RASANYA LAMA sekali tidak menulis tentang perasaan yang muncul akibat menonton film. Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak sepenuhnya membahas Sore, Jonathan, atau hal-hal detail mengenai Sore: Istri dari Masa Depan.
Film Sore memang kompleks, namun tetap mudah dipahami—bahkan bagi penonton yang belum sempat mengikuti serial web‑nya. Begitu layar dibuka, saya langsung merasakan perasaan yang berbeda; pengambilan gambar, ketepatan soundtrack, serta sensasi dari film ini menggambarkan hal yang tidak biasanya. “Forget Jakarta”, “Pancarona”, dan “Terbuang dalam Waktu” terasa begitu mulus di bagian-bagian penting film ini. Pengalaman ini luar biasa — sensasi “menonton pertama kali” yang mustahil diulang.
Ketika menonton saya seperti melihat sebuah cermin besar berukuran 17×8 meter — saya ulangi — seperti melihat cermin besar berukuran 17×8 meter. Rasanya tak berlebihan jika saya katakan layar besar itu seperti menayangkan ulang ingatan yang telah lama saya kubur dalam‑dalam.
Ketika layar ditutup saya terdiam, menangis, dan terbenak sebuah pertanyaan, “Dapatkah manusia berubah?” Sebelumnya saya ragu, tetapi pengalaman personal dan interpretasi saya atas film ini mengajarkan bahwa tidak, manusia tidak bisa berubah kecuali atas keinginannya sendiri.
Ketika tayangan mulai menunjukkan kesimpulannya, saya kagum melihat betapa cermat Yandy Laurens menyisipkan pesan: “You cannot change anyone, especially the people you love… but you can sow the seeds.”
Keinginan Mengubah Seseorang
Menghadapi keinginan untuk mengubah seseorang adalah hal yang tidak mudah; di sana selalu ada tarik‑menarik antara rasionalitas dan kesabaran.
Sering kali kita merasa sanggup dan bertanggung jawab untuk mengubah orang lain, padahal kita didesain hanya dengan kapasitas yang mampu mengubah diri sendiri. Tentu kita bisa menjadi kakak, adik, orang tua, atau pasangan yang baik melalui tindakan yang tepat; namun pilihan respons yang diambil orang lain tetap di luar domain yang bisa kita pengaruhi.
Film ini seakan ingin mengatakan bahwa ajakan untuk menjadi lebih baik kerap gagal karena ketiadaan upaya “memahami” terlebih dulu. Terkadang saya merasa ucapan dan perintah tak ada gunanya, betapapun manis atau kerasnya seseorang memilih kata‑kata.
Kita hari ini adalah hasil dari material pembentuk yang berbeda‑beda. Tiap orang memiliki keunikannya, sehingga benih yang perlu kita tanamkan juga harus melalui proses “memahami” yang tentu saja tidak mudah. Memahami seseorang dapat dimulai dengan mendengarkan; kebanyakan orang sebetulnya hanya ingin didengar. Kehadiran untuk mendengar jauh lebih penting dari argumen dan rasionalitas yang kaku dalam menghadapi pasangan. Buang jauh perasaan bahwa kita dapat mengubah, jika kita tak pernah mendengarkan, memahaminya dengan penuh kesadaran.
Bias-bias yang Menimbulkan Keindahan.
Film Sore menjadi indah karena tetap menunjukkan sisi kewajarannya di tengah tema besar melintasi waktu yang tentu saja fiksional. Jonathan tak praktis berubah secara sadar karena istrinya yang datang berkali-kali. Dugaan saya, Jonathan akhirnya tumbuh dengan alam bawah sadar yang berbeda setelah “didatangi” Sore berkali-kali. Saya juga bingung, tetapi begitulah adanya, film ini membuat kita berpikir tentang bias kausalitas: “mengapa jadi demikian?”.
Paling tidak, film ini mengingatkan saya bahwa kita tak pernah sepenuhnya tahu pahit‑getir yang dilewati seseorang, terkadang kemarahan dan penghindaran menjadi satu‑satunya yang tampak. Perubahan memang sulit, tetapi dengan didengarkan, setidaknya seseorang sadar bahwa ada jalan pemahaman — rasa “akhirnya ada yang paham”.
Betapa pun besar niat dan usaha kita, seseorang hanya akan berubah ketika ia sendiri yang menginginkannya. Rasa itu muncul dari rasa dipahami atau dari rasa kehilangan, meski perubahan karena kehilangan adalah bab lain yang tidak pada tulisan ini. Berubah karena penyesalan dan kehilangan membutuhkan perjalanan yang tak kalah panjang.
Merasa gagal mengubah seseorang tidak membuat usaha kita lantas tidak ada gunanya, tetap ada peluang dari apa yang telah kita upayakan.
Menerima keputusan seseorang untuk tidak berubah adalah cara terhormat menghargai diri sendiri, terutama bila kita sudah bersungguh‑sungguh mendengar dan memahami. Kita bukan Sore yang mampu melintasi waktu ratusan kali demi mengubah seseorang.
Apakah penerimaan berarti membiarkan mereka untuk struggle sendirian? Tentu tidak. Kita selalu bisa meletakkan benih berupa indirect action pada lingkar kepedulian yang memang tumbuhnya tidak selalu sekarang. Terkadang saya secara ceroboh menafsirkan cinta yang tak perlu rasionalitas dan rasanya tidak apa-apa menikmatinya dengan penuh ketidaktahuan.
Mengutip Kalis Mardiasih, “Mencintai adalah bosan, lelah dan mati berkali‑kali, tapi sekaligus hidup dengan nyawa baru keesokan hari.”
Menanam benih perubahan adalah pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Namun setiap pagi, masih dan selalu ada harapan seseorang bisa berubah. Mencintai sesungguhnya bukan tentang merombak orang lain, melainkan setia hadir —mendengar, memahami, dan percaya bahwa suatu saat benih kecil itu akan tumbuh bermekaran.