SETIAP HARI saya menyaksikan banyak pertikaian lahir dari satu hal yang sama: keinginan untuk membela kebenaran. Orang saling debat di media sosial, memaki, menyindir, bahkan mengancam, demi menunjukkan bahwa dirinyalah yang benar dan yang lain salah. Kadang alasan perseteruannya sepele, seperti urusan siapa yang cocok menjadi pasangan artis tertentu atau persoalan hubungan lelaki dan perempuan. Namun tak jarang pula, hal itu menjalar ke ranah politik, agama, hingga kekerasan fisik.
Hal yang menarik, hampir semua pihak dalam konflik itu merasa sedang memperjuangkan hal baik. Mereka meyakini argumen masing-masing sebagai kebenaran. Bahkan, karena merasa benar, mereka merasa berhak untuk menyakiti, seolah kebenaran memberi lisensi moral untuk mencederai orang lain, untuk mengkafirkan orang, menelanjanginya di muka umum. Inilah yang membuat saya mulai bertanya-tanya. Apakah setiap kebenaran harus selalu diungkapkan dengan begitu arogan? Apakah demi menyampaikan kebenaran, kita boleh mengorbankan kebaikan?
Dalam pencarian jawaban, saya menemukan pandangan dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang kurang lebih mengatakan, “Output dari kebenaran haruslah kebaikan, karena kebenaran adalah dapur yang tak perlu kau bangga-banggakan dan kau beberkan betapa mewah dan mahal peralatannya. Yang perlu kau hidangkan adalah bagaimana menyajikan makanan dengan lezat dan sehat, halal dan thayib, dan hidangan tersebut adalah manifestasi dari akhlak.”
Kalimat itu menusuk saya. Sebab, selama ini kita kerap membanggakan keberanian menyuarakan “kebenaran”, tanpa berpikir bagaimana dampaknya terhadap orang lain.
Saya juga menyadari bahwa gagasan ini bisa disalahpahami. Bisa saja seseorang memakai dalih “demi kebaikan” untuk menutupi kebenaran, menyimpan kebusukan, atau membiarkan ketidakadilan. Karena itulah saya berpikir bahwa kita perlu membedakan jenis kebenaran dan konteks penyampaiannya.
Dalam ranah interpersonal, misalnya ketika seseorang baru saja kehilangan ibunya, lalu kita berkata, “Tenang, ibumu pasti masuk surga.” Maka pernyataan itu mungkin tidak benar secara teologis. Namun ia mengandung kebaikan yang menenangkan hati. Akan sangat tidak bijak bila kita justru membalas dengan berkata, “Belum tentu masuk surga, bisa saja ke neraka.” Kalimat itu bisa saja benar secara teologis, namun buruk secara kemanusiaan. Ia mengoyak luka yang belum sempat sembuh, memberikan garam pada luka yang masih merekah.
Sebaliknya, dalam ranah publik, seperti pengadilan, jurnalisme, atau advokasi sosial, kebenaran tidak boleh dikorbankan hanya demi kenyamanan. Sebagai contoh, anggota KPK yang membongkar korupsi, mungkin akan menyakiti banyak pihak terkait, tapi justru itulah bentuk kebaikan yang lebih besar. Dalam konteks ini, menyembunyikan kebenaran adalah kejahatan.
Pembedaan konteks ini penting agar kita tidak terjebak pada relativisme moral. Kita tidak sedang mengatakan bahwa “perasaan lebih penting daripada fakta”, melainkan bahwa cara dan waktu menyampaikan fakta juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral.
Filsuf Aristoteles pernah menyebut bahwa kebaikan itu bukan hanya soal niat, tetapi soal phronesis atau kebijaksanaan praktis: kemampuan untuk menyesuaikan sikap dengan situasi, tanpa kehilangan prinsip. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menekankan pentingnya adab dalam menyampaikan ilmu. Kebenaran, menurut beliau, yang disampaikan dengan sombong dan kasar justru berubah menjadi fitnah. Kiai Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal Gus Mus juga pernah mengatakan bahwa amar ma’aruf nahi munkar haruslah dijalankan dengan cara yang arif bukan dengan cara yang munkar. Jangan sampai kita berniat mencuci baju yang kotor tapi dengan air comberan.
Sehingga kita dapat sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran dan kebaikan bukan dua hal yang saling bertentangan, melainkan harus saling menyempurnakan.
Kebenaran tanpa kebaikan akan jadi kekerasan. Kebaikan tanpa kebenaran akan jadi kepalsuan. Satu hal yang kita butuhkan adalah kepekaan: kapan bicara, kapan diam, kapan ngegas, kapan ngerem, dan bagaimana menyampaikan sesuatu tanpa mencederai martabat manusia lain.
Pada akhirnya, dunia tak kekurangan orang yang berani menyuarakan kebenaran. Tapi dunia sangat kekurangan orang yang mampu menyampaikan kebenaran dengan kasih sayang. Kalau dalam falsafah Jawa, “ngunu yo ngunu mbok ojo ngunu”.