Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Reportase

Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

Redaksi Kenduri Cinta by Redaksi Kenduri Cinta
June 20, 2025
in Reportase
Reading Time: 20 mins read
Kenduri Cinta: 25 Tahun dan Terus Berjalan

DUA PULUH LIMA tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Dalam perhitungan manusia, usia itu biasa disebut sebagai titik awal kedewasaan—masa di mana seseorang mulai menentukan arah hidupnya. Dalam konteks ruang komunal seperti Kenduri Cinta, 25 tahun bukan sekadar hitungan waktu, melainkan sebuah momentum reflektif merenungkan apa yang telah ditanam, dirawat, dan dipetik bersama. Di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Kenduri Cinta tetap eksis sebagai ruang dialog yang egaliter, tempat berbagi cinta, kritik, dan harapan yang terus bergema.

Pada tanggal 13 Juni 2025, tepat 25 tahun setelah penyelenggaraan perdana Kenduri Cinta pada 9 Juni 2000 di Lapangan Parkir Taman Ismail Marzuki, Kenduri Cinta edisi 257 menjadi penanda ulang tahun yang istimewa. Ini bukan hanya perayaan biasa, tetapi sebuah bentuk penghikmatan atas perjalanan panjang tradisi Maiyah di Jakarta yang tak pernah mengenal batas identitas. Selama seperempat abad, Kenduri Cinta terus menjadi wadah bertemunya berbagai lapisan masyarakat, dari tokoh intelektual, seniman, akademisi, hingga masyarakat umum yang mencari ruang untuk menyambung rasa, pikiran, dan jiwa.

Di tengah dinamika sosial dan politik yang semakin kompleks, Kenduri Cinta menjadi oasis spiritual dan intelektual yang langka.


Kehadiran jamaah yang memenuhi Plaza Teater Besar malam itu menjadi bukti bahwa Kenduri Cinta masih relevan dengan zaman. Jamaah datang bukan sekadar mencari ilmu dan hiburan, tetapi untuk pulang ke rumah—rumah yang dibangun bersama, di mana setiap suara dihargai, setiap hati didengarkan, dan setiap pertemuan membawa pemaknaan tersendiri.

Durasi persiapan teknis memang jauh lebih pendek dari biasanya, sebagai bentuk penyesuaian terhadap agenda Jakarta Future Festival (JFF) yang diselenggarakan dari tanggal 13-15 Juni 2025. Pukul 18.00 WIB, sound system baru di-setting, backdrop belum terpasang, bahkan lampu penerangan tenda juga belum selesai disiapkan. Namun, itu semua tidak menurunkan antusiasme jamaah yang hadir sejak sore hari. Sesaat setelah penggiat memasang photo booth, yang khusus dipersiapkan di momen 25 tahun ini, beberapa jamaah langsung memanfaatkan untuk mengabadikan momen istimewa hari itu.

Juga bagian dari penyesuaian dengan JFF, rangkaian acara dimulai dengan sholawat pukul 20.00 WIB di Masjid Amir Hamzah karena kegiatan di area Plaza Teater Besar baru bisa dimulai pukul 21.00. Jamaah melingkar, melantunkan sholawat dengan khidmat. Setelah itu, jamaah kembali ke area panggung utama di Plaza Teater Besar, dengan lokasi yang sama seperti biasa, namun nuansa panggung yang lebih segar dengan dominasi warna putih, memberikan energi baru tanpa mengurangi esensi utama Kenduri Cinta.

Maiyah adalah gelombang yang menyatukan mereka yang ingin belajar menjadi manusia—belajar bersama mengurai realitas kehidupan yang multidimensi tanpa sekat guru-murid.


Pukul 21.00 WIB, Mizani dan Rizal naik panggung, menyapa jamaah sekaligus mengajak Lahila tampil. Mengawali penampilannya, Ame dan Niko berbagi rasa syukurnya karena mendapat kesempatan untuk bersentuhan dengan Kenduri Cinta dan mengisi panggung di edisi spesial hari itu. Lahila membuka penampilannya dengan deretan lagu yang begitu dekat dengan hati jamaah: Wakafa, Ruang Rindu, serta Cinta Buta. Di tengah alunan musik, Yovie Widianto turut duduk bersama jamaah. Lahila berimprovisasi membawakan Janji Suci sebagai bentuk sambutan hangat bagi Yovie.

Menyambung penampilan Lahila, Wahyu membacakan puisi Renungan Ilir-Ilir karya Cak Nun, diiringi oleh keyboardist Lahila. Suasana menjadi semakin khidmat.

Selanjutnya, giliran Tri dan Roni naik panggung, memberikan apresiasi kepada mitra-mitra pendukung seperti Neva Sound, Mas Benny, serta BSM yang telah setia membersamai gelaran Kenduri Cinta. Mereka juga menekankan bahwa tidak ada tema spesifik pada edisi ini karena 25 tahun perjalanan telah mencakup banyak topik: dari cinta, teknologi, hingga politik.

Kemudian, Tri mengajak jamaah untuk membagikan kesannya terhadap Kenduri Cinta. Dua orang jamaah, Sigit dari Bekasi dan Syihabudin dari Tangsel, turut berbagi. Bagi Sigit, Kenduri Cinta adalah tempat refreshing dari hiruk-pikuk Jakarta dan dunia luar. Sedangkan Syihabudin mengaku terkesan dengan ambience yang luar biasa, jauh lebih hidup dibandingkan saat ia menyaksikan Kenduri Cinta dari YouTube.


Untuk memulai sesi seremoni, Tri mengajak Hadi, Sabrang, Hendri Satrio, Abdur, Bagus Muljadi, dan Karim naik ke panggung. Hadi membuka dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penyelenggaraan Kenduri Cinta, khususnya di edisi ulang tahun ke-25 ini, termasuk UPPKJ TIM, Jakpro, JFF, JxB, Bapeda, Disbudpar, Dishub, dan banyak lagi. Hadi membagikan pandangannya bahwa edisi Juni 2025 ini disebut sebagai edisi yang spesial, meskipun tidak bermaksud mengurangi keistimewaan edisi-edisi lainnya

Prosesi potong tumpeng pun dilakukan sebagai simbol syukur. Potongan tumpeng pertama dipotong oleh Fahmi dan diberikan kepada Sabrang, sementara Ansa memberikan potongan selanjutnya kepada Hendri Satrio, lengkap dengan kaos merchandise Karya Kenduri Cinta. Perwakilan jamaah juga memberikan tumpeng kepada Mas Adi Pudjo, sebagai salah satu penggiat yang telah setia mendampingi KC sejak tahun 2000. Sebagai penutup sesi seremoni, penggiat membagikan jajan pasar ke jamaah sebagai simbol keakraban dan tradisi lokal yang tetap lestari.

Tidak hanya sekadar ritual tahunan, Kenduri Cinta edisi ini membawa nuansa yang lebih intim. Seperti yang disebutkan sebelumnya, jamaah yang hadir mencari ruang untuk pulang—ruang di mana mereka bisa menjadi diri sendiri, tanpa tekanan, tanpa pretensi. Di tengah dinamika sosial dan politik Indonesia yang semakin kompleks, Kenduri Cinta tetap menjadi oasis spiritual dan intelektual yang langka.

Maiyah menolak dikapitalisasi, menjaga netralitas dan yang terpenting tetap setia membangun ruang kebersamaan.


Ada Cinta yang Terus Menyala

Di tengah gemuruh politik, budaya instan, dan kehidupan modern yang semakin individualistis, sebuah tradisi tetap bertahan dengan penuh kehangatan. Setiap bulan, ribuan orang berkumpul tanpa panggung megah atau sponsor korporat. Mereka datang bukan karena diwajibkan, iming-iming materi, atau posisi. Tetapi karena merindukan ruang di mana tidak ada yang dihakimi sebagai “kecil”, “salah”, atau “tak berdaya”. Inilah Kenduri Cinta—kebersamaan yang telah menyala selama seperempat abad, membuktikan bahwa cinta dan konsistensi bisa menjadi senjata ampuh melawan keterasingan di zaman yang semakin dingin.

Sabrang membuka sesi pertama, menyampaikan bahwa Cak Nun sejak awal dengan tegas menolak formalisasi Maiyah. Maiyah bukan partai, bukan ormas. Maiyah adalah gelombang yang menyatukan mereka yang ingin belajar menjadi manusia. Dari penolakan terhadap hierarki inilah lahir konsep “sinau bareng”—belajar bersama mengurai realitas kehidupan yang multidimensi tanpa sekat guru-murid.

Dalam ruang ini, seorang profesor bisa belajar dari pemulung, sementara nelayan berbagi kebijaksanaan dengan akademisi. “Bagus, misalnya, tidak hanya memberikan ilmu, tetapi juga mendapatkan banyak ilmu dari Kenduri Cinta,” ujar Sabrang. Bagus mengangguk setuju.

Seperti buah rambutan yang saling menempel meski bentuknya tidak sempurna—atau seperti yang disebut Cak Prio dari Bang Bang Wetan sebagai rambutan protol—Maiyah adalah tempat bagi mereka yang kerap tersisih, yang datang karena sadar diri sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Dua puluh lima tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap konsisten tanpa dana tetap atau agenda politik. Enam puluh dua simpul Maiyah yang tersebar di seluruh Indonesia adalah bukti nyata ketahanan sebuah komunitas yang berpegang teguh pada istiqamah—konsistensi pada nilai-nilai dasar. Maiyah menolak dikapitalisasi oleh sponsor mana pun, menjaga netralitas di tengah gempuran politik identitas, dan yang terpenting, tetap setia pada semangat awal: membangun ruang kebersamaan yang tulus.

“Ekspresi cinta tertinggi adalah berani menghukum kesalahan, agar seseorang tidak dihukum di akhirat.” —Sabrang


Sabrang kemudian membagikan kisahnya dengan Cak Nun untuk menggambarkan konsistensi prinsip ini. Sabrang muda berangkat ke Jogja untuk belajar bersama Cak Nun. Setibanya di Jogja, Sabrang dijemput oleh Cak Nun. Dalam perjalanan, Cak Nun mengingatkan Sabrang bahwa Cak Nun bukan hanya bapaknya saja, tapi bapak dari banyak orang. Kalimat sederhana ini mengandung pelajaran besar—bahwa dalam ruang kebersamaan yang sejati, bahkan ikatan darah sekalipun tidak boleh menciptakan privilege atau hierarki.

Di Maiyah, cinta tidak diartikan sebagai pembelaan membabi-buta. Sebaliknya, teriakan keras dan kritik pedas bisa jadi adalah bentuk kasih sayang paling tulus. “Ekspresi cinta tertinggi adalah berani menghukum kesalahan, agar seseorang tidak dihukum di akhirat,” begitulah prinsip yang dipegang. Dalam ruang dialog egaliter ini, setiap orang diajak untuk jujur pada diri sendiri dan sesama, karena hanya dengan cara itulah pertumbuhan sejati bisa terjadi.

Di era ketika banyak gerakan sosial terjebak dalam popularitas semu dan pencitraan, Maiyah tetap menjadi ruang di mana obor kebenaran dijaga nyalanya. Seperti kata Sabrang dalam refleksinya: “Mungkin dunia belum terang, tapi cahaya tidak akan pernah pudar karena ada Maiyah di sini.” Jadilah manusia yang bermanfaat, sekecil apa pun langkah kita, karena konsistensi pada kebaikan akan selalu lebih kuat dari gemuruh retorika kosong.

Dua puluh lima tahun Kenduri Cinta menjadi bukti bahwa sebuah ruang kebersamaan yang dibangun atas dasar ketulusan mampu bertahan, bahkan di tengah gemerlap dunia. Di saat masyarakat semakin terfragmentasi, Maiyah hadir sebagai oase dengan menawarkan pelajaran berharga: bahwa komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, keberanian untuk mencintai secara tulus, dan sikap saling mengingatkan bila diperlukan, dapat membentuk komunitas yang kokoh dalam menghadapi gersangnya modernitas. Dalam penutup paparannya, Sabrang menyampaikan, “Selamat ulang tahun ke-25. Generasi boleh berganti, tetapi kita harus tetap istiqamah. Semoga kita semua bisa menjadi pembawa obor untuk Indonesia.”


Sindrom Kolonialisme dalam Tubuh Bangsa

Bagus menyambung diskusi, menyampaikan refleksi tentang pengalaman hidupnya. Salah satu momen penting dalam hidupnya terjadi saat ia masih duduk di bangku SMP, tepatnya saat Reformasi 1998. Saat itu, bahkan ayahnya harus mengevakuasi dirinya dari sekolah dengan wajah ditutup plastik hitam dan helm karena situasi yang sangat memanas. Pengalaman itu meninggalkan pertanyaan besar dalam dirinya: “Apa definisi Indonesia?”

Pertanyaan itu menjadi awal dari pencarian panjang tentang identitas dan tujuan bangsanya. Saat melanjutkan studi di Bandung dan Nottingham, Bagus mulai memahami bahwa Indonesia bukanlah sebuah definisi, tetapi sebuah tujuan—sesuatu yang diwujudkan setiap hari melalui tanggung jawab, cinta, dan kesadaran kolektif. Jawaban itu pun akhirnya ia temukan juga di Kenduri Cinta, tempat ia merasa benar-benar diterima. Di Kenduri Cinta, ia menemukan potret Indonesia yang ideal, sebuah ruang di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekayaan.

Ia juga menyampaikan metafora penting tentang yang disebut Walled Garden, sebuah ilustrasi masa depan Indonesia. Menurutnya, membangun teori penting dalam konteks mendiagnosis penyakit yang dialami oleh negara kita. Gejala-gejalanya jelas: kebodohan yang dinormalisasi, inkompetensi yang dihargai, budaya ekstraksi sumber daya alam, lemahnya institusi, hilangnya identitas, dan latah dalam membuat kebijakan. Menurut Bagus, akar dari semua ini adalah sindrom kolonialisme yang masih terus membayangi. Sindrom ini memiliki empat ciri utama.

Yang pertama, epistemic reliance, yaitu ketergantungan pada cara pandang luar negeri. Salah satu dampak dari ketergantungan ini adalah latah dalam kebijakan. Banyak orang berlomba-lomba belajar AI tanpa membangun fondasi pemikiran yang kuat. Sementara di negara maju seperti Inggris, pendidikan fokus pada Liberal Arts: Grammar, Logic, Rhetoric—Bahasa, Berpikir, Berbicara. Ini adalah fondasi untuk membangun pikiran yang bebas. Dampak lainnya adalah pengabaian pengetahuan lokal dan keraguan terhadap warisan intelektual leluhur. Imaji pusat tentang daerah sering kali berbeda dengan imaji daerah tentang dirinya sendiri. Bali, misalnya, dipandang sebagai destinasi wisata, padahal secara identitas, Bali adalah tempat mempelajari irigasi dengan subaknya. Jogja pun lebih dari sekadar museum budaya; ia adalah kultur yang mempelajari vulkanologi dan bumi.

Kedua, colonial mimicry. Salah satu duplikasi yang terjadi adalah sistem administrasi Indonesia yang hierarkis dan terpusat. Sistem riset di Indonesia pun ikut terpusat, sehingga lebih mirip proses pengadaan barang daripada upaya kreatif mencari ilmu. Penemuan vitamin oleh Christian Eijkman, misalnya, nyaris tak lagi bisa kita lihat jejaknya karena lembaga tempat penelitian itu dilebur ke dalam BRIN atas nama birokrasi. Kehormatan sebagai daerah yang pernah menghasilkan penemuan Nobel kini sulit ditemukan kembali.

Ketiga, ekonomi ekstraktif, di mana kita bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, baik itu pala dan cengkeh di masa lalu, maupun timah dan nikel hari ini. Ketergantungan semacam ini sering kali membuat suatu daerah tertinggal secara intelektual. Ironisnya, kualitas demokrasi bergantung pada pendidikan yang menopangnya. Negara sindrom kolonialisme menjadikan intelektualitas sebagai sesuatu yang performatif, bukan didasarkan pada institusi yang kuat. Hilirisasi yang dipahami hanya sebatas pembangunan smelter, yang ironisnya menciptakan ketergantungan baru. Yang kita butuhkan adalah industri hulu seperti bahan kimia dasar atau silikon, agar bisa mandiri dalam produksi apa pun.

Keempat, tidak punya identitas. Jika sebuah bangsa tidak bisa memprediksi arahnya, maka bisa jadi ia tidak memiliki identitas. Sebagai contoh, dalam falsafah Sunda Kuno yang tertuang dalam naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian, hukum tertulis dianggap sebagai sesuatu yang berada di level paling bawah. Di atasnya ada konvensi publik dan argumentasi. Fakta ini juga terlihat dari keragaman bahasa di Indonesia. Dari lebih dari 700 bahasa daerah, hanya 13 yang memiliki aksara tulisan; sisanya hidup secara lisan. Sayangnya, sistem hukum kita hari ini lebih banyak mengadopsi aturan dari luar, sehingga banyak kasus tanah adat muncul karena kita tidak lagi menghargai ucapan lisan sebagai bagian sah dari hukum.

“Di Kenduri Cinta saya menemukan potret Indonesia yang ideal, sebuah ruang di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekayaan.” —Bagus Muljadi



“Indonesia adalah tujuan,” tegas Bagus. “Jika kita benar-benar memahami siapa diri kita sebagai bangsa, maka Indonesia harusnya mampu menciptakan sistem hukum sendiri, yang lahir dari akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.” Menurutnya, hal terpenting saat ini adalah fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengganti software kebangsaan kita, tanpa harus menunggu perubahan dari institusi atau pemerintah.

Di akhir, Bagus menyampaikan, “Ratu Adil sudah ada di sini, di depan saya. Kenduri Cinta hadir untuk menguji hipotesis itu.” Harapan akan Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat bukan sekadar impian. Ia percaya, wujud nyata dari cita-cita itu telah hadir melalui ruang-ruang kebersamaan seperti Kenduri Cinta. Pembuktian atas hipotesis tersebut akan menjadi jawaban sejarah di masa mendatang.


Mengisi Tempat dengan Ruang Kesadaran

Hendri Satrio berbagi pengalamannya pertama kali datang ke Kenduri Cinta dengan prasangka bahwa ini hanya forum santai. Ternyata, ia salah. Ia menyoroti momen tanya jawab sebagai klimaks setiap edisi. Setiap edisi penuh dengan pertanyaan mendalam, bukan hanya dari narasumber, tapi juga dari jamaah yang hadir. Di sanalah kita belajar satu sama lain. Karena itu, setiap kali pulang, ia selalu membawa sesuatu—wawasan baru, perspektif segar, atau kehangatan ruang kebersamaan. Karena itulah, ia selalu ingin kembali. Momentum seperti ini, menurutnya, harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang meningkatkan kualitas hidup secara kolektif.

Ia mengaitkan peristiwa tersebut dengan teori momentum politik dalam disertasinya: kepemimpinan, pengalaman, dan modal sosial. Dua yang pertama bisa muncul seiring waktu, tapi modal sosial—yang sudah nyata di Kenduri Cinta—adalah bekal penting untuk menyambut masa depan. Pertanyaan besar yang muncul adalah: What’s next? Apakah 25 tahun ini akan menjadi momentum negatif dengan penurunan partisipasi, ataukah justru menjadi titik awal untuk lebih bermanfaat? “Jawabannya,” kata Hendri Satrio, “tergantung pada apa yang ingin kita capai.” Bukan soal jumlah orang yang datang, tetapi bagaimana setiap individu yang hadir mampu membawa pulang sesuatu yang lebih baik dan kemudian menularkannya.

Dari sini muncul pertanyaan tentang potensi Kenduri Cinta untuk memberi dampak pada Indonesia. Bagaimana jika kita mulai memanfaatkan jaringan yang begitu luas ini secara maksimal? Di Kenduri Cinta, kita bisa bertemu dengan siapa saja, tanpa hierarki, saling belajar, bahkan mendapat jawaban langsung dari ahlinya. “Di ruang transit, saya bertanya ke Abdur, bagaimana cara menulis materi stand-up? Informasi seperti ini adalah modal sosial,” ujarnya. Informasi langsung dari ahlinya adalah modal sosial yang jarang ditemukan di tempat lain. Di Kenduri Cinta, kita belum sepenuhnya memanfaatkan potensi ini.

“Kita belajar satu sama lain. Karena itu, setiap kali pulang, saya selalu membawa sesuatu—wawasan baru, perspektif segar, atau kehangatan ruang kebersamaan.” —Hendri Satrio


Abdur, komika yang hadir malam itu, melanjutkan diskusi, ia setuju bahwa Maiyah adalah gelombang, dan istiqamah adalah cara untuk memastikan setiap bagian air tersentuh gelombang. Meski sempat pesimis dengan kondisi Indonesia, ia percaya bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten bisa menghasilkan resonansi besar. Seperti dalam buku Atomic Habits, ia sadar bahwa perubahan 1% setiap hari, jika dilakukan terus-menerus, akan menghasilkan perbedaan signifikan dalam hidup. Jika setiap individu melakukan itu, maka bangsa ini pun bisa berubah ke arah yang lebih baik.

Sementara itu, Habib Ja’far menyampaikan bahwa Kenduri Cinta adalah ruang yang unik—bukan hanya karena ilmu yang dibagikan, tetapi karena kesetaraan yang dijunjung tinggi. Ia mengingatkan bahwa kekuatan Kenduri Cinta terletak pada bentuknya sebagai space, bukan place. Ruang ini tidak butuh gedung megah atau infrastruktur fisik, tapi sebuah kesadaran bersama untuk saling mendengar dan berkata jujur. Sejalan dengan pemikiran Jürgen Habermas, Kenduri Cinta berhasil menciptakan ruang publik sebagai alternatif di tengah dominasi institusi formal yang kaku.

“Selamat tumbuh tahun untuk Kenduri Cinta,” lanjutnya. Ia mengingatkan bahwa 25 tahun bukan waktu untuk mengulang capaian lalu, tapi untuk tumbuh. Usia seperempat abad bisa digunakan untuk merefleksikan apa saja yang telah dicapai, serta arah yang ingin dituju.

Ia juga menyentuh masalah kesadaran waktu. Mengacu pada Heidegger, ia menyatakan bahwa waktu bukan sekadar angka, tapi soal kesadaran. Waktu terasa cepat ketika kita bahagia, dan lambat ketika sedih. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa hidup adalah soal mencari titik—titik kesadaran, titik balik, titik pertumbuhan. “Hidup adalah soal mencari titik, maka temukanlah titik itu,” ujarnya.

Di akhir, Habib Ja’far menyampaikan harapan agar sepulang dari Kenduri Cinta, kita semua membawa sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan. Syukur jika resonansinya tidak berhenti pada diri sendiri, tapi bisa menyebar ke orang lain. Karena formulanya jelas: khairunnas anfauhum linnas—sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi sesama.

Sesi pertama ditutup dengan Lahila yang kembali membersamai jamaah. Lahila membawakan lagu Semau-maumu, Atur Saja Tuhan, Jodohkan Aku Dengannya, Selalu Ada di Nadimu.

“Kenduri Cinta adalah ruang yang unik, bukan hanya ilmu yang dibagikan, tetapi kesetaraan yang dijunjung tinggi. Kekuatan Kenduri Cinta terletak pada bentuknya sebagai space, bukan place.” —Habib Ja’far


Dialog Cinta, Bangsa, dan Kebenaran

Malam itu, sesi tanya jawab menjadi puncak dari sebuah perjalanan diskusi sepanjang malam. Di tengah udara malam yang mulai terasa dingin, jamaah tetap antusias bertanya. Pertanyaan yang dilemparkan menyambung pikiran dan memperkaya perspektif tentang Indonesia, cinta, dan tanggung jawab moral sebagai manusia.

Sebuah pertanyaan filosofis tentang posisi kita sebagai bangsa dan individu dalam kerangka kebangsaan datang dari Nurul Ilmi, jamaah dari Serang. Ia mempertanyakan makna lirik lagu Indonesia Raya: “Di sanalah aku berdiri”. Ia bertanya, “Itu berdiri di mana?”

Sabrang menjawab bahwa kata “di sana” bisa bermacam-macam maknanya. “Lagu kebangsaan,” katanya, “tidak selalu harus dipahami secara literal, tetapi dirasakan.” Bahasa Indonesia, yang ambigu dan sering kali bisa berbohong tanpa terlihat berbohong, memerlukan penghayatan yang lebih dalam agar tidak sekadar menjadi simbol formalitas.

Hendri Satrio menambahkan bahwa dalam konteks lagu perjuangan, “di sana” adalah masa depan kemerdekaan yang masih dikejar, impian yang belum tercapai. Sedangkan “di sini” adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini.

Topik pertanyaan bergeser ke bidang pendidikan. Arista Andayani, guru yang aktif dalam dunia pendidikan anak usia dini, menyampaikan kegelisahannya atas tantangan mendidik anak-anak dari orang yang membuat hidup kita semua susah. Di tengah realitas sosial yang sering kali jauh dari ideal, ia juga merasa miris saat melihat gaji guru di Indonesia yang rendah dibandingkan dengan negara seperti Tiongkok. Ia pun bertanya, “Bagaimana kita bisa mewariskan cinta dan syukur jika kita sendiri lelah dengan kondisi? Bagaimana cara mewariskan nilai-nilai itu jika kita sendiri meragukan efeknya pada anak-anak?”

“Anak tidak bisa memilih orang tuanya,” ujar Sabrang. Mereka lahir suci dan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Tugas kita adalah mengajarkan kejujuran dan fairness. Harapannya, suatu saat mereka akan mengetahui bahwa yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak benar. Revenge terindah, menurutnya, adalah ketika mereka sendiri yang menggugat perilaku orang tua mereka.

“Masa depan anak tidak sepenuhnya digantungkan pada jejak keluarga, tetapi pada usaha kita dalam membentuk lingkungan yang mendukung perkembangan karakter.” —Sabrang


Pendapat yang sama disampaikan oleh Abdur. Ia meyakini bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah—bersih, murni, dan belum terpengaruh oleh baik atau buruknya dunia. “Lingkunganlah yang menentukan apakah ia akan tumbuh menjadi orang baik atau justru berlaku buruk,” ujarnya. “Kita, sebagai bagian dari lingkungan itu, punya tanggung jawab untuk membentuk ruang yang baik bagi mereka tumbuh,” tegasnya.

Kejahatan tidak diturunkan dari orang tua. Sejarah telah mencatat bagaimana Al-Walid, tokoh Quraisy yang dikenal memusuhi Nabi, memiliki anak bernama Khalid bin Walid—sosok yang kelak menjadi salah satu panglima besar Islam. Dari sini kita belajar bahwa masa depan anak tidak sepenuhnya digantungkan pada jejak keluarga, tetapi pada usaha kita dalam membentuk lingkungan yang mendukung perkembangan karakter. Siapa tahu di antara anak-anak tersebut, ada calon tokoh besar Indonesia di masa depan.

Ada juga perspektif tentang proses pembentukan karakter dari Bagus. Momen-momen sulit sering kali menjadi fondasi kuat bagi seorang anak untuk tumbuh lebih tangguh. Hanya dengan melewati kesulitan itulah karakter terbentuk. Anak memang perlu dibiarkan menghadapi tantangan, sebab dalam kesulitanlah mereka belajar bertahan. Yang sulit menjalankan itu tentu saja orang tua, khususnya ibu, yang harus rela melihat anaknya menderita. Tapi begitulah prosesnya: ketika mendapat gangguan, baru tumbuh.

Dari sudut pandang spiritual, Habib Ja’far menyampaikan pandangan tentang peran orang tua dan guru. “Dalam Islam, orang tua adalah guru pertama, dan guru adalah orang tua kedua,” ujarnya. Keduanya memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam mendidik anak. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa minat menjadi guru masih rendah, salah satunya karena gaji yang tidak memadai. Padahal, seorang guru memiliki kemuliaan tersendiri di sisi Tuhan.

Di sisi lain, ia menekankan bahwa putus asa adalah lawan dari iman. Iblis secara harfiah berarti putus asa. “Orang yang putus asa dari rahmat dan kuasa Tuhan lebih buruk dari iblis itu sendiri,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa meski banyak ketidakadilan di sekitar kita, kita tidak boleh menyerah. Sebagai hamba-Nya, kita harus tetap percaya pada kekuasaan Tuhan dan terus berusaha semaksimal mungkin.

Pertanyaan lain disampaikan Hana Fitri dari Sukabumi, yang baru pertama kali hadir di Kenduri Cinta. Ia menyampaikan kegelisahannya tentang bagaimana cara berani berkata benar. Menurutnya, kita harus tegas dalam mengambil sikap. Benar bilang benar, salah bilang salah. Tetapi praktiknya tidak mudah.

Sabrang menjelaskan bahwa kita sering terjebak dalam solidaritas yang keliru. Kita membiarkan teman melakukan kesalahan karena takut dianggap tidak loyal. “Padahal,” lanjut Sabrang, “kebenaran tidak harus disampaikan dengan kasar dan menyakitkan.” Yang penting bukan seberapa berani, tetapi seberapa cerdik kita menyampaikannya. Ia berbagi pengalamannya tentang salah satu cara menyampaikan kebenaran dengan cara mengajak menonton film, setelah sebelumnya memberikan frame berpikir yang tepat. Kebenaran akan muncul dengan sendirinya, sedangkan kebohongan akan mengendap seperti kotoran.

“Ukhuwah Islamiyah tidak hanya terbatas pada sesama umat Islam, tetapi mencakup siapa pun yang hidup di bumi Allah.” —Habib Ja’far


Ahmad Hilmi dari Palembang melanjutkan pertanyaan. “Hari ini sulit menemukan cinta dalam konteks bernegara,” katanya. Ia bertanya, “Mengapa penggiat rela meneruskan forum ini, dan kenapa rasa cinta seperti ini sulit ditemukan di tempat lain?”

Sabrang menjawab singkat, “Karena memang harus dilakukan.” Baginya, Maiyah bukan soal narasumber, penggiat, atau bahkan Cak Nun. Maiyah ada karena sebuah keharusan—untuk melakukan sesuatu di tengah peradaban yang terus bergerak. “Ada kesempatan untuk menorehkan cerita dalam novel Indonesia,” katanya. Mengambil kesempatan itu adalah tanggung jawab kita sebagai manusia: menulis bab baru dalam perjalanan bangsa dengan kesadaran, keikhlasan, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan.

Asrin, penggiat seni di TIM, menyampaikan sebuah pertanyaan yang sering muncul di ruang publik tentang perdebatan antara membela Papua atau Palestina: “Mana yang lebih penting antara bela negara atau bela agama?” Pertanyaan ini mencerminkan kebingungan banyak pihak dalam menempatkan identitas keagamaan dan kebangsaan, seolah-olah kedua hal itu tidak bisa berjalan beriringan.

Sabrang memberikan jawaban lugas, “Yang kita bela adalah manusia.” Menurutnya, latar belakang boleh berbeda-beda, tetapi ada satu hal yang tidak bisa berbeda: kesamaan sebagai manusia. “Kita bisa mencari banyak kesamaan—suku, asal, atau manusia. Tapi yang datang ke sini bukanlah organisasi, suku, atau asalnya, melainkan manusia itu sendiri.” Dengan demikian, solidaritas tidak lagi dibatasi oleh identitas sempit, tetapi diperluas oleh rasa kemanusiaan yang universal.

Bagus ikut merespons dengan sebuah pertanyaan retoris, “Kalau berbasis agama, pembelaan terhadap Palestina harusnya sama dengan Rohingya, so?” Sebuah penegasan bahwa sikap keagamaan tidak boleh selektif atau hanya mengarah pada kelompok tertentu.

Perspektif lebih praktis disampaikan oleh Abdur. Dari sudut pandang logika dasar, dua hal yang tidak kontradiktif sebenarnya bisa berjalan bersama. Menurutnya, kontradiksi dari ‘beragama’ bukanlah ‘bernegara’, melainkan ‘tidak beragama’. Begitu juga sebaliknya. “Agama dan negara bukan kontradiksi. Tidak perlu ditabrakkan. Kalau bisa dilakukan bersama, kenapa tidak?” ujarnya.

Pandangan lebih luas disampaikan Habib Ja’far. Baginya, membela agama dan membela negara bukanlah dua hal yang bertentangan. Ukhuwah Islamiyah, menurutnya, tidak hanya terbatas pada sesama umat Islam, tetapi mencakup siapa pun yang hidup di bumi Allah. “Bela agama berarti menjaga seluruh tanah ciptaan-Nya, termasuk Papua dan Palestina. Begitu juga bela negara, seharusnya tidak membeda-bedakan wilayah karena negara kita memiliki komitmen untuk menghapus penjajahan di atas muka bumi. Kita tidak boleh terjebak dalam dikotomi kolonial,” tegasnya.

Sebagai penutup, Sabrang menyampaikan bahwa apa yang ditanam Cak Nun selama ini sudah mulai tumbuh. Panen mungkin tidak akan kita rasakan dalam hidup kita, tetapi masa depan tidak gelap dengan apa yang kita lihat di pagi hari ini.

Pukul 03.26 WIB dini hari, forum diakhiri dengan indal qiyam yang diiringi lantunan khidmat Shohibu Baiti. Meski sampai matahari segera terbit, semangat dan kehangatan malam itu tak kunjung memudar. Api kebersamaan terus menyala, menyinari langkah-langkah yang masih panjang.

Teks: Redaksi KC / Haddad
Foto: Redaksi KC / Yudi

SendTweetShare
Previous Post

Seperempat Abad Menyalakan Cinta

Next Post

Rahim Ibu

Redaksi Kenduri Cinta

Redaksi Kenduri Cinta

Redaktur Kenduri Cinta

Related Posts

Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan
Reportase

Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan

July 16, 2025
Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani
Reportase

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

May 21, 2025
Trapsila: Patrap Tumraping Sila
Reportase

Trapsila: Patrap Tumraping Sila

April 15, 2025
Kenduri Cinta reportase puisi puasa
Reportase

Puisi Puasa: Menjernihkan Hati, Menjaga Asa

March 19, 2025
Reportase Kenduri Cinta Estafet Syukur
Reportase

Estafet Syukur: Merayakan Syukur dengan Kesungguhan dan Kasih Sayang

February 20, 2025
Reportase kenduri cinta tanah air paradoks
Reportase

Tanah Air Paradoks: Menyemai Pemikiran, Mencari Kebenaran dalam Kebersamaan

January 25, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta