Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Kita Mulai dari Hati yang Selesai

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti by Chudzaifi Alawil Haddaddegusti
November 4, 2025
in Esensia
Reading Time: 7 mins read
Kita Mulai dari Hati yang Selesai

DI BALIK berbagai krisis sosial yang kita hadapi, dari ketidakadilan hingga intoleransi, terdapat akar yang sering kali terabaikan: kondisi batin yang belum menemukan kedamaian. Banyak dari kita masih hidup dalam cengkeraman hasrat yang tak kunjung puas: ingin diakui, ingin menang, ingin menguasai, atau ingin membuktikan bahwa diri dan kelompok kita “lebih benar” daripada yang lain. Ketika batin dikuasai oleh kekacauan semacam ini, ia menjadi rapuh, mudah tersinggung, defensif terhadap perbedaan, dan terus-menerus merasa kurang. Dalam tradisi Maiyah, kondisi ini disebut “hati yang belum selesai”: sebuah keadaan di mana seseorang belum lepas dari narasi egosentris yang menjadikan dunia sebagai panggung untuk membuktikan eksistensi diri, bukan sebagai ruang untuk saling menguatkan. Dari batin yang lemah inilah tumbuh berbagai bentuk kerusakan sosial—termasuk dua wajah paling nyata di Indonesia hari ini: korupsi dan intoleransi.

Sebaliknya, “hati yang selesai” sebagaimana didefinisikan oleh Cak Nun sebagai kondisi batin yang damai dan tidak lagi didorong oleh kekacauan keinginan yang tak berujung—menawarkan fondasi etis alternatif yang mampu mengatasi krisis sosial di Indonesia. Ia adalah wujud kematangan batin yang memungkinkan seseorang memiliki hubungan yang utuh dengan diri sendiri, sesama, dan kekuasaan, terlepas dari dorongan untuk menang, diakui, atau membuktikan diri. Dalam keadaan ini, integritas muncul dari ketenangan yang membebaskan. Sebuah ruang yang subur bagi tumbuhnya keadilan dan empati tanpa syarat, bukan dari ketaatan yang dipaksakan oleh tekanan normatif.

Konsep “hati yang selesai” menemukan resonansinya dalam psikologi kontemporer, khususnya melalui kerangka self-compassion yang dikembangkan oleh Kristin Neff (2003). Kerangka ini mencakup tiga pilar: self-kindness (berbaik hati kepada diri sendiri saat gagal), mindfulness (mengamati emosi tanpa larut di dalamnya), dan common humanity (menyadari bahwa penderitaan dan kekurangan adalah bagian universal dari pengalaman manusia). Ketiganya tidak hanya mendukung kesehatan mental individu, tetapi juga secara langsung menyelesaikan akar psikologis dari krisis sosial di Indonesia.

Korupsi, misalnya, sering kali bukan hanya disebabkan oleh kerakusan, melainkan manifestasi dari rasa kekurangan eksistens berupa perasaan diri yang tidak cukup, tidak dihargai, atau tidak aman secara sosial-ekonomi. Banyak kasus korupsi terjadi bukan karena memperkaya diri semata, melainkan untuk “membuktikan” bahwa mereka layak secara finansial atau melindungi gengsi. Dalam perspektif self-compassion, seseorang yang mampu bersikap lembut terhadap kegagalannya tidak perlu lagi mencari validasi melalui akumulasi materi, apalagi yang sifatnya ilegal. Ia memahami bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh kekayaan atau jabatan, tapi oleh integritas dalam menjalani proses hidup. Temuan Breines dan Chen (2012) memperkuat pandangan ini: individu dengan tingkat self-compassion yang tinggi cenderung lebih jujur dan terbuka dalam mengakui kesalahan diri. Sikap yang secara mendasar bertentangan dengan logika korupsi.

Di sisi lain, intoleransi baik berbasis agama, etnis, maupun ideologi,kerap berakar pada ancaman terhadap identitas kolektif. Psikologi sosial menyebut fenomena ini sebagai threatened egotism: ketika harga diri seseorang sangat bergantung pada kelompoknya, maka perbedaan atau kritik mudah dianggap sebagai serangan pribadi. Di sinilah peran common humanity menjadi krusial. Ketika seseorang menyadari bahwa semua manusia—termasuk mereka yang dianggap “musuh” ideologis—sama-sama rentan, sama-sama mencari makna, dan sama-sama bisa salah, ia cenderung merespons perbedaan dengan rasa ingin tahu, bukan kemarahan atau kebencian. Penelitian Wayment dkk. (2016) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat self-compassion seseorang, semakin rendah prasangka yang ia miliki terhadap kelompok lain. Dengan demikian, self-compassion tidak hanya menyembuhkan luka batin individu, tetapi juga menjadi fondasi bagi kehidupan sosial yang lebih terbuka dan adil.

Dalam perspektif Maiyah, transformasi menuju hati yang selesai diungkapkan melalui konsep “melepaskan diri dari skenario individual yang sempit”. Hati yang belum selesai terjebak dalam narasi egosentris: “Aku harus menang. Aku harus benar. Aku harus diakui.” Sebaliknya, hati yang selesai telah melampaui kebutuhan akan validasi diri. Di sinilah kekuasaan melampaui fungsinya sebagai alat untuk membuktikan diri. Kekuasaan kembali pada fitrahnya sebagai amanah yang dipertanggungjawabkan kepada prinsip keadilan yang transenden.

Namun, penting untuk tidak menganggap bahwa pencapaian batin ini secara otomatis menghasilkan perilaku etis dalam sistem yang korup. Seorang pejabat bisa merasa “damai” secara batin, tetapi tetap terlibat dalam praktik korupsi jika sistem tidak memberikan ruang untuk jujur atau justru menghukum integritas. Oleh karena itu, “hati yang selesai” hanya menjadi fondasi etis yang efektif jika didukung oleh ekosistem institusional yang menghargai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan prosedural. Tanpa itu, kedamaian batin berisiko menjadi bentuk adaptasi pasif terhadap ketidakadilan, bukan sumber keberanian moral.

Perubahan ini tidak terjadi secara otomatis, melainkan melalui latihan yang konsisten. Salah satunya adalah topo ngrame—“bertapa di tengah keramaian”—yaitu kemampuan untuk tetap hadir secara utuh di tengah tekanan publik, godaan kekuasaan, atau godaan popularitas. Dalam praktiknya, ini berarti menahan dorongan reaktif ketika dikritik, tidak buru-buru membela diri, dan tidak menggunakan jabatan untuk membalas dendam atau mencari pujian. Latihan seperti ini—yang dalam psikologi kontemporer disebut mindfulness—tidak hanya menenangkan pikiran, tetapi juga membongkar keterikatan pada citra diri. Ketika seseorang tidak lagi takut kehilangan muka, ia bebas untuk mengakui kesalahan, mendengarkan yang berbeda, dan mengutamakan kepentingan bersama.

Dari kematangan batin inilah lahir orientasi baru. Dari akumulasi menuju pelayanan. Ia tampak dalam tindakan nyata seperti “mengakhiratkan harta”—mengalihkan kekayaan dari proyek pencitraan diri ke penguatan jaringan sosial, misalnya dengan mendanai kegiatan sosial yang lebih bermanfaat. Ia juga terlihat ketika pejabat mengakui kegagalan kebijakan tanpa merasa harga dirinya runtuh, lalu memperbaikinya secara transparan tanpa mencari kambing hitam. Di sini, topo ngrame bukan sekadar disiplin spiritual, tapi prasyarat etis bagi kepemimpinan yang rendah hati dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, “hati yang selesai” adalah komitmen aktif untuk menempatkan tanggung jawab kolektif di atas kepentingan pribadi. Ia adalah fondasi etis yang sangat relevan bagi kepemimpinan publik di tengah krisis kepercayaan saat ini karena ia memungkinkan manusia bertindak dengan integritas, bahkan dalam ketidaksempurnaan.

Alih-alih menunggu perubahan sistem yang cenderung lambat, setiap individu dapat mulai mempraktikkan prinsip “hati yang selesai” dalam lingkup kehidupannya sendiri—sebagai fondasi mikro bagi transformasi sosial yang lebih luas. Bagi pegawai negeri atau pejabat publik, ini bisa dimulai dengan menanyakan: “Apakah saya hari ini bertindak demi pelayanan, atau demi citra diri?” Latihan sederhana ini melatih mindfulness dan self-kindness sekaligus, mengurangi dorongan untuk koruptif atau menutupi kegagalan dengan kebohongan atau sikap defensif.

Bagi masyarakat umum, langkah konkret bisa berupa komitmen untuk tidak ikut menyebarkan konten provokatif di media sosial. Sebelum membagikan sebuah post, tanyakan: “Apakah post ini benar-benar bermanfaat, atau hanya memperkuat rasa superioritasku atau kelompokku?” Praktik ini melatih common humanity dalam kehidupan digital—ruang di mana intoleransi sering kali berkembang biak tanpa akuntabilitas.

Di tempat kerja, siapa pun dapat menciptakan ruang aman untuk kejujuran. Misalnya, saat rapat, alih-alih diam ketika melihat kesalahan atasan, seseorang bisa berkata: “Saya punya pandangan berbeda, boleh saya sampaikan?” dengan nada yang menghargai, bukan menantang. Ini adalah bentuk keberanian moral sehari-hari yang membangun psychological safety dari bawah, bukan menunggu kebijakan resmi.

Bagi yang terlibat dalam komunitas, menginisiasi pertemuan-pertemuan untuk saling mendengar tanpa narasi menang-kalah adalah langkah nyata. Tidak perlu skala besar: cukup empat hingga lima orang, duduk di warung kopi, berbagi pengalaman hidup tanpa memberi nasihat atau menghakimi. Dalam keheningan yang diisi oleh kehadiran penuh, rasa empati kolektif tumbuh secara organik.

Langkah-langkah semacam ini tidak menggantikan reformasi struktural, tetapi menciptakan ekosistem moral mikro yang membuat korupsi dan intoleransi menjadi tidak nyaman, bukan karena takut hukuman, tetapi karena tidak lagi selaras dengan cara kita memandang diri dan sesama. Ketika cukup banyak individu memilih untuk “selesai” dengan egonya dalam tindakan sehari-hari, fondasi bagi kebijakan publik yang adil dan manusiawi pun perlahan terbangun—dari bawah, dari dalam, dan dari sekarang.

Namun, penting dipahami bahwa dampak transformasi individu ini hanya akan terasa secara luas jika praktik-praktik ini dikolektifikasi dan diinstitusionalisasi. Misalnya, kejujuran seorang ASN akan sia-sia jika tidak didukung oleh sistem pelaporan yang aman dan mekanisme perlindungan pelapor. Dengan demikian, aksi mikro harus dikaitkan dengan upaya kolektif untuk mendorong kebijakan yang memperkuat ruang bagi integritas—bukan hanya mengandalkan ketangguhan moral individu dalam sistem yang justru menghukumnya.

Lebih jauh, penting untuk menjaga kemurnian makna “hati yang selesai” dari distorsi politis. Dalam rezim otoritarian, narasi spiritual seperti “pasrah” atau “lepaskan hasrat” sering disalahgunakan untuk membungkam kritik: “Jangan protes, urus hatimu dulu.” Padahal, ketenangan batin harusnya justru melahirkan keberanian moral seperti yang ditunjukkan Cak Nun, yang konsisten mengkritik kekuasaan bukan dari ambisi politik, melainkan dari kedalaman spiritual yang membebaskan. “Hati yang selesai” bukan berarti diam; ia justru memberi kejernihan untuk bertindak tepat, bahkan saat tindakan itu tidak populer atau berisiko.

Inilah mengapa perubahan batin dan keadilan struktural harus berjalan beriringan. Sistem yang adil memberi ruang bagi orang untuk tumbuh secara batin, sementara orang yang telah “selesai” dengan egonya justru menjadi penjaga agar sistem itu tetap jujur dan tidak disalahgunakan. Jika hanya mengandalkan spiritualitas tanpa perubahan struktural, kita berisiko menjadikannya pelarian dari tanggung jawab sosial. Sebaliknya, jika reformasi sistem tidak diiringi kematangan batin pelakunya, perubahan itu mudah dikembalikan ke jalur lama—dikuasai oleh ambisi pribadi yang sama.

Maka, penyembuhan atas luka batin kolektif—yang melahirkan korupsi sebagai kompensasi atas rasa “tidak cukup” dan intoleransi sebagai pertahanan identitas kelompok—tidak cukup berhenti pada refleksi pribadi. Ia perlu diinstitusionalisasi: melalui pendidikan karakter yang mengajarkan self-compassion, kepemimpinan yang akrab dengan topo ngrame, dan kebijakan publik yang menghargai martabat psikologis warga negara, bukan hanya produktivitasnya.

Indonesia memang membutuhkan jalan tol, pelabuhan, dan infrastruktur fisik lainnya. Tapi lebih mendesak lagi, ia membutuhkan infrastruktur batin: jaringan nilai, praktik harian, dan ruang publik yang memungkinkan jutaan hati “selesai” dengan egonya.

Bukan untuk mundur dari dunia, melainkan untuk hadir di dalamnya dengan integritas, empati, dan keberanian. Kemerdekaan sejati bukan hanya ketika kita lepas dari penjajah asing, tapi ketika kita lepas dari tirani hasrat dalam diri sendiri. Dari kumpulan hati-hati yang merdeka itulah, bangsa ini akan benar-benar berdiri tegak. Bukan karena gemerlap pembangunannya, tapi karena hati semua orang sudah selesai.

SendTweetShare
Previous Post

Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai

Next Post

Mukadimah: Fragmen Kesadaran

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Kadang mikir terlalu dalam buat hal-hal sepele. Siang ngurus proyek dan data, malam nyambungin yang nggak nyambung. Percaya kalau logika dan rasa itu sebenarnya sahabatan, cuma sering salah paham aja.

Related Posts

Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai
Esensia

Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai

November 3, 2025
Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan
Esensia

Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan

November 1, 2025
Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita
Esensia

Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita

October 31, 2025
Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren
Esensia

Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren

October 30, 2025
Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan
Esensia

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

October 27, 2025
Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu
Esensia

Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

October 23, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta