MESKIPUN malam mulai menjelang, suasana di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki justru kian bercahaya. Langit Jakarta yang sempat kelabu oleh mendung sore tadi kini bersih, seolah ikut menyambut kedatangan para jamaah. Senyum dan tawa sederhana mereka menambah hangat suasana yang mulai terasa khidmat. Tenda sudah berdiri, terpal telah digelar, layar putih ditegakkan, dan di seberang tenda Kenduri Cinta, sebuah proyektor dan layar—yang tak biasanya ada di Kenduri Cinta—siap menayangkan film.
Malam itu memang istimewa. Pada edisi 10 Oktober 2025, Kenduri Cinta berkolaborasi dengan Madani International Film Festival, membuka ruang dialog lintas iman dan lintas cara pandang. Kolaborasi ini tidak terbatas pada berbagi ruang, tapi juga berbagi cahaya. Sebuah upaya bersama untuk menyingkap lapisan kegelapan yang masih menyelimuti kehidupan sosial, spiritual, dan kebudayaan kita.
Sebagai bagian dari dukungan terhadap tema Madani International Film Festival—Misykat, tempat cahaya bersemayam—Kenduri Cinta malam itu mengusung tajuk “Menghadirkan Cahaya”, terinspirasi dari Surat An-Nur ayat 35. Kedua simbol ini saling menyambut, mengajak kita memandang cahaya melampaui fenomena fisik, sebagai metafora perjalanan spiritual dan kemanusiaan. Dalam konteks sosial, politik, maupun keagamaan, cahaya hadir sebagai undangan untuk menembus kegelapan prasangka, ketidakadilan, dan perpecahan menuju pemahaman yang lebih utuh, inklusif, dan penuh makna.

“Tujuan kita berkumpul setiap bulan di sini adalah mencari solusi bersama untuk menghadirkan cahaya.” —Karim
Menggali Kegelapan Personal dan Kolektif
Tepat pukul 19.30 WIB, film Alangkah Lucunya Negeri Ini karya Deddy Mizwar mulai diputar. Perlahan, jamaah yang sebelumnya masih duduk terpencar, kini berkumpul di depan layar, duduk bersila di atas terpal yang telah digelar. Adegan demi adegan mengalir, satu per satu jamaah terus berdatangan, memenuhi area Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki.
Begitu layar memudar sebagai tanda akhir film, jamaah perlahan merapat ke panggung utama Kenduri Cinta. Di atas panggung, Mizani, Haddad, Awan, Rizal, dan Munawwir bersiap. Mereka mengiringi jamaah yang mulai melantunkan ayat suci Al-Quran dan sholawat. Mengalun lembut, mengisi udara malam dengan kekhusyukan yang menyejukkan.
Setelah lantunan sholawat, Karim dan Tri naik ke panggung sebagai Pemantik Diskusi. Sebelum memulai diskusi, Karim mengajak pembicara naik ke panggung. Malam itu, hadir berbagai tokoh lintas agama—Habib Ja’far, Bhante Dhira Punno, JS Kristan, Ian L. Betts, Hendri Satrio, dan Sabrang. Mereka adalah pelita dari tradisinya masing-masing, menuntun jamaah untuk melihat bahwa cahaya selalu punya banyak jalan datang.
Karim segera menyampaikan pesan inti malam itu: selama 25 tahun, Kenduri Cinta tidak pernah merasa lebih bercahaya dari komunitas lain atau bahkan Indonesia, justru karena semua yang datang masih merasa gelap—dipenuhi ketidaktahuan, ketidakcukupan, dan ketidakmampuan. “Tujuan kita berkumpul setiap bulan di sini,” katanya, “adalah mencari solusi bersama untuk menghadirkan cahaya.”
Format diskusi malam ini sedikit berbeda. Alih-alih langsung meminta pembicara menyampaikan sudut pandangnya, Karim lebih dulu mengajak jamaah berbagi mencurahkan isi hati. “Kegelapan apa yang sedang teman-teman rasakan?” tanyanya. Pertanyaan sederhana itu membuka ruang luas bagi kejujuran yang jarang terdengar di ruang publik.
Dari tengah jamaah, seorang lelaki muda berdiri dan merapat ke panggung. Ia adalah Siddiq, pekerja outsourcing asal Jogja yang kini tinggal di Tangerang. “Kalau sistem outsourcing dihapus, saya mau kerja apa lagi?” suaranya bergetar, tapi matanya jujur.
Lalu giliran Abid, mahasiswa UIN asal Jepara yang kini tinggal di Ciputat. Ia mewakili anak muda yang sudah berusaha keras, tapi tetap tidak tahu arah hidup. Ia merasa terbebani oleh masa depan yang kabur, apalagi perannya sebagai generasi perintis yang tidak tahu arah ke depan.
Dari sisi lain, Gozi menceritakan kisah keluarganya. Lima tahun ia menjalani hidup tanpa bertemu dengan orang tuanya. Lima tahun pula hidupnya seakan dipenuhi berbagai masalah yang membuatnya kehilangan sebagian rasa percayanya untuk salat.
Terakhir, Arista, seorang pendidik anak usia dini, menyuarakan kegelapan di dunia pendidikan. “Kita masih sibuk memperdebatkan calistung (baca, tulis, hitung), padahal anak-anak seharusnya belajar hidup,” ujarnya. Ia bercerita bahwa di tempat ia mengajar di Tiongkok, fokus pendidikan sudah jauh melampaui hafalan. Namun di sini, kita masih terjebak pada hal-hal mendasar.
Empat curahan hati itu menggambarkan kegelapan manusia modern: ekonomi, arah hidup, keluarga, dan pendidikan. Semua berbeda, namun berpangkal pada satu hal—rasa kehilangan cahaya. Namun justru di situlah makna “Menghadirkan Cahaya” menjadi nyata. Sebagai aksi untuk saling mendengar, saling mengenali kegelapan, dan bersama-sama menyalakan pelita—sekecil apa pun—dalam gelap yang kita hadapi.

“Ketika kita menemukan cahaya, jangan simpan sendiri, usahakan menerangi kegelapan orang lain juga. Sebab kebahagiaan yang dinikmati sendiri tidak akan membawa kebahagiaan yang lebih besar.” —Bhante Dhira Punno
Banyak Jalan Menuju Cahaya
Menanggapi curhatan jamaah, Bhante Dhira Punno—yang namanya berarti Cahaya Kebijaksanaan—tersenyum lembut. “Cahaya tidak akan dikenal tanpa adanya kegelapan,” ujarnya pelan namun tegas.
Bhante Dhira Punno menekankan bahwa banyak orang menderita karena tidak menerima kenyataan sebagaimana adanya. Ia mengajak jamaah melalui empat langkah sederhana: terima dulu apa yang terjadi, sadari bahwa itu bagian dari hukum sebab-akibat, lepaskan beban yang tak perlu ditanggung terus-menerus, lalu melangkah—bukan sekadar pasrah, tapi benar-benar bergerak.
JS Kristan lalu menyambung diskusi. “Dalam hidup, tidak ada yang absolut,” katanya. “Tiada yang mutlak terang atau mutlak gelap. Yin dan Yang selalu berdampingan.” Ia mengingatkan bahwa dalam kelenteng leluhurnya ajaran Konghucu diajarkan sebagai jalan kebajikan, bukan identitas formal.
Ia juga mengutip satu judul buku karya Tan Malaka tentang tantangan hidup: Terbentur, Terbentur, Terbentuk. Pesan utamanya jelas: berhentilah mengutuk kegelapan. Nyalakan lilinmu sendiri. “Jangan keluh gerutu kepada Tuhan, jangan salahkan sesama manusia. Fokuslah pada kebajikan—karena hanya kebajikan yang membuat Tuhan berkenan,” ujarnya.
Ian L. Betts kemudian mengaitkan tema malam itu dengan sejarah panjang pencarian cahaya umat manusia. Ia menyebut Enlightenment di Eropa sebagai gerakan yang memicu Revolusi Prancis dan Amerika—namun di Indonesia, “zaman pencerahan” hadir lewat Reformasi 1998, di mana Cak Nun menjadi salah satu agent of change. Albumnya, Berhijrah dari Kegelapan, dan karya seperti Lautan Jilbab, menurut Ian, adalah bentuk puisi cahaya dalam konteks lokal.
Menurutnya, cahaya bukan sesuatu yang diciptakan sekali lalu diwariskan. Kita sebagai generasi penerus tidak bisa hanya berharap warisan itu. Cahaya adalah sesuatu yang harus kita generate sendiri—lewat pikiran, sikap, dan tindakan. Di akhir, ia mengutip sebuah dialog dalam film Raya: Cahaya di Atas Cahaya, yang naskahnya ditulis Cak Nun: “Rayya, jangan khawatir tentang apa yang terjadi di sekitarmu karena di atas cahaya itu ada cahaya lagi.”
Baginya, Maiyah—khususnya malam ini—adalah bukti bahwa orang-orang dari latar belakang Konghucu, Buddha, dan Islam bisa menjadi satu dalam cahaya. “Bukan karena kita sepakat pada semua hal,” katanya, “tapi karena kita sepakat untuk keluar dari kegelapan setiap hari.”
Di antara kalimat-kalimat itu, jamaah mengangguk pelan. Tidak ada debat, tidak ada adu argumen, hanya gelombang kebahagiaan. Di sanalah, cahaya mulai hadir dari hati yang berani mengakui kegelapan, lalu saling menyalakan satu sama lain.

“Jangan keluh gerutu kepada Tuhan, jangan salahkan sesama manusia. Fokuslah pada kebajikan—karena hanya kebajikan yang membuat Tuhan berkenan.” —JS Kristan
Berani Tahu: Jalan Keluar dari Kegelapan
Habib Ja’far melanjutkan diskusi, menyinggung bagaimana dunia modern sering memahami cahaya hanya dari sisi fisika, tapi melupakan sisi metafisika. “Padahal,” katanya, “dalam tradisi Islam, cahaya juga berarti ilmu. Al-Ilmu Nur.” Kegelapan itu bukan karena malam datang, tapi karena kurangnya ilmu.
Pandangan pencerahan yang lebih fokus ke bentuk fisik ini lahir sejak Abad Pencerahan Barat (mulai abad ke-16 dengan cogito ergo sum). Kita menganggap cerah jika ada kemajuan sains dan infrastruktur, tetapi mengabaikan spiritualitas. Padahal, justru kerusakan ekologis terbesar terjadi di Abad Pencerahan, bukan di Abad Pertengahan yang dicap ‘gelap’.
Kontradiksi serupa terjadi dalam sejarah Islam. Setiap zaman punya gelap dan terangnya masing-masing. Abad keemasan ditandai kemajuan sains di era Abbasiyah dan Baitul Hikmah, namun periode itu juga diawali oleh kegelapan yang sangat gelap. Justru era khalifah sebelumnya yang tidak dilabeli ‘pencerahan’ menyimpan kecerahan yang sesungguhnya. Intinya, era terbaik tidak dinilai dari luaran: bukan karena uang banyak atau pencapaian material lainnya.
Kita perlu berhati-hati dalam mendefinisikan pencerahan dan kegelapan. Kadang kita melihat sesuatu itu gelap bukan karena ia gelap, tapi karena kita yang menutup mata. Misalnya, pemerintah yang menutup mata dari suara masyarakat, hanya melihat ‘cahaya’ pada orang yang bermanfaat menaikkan elektabilitas. Efeknya, yang mengurus cahaya masjid justru orang-orang yang dianggap tidak bercahaya oleh standar duniawi.
Menurutnya, selama ini kita salah kaprah, mengira pencerahan adalah kemajuan material seperti mobil atau iPhone. Tapi di situlah kegelapan muncul karena fokus kita beralih ke membandingkan diri, bukan memperdalam diri.
Oleh karena itu, Cak Nun mengajarkan bahwa kita tidak boleh fokus pada kegelapan yang dituduhkan saja, tapi teruslah membuka mata untuk menemukan cahaya. Indonesia, segelap apa pun, adalah bagian dari desa kita. Tugas kita adalah fokus menyalakan lilin sendiri agar dapat mencerahkan orang-orang di sekitar.
Mengutip Rumi, “Ketika saya pintar, saya ingin mengubah dunia. Tapi ketika saya bijaksana, saya ingin mengubah diri saya sendiri,” Habib Ja’far menyimpulkan: “Jadilah lilin, bukan sekadar mencari cahaya.” Pencerahan sejati dimulai ketika seseorang berani mengubah dirinya, alih-alih menyalahkan keadaan atau menunggu sistem berubah.

“Maiyah adalah cahaya ,karena di sini orang-orang berani tahu. Berani menerima siapa pun di panggung, berani mendengar, dan berani mengakui kegelapan.” —Sabrang MDP
Di tengah suasana yang reflektif, Hendri Satrio menyambung dengan nada yang lebih ringan. Baginya, cahaya adalah simbol dari harapan. Dalam gelapnya keadaan yang sering membuat kita pesimis, Kenduri Cinta malam ini mengingatkan satu hal penting: kita masih punya harapan.
Sabrang lalu melanjutkan pembahasan tentang cahaya. Menurutnya, cahaya tidak hanya bisa didekati dari sudut pandang fisika, tetapi juga secara kultural. Dalam perspektif kultural, cahaya adalah bahasa manusia untuk menggambarkan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Ia menjelaskan bahwa banyak pengetahuan hadir dalam bentuk preverbal cognitive, yaitu pemahaman yang dirasakan sebelum sempat diucapkan, termasuk kesadaran akan proses perjalanan itu sendiri.
Ia kemudian meluruskan kesalahpahaman umum tentang Enlightenment. “Ini bukan perang antara sains dan agama,” tegasnya. Tokoh-tokoh awal Abad Pencerahan seperti Descartes dan Newton, justru sangat religius. Inti enlightenment sebenarnya adalah egalitarianisme kebenaran: kebenaran tidak lagi menjadi monopoli kalangan tertentu, melainkan dapat diraih oleh siapa saja yang berani mengetahui melalui metode yang jujur. Prinsip dasarnya adalah keberanian untuk tahu—sapere aude, atau dare to know.
Namun, Sabrang menekankan batas masing-masing domain: sains membatasi diri pada hal-hal naturalistik dan tidak memiliki klaim atas spiritualitas. “Agama itu rabun dekat—melihat akhirat. Sains itu rabun jauh—mengurusi dunia,” katanya. Keduanya butuh kacamata satu sama lain.
Ia lalu menyentuh inti kegelapan zaman modern. “Kita sering memilih percaya daripada mengetahui,” tegasnya. Padahal, menurutnya, Islam mengajak untuk bersaksi yang secara hakikat berarti tahu. “Maiyah adalah cahaya ,karena di sini orang-orang berani tahu. Berani menerima siapa pun di panggung, berani mendengar, dan berani mengakui kegelapan,” ucap Sabrang.
Mengakhiri sesi pertama, Sabrang mengingatkan: “Maiyah mengajarkan kita untuk serius menghadapi nasib masa depan, tapi melakukannya dengan kegembiraan, tertawa, dan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi kemesraan.”
Di halaman yang semula hanya dipenuhi gemerlap lampu, kini bersemayam cahaya yang tak kasat mata, cahaya yang lahir dari keberanian mengakui kegelapan, lalu saling menyalakan satu sama lain. Bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai sesama pejalan yang masih mencari, masih gelap.

“Masa lalu adalah cahaya karena di sanalah pengetahuan tersimpan. Masa depan selalu gelap, sebab belum diketahui. Kalau masa lalu masih menghantui kita, itu tanda ada ilmu yang belum diambil darinya. Kita perlu belajar dari cahaya masa lalu untuk menghadapi gelapnya masa depan.” —Sabrang MDP
Enam Cahaya dari Enam Sudut Pandang
Malam makin larut, namun suasana tetap hangat. Lahila tampil membawakan beberapa lagu, memberi jeda bagi jamaah untuk mengendapkan cahaya hikmah dari sesi pertama. Setelah jeda, moderator dan pembicara kembali ke panggung.
Fahmi, moderator sesi ini, membuka dengan menjelaskan inspirasi di balik tema malam ini: Surat An-Nur ayat 35, yang sering dibahas oleh Cak Nun dalam berbagai forum Maiyah. Dari diskusi di Reboan, sari intinya adalah keharusan kita menjadi seperti minyak zaitun dalam ayat tersebut—berkilau tanpa perlu dipantik api. Konsep ini paralel dengan hadis: khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Fahmi menekankan bahwa “bermanfaat” di sini tidak harus berwujud materi, dan yang lebih penting: dilakukan tanpa pamrih.
Diskusi kemudian berlanjut ke sesi tanya jawab. Karim mempersilakan jamaah untuk bertanya. Bukan Kenduri Cinta jika pertanyaan yang muncul tidak beragam. Benar saja, enam penanya malam itu menyentuh sudut-sudut yang berbeda: dari dilema hidup di persimpangan remang-remang hingga makna cahaya dalam fisika kuantum.
Pipit, yang baru kembali hadir setelah beberapa tahun absen, menyampaikan pertanyaan tentang cahaya dari perspektif fisika kuantum. Menurut pemahamannya, cahaya adalah manifestasi dari perubahan medan elektromagnetik yang muncul dalam bentuk foton—kuanta diskret, bukan gelombang kontinu. Ia berpendapat bahwa karena sifat diskret ini, cahaya mungkin bukan sesuatu yang dicari, melainkan dihadirkan sedikit demi sedikit, seperti melalui kebiasaan baik yang kecil-kecil.
Erni, tergerak oleh ungkapan Sabrang sebelumnya: berani tahu. Ia mengungkapkan kegelisahannya tentang keberadaan “cahaya remang-remang” yang ia analogikan sebagai persimpangan-persimpangan dalam hidup. Ia meminta pandangan para narasumber tentang apa yang harus dilakukan saat berada di titik-titik remang itu untuk menemukan cahaya.
Selanjutnya, Adimas mengangkat isu ketimpangan geografis: “Matahari terbit dari Timur, tapi di Indonesia, orang-orang di Timur justru jarang mendapatkan cahaya dari negara.” Ia menyoroti bahwa ketika saudara di Timur ingin menghadirkan cahaya melalui penentuan nasib sendiri, mereka justru dituduh separatis, teroris, atau melawan negara, padahal negara sendirilah yang mengambil cahaya dari mereka. Ia bertanya apa yang seharusnya dilakukan oleh ketika melihat situasi tersebut.
Giliran Ali dari Sampang. Pertanyaan utamanya menyangkut perdebatan di media sosial tentang sikap takzim santri kepada guru yang sering dicap sebagai feodalisme. Ia melihat ironi: saat mencari cahaya pengetahuan, orang justru sibuk memadamkan cahaya adab. Menurutnya, kebebasan berpikir tanpa penghormatan adalah bentuk baru dari kesombongan. Dalam tradisi Nusantara, adab adalah lentera, bukan penjara, dan tanda sadar akan sumber cahaya yang lebih tinggi. Ia meminta perspektif dari pembicara tentang batas antara adab dan feodalisme dalam relasi guru-murid.

“Bahagia itu di sini, sekarang, saat ini.” —Bhante Dhira Punno
Malik dari Purwokerto bercerita bahwa ia baru saja mengikuti kegiatan Kemenag tentang moderasi beragama, tetapi merasa bahwa moderasi multikultural yang sesungguhnya justru hadir di Kenduri Cinta—karena Kemenag hanya menghadirkan narasumber Islam. Ia mengaitkan tema cahaya dengan keberagaman, lalu menyampaikan pandangannya: “Beragam itu ya sudah berbeda saja.” Ia bertanya apakah perbedaan perlu disatukan atau cukup dibiarkan berbeda saja.
Terakhir, Nur—yang memperkenalkan diri sebagai “santri YouTube” dan baru pertama kali hadir—mengangkat konsep kekhalifahan sebagai manusia yang menanam (zira’ah), membuat (shina’ah), dan menjual (tijarah). Ia menyatakan bahwa ketiga hal itu kini dikuasai Barat, sehingga kita hanya bisa berbelanja atau menjadi pekerja, yang membuat cahaya Indoensia tidak kunjung terang. Ia merasa tidak bisa menanam (tidak punya tanah), hanya bisa membeli teknologi, dan sulit menjual karena butuh modal besar.
Menanggapi alur diskusi yang penuh kedalaman dan keragaman itu, Hendri Satrio menyampaikan refleksinya. Ia mengenang bahwa saat pertama kali diundang ke Kenduri Cinta, ia merasa ngeri karena harus berbicara di depan orang-orang cerdas. Namun seiring waktu, perasaan itu berubah: kini, setiap kali pulang dari KC, ia justru merasa semakin bahagia. Ia menjelaskan bahwa tertawa bersama menghadirkan cahaya dalam diri, dan cahaya itu lahir dari kebersamaan. Dari tertawa bersama dan bertukar pikiran.
Ia mengaku senang hadir di forum ini karena setiap pertemuan membuatnya lupa sejenak pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Baginya, kehadiran di tempat ini telah menjadi sumber kebahagiaan yang nyata.
Menutup pernyataannya, ia menegaskan bahwa tema malam ini memberikan harapan baginya bahwa Indonesia akan baik-baik saja dan akan terus lebih baik lagi ke depan. Lalu, dengan nada penuh keyakinan, ia berkata, “Saya yakinkan bahwa kehadiran kita semua di tempat ini memang untuk cahaya.”

“Konghucu itu bukan agama misionaris, nggak menarik meng-Konghuchu-kan orang lain.” Pencerahan (enlightenment) adalah urusan pribadi, sehingga prinsip utama adalah tuntutan pada diri sendiri: “Apa yang diri sendiri tiada inginkan jangan diberikan kepada orang lain.” —JS Kristan
Cahaya yang Tak Dipaksakan
JS Kristan menyajikan tanggapan yang terpusat pada pembinaan diri, etika, dan keharmonisan kosmik. Ia menegaskan bahwa Konghucu bukanlah agama yang mencari pengikut, melainkan sebuah tradisi yang menuntut tanggung jawab moral penuh dari individu. Menanggapi pertanyaan tentang cahaya, JS Kristan menyelaraskannya dengan konsep “menggemilangkan kebajikan yang bercahaya”.
Hal ini memerlukan pembinaan diri (self cultivation); energi positif (chi) harus dibangun sendiri. Ia menggunakan analogi kunang-kunang yang terus berkedip meskipun sekarat sebagai simbol pembinaan diri yang tak pernah berhenti.
Menanggapi Adimas tentang Timur Indonesia, ia menegaskan bahwa Konghucu bukan agama misionaris dan menolak agama MLM—tidak memprospek orang. Pencerahan harus didapatkan sendiri. Mengenai apa yang seharusnya dilakukan di kondisi yang ada sekarang, ia berpegang pada prinsip Konfusius: “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain,” yang menuntut diri sendiri, bukan orang lain.
Menanggapi Ali tentang adab dan feodalisme, JS Kristan berpendapat bahwa asumsi feodalisme adalah pandangan Barat; menurutnya, Asia secara tradisional tidak memiliki semangat ekspansionis. Ia menilai bahwa kondisi hari ini—di mana adab sering disalahpahami sebagai feodalisme—justru terjadi karena Tiongkok sudah meninggalkan nilai-nilai Konghucu.
Ia menjelaskan bahwa dalam Konghuchu, adab dan bakti kepada orang tua adalah titik penekanan utama. Penghormatan tinggi ini diwujudkan dalam pandangan surga Konghucu yang bersifat duniawi: kebahagiaan tertinggi tercapai ketika orang tua dalam keadaan sehat.
Kewajiban spiritual anak bahkan mencakup berduka dan bertahlil hingga tiga tahun setelah kematian, sebagai bentuk penghargaan karena selama tiga tahun, kita masih tergantung dengan orang tua dan tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Selain itu, ada konsep penebusan kolektif. “Biarpun bapak kita rampok, maling segala macam, tapi kalau anak yang memperbaiki kesalahan bapaknya yang jahat tadi, bapaknya selamat juga,” ujarnya.
Meskipun bakti ditekankan, ketaatan memiliki batas; JS Kristan mengutip ajaran lisan: “Kalau pakai kayu kecil jangan ngelawan. Tapi kalau pakai kayu gede, larilah.” Ia juga menekankan bahwa penghormatan (respect) dari yang muda akan terjadi secara alami jika yang tua itu love (sayang) kepada yang muda. Dengan kata lain, adab adalah hubungan timbal balik.
Mengenai keberagaman, JS Kristan memiliki pandangan yang tegas: “Tuhan itu nggak pernah setuju kita sama, bos.” Tuhan menciptakan perbedaan, dan semua orang diberi sing (watak sejati) yang sama. Konghucu percaya bahwa Tuhan menyediakan software dan algoritma moralitas yang harus diikuti. Kesulitan hidup bukan datang dari Tuhan, melainkan dari manusia yang menyimpang dari hukum tersebut. Ia menyimpulkan bahwa kunci keselamatan terletak pada ketaatan pada hukum alam dan pembangunan diri, sejalan dengan prinsip Islam: “Anda tidak akan pernah bisa hablum minallah tanpa hablum minannas dulu.”

“Kebencian itu tidak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih.” —Bhante Dhira Punno
Cahaya, Moralitas, dan Kesadaran Sempurna
Bhante Dhira Punno memberikan perspektif spiritual yang terintegrasi dan reflektif, di mana setiap ajaran intinya secara koheren merespons enam pertanyaan dan keresahan yang diangkat oleh jamaah. Ia membangun kerangka pemahaman bahwa kedamaian, kesadaran, dan moralitas sejati harus berpusat pada diri sendiri, yang secara langsung atau tidak langsung memberikan jawaban atas isu kuantum, persimpangan moral, hingga konflik identitas dan persatuan beragama.
Bhante Dhira Punno memulai dengan menjelaskan bahwa fondasi Buddhisme adalah non-misionaris dan sangat anti-konflik, sebuah landasan yang secara implisit menjawab pertanyaan Malik tentang moderasi beragama dan kerisauan Adimas mengenai konflik di timur. Bhante Dhira Punno menegaskan bahwa agama Buddha sering mengalah dalam sejarahnya.
Menanggapi kebutuhan akan harmoni di tengah keberagaman, Bhante Dhira Punno menjelaskan bahwa para bhikhu diajarkan untuk menyampaikan kebenaran dengan “menyesuaikan dengan tradisi setempat, kebudayaan setempat, bahasa setempat yang mudah dipahami agar enggak salah paham”. Ini menunjukkan bahwa alih-alih menyatukan perbedaan menjadi homogen, Buddhisme justru merangkul dan mengintegrasikannya. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa dosa terbesar kedua setelah membunuh ibu adalah memecah belah sangha (pemuka agama), atau jika dalam konteks Muslim, memecah belah ulama, yang menekankan pentingnya menjaga kesatuan pemuka agama.
Beranjak ke isu spiritualitas dan sains, Bhante Dhira Punno menanggapi pertanyaan Pipit mengenai cahaya dari perspektif kuantum. Bhante Dhira Punno memvalidasi pandangan tersebut dengan membagi cahaya menjadi fisik dan batiniah. Secara batiniah, cahaya bermakna penerangan sempurna atau kesadaran sempurna.
Inti dari ajaran Buddha adalah pikiran, di mana pikiran adalah pelopor, pembentuk, pencipta dari segala sesuatu. Baik buruk apa yang kita pikirkan itulah yang akan dibuat. Pemahaman ini menjelaskan mengapa kesengsaraan bersumber dari diri sendiri, sebab karma muncul bahkan dari karma kehendak (niat). “Berpikir buruk sama orang itu sebenarnya sudah menyebabkan karma,” tegasnya.
Pertanyaan Erni mengenai persimpangan remang-remang dalam hidup dan pertanyaan Ali tentang batas antara adab dan feodalisme dijawab Bhante Dhira Punno melalui penekanan pada etika dan moralitas. Untuk menemukan cahaya di titik “remang-remang”, seseorang harus berjuang meninggalkan loba, dosa, dan moha (keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin). Ini dilakukan melalui tiga kebajikan, termasuk Sila (moralitas) dan Dana (kepedulian).
Bhante Dhira Punno mendefinisikan Dana sebagai kebaikan material yang dilakukan kepada semua makhluk tanpa lihat perbedaan agama, suku, ras, kebudayaan, dan harus dilakukan tanpa pamrih, karena memberi artinya adalah belajar melepas dan tidak mengharap kembali. Jika ada hitungan untung rugi, itu disebut “kalkulasi”, bukan kebajikan. Konsep ini menegaskan adab sejati yang melampaui feodalisme. Adab tertinggi diletakkan pada penghormatan orang tua, di mana dalam ajaran Buddha, ibu diibaratkan Brahmana, ibaratkan Buddha di rumah.
Terakhir, Bhante Dhira Punno menanggapi keresahan Nur yang merasa bingung dan kehilangan arah. Bhante Dhira Punno mengalihkan fokus dari kekalahan, menuju perjuangan di masa kini. “Bahagia itu di sini sekarang saat ini,” ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa kita akan merugi jika kita berbuat baik hanya karena iming-iming masuk surga.
Bhante Dhira Punno menyimpulkan dengan pesan Buddha bahwa segala sesuatu tidak kekal, tidak ajek, tidak ada yang permanen. Oleh karena itu, kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh. Intinya, solusi atas keruwetan hidup terletak pada tanggung jawab pribadi atas perilaku, pikiran, dan ucapan kita.

“Kesengsaraan di sekitar kita adalah neraka penderitaan bagi kita yang harus diatasi, bukan menunggu kehidupan setelah mati.” —Bhante Dhira Punno
Cahaya dari Hati yang Terbuka
Habib Ja’far menyatakan bahwa malam ini adalah anugerah karena ia merasakan keterbukaan dan kehangatan. Ia menjelaskan bahwa keterbukaan menghasilkan kesepahaman dan kehangatan, sedangkan ketertutupan melahirkan ketidakpahaman, kesalahpahaman, dan konflik. Ia menegaskan bahwa tujuan Nabi Muhammad adalah Fathu Makkah—pembukaan kota Mekkah—bukan islamisasi, dan Nabi menjamin kebebasan beragama sesuai prinsip “la iqraha fiddin” (tidak ada paksaan dalam agama).
Ia menilai bahwa Kenduri Cinta malam ini terasa sebagai miniatur Indonesia, di mana nilai-nilai dirangkum, bukan hanya simbolnya. Justru Kenduri Cinta malam itu lebih mencerminkan moderasi beragama dibanding program resmi pemerintah. Dalam Islam, ilmu adalah cahaya. Kegelapan menghasilkan ketidakpahaman yang menyebabkan turbulensi: orang berniat baik tapi hasilnya negatif.
Kurangnya cahaya ilmu menyebabkan kecurigaan dan stigma misalnya, isu feodalisme di pesantren atau kesalahpahaman terhadap Papua dan Tionghoa. Orang baik bertengkar karena kebodohan, yaitu hilangnya ilmu. Mengutip Rumi, ia menyatakan bahwa kebenaran dalam Islam seperti cermin yang pecah: Islam diyakini sebagai pecahan terbesar, tetapi tetap terbuka terhadap pecahan kecil di sekitarnya.
Ia juga menambahkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak, dan mengadopsi akhlak baik yang sudah ada, seperti menghormati kematian hingga 3 tahun atau sidang Jumat pra-Islam. Hikmah adalah harta karun muslim; harus diambil di mana pun ditemukan. Menolak temuan sains yang terkonfirmasi sama seperti menolak Al-Qur’an, karena alam adalah ayat kauniah. Ia juga menjelaskan konsep ‘urf (adat baik) dalam fikih: tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam bisa menjadi hukum.
Islam, menurutnya, tetap terbuka pada nilai baik, bahkan pada hal yang diharamkan—misalnya, alkohol boleh untuk kondisi darurat medis. Ia menekankan bahwa “kafir” artinya “menutup”—menutup pikiran dan hati. Mengklaim bahwa cahaya hanya ada pada Islam justru menjadikan seseorang kafir. Karena itu, umat Islam harus terbuka menerima cahaya dari mana pun—dari Buddhisme, Konghucu, Kristen, atau tradisi lain.

“Dalam Islam, ilmu adalah cahaya. Kegelapan menghasilkan ketidakpahaman yang menyebabkan turbulensi: orang berniat baik tapi hasilnya negatif.” —Habib Ja’far
Saat giliran Sabrang tiba, ia memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan secara rinci, karena menurutnya sinkronisasi hati dan titik puncak keindahan malam ini sudah sangat tinggi. Ia menekankan bahwa hati yang menghangat juga dapat menerima cahaya, tidak hanya akal yang mengerti. Baginya, momen ini adalah bukti bahwa agama yang paling sensitif pun bisa dijalani dengan kemesraan dan keindahan.
Lalu ia berpesan, “Jika perbedaan agama saja bisa dibuat mesra, jangan buat negara jadi gelap. Jika ada masalah, ceritakan dan pecahkan bersama.” Ia berharap cahaya dan kehangatan yang dibangun malam ini akan terus menyebar.
Waktu telah menunjukkan pukul 02.47 WIB, namun kehangatan tak kunjung redup. Forum dipuncaki dengan indal qiyam, diiringi lantunan Shohibu Baiti. Mizani memuncaki dengan doa penutup. Di antara langit Jakarta yang kini tenang, jamaah beranjak pulang. Bukan dengan beban, melainkan dengan cahaya kecil yang baru saja dinyalakan di hati masing-masing. Banner diturunkan, terpal dilipat, lampu dipadamkan, tapi cahaya yang hadir malam itu tidak bisa dimatikan begitu saja.
Sebab cahaya itu bukan berasal dari nyala lampu. Ia lahir dari keberanian: keberanian mengakui kegelapan, keberanian mendengar suara yang berbeda, keberanian duduk bersila di atas terpal bersama orang yang tak dikenal, lalu menemukan diri sendiri di dalam cerita mereka. Di sanalah cahaya sesungguhnya ditemukan, bukan sebagai milik satu kelompok, satu agama, atau satu ideologi, melainkan sebagai warisan kemanusiaan yang harus terus dijaga dan diteruskan.

Kenduri Cinta malam itu adalah sebuah pengingat bahwa dalam dunia yang sering terburu-buru menghakimi, ruang untuk saling mengenali masih mungkin. Bahwa dalam kehidupan yang dipenuhi ketidakpastian, harapan tetap bisa ditanam. Bukan dengan retorika megah, tapi dengan tindakan kecil yang tulus. Bahwa Indonesia, dengan segala retak dan keruwetannya, masih menyimpan ribuan lilin yang siap dinyalakan oleh siapa saja yang berani tahu, berani merasa, dan berani peduli.
Seperti kata Rumi yang dikutip Habib Ja’far, pencerahan sejati bukanlah ketika kita berhasil mengubah dunia, melainkan ketika kita berani mengubah diri sendiri, lalu dari sana, membiarkan cahaya itu menyebar tanpa diminta.
Teks: Redaksi KC / Haddad
Foto: Redaksi KC / Auval