. Pejabat mungkin memaknainya sebagai popularitas; rakyat kecil sebagai ruang belanja; pengusaha sebagai kebebasan finansial; mereka yang tidak beruntung sebagai sekedar bisa bertahan lewat bansos yang tak bisa ditolak. Ia mengisahkan seorang mahasiswa yang memaknai “merdeka” sebagai bebas ujian tanpa prosedur: mendaftar sidang tesis sebelum pembimbing menyetujui naskah. “Itu juga tafsir kemerdekaan,” Hensa tersenyum miris.
Ia mengulas tiga laku kepemimpinan: transformasional (memberi contoh, seperti Jokowi periode pertama yang turun ke gorong-gorong), karismatik (SBY, Prabowo), dan transaksional. Di Pati, seorang bupati mencoba tampil karismatik tanpa karisma—yang terjadi justru kekacauan.
Pada kesempatan berikutnya dibuka sesi pertanyaan dan pernyataan dari jamaah, dari banyaknya jamaah yang mengangkat tangan dipilih empat secara acak untuk naik ke atas panggung.
Imawati, dosen dari UMJ, merumuskan kemerdekaan pribadi pada empat pilar:
- Bebas berpikir—menjadi diri sendiri, bukan klaim orang lain. Ia mengutip Franz Kafka, Metamorfosis, sebagai peringatan akan metamorfosis yang bisa terjadi pada manusia ketika “definisi diri” dihijack lingkungan.
- Kesejahteraan—sesederhana bisa makan tiga kali, satu kali camilan, dan rekreasi sebulan sekali. “Mengapa gaji dosen dan guru rendah?” ia bertanya; para “pahlawan tanpa tanda jasa” sering dicurigai bila bersuara. Ia menyebut Umar Kayam sebagai rujukan kebudayaan yang menakar martabat kerja tak semata dari gaji, tetapi juga dari penghargaan sosial.
- Keamanan—patokannya hukum dan akal sehat. Ia mengutip WS Rendra: ketika hukum dipaksakan tanpa teladan, ia adalah penindasan.
- Literasi—PR utama. Ia berkisah tentang studi S3 dan second master di India: buku disubsidi, diskusi kuat. “Kita bicara teknologi dan numerasi,” katanya, “tetapi literasi fundamennya.”
Tata, Software Engineer dari Juguran Syafaat, menyalakan kata-kata: pendidikan kita bocor di banyak titik—dari ekonomi, hukum, tata kelola, kesehatan, infrastruktur; dari beasiswa yang timpang, dosen yang memanfaatkan skripsi mahasiswa, sampai kampus yang mendorong DO sementara mahasiswa harus bertahan hidup. Ia juga mengkritik kebiasaan menyerang pribadi, bukan argumen. “Kita takut informasi,” ujarnya, “karena fondasi ilmu kita rapuh.” Kenapa lebih sibuk mengecek ijazah palsu ketimbang memahami cara kerja teknologi seperti ChatGPT? Ia menutup dengan pertanyaan: kecerdasan kolektif—pernah dibahas di Maiyah—apakah itu jalan terbaik? Bagaimana mencapainya?
Saleh, jamaah dari Palembang yang baru pertama datang, membawa kegalauan yang klasik namun jujur: “Percuma berdiskusi jika tak ada aksi konkret.” Ia menuntut keseimbangan—bukan komunisme, tapi ketiadaan jurang yang terlalu menganga. “Apa yang bisa Kenduri Cinta lakukan?” tanyanya.
Canggih, jamaah sejak 2013, mengembangkan lanskap matryoshka Sabrang: ada entitas terlihat (pejabat) dan tak terlihat (struktur, jejaring) yang tidak bisa dicaci. Ia menyebut kapitalisme sebagai kenormalan—entropi yang berlangsung lama, sejak Firaun. “Solusinya,” ia menyodorkan, “intelijensi keislaman—cara membendung nafsu dengan akal sehat dan hikmah.” Ia mengutip Cak Nun: “Rakyat pernah salah apa? Kok kalian menipu berkali-kali? Serakahnya kalian itu enggak punya nurani.” Barangkali, katanya, ini juga salah kita: kurang bertanya, kurang membaca.
Hensa menutup putaran tanya jawab dengan pernyataan: kemerdekaan bersifat personal. Setiap orang berhak menafsirkan—itu sendiri adalah bentuk kemerdekaan. Tetapi ia mengingatkan batas: begitu melewati batas, kita memasuki ruang orang lain. Di situlah kemerdekaan harus dirundingkan. Ia menyampaikan protes pada aturan-aturan yang terasa tidak adil—tentang tanah terbengkalai yang bisa diambil negara, atau royalti musik yang rumit. Lalu ia menanyakan ulang: “Kita setiap tahun merayakan kemerdekaan atau ulang tahun kemerdekaan?” Pertanyaan yang tampak sepele, namun menyentil cara kita memaknai perayaan.

“Kemerdekaan bersifat personal, tetapi begitu melewati batas, kita memasuki ruang orang lain. Di situlah kemerdekaan harus dirundingkan.” —Hendri Satrio
Menghindari Kemerdekaan Palsu
Marco berujar bahwa bahwa keahliannya hanya pada masalah perkotaan dan perumahan, (sementara) pertanyaan-pertanyaan yang masuk cukup filosofis dan sulit dijawab dari pengetahuannya yang lebih banyak tentang perumahan dan kota. Ia menyebut kemerdekaan yang dimaksud para pendiri bangsa sebagai kemerdekaan dari eksploitasi. Ironinya, pihak yang dulu mengeksploitasi juga merasa merdeka dengan cara itu—di banyak tempat, bahkan di tanah yang kini bernama Gaza.
Kemerdekaan palsu, katanya, adalah perasaan bebas karena punya mobil, padahal setiap hari kita yang menciptakan macet. Marco mengaku merasa lebih merdeka ketika ia memiliki kartu akses lansia yang membuatnya mudah menggunakan transportasi umum. “Bebas dari repot,” ia tertawa, “adalah bentuk kebebasan yang sering kita lupakan.”
Ia mengusulkan sosial demokrasi: jalan tengah antara komunisme dan kapitalisme telanjang. Orang boleh lebih kaya atau lebih sederhana; tetapi jurang tidak boleh terlalu jauh. “Kita tak akan menikmati makan enak,” ia berkata, “bila di depan ada yang kelaparan. Itu kemerdekaan palsu.” Maka perlu ambang sejahtera minimal yang bisa dinikmati semua.
Ia menyasar “circumstances”—kondisi awal yang timpang: menjadi wapres karena anak presiden, masuk kampus karena anak dosen, sekolah yang jauh karena jalan tidak ada. Hal-hal semacam ini harus disapu agar kesempatan menjadi setara. Di sini, kecerdasan kolektif bekerja: koperasi, di mana keputusan diambil banyak kepala, cenderung lebih cerdas dari keputusan satu otak yang berjalan sendirian. “Di Jepang,” ia tersenyum, “kalau minum tidak boleh menuang diri sendiri—yang menuang adalah teman. Itulah gotong royong.”
Ia mengkritik citra koperasi yang buruk di Indonesia, termasuk aturan yang melarang koperasi memiliki rumah sakit atau bank—“hasil lobi perusahaan yang takut bersaing.” Padahal jika dijalankan benar (satu orang satu suara), koperasi bisa menjadi mesin kecerdasan yang efektif. Demokrasi partisipatif bukan sekadar “mendengar aspirasi,” tetapi mendapatkan ide dan bernegosiasi. Marco bercerita tentang sebuah proyek di Sulawesi Tenggara: pemerintah hendak membangun jalan, warga meminta dokter/puskesmas. Setelah negosiasi, pemerintah menyetujui prioritas kesehatan. “Inilah politik yang sehat,” katanya, “ketika partisipasi bukan formalitas.”
Ia menutup dengan literasi. India mensubsidi buku dan tidak memajaki kertas; diskusi kuat, buku murah. Indonesia? Impor kertas, memajaki kertas, pencetakan, penjualan—membuat buku mahal. “Masalah kita bukan orang Indonesia tidak suka membaca,” simpulnya. “Masalahnya, buku mahal.” Literasi yang rendah menurunkan kualitas demokrasi; pejabat yang bangga tak membaca buku (kecuali komik) adalah “dosa besar.” Kemerdekaan yang sejati adalah tidak mengganggu kemerdekaan orang lain—dan salah satu caranya adalah memudahkan orang lain mendapat akses pada pengetahuan.

“Kemerdekaan yang sejati adalah tidak mengganggu kemerdekaan orang lain—dan salah satu caranya adalah memudahkan orang lain mendapat akses pada pengetahuan.” —Marco Kusumawijaya
Situational Awareness
Sabrang menanggapi tema literasi dari pintu yang lebih purba: apa ilmu paling penting sebelum tulisan ditemukan? Jawabnya, situational awareness—kesadaran posisi diri di ruang dan waktu, mengetahui siapa diri, di mana berdiri, apa yang tidak diketahui. Tanpa itu, orang mengendarai motor dan menghambat jalan; pejabat memakai bahasa ruang tamu untuk ruang publik; anak muda membawa kata-kata medsos ke meja makan tanpa filter.
Di banyak tradisi kuno, orang baru diajari ilmu setelah mengidentifikasi diri bukan sebagai suku atau bangsa, melainkan sebagai warga jagat raya—agar ilmunya tidak dipakai untuk menghancurkan. “Ilmu itu senjata,” katanya. Maka agama menekankan zikir, shalat, rasa bersalah—semua itu adalah alat sadar yang menempatkan kita kembali pada poros. Hak istimewa bisa dibenarkan jika tanggung jawab lebih berat—seperti forerider bagi pejabat yang bertugas, atau singa jantan makan duluan karena melindungi kawanan. “Tetapi gunakan hak istimewa untuk melayani,” pesannya, “bukan untuk memamerkan.”
Ia menanggapi gagasan “tidak ada kaya-miskin”: equal outcome tidak mungkin dan tidak adil; alam menyukai variasi. Bahkan di negara kaya, 8–9% orang selalu berada di lapisan paling bawah. Mekanisme agama—zakat, sedekah, amar ma’ruf—adalah cara mengelola jurang agar tidak menjadi jurang maut. Yang harus diperjuangkan adalah equal opportunity: kesempatan yang setara untuk mencoba.
Tentang “aksi konkret” Kenduri Cinta, Sabrang menjelaskan empat tahap perubahan:
- Emergence: keresahan lahir, kebutuhan ilmu meningkat—Kenduri Cinta adalah tempat ini.
- Coalescence: gagasan mengkristal.
- Bureaucratization: ide diubah menjadi sistem agar umurnya lebih panjang dari manusia.
- Decline: alamiah—agar lahir kembali dalam bentuk yang lebih sehat.
“Jangan ke hutan dengan gergaji tumpul,” ia mengutip. Duduk dan belajar adalah aksi—menajamkan gergaji. Kenduri Cinta sengaja tidak menjadi ormas atau partai karena ekosistem itu sudah ada. Kenduri Cinta menyimpan ruang kosong yang tidak bisa direplikasi: belajar bareng tanpa gengsi.
Ia mengakhiri dengan ide kecerdasan komunal. Semut tidak punya presiden, tetapi teratur karena mematuhi syariat sederhana: wani tandang (berani berbuat) dan silaturahmi (hubung-menghubungkan). Sejarah menunjukkan—di zaman keemasan Islam—kebiasaan kolektif yang baik melahirkan kecerdasan emergen. Namun ia juga realistis: tidak semua orang menganut agama yang sama. Maka perlu mundur selangkah mencari titik sambung yang bisa dipatuhi semua: realitas komunal yang dibagikan. Orang bertindak menurut realitas yang mereka pahami; jika realitas berbeda, mereka berkonflik. Solusinya: data dibuka, informasi dibagikan, narasi dibangun. Pemerintah seharusnya menyusun rule of the game yang membuat data menjadi ruang bersama, bukan ancaman.
Ia memberi contoh NFL: sistem yang mengonversi hanya 6% talenta menjadi profesional, tetapi meritokrasinya menginspirasi jutaan. “Kita butuh sistem yang bisa diteladani, bukan orang yang hanya bisa dipuja,” katanya.
Jam bergerak. 02.07 dini hari, forum ditutup dengan Indal Qiyam. Lantunan Shohibu Baiti mengalun pelan. Orang-orang berdiri. Beberapa menitikkan air mata, bukan karena sedih, tapi karena merasa ditemukan.

“Agama menekankan zikir, shalat, rasa bersalah—semua itu adalah alat sadar yang menempatkan kita kembali pada poros.” —Sabrang MDP
Epilog: Mengukur Napas di Ruang yang Sempit
Di akhir malam, tema “Ruang Sempit Kemerdekaan” menemukan dagingnya. Ia bukan tuduhan, bukan sinisme, bukan satire terhadap republik. Ia cermin. Bahwa di usia 80 tahun, kemerdekaan sebagai negara telah kita miliki; namun kemerdekaan sebagai manusia, warga, tetangga, anak, orang tua, masih memerlukan latihan panjang.
Ruang sempit itu:
- Sempit karena kota mengajarkan kita menjadi atom-atom yang sibuk, mengabarkan kabar diri tanpa sempat mendengar kabar orang lain.
- Sempit karena ekonomi menyuruh kita meminta margin dari segala hal—bahkan dari sesama yang sedang memerlukan nafas.
- Sempit karena kebijakan dibuat dari atas tanpa cukup mendengarkan desah bawah.
- Sempit karena kita takut membuka data, takut satu sama lain melihat kenyataan, takut pada percakapan panjang.
- Sempit karena kita tidak menajamkan gergaji, mengandalkan amarah untuk membelah kayu yang keras.
Tetapi ruang sempit itu mungkin untuk dibesarkan:
- Ketika kita memilih mengikat nilai—seperti Kenduri Cinta yang menolak sponsor—impact-nya adalah menjadi bebas untuk bicara dan mendengar.
- Ketika koperasi kembali kita tegakkan sebagai ruang demokrasi di ekonomi—satu orang satu suara—dan hunian dilepaskan dari logika margin yang membengkak.
- Ketika hukum kita minta memulihkan keseimbangan, bukan memuaskan balas dendam.
- Ketika pendidikan kita minta dibiayai dana abadi, agar tidak kempis setiap kali ekonomi batuk.
- Ketika literasi kita permudah dengan buku murah; ketika pejabat bangga membaca, bukan bangga tidak membaca.
- Ketika equal opportunity disediakan dengan menghapus circumstances: jarak jauh, akses buruk, garis keturunan yang memonopoli peluang.
- Ketika situational awareness menjadi kebiasaan: shalat yang dihidupi, bukan dihafalkan; forerider dipakai secukupnya; bahasa memilih tempat dan waktu.
Terutama, ketika rasa senasib sepenanggungan—yang jamaah rindukan—kembali kita latih. Bukan untuk menyanyikan lagu bersama di stadion megah, melainkan untuk berempati pada perut yang lapar, pada kepala yang pusing, pada anak yang menunggu ayah pulang tanpa amarah di matanya.
Kenduri Cinta malam itu mendengarkan suara-suara yang hadir: Boim yang mengusulkan kemajuan Betawi, Pram yang mengingatkan kolonialisme mental, Ian yang memaparkan nilai Maiyah dari mata luar yang dekat, Ali yang memekik agar kita tidak hilang sejarah, Piar yang mencari kembali sepenanggungan, Marco yang menghadirkan rumah sebagai konsep kebebasan yang tenang, Sabrang yang menawar puja-puji untuk sistem yang waras, Hensa yang memetakan tafsir merdeka dari pejabat sampai mahasiswa, Imawati yang menyusun empat pilar pribadi, Tata yang menyuarakan pendidikan yang bocor, Saleh yang mendesak aksi yang nyata, Canggih yang membuka peta terlihat-tak terlihat.
Semua suara itu tidak bertemu dalam sebuah kesimpulan. Kenduri Cinta memang bukan forum kesimpulan. Ia adalah laboratorium tempat pertanyaan dilindungi, tempat orang datang membawa satu tanya lalu memungkinkan pulang dengan pertanyaan yang lebih banyak lagi—sebab hidup memang tidak selesai dengan satu jawaban. Yang pulang bukan kepastian, melainkan kompas: arah kecil yang bisa menuntun langkah besok pagi.
Di luar tenda, udara dini hari terasa berbeda. Jalanan Menteng belum padat. Lampu-lampu gedung memejam satu per satu. Jamaah beranjak, menenteng sandal, menyalami orang yang baru dikenalnya, menertawakan lelahnya sendiri.
Indonesia akan merayakan 80 tahun kemerdekaannya dalam dua hari sejak acara ini berlangsung. Bendera akan berkibar, lomba makan kerupuk, balap karung, bakiak dan panjat pinang akan riuh. Tetapi malam ini, di ruang sempit di Taman Ismail Marzuki, ada perayaan yang lain: perayaan untuk mengetahui batasan dan menggunakannya sebagai tumpuan melompat. Sebab garuda perlu diingatkan bahwa ia garuda , bukan burung emprit.
Ketika kita lupa, semoga ada forum seperti ini yang memanggil: pulang. Pulang ke pertanyaan, pulang ke kemurahan, pulang kepada cinta dan harap hanya kepada Allah SWT.
Teks: Redaksi KC / Ibnu
Foto: Redaksi KC / Yudi & Auval