SETIAP kali kita mendengar kata gratis, selalu ada gema yang menipu di baliknya. Seolah-olah alam masih murah hati, padahal setiap tetes air hari ini sudah lebih tunduk pada izin, meteran, dan neraca ekonomi ketimbang pada hujan. Namun, ketika seorang gubernur menuding ada perusahaan besar yang mengambil air “gratis”, publik tersentak—bukan karena haus pada fakta, tapi karena lapar pada sensasi. Kata “gratis” seolah lebih menggoda daripada kata “izin”, “audit”, atau “konservasi”.
Di media sosial, air mendadak menjadi simbol ketidakadilan. “Perusahaan meneguk sumber daya rakyat!” tulis seseorang. “Kita kehausan, mereka kaya raya,” tulis yang lain. Padahal, di balik kata “gratis” itu, ada dunia birokrasi yang sunyi: tumpukan berkas izin pengambilan air tanah, laporan konservasi, studi hidrogeologi, dan kewajiban kompensasi. Semua terdengar terlalu administratif untuk menjadi berita.
Tapi bukankah sejarah Indonesia memang sering bergulir dari pertarungan antara kata dan air? Dulu, pada masa tanam paksa, air adalah urat nadi perkebunan kolonial. Sungai diatur, bendungan dibangun, dan irigasi dirancang bukan untuk sawah rakyat, tapi untuk tebu dan nila yang mengalir ke kapal dagang Eropa. Air menjadi instrumen kekuasaan, sebagaimana kata menjadi alat legitimasi.
Mungkin karena itu pula, kata “gratis” hari ini menggema seperti gema lama kolonialisme—menyiratkan bahwa yang menguasai air, menguasai hidup. Namun kini, penguasa air bukan lagi kompeni berseragam putih, melainkan perusahaan modern yang berbicara dengan bahasa izin, audit, dan keberlanjutan. Birokrasi menggantikan bayonet; laporan menggantikan cambuk. Tapi pada dasarnya, kita masih berurusan dengan hal yang sama: siapa yang berhak meneguk terlebih dahulu?
Para teknokrat akan menjawab dengan tenang: “Tidak ada air gratis. Setiap meter kubik tercatat, setiap izin diaudit, setiap sumber harus dikonservasi.” Pernyataan itu benar. Tapi kebenaran administratif sering kali kehilangan daya pikat moralnya di tengah pasar opini.
Di ruang publik, yang lebih cepat mengalir bukan air, melainkan prasangka.
Ironisnya, sistem sumur bor yang diperdebatkan itu justru muncul sebagai upaya menjaga kemurnian air dari kontaminasi manusia. Air yang diambil dari lapisan dalam bukan bentuk kerakusan, melainkan bentuk kehati-hatian ilmiah. Tapi siapa peduli pada hidrogeologi ketika yang kita cari adalah drama moral?
Kita hidup di zaman ketika kecurigaan lebih laku daripada kajian. Di mana satu unggahan media sosial bisa menguapkan ratusan halaman laporan teknis. Dan di situlah air berubah wujud—dari sumber daya menjadi narasi politik.
Di masa lalu, rakyat mengerjakan sawah, pemerintah mengatur irigasi. Kini, rakyat menggulirkan jempol, pemerintah menjelaskan izin. Tapi air tetap sama: mengalir ke tempat yang rendah. Barangkali di situlah pelajaran moralnya—air mengajarkan kita tentang kerendahan hati, sementara manusia terus berebut hak untuk memerintahkannya.
Polemik ini seharusnya bukan tentang siapa yang minum lebih dulu, tetapi tentang bagaimana kita menata rasa adil di antara yang haus. Air tidak gratis, tapi juga tidak sepenuhnya bisa dimiliki. Ia hanya bisa dikelola dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan, seperti air, membutuhkan wadah yang jernih.
Di tengah teriakan publik dan klarifikasi pejabat, barangkali kita perlu jeda sejenak untuk mengingat: Air bukan sekadar sumber ekonomi, ia adalah cermin peradaban. Ketika kita memfitnah air dengan kata “gratis”, mungkin yang sebenarnya kita tuduh adalah diri sendiri—karena telah menjadikan kebenaran sesingkat tweet, dan keadilan sesederhana harga sebotol minuman dingin di rak toko.
Di banyak kisah tua Nusantara, air selalu hadir bukan sekadar sebagai unsur alam, tapi sebagai saksi dari kesetiaan manusia kepada hidup. Dalam legenda Minangkabau, Danau Maninjau lahir dari air mata seorang perempuan yang difitnah. Dalam hikayat Jawa, Bengawan Solo mengalir dari perintah para dewa untuk menenangkan bumi yang retak.
Air bukan milik siapa pun. Ia adalah perantara antara langit dan bumi, antara dosa dan pengampunan, antara kekuasaan dan kerendahan.
Di Bali, setiap upacara melasti mengembalikan manusia ke laut—sebagai simbol pembersihan dari segala keserakahan. Di Aceh, sungai-sungai diberkati sebagai jalan pulang roh. Bahkan dalam Al-Qur’an, Tuhan menegaskan bahwa dari air-lah segala yang hidup dijadikan. Maka, ketika manusia memperdebatkan siapa yang “memiliki” air, sesungguhnya ia sedang memperdebatkan hak untuk menentukan batas kehidupan itu sendiri.
Kita mungkin hidup di masa ketika setiap tetes air harus disertai izin, pajak, dan laporan keberlanjutan. Tapi jauh sebelum kata “izin” ditemukan, air sudah mengajarkan satu hukum yang tak pernah dicatat di lembar peraturan mana pun: bahwa kehidupan hanya bertahan sejauh manusia mau berbagi.
Dari situ, barangkali kita perlu belajar kembali—bahwa yang membuat air menjadi suci bukanlah kemurniannya, melainkan kemurahan hatinya untuk terus mengalir.
Selama kita masih memperlakukan air sebagai komoditas yang bisa diklaim, dibatasi, atau dituding “gratis”, kita telah lupa bahwa ia sejatinya adalah perjanjian sunyi antara manusia dan semesta: bahwa hidup, seperti air, seharusnya tidak dimiliki—melainkan dijaga agar tetap mengalir bagi semua.
Nitiprayan, 24 Oktober 2025






