AKTIVISME kesadaran alam menjadi subjek di kehidupan manusia sepertinya perlu disemarakkan kembali. Resistensi yang selama ini diterima oleh alam begitu menggerus nilai moral dan mencederai peradaban yang dibangun oleh nenek moyang manusia.
Kendati manusia modern selalu berinovasi dengan teknologinya, namun mereka selalu menjadikan semuanya adalah objek dari semesta kehidupan. Perbedaan subjek dan objek dalam kehidupan ini tentu jauh memiliki banyak disparitas makna.
Alam, jika memakai bingkai kacamata objek, hanya akan dijadikan bahan eksplorasi kehendak bebas manusia. Semua perlakuannya hanya akan menimbulkan makian eksploitatif lantaran tak melibatkan pikiran jangka panjang. Kerusakan lingkungan menjadi bahasan utama dalam diskursus norma sosial.
Perilaku tak terkontrol manusia menimbulkan banyak kerugian destruktif bagi penghuni alam. Alih-alih menyadari peran mereka, banyak manusia justru menyalahkan kondisi cuaca yang tak lagi stabil, keadaan laut yang tercemari karena laut sendiri bukan dari manusia, serta otoritas gunung yang tak mau diajak kompromi. Padahal manusia sangat memiliki andil atas dampak kerusakan tersebut.
Jika manusia sudi menapaktilasi jejak nenek moyang terdahulu, tentu akan terlihat metode kehidupan yang berbeda antara manusia dan alam. Afinitas keduanya melahirkan interpretasi subjek yang berselaras menjalani kehidupan. Tidak saling menyakiti antara satu dan yang lain, dengan kesadaran semua mahkluk Tuhan di muka bumi membawa nyawa.
Dalam khasanah Jawa, nyawa itu terejawantahkan dalam setiap benda. Keris atau benda pusaka diberi nama “Ki” atau “Kiai”. Gamelan juga memiliki predikat yang sama, begitu pun benda lain yang juga dilabeli dengan nama-nama yang berbeda pula, namun tetap identik dengan Ki maupun Kiai.
Manusia, dengan sisi egosentris, sering menempatkan dirinya sebagai pusat semesta, melihat alam semata-mata sebagai objek untuk dimanfaatkan. Paradigma ini tumbuh seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan ekonomi. Hutan ditebang, sungai rusak, udara tercemar demi ambisi pembangunan dan kemajuan. Dalam peran ini, alam dianggap pasif, tanpa suara, hanya menjadi bahan mentah untuk kebutuhan manusia.
Namun manusia lupa, sejarah menunjukkan ketika manusia melampaui batas, alam mengambil perannya sebagai subjek. Banjir, kekeringan, gempa bumi, dan perubahan iklim adalah “respons” dari alam terhadap perlakuan manusia. Alam bukanlah benda mati yang bisa diperlakukan sesuka hati, melainkan sistem hidup yang punya cara untuk menyeimbangkan dirinya kembali.
Sadar atau tidak, manusia juga bisa menjadi objek dari kekuatan alam. Manusia menjadi korban dari sistem ekologis yang rusak oleh ulah manusia sendiri. Di sini letak kesadaran horizontal dan vertikal, bahwa hubungan manusia dan alam bukanlah hubungan satu arah. Manusia dipaksa menempatkan alam bukan hanya sebagai objek yang dikendalikan, tetapi juga sebagai subjek yang layak dihormati.
Relasi etis dan berkelanjutan dengan alam mulai harus dibenahi manusia berlabel modern. Modernisasi tak menjadikan manusia pantas menuhankan pengetahuan tanpa moral. Dalam filosofi timur maupun kearifan lokal banyak masyarakat adat, alam dianggap sebagai saudara, bahkan ibu. Maka pengetahuan klasik manusia Indonesia menyebut ibu bumi atau bumi pertiwi. Paradigma ini menempatkan manusia dan alam dalam kedudukan sejajar—saling memberi, saling menerima.