Dalam khazanah tradisi Jawa, angka 25 bukan disebut sebagai limanglikur tetapi selawe. Sebagaimana angka 50 bukan limangpuluh tetapi seket, dan angka 60 bukan enempuluh tetapi sewidak. Ini karena tiga angka tersebut memiliki sangkan paran filosofis siklus hidup manusia. Ketiganya secara kolektif dimaknai dan dipercayai memiliki keistimewaan dan perananannya masing-masing, sebagaimana yang lazim kita kenal dengan istilah wayahan (momentum), seperti peribahasa: “setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya.”
Secara kreta basa (interpretasi kreatif filosofis melalui pseudo asal kata), selawe berasal dari senenge (sukanya), lanang (lelaki) lan wedok (perempuan). Salah satu tafsirnya bisa dimaknai sebagai momentum atau usia ideal laki-laki dan perempuan untuk menyatukan cinta dalam sebuah naungan pernikahan, dalam rangka memulai mahligai rumah tangga. Maka, tidak mengherankan jika Rasulullah menikah di usia 25 tahun. Sementara itu, seket berasal dari seneng (senang atau gemar) dan kethu (kopiah), yang menjadi simbol dari fase seseorang untuk mulai berfokus pada aspek-aspek spiritual dan refleksi kehidupan. Di usia 50 tahun, Rasulullah mengalami peristiwa yang disebut sebagai ‘amul huzni’ (tahun kesedihan atau duka cita) karena ditinggal pergi oleh istri beliau, Khadijah, dan paman beliau, Abu Thalib. Sedangkan sewidak berasal dari sejatine (sejatinya), wis (sudah), wayahe tindak (waktunya pergi). Ini mengisyaratkan setiap orang harus bersiap-siap menghadapi kematian, sebagaimana kepergian Rasulullah yang ditakdirkan di usia 63 tahun.
Ketiganya adalah puncak dari siklus cinta yang manusia miliki—cinta yang Tuhan karuniakan tidak ke makhluk lain selain manusia. Cinta ini yang terus manjadi misteri sekaligus alas paling kuat bagi manusia untuk hidup dan mati. Cinta yang mempertemukan dan menyatukan, cinta yang menemani dan membersamai, serta cinta yang memisahkan dan mengembalikan ke sang Maha Cinta.
Dari tiga fase terpenting tentang hidup manusia dengan elemen cintanya, Kenduri Cinta edisi Juni 2025 tepat berada pada momentum selawe tahun, silver jubilee, atau yubileum perak. Momentum ini mengajak kita bersama untuk memaknainya paling tidak dari dua spektrum, yaitu the past and the future, almadhiy walmustaqbal, masa lalu dan masa depan.
Spektrum pertama, tentang what we have done so far selama seperempat abad, sebagian besar sudah kita bahas dan diskusikan di edisi Kenduri Cinta Mei bulan lalu, yang bertepatan dengan momentum perayaan milad Mbah Nun yang ke-72. Selama 25 tahun terakhir, Kenduri Cinta sudah menjadi forum, tempat, media, dan sabana di tengah pusat kota Jakarta untuk angon Indonesia. Mbah Nun, yang menginisiasi keberadaan Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyah lain di berbagai kota lain di Indonesia, istiqomah menjadi tukang angon. Ini kontras dengan mayoritas tokoh nasional lain, yang setelah bersama beliau memperjuangkan reformasi, kemudian menjadi pendiri partai politik baru, menjadi pengusaha dan elit politik nasional kelas kakap, bahkan menjadi calon-calon presiden yang mengemis belas kasihan suara rakyatnya di masa pencoblosan, namun kemudian melupakannya sehari setelah pencoblosan.
Spektrum kedua, tentang what we are going to do next selama seperempat abad berikutnya: menuju seket taun dan menyongsog sewidak taun di jalan sunyi, ‘jalan kenabian’, membersamai rakyat kecil bersama Nur Muhammad. Kenduri Cinta akan selalu berada di jalur istiqomah angon Indonesia, di sabilillah Maiyah melayani umat, di sirotholmustaqim menegakkan cinta menuju Indonesia mulia.
Pertanyaanya, mampukah kita menempuh itu semua dengan tantangan, lanskap sosial-politik, game changer, dan algoritma kehidupan yang sama sekali berbeda dengan yang sudah dilewati 25 tahun terakhir? Ada 3 kunci utama yang bisa menjadi bahan renungan bersama, yaitu: spirit kebersamaan, dialektika keseimbangan, dan kesadaran keMuhammadan.
Pertama, ide dasar Maiyah, bahkan dari namanya saja, tidak menasbihkan ke tokoh atau figur siapa pun, entitas mana pun, bahkan karakter atau simbol apa pun. Ia adalah spirit untuk secara aktif membersamai Allah, yang konsekuensi logisnya pasti membawa kebersamaan bagi siapa pun, apa pun, kapanpun, dan dimanapun. Tidak seperti slogan politis ‘bersama kita bisa!’ yang berprinsip untung-rugi dan sejenisnya, membangun kebersamaan dalam koridor ma’Allah mungkin juga banyak ditempuh oleh forum, kelompok, dan komunitas lain. Namun, forum Kenduri Cinta memaknai spirit itu dengan manifestasi berkegiatan tanpa basis AD-ART, sponsor, apalagi mengandalkan APBN dan APBD dan dukungan lembaga donor. Kebersamaan itu dibangun tanpa mempersoalkan status sosial, latar belakang pendidikan dan ekonomi, atau beragam pembeda maqom atau martabat manusia atas manusia lain, selain ketulusan hatinya menghamba ke Allah dan kejernihan batinnya menjadikan orang lain—siapa pun itu—sebagai referensi belajar untuk terus bertumbuh meningkatkan kadar ke-Maiyah-an.
Kedua, perhatian utama Maiyah, dalam memandang atau merespon apa pun, sumbu utamanya adalah menemukan titik keseimbangan. Tidak hanya di dalam ranah benar-salah, baik-buruk, dan elok-norak, exercise mencari dan menemukan titik keseimbangan juga terus dilakukan pada dimensi mikro-makro, individu-kolektif, lokal-global, internal-eksternal, bumi-langit, jasmani-rohani, dunia-akhirat, dan mahluk-Khalik. Melesetnya pemahaman tentang dileketika keseimbangan inilah yang menjadi muasal dari munculnya stress dan aneka rupa penyakit individu serta ketegangan, konflik sosial, economic inequality, poliarisasi politik, dan collective distrust yang melanda banyak bangsa, termasuk Indonesia.
Ketiga, dan ini yang paling sering dilupakan dan dilalaikan bahkan oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia, adalah peran sentral dari pentingnya akhlak. Akhlak ini tidak hanya diajarkan atau diteladankan oleh Rasulullah Muhammad, tetapi juga manjadi the ultimate goal dari misi kenabian beliau, yaitu: “Innama bu’istu liutammima makarimal akhlaq.” Memulikan akhlak dan mengakhlakkan kemuliaan. Karya Mbah Nun, mulai dari kumpulan puisi beliau di akhir tahun 70-an berjudul M-Frustasi, hingga buku Nasionalisme Muhammad dan album musik dan sholawat Kado Muhammad di era kepongan rezim Orde Baru, serta serial tulisan reflektif terakhir sejak Pandemi Covid-19, tak pernah lepas dari ikhtiar membangun akhlak dan kesadaran individu maupun kolektif tentang ide dan laku ‘Muhammadkan Hamba’ bagi siapa pun yang bersentuhan dengan karya-karya itu.
Ketiganya menjadi formula baku keberadaan forum dan komunitas Kenduri Cinta selama 25 tahun, melalui silih berganti siapa pun penggiat dan aktivisnya. Formula ini— sadar atau tidak—luput, atau setidaknya tidak secara serius dan sungguh-sungguh dibangun oleh universitas, pesantren, ormas, komunitas, kelompok lain, atau bahkan oleh negara sekalipun.
Kenduri Cinta juga adalah oase kegembiraan, ruang perjamuan batin yang menampung semua usia, semua warna jiwa. Anak-anak kecil berlarian di antara barisan tikar, kadang tertawa lepas, kadang tertidur di pangkuan ibu mereka, sementara para remaja menyimak dengan mata penuh cahaya. Kaum muda berdiskusi hangat di sudut-sudut gelap yang diterangi lampu sorot panggung, dan para sepuh duduk khusyuk, menyimak dengan kesabaran yang lahir dari umur dan pengalaman.
Tak ada batas usia, tak ada hierarki intelektual, tak ada kasta sosial. Yang ada hanya manusia yang saling menyapa, saling menjaga, dan saling belajar. Semua datang membawa cinta dan pulang membawa kegembiraan. Tidak ada tiket, tidak ada seleksi masuk, hanya ketulusan yang menjadi syarat tunggal kehadiran. Kenduri Cinta adalah pesta rakyat yang tidak dipoles kemewahan, tapi dikukuhkan oleh keikhlasan. Ia bukan hanya feast of love, tetapi juga feast of life—sebuah riwayat kegembiraan kolektif yang dirayakan dalam kebersamaan lintas usia, lintas maqam, dan lintas zaman.
Milad Kenduri Cinta ke-25 mengajak kita untuk merayakan Kenduri Cinta, Riyaya Katresnan. Baik penggiat lama dan baru, jamaah lintas usia, dan narasumber lintas disiplin yang akan mengelaborasi ketiga hal di atas dari berbagai dimensi yang akan kita terjemahkan untuk meneropong Indonesia dari panggung Kenduri Cinta di usia seket dan sewidak-nya mendatang.