Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren

Ibrayoga Rizki Perdana by Ibrayoga Rizki Perdana
October 30, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Kiai, Karisma, dan Krisis Kepercayaan: Menata Ulang Marwah Pesantren

PESANTREN adalah warisan agung Islam Nusantara. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi ruang spiritual yang membentuk karakter, membangun kesadaran sosial, dan melahirkan pemimpin bangsa. Dari Resolusi Jihad Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari hingga kiprah Gus Dur dan KH. Ma’ruf Amin, pesantren telah membuktikan diri sebagai benteng moral sekaligus aktor politik yang berpengaruh. Namun, di tengah pujian itu, kita harus berani melihat kenyataan bahwa marwah pesantren sedang diuji. Bukan oleh musuh luar, tetapi oleh kelalaian internal yang dibiarkan berlarut-larut.

Dua peristiwa yang terjadi berdekatan menjadi titik balik refleksi: tragedi robohnya bangunan Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo dan polemik tayangan Trans7 tentang gaya hidup kiai. Bangunan yang ambruk tanpa IMB dan pengawasan teknis bukan sekadar musibah, melainkan manifestasi dari kegagalan tata kelola. Sementara narasi “cukup pakai paku doa” yang viral di media sosial menjadi simbol pahit dari pengabaian terhadap akal sehat atas nama spiritualitas. Nyawa santri yang melayang bukan akibat takdir semata, melainkan kelalaian yang sistemik. Dan itu menyakitkan.

Belum reda luka itu, muncul polemik lain: tayangan investigasi yang mempertanyakan kekayaan kiai. Tradisi ta’dzim seperti mencium tangan dan memberi amplop adalah warisan luhur. Tapi ketika tradisi itu bersanding dengan mobil mewah, rumah megah, dan dominasi keluarga dalam pengelolaan yayasan, publik mulai bertanya, apakah ini masih pesantren, atau sudah menjadi dinasti?

Yang lebih mengkhawatirkan, kasus-kasus pelecehan seksual di lingkungan pesantren terus bermunculan. Lembaga yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang santri justru menjadi tempat terjadinya kekerasan yang sistemik dan tertutup. Banyak kasus yang ditutupi, dibungkam, atau bahkan dibenarkan atas nama menjaga nama baik. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap amanah spiritual. Ketika ruang suci berubah menjadi ruang trauma, maka pesantren kehilangan jiwanya.

Kita tidak bisa terus berlindung di balik dalih tradisi. Tradisi bukan tameng untuk menolak perubahan. Justru, tradisi yang hidup adalah tradisi yang mampu beradaptasi. Dalam tradisi politik Islam, kiai adalah figur sentral. Ia dihormati karena keilmuannya, disegani karena karismanya. Tapi dalam teori Max Weber, otoritas karismatik hanya bisa bertahan jika mengalami proses institusionalisasi, yakni transformasi menjadi sistem yang rasional dan legal. Tanpa itu, karisma berubah menjadi dominasi personal yang tak terkontrol.

Banyak pesantren masih dikelola secara sentralistik oleh figur tunggal, tanpa dewan pengawas, tanpa laporan keuangan terbuka, tanpa partisipasi santri atau alumni. Ini bukan lagi lembaga pendidikan, tapi kerajaan kecil. Filsuf Islam klasik seperti Al-Farabi menekankan bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang mampu membangun struktur sosial yang adil dan rasional. Kiai sebagai pemimpin spiritual harus mampu menata lembaga dengan prinsip keadilan, bukan semata mengandalkan kharisma.

Al-Ghazali pun mengingatkan bahwa kerusakan umat sering kali bermula dari ulama yang mencintai dunia. Ketika kekuasaan dan kekayaan menjadi tujuan, maka ilmu berubah menjadi alat, bukan cahaya. Kritik terhadap gaya hidup mewah sebagian kiai harus dilihat dalam kerangka ini: bukan soal iri, tetapi soal menjaga kemurnian niat dan amanah.

Dalam konteks politik Islam kontemporer, Asef Bayat memperkenalkan konsep post-Islamism, yakni integrasi antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi, serta tata kelola modern. Pesantren, jika ingin tetap relevan, harus berani masuk ke wilayah ini. Ia harus menjadi lembaga Islam yang tidak hanya bermoral, tetapi juga akuntabel. Pemikiran Nurcholish Madjid juga mengingatkan kita bahwa lembaga keagamaan harus menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan. Ketika pesantren terlalu dekat dengan episentrum politik, maka ia berisiko kehilangan independensi moralnya.

Kita juga perlu melihat dimensi kelembagaan pesantren dari perspektif sosiologi institusional. Dalam teori institutional isomorphism, lembaga yang ingin bertahan dalam ekosistem modern harus menyesuaikan diri dengan standar kelembagaan yang berlaku. Ketika pesantren menerima dana publik, hibah negara, dan donasi umat, maka ia masuk ke dalam orbit regulasi. Tapi jika pengelolaannya tetap berbasis pada loyalitas personal dan struktur keluarga, maka yang terjadi adalah feodalisasi lembaga keagamaan. Ini bukan hanya masalah teknis, tapi masalah etika publik.

Di tengah semua ini, kita perlu mengingat satu hal mendasar bahwa kiai yang alim bukanlah yang sekadar tunduk pada nasib, tetapi yang memikul tanggung jawab atas setiap kejadian. Ia tidak bersembunyi di balik takdir, tetapi hadir di depan umat sebagai penjaga amanah. Ia tidak hanya mengajarkan sabar, tetapi juga berani mengakui kesalahan dan memperbaiki sistem. Inilah bentuk kealiman yang relevan di era keterbukaan.

Reformasi pesantren bukanlah upaya meruntuhkan marwah, melainkan menyelamatkannya. Kita perlu pemisahan aset pribadi dan aset yayasan. Kita perlu audit keuangan dan pelaporan publik. Kita perlu sistem perlindungan santri yang serius, dengan SOP penanganan kekerasan seksual, pelatihan etika bagi pengasuh, dan saluran pengaduan yang independen. Demokratisasi internal bukan ancaman bagi kiai, tapi benteng bagi pesantren itu sendiri.

Langkah-langkah ini bukan sekadar administratif. Ia adalah bentuk baru dari tanggung jawab spiritual. Dalam Islam, amanah adalah prinsip utama. Ketika lembaga keagamaan menerima dana publik, maka ia harus tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Profesionalisme bukanlah sekularisasi, melainkan wujud dari kesungguhan dalam menjaga titipan umat.

Kita mengkritik karena kita peduli. Kita ingin pesantren tetap hidup, bukan sekadar dikenang. Kita ingin kiai tetap dihormati, bukan dipertanyakan. Kita ingin santri belajar dalam ruang yang aman, sehat, dan bermartabat. Jika pesantren tidak berani berubah, maka ia akan roboh. Bukan hanya bangunannya, tapi juga kepercayaan publik. Dan ketika kepercayaan hilang, pesantren tidak lagi menjadi rahim peradaban, tapi artefak sejarah yang rapuh.

Saatnya menata ulang marwah. Dari karisma menuju sistem. Dari loyalitas menuju akuntabilitas. Dari tradisi menuju tata kelola. Karena cinta sejati adalah keberanian untuk berubah.

SendTweetShare
Previous Post

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

Next Post

Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita

Ibrayoga Rizki Perdana

Ibrayoga Rizki Perdana

Related Posts

Kita Mulai dari Hati yang Selesai
Esensia

Kita Mulai dari Hati yang Selesai

November 4, 2025
Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai
Esensia

Manusia dan Simbol: Membaca Ketundukan Santri kepada Kiai

November 3, 2025
Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan
Esensia

Feodalisme yang Mendidik, Egaliterisme yang Membebaskan

November 1, 2025
Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita
Esensia

Pendidikan, STEM, dan Cermin Kebudayaan Kita

October 31, 2025
Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan
Esensia

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

October 27, 2025
Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu
Esensia

Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

October 23, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta