Di setiap Bulan Ramadhan, media massa dan media sosial cukup disaturasi oleh berbagai tema yang dimaksudkan untuk menghidupkan bulan suci Ramadhan. Tema-tema favorit umumnya berkisar di seputar tema taqwa, keutamaan puasa, Lailatul Qodar, takjil (atau bahkan war takjil), tarawih, witir, sahur, zakat fitrah, dan ujungnya adalah Idul Fitri dan Halal Bihalal. Semuanya tentu baik, dan memang lumrahnya demikian. Lalu, mengapa Kenduri Cinta edisi khusus bulan Ramadhan 1446 H ini justru mencoba menggali khazanah, tema, dan sudut pandang lain, yaitu puisi? Apa relevansinya dengan puasa?
Mari kita lihat. Secara etimologis puisi berasal dari Latin poema atau bahasa Yunani poites yang kemudian diadopsi menjadi bahasa inggris poem yang bermakna create atau mencipta, membuat, membentuk. Sementara kata puasa sebenarnya mengadopsi bahasa Sansekerta upavasa, dari Upa yang berarti ‘dekat’ dan Vasa (atau Wasa) yang berarti ‘Yang Maha Agung’ (laku atau upaya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung). Padahal, dalam bahasa Arab, puasa merujuk pada kata shaum atau shiam yang artinya ‘menahan’. Di sinilah letak keunikan pemaknaan puasa di bumi Nusantara. Masyarakat Nusantara ternyata lebih memilih ekstraksi esensi dari shaum yang memang dimaksudkan sebagai upavasa atau upawasa, sebagai hakikat maqoshid di balik pensyari’atan shaum, yang di tingkat manifestasi ragawi artinya menahan diri.
Bukankah ini adalah bentuk pendekatan yang cerdas, merangkum semua periodisasi Wahyu yang sama-sama sepuh namun berlainan audiens antropo-geografis, ke dalam manunggaling maknawi tanpa mencederai baik dari sisi syari’at maupun sisi kearifan purwa setempat? Memang demikianlah mandat Insani, sebagai Wakil Tuhan di satu sisi, dan di saat yang sama sebagai Hamba-Nya. Ia punya kuasa untuk memaknai, tapi tak boleh keluar dari Maksud-Nya. Oleh karenanya, semua upaya karya manusia dalam bentuk apapun, hendaknya bukan untuk memenuhi hasrat puas, tetapi justru laku puasa. Artinya, menata hidup agar semua dimensi dan elemen pembentuknya selaras dengan bait-bait-Nya. Jadi seindah puisi.
Bicara perihal Puisi, bukankah Gusti Allah menantang para Penyair untuk menciptakan mahakarya yang semisal dengan keindahan Kalam-Nya?
Perihal ini, Markesot teringat bahwa Kyai Sudrun pernah ngendhiko, “Adakah yang lebih berharga dari Al-Qur’an? Berangkat dari titik itu, maka adakah yang lebih berharga dari segala sesuatu yang terkait tentangnya?”. Kitab itu memang tiada duanya. Ia aslinya bukan berupa kertas dan tinta. Bukan kitab ramalan, tapi wartanya tak pernah meleset. Ia bukan kitab sains dan iptek, namun seluruh perjalanan ilmu peradaban manusia tak ada yang keluar dari (atau melampaui) kedalaman ayat-ayatnya. Ia juga bukan kitab sastra, tapi tiada karya sastra yang sanggup menandingi keindahannya.
Betapa tidak? Hidup ini sendiri sejatinya bagaikan Al Qur’an dalam bentuk qauniy yang sangat nyastra dan nyeni dalam rima-nya. Bahkan, kehidupan di mayapada yang fana ini sebenarnya hanyalah bait pertengahan dalam Seloka ini. Bait awalnya adalah Bait Alam Rahim, kemudian Bait Alam Dunia, lanjut dengan Bait Alam Barzakh, hingga Bait Alam Akhirat, Khaalidiina fiihaa abadaa. Tentu saja, bait demi bait itu haruslah mengalun dan muisi alias ber-rima dengan puitis, selaras, gayeng, adem, selamet. Kalau ada bait yang tidak rima, itulah yang namanya dhalal alias tergelincir alias kepleset alias tersesat. Biasanya ini terjadi di Bait Alam Dunia. Di titik itulah, Markesot terkejut sendiri, ketika mak bedundhuk menyadari bahwa Puisi ini ternyata hanya bisa sempurna kalau dilakoni dengan Puasa.
“Lhoo…apa hubungannya?”, tanya Markembul yang sejak tadi ngos-ngosan mengikuti penuturan sahabatnya. Markesot terkekeh sambil melanjutkan dengan kutipan dari Kyai Sudrun, “lha iya wong Al-Qur’an ini petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Dan supaya bertaqwa, pendadaran-nya rak Puasa tho? La’allakum tattaquun. Agar kalian sanggup Laku Taqwa. Padahal Gusti Allah juga berfirman, yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling taqwa. Inna akramakum ‘indallaahi atqaakum.” Jadi Ramadhan itu sejatinya bagaikan kawah Chandradimuka, untuk membentuk mentalitas Puasa. Adapun mentalitas Puasa itu sendiri (semestinya) dihayati dan berlaku seumur hidup, agar menjadi (setidaknya mendekati) Sang Insan yang Paling Taqwa itu.
“Sampeyan ngerti siapa sosok itu mBul?”, tukas Markesot.
Markesot kembali terkekeh melihat Markembul gelagapan di tengah seruputan kopi nasgitel-nya, tak tahu harus menjawab apa. Markesot lalu berujar, ya aku dulu kayak kamu itu mBul, tapi Kyai Sudrun memberikan jawaban, ya siapa lagi kalau bukan Kanjeng Nabi Muhammad?” Bukankah Sang Muhammad standar par excellence dalam segala perkara dunia akhirat? Tentu saja. Dalam Kenabian Pamungkas beliau-lah seluruh pusaka perbendaharaan ‘Arasy berhimpun. Termasuk Pusaka Puasa.
Markesot pun melanjutkan, “Jadi biar Puisinya apik, ya harus ber-rima. Dan rima itu adalah Puasa. Alias, Puisi Puasa, karena Puisi itu harus berirama atau cadence, tidak sumbang alias decadence. Di sinilah terpantul kedalaman makna batin dari Syariat Puasa yang sejatinya tidak hanya sehari, sepekan, atau sebulan, atau bahkan setahun. Hidup itu sendiri adalah Puasa, dengan rima yang konstan sebagaimana ditunaikan oleh Nabi Daud AS, yang langgam irama Puasanya menunjukkan hakikat hidup itu sendiri. Sehari menahan, sehari membuka, sepanjang hidup. Seumur hidup.
Irama itu laksana olah batin nafi tatkala jasad menarik nafas, lalu menahannya sebagai puncak persaksian akan Ketunggalan-Nya sebagai Dzat yang Maha Menghidupkan sekaligus Maha Mematikan, dilanjutkan olah batin isbath tatkala jasad menghembuskannya, tanpa henti. Laksana binary code “1” dan “0”, “0”dan “1”. Gerak dan Henti, untuk menemukan-Nya di antara kedua hakikat dasar hidup itu, agar bisa bersaksi dan mengenali-Nya secara intim dan dekat, bukan lagi sebatas percaya tentang-Nya.
“Kutiba ‘alaikumus shiyaam, kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum…”. Telah ditetapkan atas kamu sekalian kewajiban Puasa, sebagaimana telah diwajibkan (pula) atas kaum-kaum sebelum kalian… Agar apa? La’allakum Tattaquun. Agar kalian digdaya untuk Laku Taqwa. Agar menjadi (atau setidaknya upaya mendekati) maqam Par Excellence “Sang Muhammad” tadi.
“Artinya, Puasa adalah Rahasia Agung yang sudah disyariatkan-Nya atas ummat-ummat terdahulu mBul, untuk dilakoni ummat ini, kersanipun Gusti Allah. Kalau tidak percaya, lihat saja jejak sosio-antropologis berupa pranata Tapa-Brata, Nyepi, puasa mutih dan berbagai bentuk pengekangan diri dan hawa nafsu di berbagai ingatan manusia tentang agama, untuk mencari jalan kembali ke Sangkan Paran ing Dumadi. Puasa ini agar kita se-Puisi, se-rima, se-irama, dengan bait-bait langit, termasuk dengan bait-bait kidung pujian kudus yang digemakan tanpa henti oleh para malaikat penghuni Bait Al Ma’mur. Artinya, Puasa sekaligus juga magang jadi Acting Malaikat, mBul. Makanya orang puasa itu setidaknya siang hari kayak Malaikat. Tidak makan, tidak minum, dan tidak berkata-kata kecuali pujian-pujian kepada-Nya”, tambahnya. “Dulu Azazil dari Banu Jan sempat sukses jumeneng minangka Malaikat untuk sesaat, tapi lalu gagal total. Sekarang giliran Kanjeng Nabi Adam dan para putranya untuk menempati lowongan yang kosong karena ditinggalkan oleh Si Harits yang terpental menjadi Sang Iblis itu.”
Bagi insan-insan yang hidup di Nusantara, sebagai tempat bertemu dan meleburnya dua tradisi dari cicit Kanjeng Nabi Adam, yakni Sayyid Anwar bin Seth dan Sayyid Anwas bin Seth, syariat puasa dalam kenabian pamungkas ini memberikan kerangka final yang paripurna terhadap sejarah panjang para resi dan begawan yang sangat ampuh dan linuwih dalam mengekang diri mereka sendiri. Sebuah tradisi laku tapa yang mengakar ribuan tahun lamanya, dan dikonfirmasi oleh Sang Nabi Pamungkas, sebagai peperangan terbesar, melawan diri sendiri.
Bahkan bagi mereka, mayapada ini sendiri alias dunia fana ini adalah puasa itu sendiri, dan baru akan berbuka ketika menjadi tetamu abadi dari Sang Maha Kuasa nan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bagi mereka, kehidupan mayapada ini bagaikan seloka surgawi yang dari pangkur hingga kinanti adalah waskita megatruh. Jika megat ruh sudah dipahami, maka hidup dan segala ujiannya dapat dijemput dengan tenang, sabar, lilo dan nrimo. Alias tidak sumbang nadanya, tetap muisi agar muasa. Puasa sekaliber inilah yang dikukuhkan dalam Kenabian Pamungkas Sayyidil Wujud, Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam. Pasukan Ahlu Badr-lah yang menjadi saksi sekaligus syahid-Nya.
“Barangkali ini mBul yang membuat para Waliyullah dan para murid mereka dari satria pinandhita memiliki kesabaran diatas Madyantara, dan tak bergeming didera arus zaman di era Mayantara yang mengombang-ambingkan manusia bagaikan buih di lautan dalam berbagai gegeran episodenya. Mereka tetap kukuh, teguh, sabar, istiqomah, dari satu bait ke bait zaman berikutnya tanpa goyah, karena hidup mereka bagaikan puisi, dan puisi mereka adalah puasa.”
Puasa zamani ini yang membekali insan nusantara dengan linuwih berupa penguasaan handal akan diri sendiri, sehingga terbitlah kecerdasan batin untuk tahu kapan “0” dan kapan “1”, kapan ngegas kapan ngerem, melalui Ilmu Puisi Hidup Bernama Puasa yang mengajarkan kepada mereka seni kesabaran strategis alias strategic patience untuk menanggung luka, duka dan nestapa dalam perjalanan menuju pintu gerbang Merdeka sejati.