Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali

Muhammad Ibnu Faisal by Muhammad Ibnu Faisal
July 28, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali

RASANYA LAMA sekali tidak menulis tentang perasaan yang muncul akibat menonton film. Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak sepenuhnya membahas Sore, Jonathan, atau hal-hal detail mengenai Sore: Istri dari Masa Depan.

Film Sore memang kompleks, namun tetap mudah dipahami—bahkan bagi penonton yang belum sempat mengikuti serial web‑nya. Begitu layar dibuka, saya langsung merasakan perasaan yang berbeda; pengambilan gambar, ketepatan soundtrack, serta sensasi dari film ini menggambarkan hal yang tidak biasanya. “Forget Jakarta”, “Pancarona”, dan “Terbuang dalam Waktu” terasa begitu mulus di bagian-bagian penting film ini. Pengalaman ini luar biasa — sensasi “menonton pertama kali” yang mustahil diulang.

Ketika menonton saya seperti melihat sebuah cermin besar berukuran 17×8 meter — saya ulangi — seperti melihat cermin besar berukuran 17×8 meter. Rasanya tak berlebihan jika saya katakan layar besar itu seperti menayangkan ulang ingatan yang telah lama saya kubur dalam‑dalam.

Ketika layar ditutup saya terdiam, menangis, dan terbenak sebuah pertanyaan, “Dapatkah manusia berubah?” Sebelumnya saya ragu, tetapi pengalaman personal dan interpretasi saya atas film ini mengajarkan bahwa tidak, manusia tidak bisa berubah kecuali atas keinginannya sendiri.

Ketika tayangan mulai menunjukkan kesimpulannya, saya kagum melihat betapa cermat Yandy Laurens menyisipkan pesan: “You cannot change anyone, especially the people you love… but you can sow the seeds.”

Keinginan Mengubah Seseorang

Menghadapi keinginan untuk mengubah seseorang adalah hal yang tidak mudah; di sana selalu ada tarik‑menarik antara rasionalitas dan kesabaran.

Sering kali kita merasa sanggup dan bertanggung jawab untuk mengubah orang lain, padahal kita didesain hanya dengan kapasitas yang mampu mengubah diri sendiri. Tentu kita bisa menjadi kakak, adik, orang tua, atau pasangan yang baik melalui tindakan yang tepat; namun pilihan respons yang diambil orang lain tetap di luar domain yang bisa kita pengaruhi.

Film ini seakan ingin mengatakan bahwa ajakan untuk menjadi lebih baik kerap gagal karena ketiadaan upaya “memahami” terlebih dulu. Terkadang saya merasa ucapan dan perintah tak ada gunanya, betapapun manis atau kerasnya seseorang memilih kata‑kata.

Kita hari ini adalah hasil dari material pembentuk yang berbeda‑beda. Tiap orang memiliki keunikannya, sehingga benih yang perlu kita tanamkan juga harus melalui proses “memahami” yang tentu saja tidak mudah. Memahami seseorang dapat dimulai dengan mendengarkan; kebanyakan orang sebetulnya hanya ingin didengar. Kehadiran untuk mendengar jauh lebih penting dari argumen dan rasionalitas yang kaku dalam menghadapi pasangan. Buang jauh perasaan bahwa kita dapat mengubah, jika kita tak pernah mendengarkan, memahaminya dengan penuh kesadaran.

Bias-bias yang Menimbulkan Keindahan.

Film Sore menjadi indah karena tetap menunjukkan sisi kewajarannya di tengah tema besar melintasi waktu yang tentu saja fiksional. Jonathan tak praktis berubah secara sadar karena istrinya yang datang berkali-kali. Dugaan saya, Jonathan akhirnya tumbuh dengan alam bawah sadar yang berbeda setelah “didatangi” Sore berkali-kali. Saya juga bingung, tetapi begitulah adanya, film ini membuat kita berpikir tentang bias kausalitas: “mengapa jadi demikian?”.

Paling tidak, film ini mengingatkan saya bahwa kita tak pernah sepenuhnya tahu pahit‑getir yang dilewati seseorang, terkadang kemarahan dan penghindaran menjadi satu‑satunya yang tampak. Perubahan memang sulit, tetapi dengan didengarkan, setidaknya seseorang sadar bahwa ada jalan pemahaman — rasa “akhirnya ada yang paham”.

Betapa pun besar niat dan usaha kita, seseorang hanya akan berubah ketika ia sendiri yang menginginkannya. Rasa itu muncul dari rasa dipahami  atau dari rasa kehilangan, meski perubahan karena kehilangan adalah bab lain yang tidak pada tulisan ini. Berubah karena penyesalan dan kehilangan membutuhkan perjalanan yang tak kalah panjang.

Merasa gagal mengubah seseorang tidak membuat usaha kita lantas tidak ada gunanya, tetap ada peluang dari apa yang telah kita upayakan.

Menerima keputusan seseorang untuk tidak berubah adalah cara terhormat menghargai diri sendiri, terutama bila kita sudah bersungguh‑sungguh mendengar dan memahami. Kita bukan Sore yang mampu melintasi waktu ratusan kali demi mengubah seseorang.

Apakah penerimaan berarti membiarkan mereka untuk struggle sendirian? Tentu tidak. Kita selalu bisa meletakkan benih berupa indirect action pada lingkar kepedulian yang memang tumbuhnya tidak selalu sekarang. Terkadang saya secara ceroboh menafsirkan cinta yang tak perlu rasionalitas dan rasanya tidak apa-apa menikmatinya dengan penuh ketidaktahuan.

Mengutip Kalis Mardiasih, “Mencintai adalah bosan, lelah dan mati berkali‑kali, tapi sekaligus hidup dengan nyawa baru keesokan hari.”

Menanam benih perubahan adalah pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Namun setiap pagi, masih dan selalu ada harapan seseorang bisa berubah. Mencintai sesungguhnya bukan tentang merombak orang lain, melainkan setia hadir —mendengar, memahami, dan percaya bahwa suatu saat benih kecil itu akan tumbuh bermekaran.

SendTweetShare
Previous Post

Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh

Next Post

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang

Muhammad Ibnu Faisal

Muhammad Ibnu Faisal

Related Posts

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang
Esensia

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang

July 29, 2025
Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh
Esensia

Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh

July 25, 2025
Apa Ada Angin di Jakarta?
Esensia

Apa Ada Angin di Jakarta?

July 24, 2025
Mengembara “Cakrawala Anallah”
Esensia

Mengembara “Cakrawala Anallah”

July 22, 2025
Menanam, Bukan Menuntut Buah
Esensia

Menanam, Bukan Menuntut Buah

July 18, 2025
Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah
Esensia

Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah

July 15, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta