Daftar kasus korupsi di Indonesia terus bertambah. Masyarakat seperti diajak menyaksikan sebuah serial panjang drama tanpa akhir. Ironis, semakin besar kerugian negara, semakin cepat kita lupa siapa pelakunya.
Baru satu kasus ditangani, muncul lagi kasus yang lebih mencengangkan. Belum sempat kaget kita pada kasus ekspor minyak ilegal, publik sudah kembali dikejutkan dengan hakim yang menerima suap dari terdakwa kasus korupsi itu. Jangan-jangan, bulan depan kita akan disuguhkan berita tentang tertangkapnya aparat yang disuap oleh hakim kasus itu. Ruwet.
Tak lagi puluhan miliar, kini kita terbiasa dengan angka triliunan, hingga puluhan triliun. Angka yang terlalu besar bahkan untuk sekadar dibayangkan.
Muncul lelucon tentang sebuah “Liga Korupsi Indonesia” dimana para pejabat bersaing dalam hal efisiensi atau pelayanan publik, melainkan dalam angka kerugian korupsi.
Sebuah bentuk ketidakberdayaan publik yang dikompensasi dengan tawa-tawa getir. Kita telah berada dalam sistem yang tak punya lagi rasa malu. Korupsi tak lagi menjadi tindakan menyimpang. Korupsi telah menjelma menjadi kelaziman.
Namun, pada keadaan yang penuh absurditas ini, saya mengajukan mimpi, sebuah harapan. Jika memang kita tidak mampu menghapus perilaku korup di negeri ini, setidaknya mari kita perbaiki kualitas korupsi kita. Jadilah koruptor yang membanggakan, penuh rasa malu dan bertanggung jawab.
Seperti yang dilakukan Menteri Pendidikan Estonia yang mengundurkan diri setelah ia terungkap menggunakan mobil dinas dan sopir kementeriannya untuk mengantar anak-anaknya berangkat sekolah.
Juga seperti Anak Perdana Menteri Fumio Kishida, Shotaro Kishida, yang mengundurkan diri dari posisinya sebagai sekretaris kebijakan eksekutif setelah menggunakan kediaman dinasnya untuk mengadakan pesta pribadi.
Ada juga, Michael Matheson, Menteri Kesehatan Skotlandia, yang mengundurkan diri setelah terungkap bahwa iPad dinasnya digunakan oleh keluarganya selama liburan di Maroko.
Bandingkan dengan Indonesia. Saat kasus korupsi mencuat, pelaku justru tampil percaya diri. Beberapa bahkan mencalonkan diri pada proses kontestasi politik berikutnya. Tak ada rasa bersalah.
Kita tidak kekurangan contoh, tetapi jelas kekurangan rasa malu.
Apa yang dilakukan para pejabat di negara-negara di atas bisa disebut sebagai “korupsi yang beradab”. Bukan karena perbuatannya benar, tetapi karena masih ada kesadaran bahwa kekuasaan datang bersama tanggung jawab moral. Sesuatu yang tampaknya semakin langka dalam politik Indonesia.
Layak-kah kita bermimpi lebih sederhana? Bukankah kita bisa sedikit berbangga, andaikata kasus-kasus korupsi di negara ini setidaknya menyerupai itu? Setidaknya, ketika korupsi terjadi, para pelaku tahu malu. Mundur tanpa perlu digiring paksa. Meminta maaf tanpa membaca naskah.
Harapan saya, dan mungkin kita semua, sederhana. Jika kita belum mampu membangun sistem yang bersih, mari setidaknya menjadi pejabat yang punya rasa malu, yang berani mengundurkan diri sebelum diadili, yang mampu menerjemahkan etika sebelum hukum turun tangan. Jadilah koruptor yang elegan, bisa memberi teladan.
Bukan karena kita memaklumi korupsi, tetapi karena kita lelah dengan arogansi, agar kita, anak-anak kita, tak kehilangan akal sehat sebagai bangsa.