Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
October 31, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita

ADA SESUATU yang ganjil dari cara bangsa ini mendidik dirinya sendiri. Di atas kertas, kita bicara tentang kemerdekaan belajar, tentang inovasi, tentang abad 21 yang menuntut kreativitas dan nalar kritis. Tapi di ruang-ruang kelas, yang tumbuh justru ketakutan untuk berpikir. Siswa-siswa dilatih untuk menjawab, bukan untuk bertanya. Guru-guru diajarkan untuk tahu segalanya, bukan untuk mengakui ketidaktahuan. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang kemungkinan, berubah menjadi ritual kepatuhan yang hampa makna.

Kita hidup di tengah sistem yang menyanjung formalitas lebih tinggi dari pengetahuan. Paperwork menjadi agama baru, di mana daftar hadir, sertifikat, dan format laporan dianggap lebih penting daripada isi. Anak-anak belajar untuk memenuhi rubrik penilaian, bukan untuk memahami realitas. Dosen menulis makalah agar naik pangkat, bukan karena dorongan intelektual untuk mencari kebenaran. Di negeri yang sibuk menumpuk gelar, yang makin langka justru pemikiran yang berakar.

Pendidikan kehilangan sifat ilmiahnya ketika ia takut pada keraguan. Padahal, ilmu tumbuh dari ketidaktahuan yang diakui. Kalimat sederhana “saya tidak tahu” adalah pintu menuju penemuan. Tapi di sekolah, kesalahan dianggap dosa, bukan proses. Sistem yang menuntut kesempurnaan administratif perlahan membunuh keberanian untuk salah. Ketika keberanian hilang, kreativitas ikut padam.

Dalam kebudayaan yang seperti itu, guru berdiri di posisi yang sulit. Kita menuntut mereka membentuk generasi emas, tapi menggaji mereka dengan upah yang nyaris simbolik. Di negeri ini, gaji dua juta rupiah dianggap cukup untuk membangun masa depan bangsa. Di tempat lain—di Korea, di Singapura, di Finlandia—profesi guru adalah profesi terhormat, tempat bertemunya idealisme dan kesejahteraan. Kita berbicara tentang pentingnya kualitas sumber daya manusia, tapi menolak membayar harga untuk kualitas itu.

Bagaimana mungkin talenta terbaik bangsa memilih menjadi guru, jika yang terbaik selalu digiring untuk bekerja di korporasi global, bukan di ruang kelas? Pendidikan tidak bisa dibangun di atas pengorbanan tanpa keadilan. Ia membutuhkan ekosistem yang membuat kecerdasan menjadi layak, dan pengabdian menjadi bernilai.

Lebih dari sekadar gaji dan status, pendidikan adalah cermin arah peradaban. Kemajuan ekonomi dan teknologi yang kita impikan mustahil lahir tanpa penguasaan sains. STEM—sains, teknologi, teknik, dan matematika—bukan sekadar bidang studi, melainkan fondasi kedaulatan bangsa. Negara yang tidak menguasai ilmu akan selamanya menjadi pengguna, bukan pencipta.

Produktivitas nasional kita hanya sekitar dua puluh lima ribu dolar per orang per tahun (delapan kali lipat lebih rendah dari Singapura). Itu bukan sekadar kesenjangan ekonomi, melainkan kesenjangan pengetahuan. Bangsa ini hanya menghasilkan dua ratus lima puluh ribu lulusan bidang STEM setiap tahun, sementara Tiongkok empat juta. Bagaimana mungkin kita berharap bersaing di era kecerdasan buatan, jika bahkan basis ilmiah kita masih rapuh?

Yang lebih menyedihkan, sains di sini sering kali diperlakukan seperti pelengkap kurikulum. Sesuatu yang harus dipelajari karena diwajibkan, bukan karena dicintai. Padahal sains adalah bentuk tertinggi dari rasa ingin tahu. Newton tidak sedang menghitung gaya ketika melihat apel jatuh; ia sedang mencari hukum di balik keteraturan alam. Di titik itulah sains menjadi spiritualitas, yakni keinginan untuk memahami dunia dengan jujur.

Kita sering mengirim anak-anak terbaik ke Olimpiade Sains Internasional dan bangga ketika mereka pulang membawa medali. Tapi kita lupa membangun ekosistem yang membuat pengetahuan mereka tumbuh di tanah ini. Kolam tempat mereka lahir begitu kecil, dibandingkan dengan negara lain yang menggerakkan ratusan ribu peserta di setiap ajang seleksi. Bahkan tahap awal lomba kini dilakukan secara daring. Dengan praktis, tapi kehilangan makna. Ilmu tidak tumbuh dari kompetisi daring; ia tumbuh dari pertemuan manusia, dari perdebatan, dari rasa ingin tahu yang menular.

Budaya universitas kita pun masih lebih dekat ke birokrasi daripada ke ilmu. Banyak kampus terjebak dalam rutinitas seremonial, sibuk mengatur akreditasi dan laporan penelitian yang tak pernah dibaca. Waktu senggang dihabiskan untuk acara sosial, bukan untuk berdiskusi. Kita kehilangan keberanian untuk bermimpi besar, untuk menargetkan universitas kita masuk jajaran terbaik dunia. Padahal, keberanian semacam itulah yang mengubah politeknik kecil di Singapura menjadi Nanyang Technological University yang kini sejajar dengan MIT.

Di tengah stagnasi itu, banyak anak muda pergi ke luar negeri. Sebagian orang menyebutnya brain drain. Tapi sesungguhnya, tak ada yang salah dengan kepergian itu. Ilmu memang harus mengalir. Masalahnya bukan mereka yang pergi, melainkan kita yang tak menyiapkan tempat bagi kepulangan mereka. Jika tanah ini tidak subur bagi pengetahuan, maka benih yang pulang hanya akan mati muda. Yang dibutuhkan bukan pemaksaan pulang, melainkan penciptaan ekosistem yang membuat mereka ingin kembali.

Di balik semua itu, ada masalah yang lebih dalam, kita terlalu santai menghadapi masa depan. Tidak ada rasa cemas eksistensial seperti yang dirasakan bangsa-bangsa yang sedang bangkit. Tidak ada sense of urgency untuk berlari. Kita hidup dalam keyakinan palsu bahwa masa depan akan datang dengan sendirinya, bahwa kemajuan adalah takdir, bukan kerja keras.

Kita semua tahu bahwa sejarah menunjukkan hal sebaliknya. Bangsa yang besar lahir bukan dari kenyamanan, tapi dari kegelisahan. Dari kecemasan akan tertinggal, dari kesadaran bahwa waktu tidak menunggu. Sementara di sini, kita masih percaya bahwa asal mengikuti kurikulum, masa depan akan beres. Kita belajar tanpa berpikir, kuliah tanpa bertanya, bekerja tanpa mencipta, dan membangun peradaban tanpa arah.

Pada akhirnya pendidikan, bukan soal sistem atau kurikulum, melainkan soal keberanian. Keberanian untuk tidak tahu. Keberanian untuk bertanya. Keberanian untuk mencari kebenaran meski hasilnya tidak populer. Tapi barangkali keberanian itulah yang paling dulu hilang dari ruang-ruang kelas kita.

Berkali-kali, saya selalu ingat kalimat ini, bahwa bangsa ini tidak akan jatuh karena kekurangan teknologi. Ia akan jatuh ketika berhenti berpikir.

Barangkali, mata kita saat ini benar-benar tak dapat lagi melihat bintang, bukan karena langitnya gelap, tapi karena kita telah berhenti mendongak.

SendTweetShare
Previous Post

Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren

Next Post

Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Kita Mulai dari Hati yang Selesai
Esensia

Kita Mulai dari Hati yang Selesai

November 4, 2025
Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai
Esensia

Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai

November 3, 2025
Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan
Esensia

Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan

November 1, 2025
Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren
Esensia

Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren

October 30, 2025
Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan
Esensia

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

October 27, 2025
Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu
Esensia

Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

October 23, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta