Di tahun 2015-an, Cak Nun pada beberapa kesempatan menyampaikan, “sepuluh tahun lagi negara-negara di Amerika dan Eropa akan turun kelas menjadi negara dunia ke-dua sedangkan negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia akan menjadi negara dunia pertama, First World Country.” Sepertinya awal tahun 2025 ini bakal menjadi awal terbuktinya apa yang telah beliau sampaikan. Hanya saja beliau juga menyampaikan bahwa pada saat Indonesia menjadi negara dunia ke-satu, Indonesia itu bukan milik kalian.
Padahal, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat.”, begitulah bunyi Pasal 33 Ayat 3 Undang-udang Dasar 1945. Ayat konstitusi ini adalah doa sekaligus deklarasi bahwa siapa pun yang menjabat dalam pemerintahan negara wajib mendahulukan kepentingan rakyat. Setiap 5 tahun pergantian kekuasaan negara bertujuan mendistribusikan rahmat Tuhan berupa kekayaan alam supaya rakyat menjadi makmur merata hingga generasi penerus. Tetapi, apa yang terjadi jika satu periode pemerintahan korup dan justru menguras sumber daya alam, maka akan mewariskan beban kepada pemerintahan berikutnya dan kemakmuran rakyat akan semakin sulit terwujud.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar,” serta dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan Pancasila. Artinya setiap pemerintahan merupakan hasil dari pemilihan umum yang merepresentasikan suara rakyat. Di sinilah kita menemukan salah satu paradoks terbesar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: Vox Populi, Vox Dei -suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebuah ungkapan yang sering digaungkan, tetapi apakah maknanya benar-benar kita pahami? Bukankah Tuhan Maha Sempurna, sementara rakyat sering kali terbawa oleh emosi, hasrat, bahkan manipulasi? Bagaimana suara yang rapuh dan mudah dipengaruhi ini bisa dianggap sebagai suara Tuhan yang mutlak?
Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia memiliki sejarah yang menarik sekaligus paradoksal. Bagaimana tidak, negeri ini dulunya terdiri dari banyak kerajaan, lalu konon dijajah Belanda yang juga memiliki sistem kerajaan, dilanjutkan dengan pendudukan Jepang yang memiliki sistem kekaisaran. Namun saat Indonesia merdeka, tiba-tiba menjadi negara dengan sistem demokrasi. Transformasi ini seperti sebuah lompatan besar yang meninggalkan banyak pertanyaan. Kenapa harus demokrasi? Bagaimana embrio demokrasi berkembang? Kenapa tidak mengadopsi sistem kerajaan sebagaimana DNA Nusantara pada masa lalu?
Saat seorang pemimpin yang penuh kontradiksi maju dengan dalih demi kesejahteraan sosial tetapi tindakannya berlawanan, maka dia menargetkan para “resi”(para elit) untuk di “manufacturing consent”, Consent yang dimaksud adalah consent of the governed (persetujuan rakyat) melalui survey, narasi dan filtering di media. Narasi yang independen dan berseberangan, akan di framing sebagai “ancaman” nasional. Para “resi” ini menurut Noam Chomsky hanya sekitar 20%, karena yang 80% nya adalah follower, yang tidak berpikir panjang dan mendalam.
Kita lihat bagaimana kasus perampokan lahan di Tanah Air menjadi hilang dan tidak relevan karena distorsi dan pengalihan pada berita yang lebih sensasional. Dan follower akan mengikuti distorsi dan pengalihan itu. Bagaimana korporasi, perorangan, dari negeri orang lain, dan dari dalam negeri bebas mengeksploitasi alam untuk kepentingan mereka sendiri, tanpa dikenakan konsekuensi atas perbuatan itu, dengan cara membuat atau mengubah undang-undang dan aturan baru yang dianggap genting, dengan dalih untuk semua, padahal untuk mereka sendiri. Kita menyaksikan bagaimana circle ini saling menopang untuk mempertahankan status quo agar “keberuntungannya” terjamin sampai anak cucu, sambil menindas orang lain. Cita-cita sang tertindas pun hanya jadi sederhana: bagaiman suatu saat dia menjadi elit, dan mengeksploitasi orang dan alam untuk kepentingan diri dan circle-nya sendiri.
Demokrasi yang ideal tidak selalu beriringan dengan kenyataan. Dalam tulisan Cak Nun yang berjudul “Cacat Demokrasi”, Cak Nun menyampaikan tiga poin utama yang menjadi kekurangan dalam implementasi demokrasi di Indonesia. Pertama, demokrasi dijalankan tanpa perundingan dengan Tuhan, seolah-olah manusia sepenuhnya memegang kendali tanpa landasan nilai-nilai ilahi. Kedua, demokrasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan makhluk lain di bumi—tumbuhan, hewan, bahkan ekosistem yang juga memiliki hak atas kehidupan. Ketiga, rakyat sering kali tidak benar-benar berdaulat. Pemilihan Presiden lebih menjadi permainan elit, dengan rakyat yang hanya disodori pilihan terbatas.
Lebih jauh, demokrasi telah terdistorsi oleh politik transaksional. Seperti yang diungkapkan Yai Tohar dalam buku “Demokrasi Para Perampok” yang baru dirilis; pemilu saat ini seperti halnya transaksi jual-beli di pasar, dengan massa mengambang yang terpesona oleh janji manis dan pencitraan kosong. Penguasa memanfaatkan media sosial sebagai alat manipulasi, mengontrol narasi publik dengan retorika emosional. Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, justru diperalat untuk melemahkan oposisi dan mengukuhkan kekuasaan.
Demokrasi yang ideal memang bagaikan mimpi panjang. Namun, setiap langkah menuju kesadaran kolektif tentang demokrasi ideal adalah perjuangan untuk mendekatkannya pada kenyataan. Kita harus mengingat bahwa demokrasi sejati bukan sekadar suara mayoritas, melainkan tanggung jawab moral yang meliputi keadilan, keberlanjutan, dan kesadaran akan nilai-nilai ketuhanan. Di tengah dinamika politik yang kerap mengecewakan, bangsa ini tetap memiliki peluang untuk membangun demokrasi yang memakmurkan semua makhluk.
Dalam realitas penuh paradoks ini, solusi cepat mungkin mustahil. Namun, perubahan tetap dapat dimulai dari langkah kecil: meningkatkan literasi politik dan kesadaran memilih. Masyarakat perlu memahami bahwa suara mereka adalah wujud kedaulatan, bukan barang dagangan. Obrolan ringan di warung kopi dan percakapan di media sosial dapat menjadi medium edukasi politik yang efektif. Termasuk juga edukasi politik yang telah kita lakukan dalam forum-forum Maiyah seperti Kenduri Cinta. Kenduri Cinta Januari 2025 menjadi kesempatan untuk meresapi perjalanan bangsa dan menggali kebijaksanaan dari berbagai paradoks di tanah air.