CINTA adalah fitrah suci yang dikirimkan Tuhan kepada setiap hati manusia. Jika cinta pertama seorang anak laki-laki adalah ibunya, maka cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Ayah adalah lelaki hebat yang tangguh, kasihnya tak terlihat tapi terasa memeluk atma yang dingin ketika diterpa angin kehidupan. Bersamanya kita tenang, bersamanya kita aman, bersamanya kita mengerti bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang patut diperjuangkan dan dimenangkan. Ayah adalah simbol cinta yang tak membutuhkan kata-kata, maka di laman putih ini aku ingin bercerita perjalanan hidupku bersamanya.
“Bapak!” Begitulah aku memanggil cinta pertamaku. Seorang lelaki paruh baya, yang sudah ditinggal belahan jiwanya dua tahun lalu. Keriput mulai menjalar di kulit hitam manisnya, tapi semangat belajarnya tak pernah padam. Di keluarga, aku adalah anak yang paling dekat dengannya dan salah satu orang yang sangat beruntung, karena masih diberi kesempatan untuk disadarkan oleh keberadaannya, bukan oleh ketiadaannya.
Jumat pagi, aku melakukan perjalanan ke kota metropolitan bersama Bapak. Bukan untuk tamasya, tapi untuk menjemput setetes cahaya yang dulu hanya berani diimpikan, dan dilihat dari layar gawai yang berseliweran di media sosial. Tak kusangka, gadis desa ini akhirnya bisa mewujudkan impiannya menginjakkan kaki di Jakarta bersama ksatria hebatnya untuk ke Kenduri Cinta. Dalam perjalanan menuju Kenduri Cinta, kami tak banyak bicara. Namun kehadirannya seperti doa yang terus diam-diam menjaga. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Kenduri Cinta adalah ruang yang telah menyatukanku dengan Bapak. Bapak dan Kenduri Cinta tak ada beda, sama-sama memberi cinta nyata tanpa imbalan. Bapak dan Kenduri Cinta mampu menghipnotis asa, menyadarkan akal pikiran, dan menyambungkan seluruh bagian diri.
Kata-kata yang terucap dari Bapak begitu tulus. Keikhlasannya dalam berbagi adalah sumber kekuatannya. Aku ingat, suatu kali Bapak pernah berkata bahwa tujuan hidup adalah ibadah. Ibadah bukan hanya sekedar salat, zakat, puasa, atau haji. Itu semua hanyalah bagian dari ibadah. Tapi, ibadah yang sejati adalah ketika setiap tarikan napas, tidur, tertawa, bahkan hal-hal yang tampak remeh sekali pun, seperti rutinitas biologis, bisa menjadi bentuk penghambaan jika diniatkan karena Tuhan (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dengan kesadaran itu, betapa pun remehnya segala hal, bisa memiliki makna spiritual. Tertawa, misalnya, adalah ciri khas dari Kenduri Cinta, ekspresi autentik manusia yang jujur dan bisa menjadi jembatan menuju surga. Pun dengan surga dan neraka. Bagi Bapak, keduanya bukan sekadar tempat di akhirat, melainkan kondisi kesadaran. Ketika kita marah, emosi, dan kesal, itu artinya kita sedang berada di neraka. Ketika kita damai, bahagia, dan penuh cinta, itulah surga.
So, if you want to live in paradise, start by being happy. Karena surga dan neraka bukan semata ruang, melainkan cermin dari cara kita menjalani hidup. Dan aku percaya, surga selalu menyapa di tengah-tengah jemaah Kenduri Cinta. Seperti Kenduri Cinta yang mendakwahkan kasih sayangnya tanpa pamrih. Ia tidak membawa kepentingan dalam setiap kata yang dilangitkan. Ia tidak mengajak dengan paksaan, tidak pula menyulut makar. Ia hadir hanya untuk menyampaikan dengan ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran. Tak jauh berbeda dengan Bapak. Setiap kali aku kehilangan arah, Bapak menuntunku kembali kepada cahaya. Ia tidak pernah memaksa. Ia hanya menyampaikan. Karena Bapak paham, tugas manusia bukanlah mengubah orang lain, melainkan sekadar menyampaikan (Q.S. Al-Qasas: 56).
Seperempat abad bukanlah perjalanan yang singkat. Forum ini telah melukiskan begitu banyak cinta dan makna di jiwa-jiwa yang tak mudah berputus asa. Tak jarang orang yang hadir di Kenduri Cinta pulang dengan tangan kosong, namun membawa hati yang penuh. Harapan-harapan yang hampir tenggelam, kembali dirakit dengan hikmat dan kesadaran. Dan sepulang dari Kenduri Cinta, hatiku digerakkan oleh satu cita-cita, yaitu aku ingin selalu dekat dengan Bapak. Bukan hanya sebagai anak, tapi juga sebagai teman bicara. Aku ingin berdialog dengannya dalam ruang yang utuh, entah lewat podcast, obrolan santai di beranda rumah, atau bahkan seperti Mas Sabrang dan Mbah Nun, anak dan ayah yang tak hanya berbagi kata, tapi juga saling belajar, saling mendewasakan, dan saling menyadarkan.
Tanggal 13 Juni 2025 menjadi tanggal bersejarah dalam hidup, kali pertama aku hadir di Kenduri Cinta. Awalnya, aku datang hanya karena suka. Tapi di tengah perjalanan, gelak tawa mengalir deras, dan aku sungguh jatuh cinta. Harapan-harapan yang nyaris pupus, kini aku bangun kembali dengan keteguhan. Momentum 25 tahun Kenduri Cinta telah menjadi titik kesadaranku dalam belajar menimba hidup: “Bahwa sejatinya, belajar adalah tentang memberi makna. Di mana ada Bapak, di situ aku melihat Kenduri Cinta.”