DALAM EDISI ke-258 yang bertepatan dengan tanggal 11 Juli 2025, tema Jihadul Hijriyah menjadi fokus utama Kenduri Cinta. Istilah Jihadul Hijriyah merujuk pada usaha untuk memperbarui niat dan tujuan hidup secara spiritual, sejalan dengan makna hijrah yang sebenarnya, yaitu perpindahan dari keadaan yang lebih rendah ke yang lebih baik, baik secara moral, intelektual, maupun spiritual.
Edisi kali ini sekaligus menjadi langkah awal di seperempat abad kedua usia Kenduri Cinta. Sejak awal berlangsung tahun 2000, Kenduri Cinta tetap konsisten dalam menemani proses bertemunya berbagai pikiran dalam pencarian makna bagi siapa saja yang membutuhkan—dengan pendekatan yang inklusif, humanis, dan reflektif.
Cuaca cerah malam itu terasa seperti jawaban doa. Setelah beberapa hari diguyur hujan yang intens, langit Jakarta membuka diri dengan jeda yang sempurna bagi penggiat dan jamaah untuk menjalin kebersamaan dalam Kenduri Cinta.
Pukul tujuh malam, jamaah mulai berdatangan di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Ada yang langsung menduduki tempat favoritnya persis di depan panggung, ada yang memilih bercengkerama di sekitar tenda sambil menunggu acara dimulai. Pada pukul 19.47 WIB, area tenda sudah terisi penuh.
Melawan Diri Sendiri, Tumbuh Bermanfaat
Suasana semakin hidup dengan lantunan sholawat yang dipandu oleh para penggiat—Mizani, Munawir, Awan, M. Rizal, dan Rizal. Ayat suci, Wirid, dan sholawat menggema, mulai dari Wirid Akhir Zaman, Surat At-Taubah ayat 128–129, Alfa Salam, Lihusulil Marom, Wirid Padhang Bulan, Hasbunallah, hingga Maulan Siwallah, yang kemudian dilanjutkan dengan Mahalul Qiyam sebagai puncaknya. Alunan zikir dan doa menjadi gerbang ke ruang refleks—transisi dari kesibukan harian menuju kedamaian yang menjadi ciri khas Kenduri Cinta.
Setelah sesi sholawat, beberapa penggiat turun dari panggung, menyisakan Mizani dan Rizal sebagai moderator sesi pertama. Keduanya menyapa jamaah dan mengajak merapatkan posisi duduk. Tenda tak lagi cukup menampung jamaah yang terus bertambah. Jamaah pun meluber ke luar tenda, duduk lesehan beratapkan langit cerah.
Mizani dan Rizal kemudian mengajak Pram, Amien, Ian L. Betts, dan Ansa naik ke panggung sebagai pembicara di sesi pertama. Topik yang akan dikupas: “jihad” dan “hijrah”. Dua konsep yang sering disalahpahami, namun sangat relevan dengan kondisi hari ini.

Pram membuka sesi dengan pendekatan kontemporer. Ia mengaitkan jihad dengan teori Paul J. Stoltz tentang Adversity Quotient (AQ). Faktor keberhasilan orang bekerja bukan hanya dipengaruhi oleh IQ dan EQ, tapi juga AQ—seberapa besar dia bisa bangkit lagi setelah terjatuh.
“Adversitas dapat dipahami sebagai keadaan atau tantangan yang sulit,” ujar Pram. Dalam konsep AQ, Stoltz membagi manusia dalam tiga kategori: Quitter, Camper, dan Climber.
Quitter adalah mereka yang cepat menyerah saat menghadapi kesulitan. Camper, di sisi lain, adalah manusia yang justru merasa puas dan berhenti berkembang ketika mencapai titik tertentu. Berbeda dengan keduanya, climber terus berusaha melampaui batas diri. Inilah karakter yang paling mirip dengan semangat jihad—sikap selalu ingin menjadi lebih baik.
Memperluas pembahasan, Amien Subhan menjelaskan tafsirnya terhadap poster Kenduri Cinta malam itu. Gambar pemuda yang menaiki tangga, menurutnya, bisa berarti menyalakan atau mematikan lampu, tergantung konteks waktu. Tapi apa pun tujuannya, ia mengkritik keberadaan tangga sebagai bentuk inefisiensi. “Mengapa tidak dipasang saklar agar tidak perlu naik tangga?” tanya Amien.
Dari pemaknaan poster, ia beralih ke makna hijrah Nabi Muhammad. Baginya, hijrah Nabi bukan hanya soal perpindahan geografis dari Makkah ke Madinah, tapi juga transformasi besar dalam visi dan misi. Hijrah terjadi karena ancaman untuk Nabi yang semakin serius, namun lebih utama lagi karena perintah Allah. Nabi tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan masa depan dakwah dan keselamatan umat.
Ia mengutip almarhum Cak Fuad, “Ihsan itu meskipun orang lain berbuat buruk kepada kita, kita tetap berbuat baik kepada orang lain.” Menurut Amien, ihsan inilah esensi dari Maiyah.
Sebab itu, ia menyimpulkan hijrah bukan sekadar pindah tempat, melainkan perpindahan pola pikir. Maka ia memberikan definisi sederhana: “Jihadul Hijriah adalah upaya berpindah dari pola pikir yang mementingkan diri sendiri menuju orientasi yang lebih luas demi kemaslahatan orang-orang di sekitar.”

“Hijrah Nabi bukan hanya soal perpindahan geografis dari Makkah ke Madinah, tapi juga transformasi besar dalam visi dan misi.“ — Amien Subhan
Dari Kata ke Jiwa: Makna Jihad dan Hijrah
Diskusi dilanjutkan oleh Ian L. Betts yang kembali hadir setelah absen di bulan Juni yang bertepatan dengan momen 25 tahun Kenduri Cinta sekaligus menandai 21 tahun Ian bersentuhan dengan Kenduri Cinta.
“Kata tidak hanya punya arti, definisi, dan manfaat. Tapi juga punya kekuatan tersendiri,” jelas Ian. Ia menyebut beberapa contoh seperti umat, akhlak, iman, ijtihad, hingga kalimat “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” yang bisa memicu reaksi. Kata-kata tersebut bukan sekadar ucapan, melainkan energi spiritual yang mampu membangkitkan perasaan, keyakinan, dan tindakan.
Dalam praktiknya, kata-kata sering kali disalahpahami dan disempitkan maknanya, salah satunya adalah jihad. Banyak yang mengira jihad hanya berarti peperangan fisik. Namun, jihad sebenarnya digolongkan menjadi dua: jihad kecil dan jihad besar. Jihad kecil adalah bentuk luar seperti pertempuran fisik, sedangkan jihad besar adalah perjuangan melawan diri sendiri. Justru jihad besar inilah yang lebih esensial bagi manusia modern.
Ian juga menyinggung jihad berbentuk diplomasi, seperti yang sering dilakukan Cak Nun. Ia mengutip pernyataan Cak Nun: “Indonesia adalah pusat dunia, negara lain cemburu serta ingin mengambil manfaat dari Indonesia.” Meski dianggap retorika inspiratif, kini fakta membuktikan. Contohnya, Indonesia terlah bergabung dengan BRICS dan menjalin kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa dan Eurasia.
Diplomasi Cak Nun bersama KiaiKanjeng ke berbagai negara seperti Korea Selatan, Hong Kong, Finlandia, dan Belanda juga menunjukkan bagaimana Maiyah tidak hanya eksis dalam ruang lokal. Maiyah bisa hadir untuk membantu komunitas masyarakat global dalam menghadapi tantangan hidup.
Dalam skala personal, Ian juga menekankan pentingnya mengambil kesempatan untuk menjadi pemimpin. Menurutnya, kesempatan menjadi pemimpin adalah kesempatan untuk memperluas pengaruh diplomasi.
“Jika diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin, ambillah kesempatan itu dan jadilah pemimpin yang baik,” tegasnya. Kesempatan seperti itu bukan sekadar permintaan dari orang di sekitar, tapi juga amanah dari Allah, seperti halnya Nabi Muhammad yang dipercaya untuk memimpin tanpa memintanya.

“Indonesia adalah pusat dunia, negara lain cemburu serta ingin mengambil manfaat dari Indonesia.” — Ian Betts
Menyambung diskusi, Ansa menyampaikan kegelisahannya: “Kita kadang kesulitan membedakan banyak hal. Kita jarang presisi melihat kata per kata sehingga kita paham betul maknanya seperti apa.” Ketidakpresisian ini membuat kita mudah salah kaprah dalam memahami istilah seperti jihad dan hijrah. Padahal, kata-kata ini punya makna filosofis.
Menurut Ansa, jihad adalah usaha sungguh-sungguh, menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Tujuan bisa beragam, tetapi pada akhirnya semua manusia memiliki tujuan yang sama: kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengutip Cak Nun, Ansa mengklasifikasikan jihad menjadi tiga: jihad hati, jihad pikiran, dan jihad fisik. Semua aktivitas manusia pasti melibatkan ketiganya. Kita sering lupa bahwa melawan kebodohan, pesimisme, dan kemiskinan diri adalah bentuk jihad.
Dalam tulisan berjudul Menikmati Pagi ketika Pagi, Cak Nun menyampaikan pentingnya kesungguhan dalam menjalani setiap momen. Terlalu jarang kita sepenuhnya hadir dalam satu momen karena pikiran sudah melayang entah ke mana. Inilah salah satu bentuk yang menghalangi jihad sejati—perjuangan untuk sepenuh hati menjalani hidup di sini dan saat ini.
“Jihadul Hijriyah,” kata Ansa, “adalah pengingat untuk menyegarkan kembali tujuan hidup kita yang paling hakiki, yaitu kembali kepada Tuhan.”
Menurutnya, jihad yang paling esensial adalah menyadarkan diri untuk kembali kepada-Nya melalui aktivitas yang dilakukan sepenuh jiwa. Menutup penjelasannya, Ansa mengucapkan harapan sederhana, “Semoga keindahan hari ini bisa kita rayakan bersama.”
Diskusi ini mengingatkan bahwa kata-kata bukan sekadar bunyi, tetapi sarat makna dan energi yang mampu menggerakkan hati dan tindakan. Dengan memahami makna kata, kita bisa menjalani hidup dengan kesadaran dan tanggung jawab.

“Jihad adalah usaha sungguh-sungguh, menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan.” — Ansa Gaora
Menjaga Nilai di Tengah Realitas
Suasana semakin padat karena jamaah semakin memenuhi Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Rizal kemudian membuka sesi diskusi. Ia mempersilakan jamaah untuk menyampaikan pertanyaan maupun pandangan.
Atmosfer forum semakin dinamis. Tangan-tangan mulai terangkat, termasuk Tiyo Ardianto, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) UGM, yang membuka suara dengan ucapan syukur atas keberadaan Maiyah dan Kenduri Cinta. Baginya, Maiyah adalah pelipur lara bagi mereka yang sempat putus asa karena negara.
Ia menyampaikan pandangan bahwa dulu, konsep jihad sering dikaitkan dengan terorisme. Kini, melalui Kenduri Cinta, jihad bisa hadir dalam bentuk sederhana—dalam aktivitas harian. Begitu pula dengan gerakan aktivisme.
“Gerakan tidak selalu aksi di jalan atau demonstrasi besar-besaran. Mencerdaskan manusia juga bagian dari gerakan,” ujarnya. Ia melihat spirit itu di Kenduri Cinta.
Ketika Rizal menanyakan tentang aktivis yang bergabung dengan sistem yang dulu mereka kritik, Tio menjawab bahwa tidak bijak untuk langsung mengutuk langkah tersebut. Perubahan butuh waktu. Yang penting adalah apakah nilai-nilai yang diperjuangkan masih dijaga saat berada dalam sistem.
Soal komitmen pribadi, Tio menegaskan bahwa ia akan tetap berpegang pada prinsip jihad dalam kondisi apa pun. Ia juga menekankan pentingnya rakyat sebagai penjaga moral agar aktivis tetap konsisten dan bergerak “atas nama rakyat”.
Diskusi kemudian beralih ke isu kemanusiaan. Nisa, seorang jamaah, bertanya tentang bagaimana upaya jihad dan hijrah bisa mengarah pada pembentukan insan kamil.

Ansa memberikan respons bahwa role model utama adalah Nabi Muhammad. Sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah adalah fondasi kesempurnaan manusia.
“Kesungguhan,” kata Ansa, “akan melahirkan keahlian, kepercayaan, kemampuan memimpin, hingga dampak yang luas.”
Topik pun bergeser ke dunia digital. Raihan, praktisi IT, menyampaikan keprihatinan akan minimnya kesadaran moral di kalangan pelaku teknologi. Ia menyoroti bahaya campur tangan politik dalam teknologi, berpotensi membawa kehancuran.
Pram menjelaskan bahwa dalam skala nasional dan global, belum ada Digital Service Act maupun AI Act yang menjadi pengatur utama. Ia juga menambahkan bahwa meskipun teknokrat bekerja atas perintah atasan, mereka tetap harus memiliki “keimanan minimal” untuk menolak hal-hal yang merugikan masyarakat banyak.
Ian memberikan perspektif historis: dulu orang takut pada perkembangan mesin cetak, khawatir persebaran informasi tidak terkendali; kini ketakutan itu muncul lewat AI dan data yang tak terbatas. Pertanyaan mendasar masih menggantung: siapa pemilik data yang masuk ke dalam Large Language Model? Apa perlindungan hukum bagi hak intelektual? Belum ada jawaban pasti dari pemerintah atau institusi global.
Ian menegaskan bahwa kita masih berada dalam masa transisi. Penting untuk memasukkan nilai-nilai peradaban yang bertanggung jawab—seperti Pancasila dan prinsip Maiyah—ke dalam pemanfaatan teknologi. Saat menggunakan AI, kita harus selalu bertanya: apakah tindakan ini akan menyakiti orang lain? Apakah melanggar hak mereka? Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang, hingga regulasi lebih luas tersedia.
Di tengah pergolakan ide, satu benang merah menyatukan semua pandangan: bahwa perubahan tidak datang secara instan. Ia lahir dari kesadaran individu, dukungan kolektif, dan keberanian untuk tetap teguh pada prinsip. Baik dalam dunia aktivisme maupun teknologi, yang terpenting bukanlah posisi, tapi integritas.

“Perubahan tidak datang secara instan. Ia lahir dari kesadaran individu, dukungan kolektif, dan keberanian untuk tetap teguh pada prinsip.” — Ian Betts
Belajar dari Sejarah Hijrah dan Jihad
Malam semakin larut, tetapi kehangatan forum Kenduri Cinta tak surut. Setelah jeda dengan penampilan musik dari Adam Maulana yang membawakan beberapa lagu seperti “Rain City” dan “Stand by Me”, suasana kembali bergeser ke nuansa reflektif. Sesi kedua dibuka oleh moderator—Tri, Hadi, dan Fahmi.
Membuka forum, Fahmi menjelaskan bahwa Kenduri Cinta tidak pernah mencantumkan nama narasumber dalam poster acara. Ini adalah bagian dari tradisi sinau bareng—belajar bersama tanpa tokoh sentral—sehingga orang datang bukan karena siapa yang bicara, tetapi karena spirit kebersamaan.
Pembicara malam itu adalah Ustaz Noorshofa Thohir, Abu Marlo, Hendri Satrio, Kumaila Hakimah, dan Sabrang. Masing-masing membawa perspektif berbeda, saling melengkapi makna hijrah dan jihad sebagai proses menjadi lebih baik setiap hari.
Sabrang membuka dengan pandangan filosofis tentang manusia sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami diri dan lingkungan. Sabrang menegaskan bahwa manusia adalah storyteller. Melalui cerita, kita bisa menyampaikan makna yang lebih dalam.
“Kalau sebuah ilmu umurnya panjang, berarti dia punya utility bagi manusia,” ujarnya. Ia mengajak semua untuk belajar dari kisah hijrah Nabi Muhammad sebagai pelajaran menghadapi masa depan.
Ustaz Nurshoofa, yang telah beberapa bulan absen dari panggung Kenduri Cinta, menyampaikan rasa syukurnya bisa kembali berkumpul. Beliau kemudian mengaitkan tema hijrah dengan perjalanan Rasulullah antara usia 25 hingga 40 tahun. Beliau menegaskan bahwa seluruh perjalanan hidup Nabi memiliki nilai yang bisa dijadikan teladan.
Hijrah pertama terjadi pada tahun kelima kenabian ke Habasyah (Ethiopia) dan hijrah ke Madinah, setahun setelah Isra’ Mi’raj, adalah respons terhadap tekanan demi keselamatan umat Nabi Muhammad. Itu mengajarkan bahwa kita harus hijrah ketika lingkungan tidak kondusif.
Kedatangan Nabi di Madinah disambut hangat dengan lantunan “Thola’al Badru Alaina”. Penduduk Madinah bahkan membebaskan Nabi untuk memilih tanah mana saja, yang direspons beliau dengan memilih tempat berhenti untanya sebagai lokasi pembangunan masjid dan rumah—sebuah simbol kebijaksanaan.
Di Madinah, Rasulullah berhasil mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin yang berbeda kultur dan pandangan. Itu menjadi teladan bagi Kenduri Cinta untuk menyatukan perbedaan. Di akhir penjelasannya, Ustaz Noorshofa Thohir memberikan pesan, “Tekanan hidup itu pasti ada, seperti dialami Nabi, tetapi Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.”

“Manusia adalah storyteller. Melalui cerita, kita bisa menyampaikan makna yang lebih dalam.” — Sabrang MDP
Hendri Satrio membawa perspektif lain dengan menceritakan kisah hijrah kariernya sendiri, dari staf hingga menjadi pengamat politik. Ia memperkenalkan konsep transformational leadership, yaitu kepemimpinan yang memberikan contoh langsung kepada timnya untuk berhijrah dari satu level ke level lain.
Menurutnya, hijrah bisa terjadi secara tidak sengaja karena keadaan tak terduga, direncanakan seperti pernikahan, atau gabungan dari keduanya akibat doa atau bantuan orang lain. “Setiap orang,” kata Hendri, “Memiliki jalannya sendiri. Bahkan anak punya jalan yang bisa sangat berbeda dari orang tuanya.”
Lain juga perspektif yang disampaikan oleh Kumaila Hakimah. Ia melihat keberagaman makna jihad dan hijrah yang disebabkan perbedaan konteks sosio-politik. Di Makkah, Nabi menghadapi penolakan kuat. Komunitas Muslim kecil dan tertindas, hingga turun perintah hijrah. Secara semantik, hijrah berarti “pindah”, tetapi maknanya menjadi besar karena perubahan kondisi umat antara Makkah dan Madinah.
Di Makkah, wahyu menekankan kesabaran dan pemaafan. Setelah hijrah ke Madinah, perintah jihad mulai turun sebagai bentuk perlawanan demi mempertahankan diri. Setelah Nabi wafat, jihad bergeser menjadi ekspansi wilayah yang membawa kemajuan politik, ilmu, dan budaya Islam.
Namun, kejayaan tersebut memicu munculnya tasawuf. Ulama sufi mulai merefleksikan ulang makna jihad, hingga lahir konsep jihadunnafs—perjuangan melawan hawa nafsu.
Di masa kolonialisme, jihad bermakna perlawanan terhadap penjajah. Kini, di era damai, maknanya semakin personal. Bagi Kumaila, jihad cukup berarti menjadi orang yang lebih baik. Sedangkan hijrah didefinisikan sebagai proses bertumbuh menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan bijaksana.
Hijrah dan jihad adalah konsep yang dinamis, berubah seiring waktu dan konteks. Dari peristiwa historis hingga pengalaman personal, hijrah adalah gerakan menuju kebaikan, sedangkan jihad adalah upaya terus-menerus untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

“Tekanan hidup itu pasti ada, seperti dialami Nabi, tetapi Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.” — Noorshofa Thohir
Semangat Jihad dalam Hijrah Menuju Ketakwaan
Abu Marlo membuka diskusi dengan menyatakan bahwa panggung ini sangat sakral baginya. Sebelumnya, ia mengajak jamaah ber-Al Fatihah untuk Cak Nun, lalu menegaskan bahwa tujuan diskusi bukan untuk menceramahi, melainkan belajar bersama. Menurutnya, perubahan lahir dari kesadaran dan latihan, bukan hanya ceramah.
Dengan nada penuh refleksi, Abu Marlo bertanya, “Kita ini orang atau manusia?”
Sebagian besar menjawab, “Manusia.”
“Kalau bertemu orang baru, statement mana yang lebih sering dipakai? ‘Orang mana’ atau ‘manusia mana’?” Ia melanjutkan
Jamaah menjawab, “Orang.”
Abu Marlo kembali mengulang pertanyaan awal, “Jadi kita ini orang atau manusia?”
Pertanyaan itu menjadi jembatan refleksi tentang identitas dan kualitas. Ia membedakan antara “orang” sebagai identitas dan “manusia” sebagai kualitas.
Abu Marlo menekankan pentingnya bertanya sebagai pintu pertumbuhan dan kesadaran. Pendidikan saat ini cenderung menjejalkan jawaban, bukan melatih berpikir kritis.
Ia mengisahkan sebuah studi dari Washington University tentang negara paling islami, yang ternyata diduduki oleh New Zealand dan Denmark. Dari situ muncul pertanyaan: “Mengapa negara yang rajin bersholawat belum tentu islami?” Abu Marlo menjelaskan bahwa “Islam” adalah identitas, sedangkan “islami” adalah kualitas.
Dalam konteks pendidikan agama di Indonesia, survei menunjukkan bahwa 90% dari 900 responden tahu bacaan salat tetapi tidak memahami maknanya. Ia mengidentifikasi empat tingkatan manusia: asbun (asal bunyi), punya pengetahuan, pemahaman, hingga sadar—yaitu manusia paripurna.
Hijrah, kata Abu Marlo, adalah proses naik dari level “asbun” ke “sadar”. Ia mengutip Ibnu Arabi: “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” — siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.
Abu Marlo memperkenalkan konsep empat bagian diri: Aku Satu (Allah), Aku Dua (Ruh/Nur Muhammad), Aku Tiga (Jiwa), dan Aku Empat (Fisik). Aku Sejati terletak pada Aku Satu dan Aku Dua, yang tidak berubah. Perselisihan sering terjadi karena kita hanya melihat Aku Empat dan Aku Tiga.
Hijrah yang sejati adalah dari Aku Empat ke Aku Tiga, lalu menuju Aku Dua, menyadari semua berasal dari Sumber yang sama. Kesadaran itu akan melahirkan kesadaran: “Kamu adalah aku yang lain. Menyakitimu berarti menyakitiku. Menolongmu adalah menolongku.”
Abu Marlo kemudian mengutip surat Al-Hujurat ayat 13, menyatakan bahwa yang paling mulia adalah orang yang paling takwa. Takwa adalah kualitas, bukan identitas. Sayangnya, masyarakat lebih bangga pada identitas fisik daripada jiwa.
“Jangan-jangan kita kebanyakan skin care tapi tidak pernah soul care,” katanya.
“Hijrah adalah berubah dari kita yang sebelumnya menuju semakin takwa,” jelasnya. Parameter takwa tidak hanya menjauhi larangan dan menjalankan perintah, tetapi juga mencakup pandai bersedekah, pandai menahan amarah/mengontrol ego, dan pandai memaafkan. Hijrah bukan soal jarak, tapi soal kesadaran. Hijab antara kita dan Tuhan juga bukan ruang dan waktu, tapi kesadaran. Jihad pun bukan hanya perang, tapi usaha keras menembus kesadaran.

“Kamu adalah aku yang lain. Menyakitimu berarti menyakitiku. Menolongmu adalah menolongku.” — Abu Marlo
Sabrang melanjutkan diskusi dengan penjelasannya tentang makna jihad dan hijrah. Ia menyebut jihad sebagai struggle, sebuah usaha keras yang bersifat fisik maupun batin untuk tetap tegak dalam kebenaran. Sedangkan hijrah, menurutnya, adalah berpindah—bukan hanya dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dari comfort zone ke uncomfort zone, tempat pertumbuhan terjadi.
Untuk menjelaskan proses ini, Sabrang menggunakan analogi pembentukan emas di garis patahan bumi (fault lines). Emas terbentuk karena tekanan gempa yang berulang pada batu kuarsa yang bersifat piezoelectric, menghasilkan listrik yang menarik dan memadatkan partikel emas. Begitu juga manusia, justru dalam “gempa” kehidupan—tekanan, ujian, dan pergolakan—kita membentuk hikmah, pelajaran, dan kebijaksanaan yang berharga seperti emas.
Ia menegaskan bahwa hijrah sejati adalah berpindah dari pola pikir sempit ke kesadaran yang lebih luas. Dalam kondisi tidak nyaman, kita dipaksa untuk beradaptasi, bertahan, dan akhirnya berkembang.
Menurut Sabrang, takwa bukan sekadar ketaatan ritual, tetapi upaya melindungi sesuatu yang berharga: kesadaran Aku Satu dan Aku Dua, agar tidak tertutup oleh kesadaran Aku Tiga dan Aku Empat—yakni diri dalam relasi sosial dan tuntutan dunia yang kadang memperdaya.
Ia kemudian mengaitkan hal ini dengan periode hidup Nabi Muhammad antara usia 25 hingga 40 tahun. Masa itu adalah masa pembentukan modal utama: menjadi orang yang dapat dipercaya (Al-Amin). Kepercayaan itu lahir dari kejujuran total kepada diri sendiri, yang menjaga kompas batin tetap lurus mengarah pada kebenaran.
Dosa pertama, lanjutnya, sering kali dihalangi oleh semesta sebagai mekanisme pengingat yang alami. Sekali arah itu goyah, sulit untuk kembali tanpa usaha besar. Maka, jihad dan hijrah adalah dua sisi dari proses yang sama: terus berusaha dan terus berpindah, demi menjaga dan meningkatkan kesadaran yang paling murni.

“Hijrah sejati adalah berpindah dari pola pikir sempit ke kesadaran yang lebih luas.” — Sabrang
Cognitive Closure hingga Emotional Regulation
Krist Segara, dengan suaranya yang khas, menemani pergeseran waktu dari malam ke pagi dalam nuansa musik yang menghanyutkan. Irama gitar dan lirik lagu-lagunya seolah menjadi penawar lelah. Jamaah larut dalam alunan nada, bernyanyi bersama.
Setelah musik memberi ruang untuk merasa, forum kembali dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Fahmi membuka kesempatan bagi lima penanya untuk mengajukan pertanyaan. Tak butuh waktu lama, jamaah berlomba mengangkat tangan, siap menyampaikan persoalan yang selama ini hanya mereka simpan sendiri.
Rani dari Psikologi UI mengajukan pertanyaan tentang hasil survei Abu Marlo. Ia menyebut bahwa masyarakat sering diajari menerima informasi tanpa dibiasakan untuk bertanya, dan menanyakan apakah ini pengaruh dari sistem pendidikan agama yang lebih menekankan pada ritual dan hafalan seperti rukun iman dan rukun Islam.
Abu Marlo menegaskan bahwa survei itu mengungkap pola pengasuhan dan pendidikan agama yang cenderung doktriner. Masyarakat terbiasa menjalani ritual tanpa pemahaman, seperti membaca resep obat tapi tidak meminumnya. Hasilnya, banyak yang sibuk dengan syariat dan upacara, tanpa menyentuh makna di baliknya. Menurut Abu Marlo, makrifat—pemahaman esensi agama—seharusnya menjadi dasar sebelum memasuki syariat. Ibadah ritual tetap penting sebagai jembatan, tetapi harus menuju ketakwaan.
Ubaidilla datang dengan keraguan: apakah ia terlalu terlambat untuk memulai hijrah di usia 22 tahun? Abu Marlo dan Sabrang menjawab tegas: tidak ada kata terlambat. Setiap orang punya waktu jatuh tempo masing-masing. Kuncinya adalah terus berproses. Pintu tobat selalu terbuka selama masih hidup. Kesiapan untuk memperbaiki diri adalah langkah awal yang paling penting. Proses ini memang tidak mudah. Kegagalan akan datang berkali-kali, tetapi itulah bagian alami dari perjalanan tanpa henti.
Hendri Satrio menambahkan dengan refleksi tentang tekanan sosial yang sering mengganggu: “Loh kok lu enggak jadi ini/itu?” Menurutnya, ini membuat orang hijrah mengikuti ekspektasi orang lain, bukan hati nurani. Ia mengutip empat image dari Frank Jeffkins: mirror image (pandangan orang lain), current image (diri asli), wish image (yang ingin ditampilkan), dan multiple image (kebingungan identitas).
Terlalu banyak memikirkan image orang lain menghambat hijrah dan menyebabkan repot sendiri. Hijrah adalah tentang memilih jalan hidup—apakah memilih yang sulit, mudah, atau yang benar-benar disukai—dan bahwa terkadang Allah sudah memberikan jalan hijrah tanpa perlu dipikirkan terlalu rumit.
Rahman, yang akan segera menikah, datang dengan sejumlah pertanyaan. Ia menanyakan bagaimana cara mengubah ketakutan dari ketidaktahuan menjadi rasa penasaran dan dorongan untuk belajar lebih jauh.
Ia juga mempertanyakan rumus utama untuk memastikan apakah jihad dan hijrah yang dilakukan sudah benar dan tepat. Ia meragukan hukum kausalitas dalam hidup yang selama ini diyakini—karena ada yang sukses tanpa usaha besar.
Terakhir, ia bertanya apakah keyakinan (belief ) masih bisa menjadi pegangan kebenaran di era post-truth, di mana setiap orang memiliki versi kebenarannya sendiri.

“Perlombaan paling adil adalah melawan diri sendiri, jadi lebih baik dari hari kemarin.” — Sabrang
Abu Marlo menegaskan bahwa ketakutan sering berasal dari kurangnya pengetahuan. Solusinya adalah terus menambah pengetahuan karena pengetahuan meningkatkan pemahaman dan mengurangi masalah. Nikmatnya hidup itu karena kita tidak benar-benar tahu mau ke mana. Berani berdamai dengan ketidakpastian adalah cara untuk menikmati proses hidup.
Sabrang menambahkan bahwa hukum sebab-akibat adalah alamiah. Sukses adalah definisi pribadi, bukan hanya materi. Perlombaan paling adil adalah melawan diri sendiri—jadi lebih baik dari hari kemarin. Setiap orang harus menemukan bakat dan modal yang diberikan Tuhan, lalu memanfaatkannya sebaik mungkin.
Soal keyakinan, Sabrang menjelaskan konsep cognitive closure: naluri manusia untuk mencari jawaban pasti benar/salah, padahal hidup tidak selalu memiliki kepastian. Kebenaran pribadi adalah apa yang tidak disesali setelah diputuskan dengan sadar dan tanggung jawab. Dalam istilah Cak Nun, ini disebut “hati yang selesai”—kemampuan mengambil keputusan sambil siap menerima segala konsekuensinya.
Irma menyampaikan pertanyaan tentang apakah hidup hanya soal merasakan emosi dan menerimanya. Abu Marlo menjawab bahwa emosi adalah alat hidup, bukan hanya untuk dirasakan, melainkan diregulasi. Tindakan kita bergantung pada “software” jiwa. Perlu jeda untuk berpikir kritis agar tidak terseret amarah.
Sabrang menekankan bahwa emosi adalah detektor penting. Emosi yang memuncak menandakan kondisi tidak normal yang bisa digunakan untuk merefleksikan diri. Marah boleh, tapi harus dilakukan tanpa amarah. Semua emosi bisa membawa kita kepada Tuhan, tetapi cinta adalah emosi yang paling sustainable.
Arnold dari Surabaya menanyakan fenomena AI seperti ChatGPT yang menyebut Israel melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Palestina, meski dibuat di Amerika dan media Barat yang biasanya menghindari istilah itu. Ia juga ingin tahu hubungannya dengan pernyataan Sabrang bahwa sejarah seharusnya ditulis oleh pelaku, bukan pemenang.
Sabrang menjelaskan bahwa AI tidak memiliki bias karena itu merugikan model bisnis mereka. AI hanya menyimpulkan data dari pencarian web, bukan hasil pemikiran internal. Gagasan bahwa sejarah ditulis oleh pelaku, bukan pemenang, kini lebih mungkin berkat teknologi. Ini adalah “perang gagasan”, bukan perang teknologi.

Forum dipuncaki dengan indal qiyam pada pukul 03.20. Lantunan Shohibu Baiti, munajat, dan doa menghias langit menjelang pagi. Dalam doa yang terucap, harapan melangit untuk kehidupan yang lebih baik, pemahaman yang lebih dalam, dan agar semangat jihad dan hijrah terus menyala dalam hati setiap jamaah.
Bukan hanya perjalanan besar yang dramatis, tetapi juga dalam bentuk-bentuk kecil sehari-hari: menjadi lebih baik dari hari ke hari, menjaga prinsip meski di tengah godaan sistem, serta tetap percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Kebersamaan malam itu menjadi media untuk saling menguatkan, belajar, dan menjaga api kesungguhan tetap menyala. Pada akhirnya, hijrah adalah perjalanan dari diri yang belum sadar menuju diri yang lebih takwa dan jihad adalah upaya tiada henti untuk tetap berusaha. Keduanya bersinergi dalam tujuan akhir yang sama: kembali kepada Tuhan dengan kesungguhan. (end)
Teks: Redaksi KC / Haddad
Foto: Redaksi KC / Yudi