Kenduri Cinta edisi Februari 2025 mengangkat judul Estafet Syukur, yang telah dibahas dalam forum Reboan selama kurang lebih empat minggu. Para penggiat memiliki beragam sudut pandang tentang syukur, dan hakikat syukur ditemukan dalam diskusi-diskusi Kenduri Cinta, baik bulanan maupun mingguan. Dalam salah satu edisi Reboan, Alfa menyampaikan bahwa dalam mempelajari ilmu, kita mengenal tiga aspek utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Untuk membahas estafet dan syukur secara mendalam, ketiga aspek ini perlu diurai satu per satu agar pembahasan tidak meluas tanpa arah.
Syukur adalah konsep yang sering dibahas dalam berbagai dimensi kehidupan, baik secara spiritual, filosofis, maupun praktis. Sayangnya, manusia hari ini cenderung mempersempit makna syukur hanya sebagai ungkapan verbal “terima kasih”. Padahal, dalam bahasa Arab, kata syakara memiliki arti yang lebih luas: membuka hati, pikiran, dan diri terhadap nikmat Allah. Syukur adalah sikap yang melibatkan kesadaran mendalam atas segala nikmat, baik materi maupun non-materi, yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Syekh Nursomad Kamba, syukur bukan sekadar ekspresi rasa terima kasih, tetapi juga bersifat reflektif dan kontemplatif. Dengan demikian, syukur sejati memerlukan kesadaran yang mendalam dan terus-menerus.
Jika ditinjau lebih dalam, syukur bukan sekadar kebalikan dari mengeluh, melainkan berlawanan dengan kufur. Dalam Surat Ibrahim ayat 7, Allah menegaskan bahwa orang yang bersyukur akan mendapatkan tambahan nikmat, sementara orang yang kufur akan mendatangkan azab yang pedih. Namun, pemahaman mengenai kufur sering kali terbatas sebagai lawan dari iman, padahal kata kufur berasal dari kata kafara, yang berarti menutup. Dialektika antara syukur dan kufur seharusnya dipahami seperti konsep inna ma’al usri yusra: setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Dalam makna yang lebih luas, syukur adalah membuka kesadaran kita terhadap segala nikmat Allah, sedangkan kufur adalah sikap menutup diri terhadap nikmat Allah.
Mbah Nun pernah menjelaskan bahwa ada dua jenis syukur: kultural dan natural. Syukur kultural berkaitan dengan dinamika keseharian, seperti bersyukur karena naik jabatan, mendapatkan penghargaan, atau meraih kesuksesan tertentu. Sebenarnya, syukur kultural seperti ini sah-sah saja, tetapi sering kali tidak bertahan lama karena bergantung pada situasi yang sementara. Sebaliknya, syukur natural mengingatkan kita bahwa hal-hal mendasar seperti udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan kehidupan itu sendiri adalah bagian dari Nikmat Allah. Syukur natural inilah yang bisa bertahan sepanjang waktu, karena ia tidak bergantung pada kondisi eksternal. Bersyukur bukan sekadar membandingkan diri dengan orang lain, tetapi tentang bagaimana kita menyadari setiap karunia kecil yang sering terlupakan, sehingga rasa syukur kita menjadi lebih utuh.
Dalam forum bulanan, Ustaz Nurshofa menjabarkan mengenai dua jenis orang yang bersyukurdalam kitab Ar-Risalatul Qusyairiyah: orang yang bersyukur dan orang yang sangat bersyukur. Orang yang hanya bersyukur adalah orang yang mensyukuri apa yang ada, sedangkan orang yang sangat bersyukur adalah orang yang sangat mensyukuri apa yang tidak ada. Sedikit sekali orang yang benar-benar bersyukur. Misalnya, ketika ban bocor, kita bisa bersyukur karena hanya bocor, bukan robek. Syukur sejati melibatkan kemampuan untuk melihat hikmah di balik setiap situasi, bahkan dalam kondisi yang tampaknya kurang menguntungkan.
Kenduri Cinta sendiri adalah bentuk konkret dari syukur, di mana kita mensyukuri nikmat Allah dengan berbagi ilmu, cinta, dan kebersamaan yang kita alami di setiap perjumpaan. Pun di dalamnya kita belajar untuk membuka hati dan pikiran terhadap nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi dan berbagi dengan sesama.
Sering kali manusia terjebak memandang syukur sebagai sikap pasrah yang hanya menerima segala sesuatu apa adanya. Padahal, syukur sejati adalah mensyukuri nikmat dengan cara memanfaatkannya secara optimal, berikhtiar untuk menjaga dan meningkatkan kebermanfaatan diri. Pemahaman tentang syukur juga tidak boleh terjebak pada persepsi sempit bahwa rezeki hanya berupa uang atau materi semata. Kesehatan, kekeluargaan, dan kesempatan juga merupakan bentuk rezeki yang patut disyukuri. Allah adalah Asy-Syakur, Yang Maha Bersyukur, lalu apalagi yang membuat kita tidak bersyukur ? Seperti yang disampaikan Mbah Nun, “Ngapain sih kita bersyukur harus nunggu sesuatu?” Bersyukur ya bersyukur, sederhana.
Kembali ke Surat Ibrahim ayat 7, Allah menjanjikan bahwa Dia akan menambah nikmat-Nya kepada orang yang bersyukur. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, sebenarnya siapa yang paling membutuhkan tambahan nikmat tersebut? Tentu saja, orang yang paling memerlukan tambahan adalah mereka yang merasa kurang. Dengan demikian, jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi justru terletak pada rasa syukur, sebuah konsep yang mungkin terdengar counterintuitive, seperti yang diungkapkan oleh Nanda dalam forum Kenduri Cinta.
Konsep ini dapat dianalogikan dengan fenomena dalam ilmu biologi yang dikenal sebagai atrofi. Di malam Kenduri Cinta kemarin, Pram memaparkan bahwa atrofi adalah proses menyusutnya otot atau fungsi tubuh yang tidak digunakan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya fungsi tersebut secara total. Penyusutan otot ini terjadi karena tidak adanya beban yang diberikan kepada otot tersebut. Meskipun beban sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif, sebenarnya kita membutuhkannya. Contohnya, dalam kondisi gravitasi nol, risiko terbesar yang dihadapi astronaut adalah penyusutan otot karena tidak adanya beban. Pada kadar tertentu, kendala atau beban justru diperlukan agar kita dapat kembali pada fitrah kita sebagai manusia. Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, telah memberikan beban secara adil sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, sehingga kita dapat tumbuh dan berkembang melalui tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, syukur bukan sekadar kata atau ritual, tetapi sikap hidup yang mendalam dan menyeluruh. Syukur adalah upaya manusia untuk membuka hati dan pikiran secara sadar terhadap nikmat Allah, serta menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan bersama. Kenduri Cinta adalah salah satu bentuk nyata dari praktik syukur yang lebih luas. Dalam Kenduri Cinta, syukur diwujudkan dalam bentuk berbagi ilmu dan cinta. Ini membuktikan bahwa syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi. Di Kenduri Cinta, kita juga belajar bahwa syukur adalah manifestasi dari kemesraan dan kegembiraan yang tulus, sebuah kenduri spiritual yang menghubungkan kita dengan Allah, Nabi Muhammad, dan sesama kita. (RedKC/Haddad)