LANGIT JAKARTA telah gelap. Malam itu, halaman depan Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki (TIM), berubah menjadi ruang refleksi. Kenduri Cinta memang tidak digelar di Plaza Teater Besar atau Teater Kecil seperti biasa, karena TIM tengah merayakan ulang tahun ke-57. Oleh sebab itu, forum dipindahkan ke halaman Masjid Amir Hamzah. Perpindahan ini justru menjadi metafora fisik dari tema acara Kenduri Cinta edisi 262: “Fragmen Kesadaran”.
Lampu serambi masjid yang temaram bersanding dengan lampu panggung sederhana, memantulkan cahaya hangat ke wajah-wajah yang duduk di atas alas terpal. Jamaah mulai berdatangan dengan beragam latar belakang. Ada yang masih mengenakan baju kantor, ada yang datang bersama teman-teman, ada pula yang bersama keluarga. Terlepas dari perbedaannya, tujuan mereka jelas sama: berkumpul untuk berbahagia bersama.
Seperti biasa, Kenduri Cinta dibuka dengan sholawat yang mengalun. Mizani, Haddad, Rizal, Munawir, Awan, dan Buchori duduk berjajar di panggung pendek khas Kenduri Cinta, menemani jamaah menciptakan harmoni yang khusyuk. Setelah sesi sholawat selesai, Jay membacakan Medley 8 Tetes, delapan tulisan Cak Nun yang menyentuh inti tema malam itu: Melatih Kemanusiaan, Presisi Batas Diri Manusia, Tak Kenal Diri Sendiri, Perasaan Bersalah, Informasi Permukaan, Orang Pandai Berebut Pengakuan, Peradaban Miring, hingga Agama Globalisasi. Setiap kata di dalamnya membangun kerangka: Apa sebenarnya yang kita sadari selama ini?

“Tugas kita bukan hanya bertahan hidup, melainkan menjadi pemenang dengan kesadaran sebagai kompas utamanya.” -Tri Mulyana
Pertumbuhan Sadar Arah
Setelah penampilan Jay, Ansa dan Mizani naik ke panggung sebagai moderator sesi pertama, ditemani oleh Tri, Ian L. Betts, Buchori, dan Haddad sebagai narasumber. Ansa mengawali sesi dengan mengingatkan bahwa tujuan utama Kenduri Cinta adalah membangun kebersamaan, mencari ilmu, dan mendapatkan insight baru. Selanjutnya, Ansa meminta Tri untuk memulai diskusi yang secara khusus mengulas tema yang mengarah pada refleksi dan perenungan ke dalam diri.
Tri membuka paparannya dengan penuh rasa syukur, menyebut bahwa selama 25 tahun, Kenduri Cinta tak pernah kehilangan relevansinya. Menurutnya, tema “Fragmen Kesadaran” adalah bentuk modern dari muhasabah yang tak hanya mengukur apa yang kita lakukan, tapi mengapa kita melakukannya.
“Kesadaran apa yang kita bawa? Kita itu sekarang sadarnya sudah sampai level mana?” tanya Tri pada jamaah. Baginya, kesadaran lebih dari tren mindfulness yang populer belakangan ini, tetapi sebuah panggilan mendasar atas keberadaan kita sebagai manusia. Ia menjelaskan bahwa kesadaran harus terhubung dengan visi. Tri kemudian mengaitkan hal ini dengan percakapan bersama Ansa: “Kamu tidak akan ke mana-mana kalau kamu tidak tahu dari mana dan mau ke mana.” Menurut Tri, tanpa kesadaran akan asal-usul dan tujuan hidup, bahkan ritual ibadah seperti salat dan zikir berisiko menjadi rutinitas belaka.
Dari situ, Tri mengalirkan gagasannya ke dalam empat poin utama tentang bagaimana kesadaran menjadi fondasi bagi pertumbuhan dengan arah dan tanggung jawab. Tri menjelaskan bahwa kesadaran adalah fondasi pertumbuhan, dan ia merangkumnya dalam empat gerakan utama.
Pertama, kita harus menyadari bahwa tumbuh itu keharusan. Kedua, arah pertumbuhan harus terus disesuaikan dengan zaman, termasuk memanfaatkan teknologi AI sebagai alat memperdalam diri. Ketiga, pertumbuhan yang jujur dimulai dari penerimaan atas kekurangan karena mengakui ketidaktahuan justru membuka jalan bagi pembelajaran yang autentik. Keempat, kesadaran yang diraih tak boleh disimpan sendiri. “Tongkat itu harus bergerak,” katanya, menekankan pentingnya forum seperti Reboan dan Kenduri Cinta sebagai ruang untuk menularkan kesadaran dan membangkitkan refleksi kolektif.
“Jika kamu tidak mampu menahan lelah perihnya belajar, maka bersiaplah menanggung perihnya kebodohan,” ujarnya mengutip Imam Syafi’i. Baginya, kebodohan adalah sumber ketidakmampuan menghadapi kompleksitas hidup. Hal ini sangat krusial, sebab jika kita memahami diri sebagai khalifah, maka tugas kita bukan hanya bertahan hidup, melainkan menjadi pemenang dalam konteks dan porsi masing-masing, dengan kesadaran sebagai kompas utamanya.
Selanjutnya, Bukhori memperkaya diskusi. Ia mengalihkan perhatian jamaah ke poster Kenduri Cinta yang menampilkan fragmen-fragmen wajah: sedih, tertawa, marah, datar, dan terkejut. “Ini simbol bahwa kesadaran tidak hanya bersemayam di pikiran, tapi juga mewujud dalam cara kita menampilkan diri,” katanya.
Ia lalu menghubungkannya dengan tema Kenduri Cinta Juli 2017: Evolusi 4 Minus. Saat itu, Kenduri Cinta membahas evolusi kesadaran manusia dari makhluk, tumbuhan, hewan, manusia. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan informasi, manusia sering kali tergelincir ke zona “4 minus”—kehilangan esensi kemanusiaannya, menyisakan naluri hewani yang reaktif.
Lebih jauh, ia menyoroti betapa tipisnya batas antara sifat-sifat yang tampak serupa namun berbeda hakikat: teliti dan ribet, hemat dan pelit, dermawan dan boros. Perbedaannya bukan terletak pada tindakan lahiriah, melainkan pada kedalaman niat di baliknya. Di sinilah letak ujian kesadaran yang bukan sekadar memilih antara benar atau salah, tapi memahami mengapa kita memilih.
Dari sini muncul pertanyaan penutup yang menggugah: Apakah kesadaran kita berhenti pada ranah individual atau mampu menjalar ke pengalaman kolektif: keluarga, lingkaran pertemanan, bahkan masyarakat sekitar? Bagi Bukhori, kesadaran yang tidak menyebar justru berisiko menjadi ego yang terselubung.

“Kesadaran yang tidak menyebar justru berisiko menjadi ego yang terselubung.” -Bukhori
Menjahit Kepingan Menjadi Keutuhan
Ansa melanjutkan diskusi dengan memperkenalkan kerangka tiga lapis kesadaran dari perspektif Barat: consciousness (kesadaran fisik), awareness (kesadaran perhatian), dan conscience (hati nurani). Menurutnya, banyak orang berhenti di lapis kedua di mana orang pintar menganalisis, tapi hati nuraninya mati. Di sanalah akar korupsi, kebohongan sistemis, dan ketidakadilan bermula. Krisis kemanusiaan hari ini bukan krisis informasi, melainkan krisis keseimbangan antara akal dan moral. Dalam konteks ini, ia menghadirkan gagasan Cak Nun tentang “manusia ruang”: manusia yang tidak hanya cakap secara teknis, tapi juga cerdas secara etis dan peka secara nurani.
Ian kemudian mengajak jamaah menyelami makna kesadaran melalui nama. Ia mengutip kalimat Shakespeare: “A rose by any other name would smell as sweet,” tetapi menegaskan kontrasnya dalam tradisi Islam. Bagi Islam, nama bukan sekadar label, melainkan doa, nilai, dan tanggung jawab ontologis. Ian merujuk pada kisah Nabi Adam yang diajari nama-nama oleh Allah. Karunia ini adalah karunia pertama yang memungkinkan manusia memahami, mengonseptualisasi, dan memberi makna pada dunia, dan dari sanalah peradaban lahir. Bahkan, jauh sebelum ilmu komputer ada, Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa bahasa adalah sebuah algoritma untuk mengartikan realitas.
Ian mengaitkan ini dengan tulisan Cak Nun dalam Sedang Tuhan pun Cemburu: “Banyak orang cerdas tapi tidak banyak yang benar. Banyak yang sadar secara akal tetapi buta secara hati.” Menurutnya, kesadaran bagaikan tangga. Sayangnya, tidak semua orang naik sampai ke lantai nurani.
Jalan menuju lantai itu kini terhambat empat arus besar: sekularisme yang memisahkan spiritualitas dari kehidupan, kapitalisme yang mengganti nilai dengan harga, ketergantungan politik yang mengaburkan otonomi moral, dan ketergantungan digital yang menjauhkan kedekatan batin meski menghubungkan secara teknis. Di tengah arus itu, Ian menganggap ruang seperti Kenduri Cinta bisa memperkuat ikatan sosial, menghidupkan nilai keluarga, dan membangkitkan spiritualitas lewat pembelajaran Al-Qur’an dan refleksi atas karya Cak Nun.
Ansa kemudian menambahkan bahwa forum Kenduri Cinta lahir dari kesadaran nilai yang menyatukan dimensi kultural, intelektual, dan spiritual. Namun, nilai cenderung abstrak, sehingga sulit menggerakkan kesadaran kolektif. Contohnya, membuang sampah pada tempatnya sering dilakukan bukan karena pemahaman ekologis, melainkan karena kebiasaan atau tekanan sosial: tanpa awareness, apalagi conscience.

“Krisis kemanusiaan hari ini bukan krisis informasi, melainkan krisis keseimbangan antara akal dan moral.” -Ansa Gaora
Haddad lalu menjelaskan bahwa “Fragmen Kesadaran” adalah sebuah paradoks: kesadaran utuh secara hakikat, tapi manusia hanya mengalaminya dalam kepingan. Ia mengundang jamaah berbagi, dan Piar merespons: “Kesadaran harus ada di level terkecil, agar sesuatu tidak hanyut dalam semesta.” Baginya, ini mengingatkan bahwa kesadaran adalah fondasi eksistensi, dan pertemuan seperti Kenduri Cinta memungkinkan fragmen itu bersatu menjadi cahaya kolektif.
Haddad memperjelas tiga lapis kesadaran dengan contoh konkret: consciousness adalah terjaga secara fisik; awareness adalah fokus perhatian yang bisa lenyap meski tubuh terjaga, seperti saat naik motor dalam autopilot; dan conscience adalah hati nurani yang mendorong tindakan moral, seperti menolong korban kecelakaan meski sedang terburu-buru. Ia juga memperkenalkan Seven Level Awareness menurut Bob Proctor—dari animalistik hingga mastery—dan menekankan bahwa seseorang bisa berada di level tinggi dalam bisnis, tapi hanya di level massa dalam kesehatan. Inilah bukti nyata bahwa kesadaran manusia terfragmentasi.
Ia menguatkan pernyataan Ansa bahwa kesadaran tanpa hati nurani berbahaya. “Musuh terbesar conscience,” katanya, “adalah dua kata: ‘Enggak apa-apa.’” Frasa sederhana itu, jika digunakan terus-menerus, perlahan mengikis nurani hingga yang salah terasa biasa.
“Tujuan membahas tema ini,” kata Haddad, “bukan untuk mencapai kesempurnaan, melainkan mengumpulkan kepingan-kepingan itu agar kita tidak hanya sadar, tapi juga menyadari dan teguh bernurani.” Bagi manusia—makhluk yang esensinya dibentuk melalui pilihan—kesadaran adalah tanggung jawab: memilih dengan hati, bertindak dengan akal, dan hadir sepenuhnya. Di ruang seperti Kenduri Cinta, fragmen itu perlahan menyatu atas dasar kejujuran pada diri sendiri dan pada Yang Maha Ada.
Sebelum forum memasuki jeda pertama, Ian menutup sesi ini dengan kutipan Markesot, karakter fiksi ciptaan Cak Nun yang penuh paradoks: “Hidup kita ini serpihan-serpihan. Yang penting adalah bagaimana kita menjahitnya menjadi keutuhan.” Kalimat itu menggantung di udara malam Jakarta, seolah menjadi undangan untuk setiap jamaah: mari menjahit fragmen-fragmen kita sendiri, bukan demi kesempurnaan, tapi demi kejujuran pada diri dan pada Tuhan.
Sesi pertama ditutup dengan alunan jazz dari Rafli. Ia menemani jamaah dengan lagu Romantika Syahdu, Terpagut, Baik Hati, Senja Mewangi, dan Tarian Jiwa. Nada mengalir pelan, memberi ruang bagi jamaah untuk mengendapkan pembahasan sebelumnya. Di bawah langit yang semakin tenang, suara gitar dan akordeon berpadu. Dari sanalah, perjalanan menyusun fragmen kesadaran dilanjutkan sebagai pengalaman kolektif yang mengalir, di bawah cahaya lampu tenda dan kerinduan yang utuh.

“Tujuan membahas tema bukan mencapai kesempurnaan, melainkan mengumpulkan kepingan-kepingan itu agar kita tidak hanya sadar, tapi juga menyadari dan teguh bernurani.” -Haddad
Jembatan Dunia Fisik dan Dunia Akal
Malam semakin larut, udara Jakarta semakin tenang. Setelah jeda pertama yang diisi alunan jazz Rafli, panggung Kenduri Cinta kini diisi oleh moderator dan pembicara sesi kedua. Fahmi, Sabrang, Karim, dan JS Kris Tan naik ke atas, membawa energi baru. Kini diskusi semakin luas. Tidak berhenti pada apa itu kesadaran, tapi bagaimana kesadaran itu dibentuk, dipraktikkan, dan diuji dalam realitas kolektif.
Fahmi membuka sesi kedua dengan menggali kembali sisi-sisi mukadimah yang belum tersentuh. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki dua kesadaran utama: Abdullah (kesadaran sebagai hamba yang beribadah) dan Khalifatullah (kesadaran sebagai wakil Tuhan di bumi, dengan tugas menjaga keadilan, keberlanjutan, dan keindahan dunia).
Lalu Fahmi menyentuh konsep dalam budaya Jawa: “eling lan waspodo”. Ingat dan waspada. Ia memberi contoh sederhana: saat kita berkendara ke TIM, fokus hanya pada tujuan. Kita melewati lampu merah, melewati orang-orang, tapi tidak benar-benar menyadari mereka. “Waspada itu seperti spion,” katanya. “Bukan hanya tahu ke mana arah tujuan, tapi juga sadar ada dunia di sekeliling kita.” Di sanalah kesadaran menjadi tindakan moral: bukan hanya untuk diri, tapi untuk sesama.
Karim melanjutkan dengan mengajak jamaah membacakan Al-Fatihah sebagai doa untuk TIM yang sedang merayakan ulang tahun ke-57, untuk Cak Nun, untuk para penggiat, dan untuk seluruh jamaah yang hadir. Lalu ia melempar pertanyaan: “Apakah kita lebih sering bergerak dengan sadar, atau hanya sekadar bergerak?”
Di sinilah Karim menyentuh inti paradoks era modern: sains dan agama sebenarnya tidak perlu saling menegasikan. Sains memberi rasionalitas sebagai alat memahami mekanisme dunia; agama memberi makna, arah, dan kedalaman moral. Menurutnya, kesadaran adalah titik temu keduanya, sebuah ruang internal tempat pemahaman logis bertemu dengan makna spiritual. Agar berfungsi optimal, kesadaran harus dirawat dengan upaya menyeimbangkan seluruh dimensi kemanusiaan.
Seni kesadaran yang perlu dijaga adalah menyeimbangkan tiga elemen kehidupan, sebagaimana diilustrasikan oleh Cak Nun di berbagai panggung Maiyah: rasionalitas, emosi, dan fisik. Kelelahan (fisik, hati, dan pikiran) adalah dampak logis dari mismanajemen atas diri sendiri. Di panggung Maiyah, jika diskusi rasional sudah panjang, sering kali Cak Nun memberikan jeda dengan Kiai Kanjeng untuk membangun kesadaran.
Sabrang menyambung diskusi. Ia memperjelas tingkatan kesadaran dalam empat level. Pertama, sentient awareness: kesadaran dasar seperti kucing yang kesakitan saat ditendang. Kedua, knowing: kemampuan mengenali dunia, seperti ayam yang membedakan ular dan tikus. Ketiga, understanding: memahami fungsi sesuatu bagi diri sendiri. Puncaknya, realization: kesadaran bahwa diri ini bagian dari konstelasi yang utuh, bukan sekadar pelaku dalam kejadian acak.
Contohnya, tukang becak atau driver Gojek yang tetap bekerja saat berpuasa. Mereka tak merasa lelah bukan karena kuat fisik, tapi karena bekerja adalah bentuk pengabdian. Bukan beban, melainkan tanggung jawab yang disadari. Dalam Islam, jalan pintas menuju realization itu adalah niat: bukan sekadar ucapan, melainkan kerangka mental yang menghubungkan dunia akal dengan dunia fisik, memastikan tindakan lahir dari kesadaran, bukan kebiasaan.
Sabrang menjelaskan bahwa manusia hidup di dua dunia: dunia fisik, yang diatur hukum sebab-akibat, dan dunia akal, tempat nilai dan makna bersemayam. Kesadaran adalah jembatan di antaranya. Tanpanya, tindakan hanyalah reaksi—lapar lalu makan, marah lalu memukul. Dengan kesadaran, pemahaman akal berubah menjadi aksi bermakna: mencoblos dalam pemilu bukan karena ikut arus, tapi karena memahami demokrasi sebagai tanggung jawab.
Dalam pandangannya, niat adalah cara Islam memastikan tindakan lahir dari kesengajaan yang disadari. Sulit membayangkan seseorang dengan tenang mem-bully di media sosial jika ia benar-benar mencari apa alasan yang mengharuskan seseorang melakukan bullying.
Ia juga menegaskan perbedaan mendasar antara manusia dan hewan. Harimau tak bisa memilih jadi vegetarian. Ia terikat sunnatullah. Ia terikat hukum alam. Ia tak punya kemungkinan, hanya punya kepastian. Manusia justru diberi ruang untuk memilih antara dosa (miss the mark) dan pahala (tepat sasaran). Hewan tak pernah berdosa karena tidak mungkin meleset, tapi manusia bisa meleset karena diberi kebebasan. Potensi meleset inilah yang membuat pilihan manusia rentan pada ilusi personal.
“Yang benar,” kata Sabrang, “pasti selaras dengan alam semesta.” Ia mengingatkan bahwa akal bisa menipu, sehingga kita perlu waspada dan terus melakukan rekonsiliasi antara makna di pikiran dan kenyataan di lapangan. Karena itu, pilihan dan kebenaran yang diyakini manusia harus selalu diuji oleh realitas.

“Waspada itu seperti spion, bukan hanya tahu ke mana arah tujuan, tapi juga sadar ada dunia di sekeliling kita.” -Fahmi
Pentingnya Kesadaran Kolektif
Karim kemudian memberikan kesempatan berbicara kepada Hensa yang baru saja datang. Karim mengarahkan diskusi ke dalam konteks kesadaran kolektif. Ia memantik dengan isu yang sedang hangat: bagaimana reformasi 1998 yang lahir dari pengorbanan besar untuk melawan KKN, kini justru berhadapan dengan fakta bahwa tokoh sentral Orde Baru disepakati sebagai pahlawan nasional oleh sebagian besar rakyat. Ironisnya, paradoks ini terekam jelas dalam survei terbaru yang Hensa lakukan.
Hensa menjelaskan bahwa survei tentang Soeharto berawal dari perdebatan sederhana bersama rekan-rekannya di lembaga survei KedaiKopi. Satu sisi yakin bahwa masyarakat mengagumi stabilitas ekonominya, seperti menurunkan inflasi dari 650% yang menjadi peninggalan era Bung Karno. Sementara sisi lain tak melupakan kekejaman seperti operasi Petrus atau peristiwa Tanjung Priok.
Hasil surveinya mengejutkan: 80,7% responden menyatakan Soeharto layak jadi Pahlawan Nasional, dengan alasan utama: ekonomi bagus, swasembada pangan, dan lapangan kerja tersedia. Yang menarik, mayoritas responden mendapat informasi tentang Soeharto dari buku pelajaran yang menjulukinya “Bapak Pembangunan”, bukan dari catatan kritis tentang 32 tahun kekuasaannya. Temuan ini mengindikasikan adanya kesenjangan informasi yang besar dan mengabaikan sisi gelap dari kekuasaan Orde Baru.
Survei itu memicu kemarahan. Banyak yang protes: “Etika dan moral tidak bisa disurvei!” Tapi Hensa menegaskan, ia hanya mengukur pendapat, bukan kebenaran. Ia mencatat paradoks masyarakat: puas dengan pemerintahan, namun ketika ditanya kekurangannya, jawabannya “banyak”. Lebih ironis lagi, kritik terhadap Soeharto justru menguat di media sosial setelah gelar pahlawan diberikan.
Merespons kesenjangan dan paradoks sejarah ini, Karim kemudian mengalihkan fokus dari hasil survei publik ke pengalaman korban langsung. Karim menyambungkan kepada JS Kris Tan, menekankan bahwa komunitas Konghucu adalah pihak yang paling dirugikan oleh rezim yang kini dipuja sebagian masyarakat. Ia bertanya: bagaimana JS Kris Tan tetap bertahan dengan keyakinannya di tengah diskriminasi sistematis?
JS Kris Tan, yang hadir untuk kedua kalinya setelah Bulan Oktober kemarin, justru merasa at home di forum ini. Di Maiyah, ia menemukan Indonesia yang sebenarnya: majemuk, hangat, dan saling mengakui. Ia lalu bercerita tentang tekanan masa lalu. Sejak Inpres No. 14 Tahun 1967, agama dan budaya Tionghoa dilarang. Ayahnya terpaksa memberinya nama “Kris Tan”—bukan nama Tionghoa—agar tak kesulitan mencari kerja. Tapi identitas etnis tetap melekat di akta kelahiran, tak peduli seberapa jauh nama diganti. Bahkan, banyak keluarga Tionghoa yang terpaksa pindah agama dari Konghucu karena di dalam formulir pendaftaran sekolah hanya disebutkan lima agama resmi yang diakui oleh Negara.
Ia kemudian mengembalikan diskusi ke tema utama. Dalam ajaran Konghucu, manusia adalah co-creator—makhluk paling sempurna. Setan dan hewan hanya menjalankan job description mereka. Tapi karena kesempurnaannya, manusia bisa melenceng dari jalan baik, terutama karena pengaruh lingkungan. Karena itu, manusia butuh Li: keteraturan, adab, dan kesadaran moral. Agama hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk menetralkan sifat serakah.
Ia percaya bahwa penderitaan dunia sering lahir dari salah langkah sendiri. Hidup sejatinya sederhana; manusia yang membuatnya rumit. Kesadaran harus lahir dari naluri tulus, seperti dorongan spontan menolong anak kecil yang hampir jatuh ke sumur, terlepas dari latar belakangnya. Bagi Konghucu, surga dan neraka bukan tempat fisik. Neraka adalah keadaan ketika harapan runtuh: anak durhaka, suami gila judi, keluarga berantakan.
Menurutnya, kesadaran bersifat dinamis. Saat menjadi seorang jomblo, kesadarannya berbeda dengan saat ia menjadi seorang ayah, menuntut tanggung jawab dan sudut pandang yang baru. Ia berpendapat, jika setiap orang menjalankan perannya dengan benar—sesuai dengan tingkat kesadarannya—dunia akan harmonis. Hal inilah yang membuat kesadaran lebih substansial daripada sekadar aturan formal.
Dalam pandangan Konghucu, hukum dinilai tidak penting karena hukum hanya menakuti, bukan menyadarkan. Kesadaran kolektif adalah kunci. Sebagai contoh, di Jepang, orang tetap bayar tol meski pintu terbuka karena listrik mati; itu dilakukan bukan atas dasar takut pada hukuman, tetapi karena adanya kesadaran kolektif akan tanggung jawab.
Setelah pemaparan JS Kris Tan, Hensa kembali mengangkat pertanyaan krusial: apakah kesadaran yang kita bicarakan di Kenduri Cinta ini kesadaran positif atau negatif? Dua orang bisa sama-sama “sadar” saat melihat HP tertinggal—satu sadar untuk mengambil, satu sadar untuk tidak mengambil. Perbedaannya bukan pada tingkat kesadaran, tapi pada orientasi moralnya.
Sabrang kemudian menanggapi pertanyaan Hensa. Dua orang mungkin merasa benar dalam pilihannya (mengambil atau tidak mengambil HP hilang). Tapi jika dilihat dari sudut pandang komunal, mengambil barang hilang terus-menerus akan merusak kepercayaan sosial. Maka, kesadaran kolektif menuntut barang itu dikembalikan untuk menjaga kepercayaan bersama.
Prinsip yang sama berlaku untuk KKN. Korupsi buruk bukan hanya karena salah secara personal, tapi karena jika dijadikan kebiasaan, ia akan menghancurkan meritokrasi, yang pada akhirnya bisa menggantikan kompetensi dengan kedekatan. Argumentasi moral harus selalu komunal, bukan sekadar justifikasi pribadi.
Mengakhiri sesi kedua, Pandananas naik panggung, mengalunkan Tembang Goyang, Kopi Dangdut, Judul-Judulan, Malem Minggu, Hujan Gerimis, dan Yang Penting Happy. Alunan musik dengan lirik-lirik ringan yang menghibur menjadi penyeimbang yang sempurna, merespons kebutuhan rasa jamaah setelah sesi diskusi yang intens.

“Akal bisa menipu, kita perlu waspada dan terus melakukan rekonsiliasi antara makna di pikiran dan kenyataan di lapangan.” -Sabrang
Wujud Fragmen Kesadaran dalam Pertanyaan
Setelah penampilan Pandananas, forum Kenduri Cinta memasuki babak paling intim: sesi tanya jawab. Di sinilah, tema “Fragmen Kesadaran” berubah dari konsep abstrak menjadi pengalaman konkret dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dari berbagai spektrum.
Asrin membuka sesi tanya jawab. Ia mengaku minim pengetahuan soal Konghucu, tapi justru dari situ lahir pertanyaan tulus: apakah dalam ajaran itu ada pertanyaan mendasar seperti “Man rabbuka?” di alam kubur? Bagaimana kepercayaan Konghucu menjawab pertanyaan semacam itu? Ia juga bertanya pada Hensa: mana yang tepat, “seni budaya” atau “seni dan budaya?”
Nian Hana lalu berbagi kegelisahannya di wilayah abu-abu: apakah dosa dan pahala itu mutlak, atau bisa berubah sesuai kesadaran batin? Bisakah kita hanya menyaksikan pengalaman tanpa menghakimi atau terjebak rasa bersalah, sehingga luka berubah jadi pelajaran? Ia mengaitkannya dengan fisika kuantum: mungkinkah kesadaran juga berada dalam “superposisi”, dan justru ketika diamati dengan jernih, terang dan gelap tak lagi bertentangan?
Pertanyaan itu disambut dengan kesederhanaan yang mengharukan. Rohim, jamaah pinggiran yang hanya lulus SMP, mengaku tak paham istilah rumit seperti “fragmen” atau “kuantum”, tapi merasa di Maiyah semua belajar bersama tanpa hierarki. Dari tema Kenduri Cinta yang berjudul Evolusi 4 Minus, ia bertanya: jika manusia adalah mahakarya ciptaan, mengapa kini justru “minus”? Bagaimana menjaga kesadaran agar tak jatuh ke level kehewanan?
Dimas dari Pasar Rebo lalu mengalihkan pandangan ke wilayah timur Indonesia, di mana ketidakadilan membuat Sila Kelima terasa seperti mimpi. Ia bertanya langsung pada Hensa: apakah para pejabat itu sadar? Jika iya, mengapa diam? Jika tidak, bagaimana menyadarkan mereka?
Eko dari Malang membawa dimensi spiritual: apa yang mendorong para nabi atau orang suci seperti Kuan Im memilih mengorbankan diri? Apakah itu kasih, kepasrahan, atau sesuatu yang melampaui logika?
Zulfikar dari Cakung menutup dengan pertanyaan eksistensialis: “Ketika aku berkata ‘aku sadar’, siapa sebenarnya yang berkata?” Bagaimana triliunan sel tak sadar bisa membentuk kesadaran yang mampu merenungkan dirinya sendiri?

“Hukum hanya menakuti, bukan menyadarkan. Kesadaran kolektif adalah kunci.” -JS Kris Tan
Hensa memberikan respons pertama. Ia menjelaskan bahwa perdebatan “seni budaya” atau “seni dan budaya” bukan soal benar-salah, melainkan soal niat dalam komunikasi. “Budaya” adalah perilaku sehari-hari yang diatur norma; “seni” adalah produk pikiran. Jika disatukan, itu berarti produk pikiran yang lahir dari perilaku sehari-hari. Ia juga mengakui bahwa “fragmen kesadaran” memang rumit—terutama di dunia politik, di mana banyak drama disamarkan sebagai realitas. Kesadaran, katanya, pada akhirnya subjektif: ia berubah seiring niat dan konteks.
Menjawab Dimas, Hensa tegas: para pejabat itu sadar. Mereka tahu rakyat tak sejahtera, tapi memilih mendahulukan diri sendiri. Ia bercerita tentang aparat yang bicara lantang soal kejujuran, padahal punya 12 rumah dan 14 mobil. “Barangkali, dia sadar kalau dia bohong,” ujarnya. Ia juga mengakui bahwa kesadaran sering terjebak di ranah individu—bahkan dirinya harus mengamankan keuangan sebelum menggaji karyawan. “Hidup kadang harus egois. Kalau terus mengalah, kita bisa ditindas,” tegasnya. Tapi ia memperingatkan bahwa kesadaran bisa dimanipulasi, seperti menyontek karena takut kalah—itu adalah kesadaran negatif.
JS Kris Tan lalu menjelaskan bahwa Kuan Im adalah Bodhisatwa yang sengaja menolak kesempurnaan agar tetap di bumi membantu yang menderita. Itu adalah altruisme tertinggi. Konghucu, menurutnya, bukan agama dalam pengertian Abrahamik, melainkan Ciau—way of life. Mereka tidak percaya pada “kata sandi” di alam kubur. “Jika hidupmu diterima banyak orang dan penuh kebaikan, tidak usah pusing,” katanya.
Tentang Yin dan Yang, JS Kris Tan menjelaskan bahwa Konghucu percaya tidak ada yang absolut. Dalam putih ada hitam, dalam hitam ada putih. Mereka tidak mengenal dualitas malaikat-iblis. Nabi (Seng) adalah manusia suci yang pikiran, hati, dan ucapannya selaras. Meski pernah salah, ia segera memperbaiki. Bagi JS Kris Tan, Rohim adalah contoh nyata: ia berbicara apa adanya, meraga di dalam, meraga di luar, dan justru dari kesederhanaan itu lahir pencerahan.

“Manusia adalah aktor yang menjalani hari, dan sutradara yang merenung di malam hari.” -Sabrang
Sabrang menyatukan benang merah. Ia menyatakan bahwa hidup menarik justru karena adanya dualitas. Menurutnya, manusia adalah aktor yang menjalani hari, dan sutradara yang merenung di malam hari. Emosi ekstrem lahir dari “skrip” lama yang tak disadari. Tapi jika kita menjadi sutradara, kita tak lagi terganggu dunia—karena tahu diri hanyalah aktor yang menjalankan keyakinan yang ditanam lingkungan. Pengalaman menyakitkan, katanya, bukan hukuman, tapi ilmu yang menunggu diambil.
Agar kita bisa terus menjaga kesadaran “manusia”, segala aktivitas harus digantungkan pada sesuatu yang stabil: Tuhan. Maka penderitaan bukan beban, tapi pengabdian. “Aku sakit demi jenengan, Gusti,” ujarnya mencontohkan. Akar dosa, menurutnya, adalah mencintai diri sendiri lebih dari orang lain; akar pahala justru sebaliknya. Titik puncaknya adalah rela mati demi yang lebih besar—yang ia sebut Armor of Light. Alam akan melindungi siapa pun yang benar-benar menyerahkan diri untuk kebenaran.
Menjawab Zulfikar, Sabrang menjelaskan bahwa yang berkata “aku sadar” adalah Ahankara—kumpulan memori yang membentuk identitas. Tanpa memori, “aku” akan runtuh. Di bawahnya ada Citta: diri yang hadir tanpa masa lalu atau masa depan, hanya “ada” dalam ruang dan waktu. Di level itu, “Aku” hanya kehadiran murni tanpa label.

Malam itu, Kenduri Cinta berakhir dengan gelombang pertanyaan yang justru semakin memperdalam rasa ingin tahu. Kesadaran, sebagaimana terungkap sepanjang diskusi, bukanlah destinasi, melainkan proses yang tak pernah selesai. Dari refleksi personal hingga ujian kolektif, dari niat yang menghubungkan akal dan tindakan hingga paradoks sejarah yang mengaburkan batas antara pahlawan dan tiran.
Satu benang merah terasa kuat: kesadaran yang autentik selalu menuntut keberanian untuk jujur pada diri sendiri, pada sesama, dan pada realitas yang sering kali tak nyaman. Baik dalam ajaran Islam, Konghucu, maupun pengalaman hidup sehari-hari, kesadaran tak cukup hanya “tahu”; ia harus mengalir menjadi tanggung jawab, keadilan, dan kasih yang nyata.
Di tengah kerumitan zaman, Kenduri Cinta menjadi pengingat bahwa manusia tak diciptakan hanya untuk bereaksi, tapi untuk memilih dengan sadar. Kesadaran kolektif bukanlah konsensus semu yang dibentuk oleh narasi dominan, melainkan hasil dari dialog jujur, saling mengakui, dan komitmen bersama untuk tidak menjadikan nilai sebagai alat, melainkan sebagai kompas.
Maka, “fragmen kesadaran” yang muncul malam itu—dalam bentuk pertanyaan polos, kritik pedas, atau insight baru—adalah benih yang harus terus dirawat. Seperti kata Sabrang, kebenaran yang hakiki selalu selaras dengan kehidupan itu sendiri. Di situlah tugas kita berlanjut: bukan hanya menjadi manusia yang sadar, tapi juga menjadikan kesadaran itu bermanfaat bagi dunia.
Pukul 2.32 dini hari, forum ditutup dengan indal qiyam. Jamaah berdiri, melantunkan Shohibu Baity, sebuah pengakuan tentang kepemilikan sejati yang melampaui dunia, lalu dipuncaki doa yang mengalun pelan. Rangkaian penutup ini menjadi penanaman benih kesadaran yang terus tumbuh—kesadaran yang membumi, berani, dan selalu kembali pada fitrah kemanusiaan sejati.
Teks: Redaksi KC / Haddad
Foto: Redaksi KC / Auval






