Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Solidaritas di Lampu Merah

Toto Rahardjo by Toto Rahardjo
September 3, 2025
in Esensia
Reading Time: 6 mins read
Solidaritas di Lampu Merah

SIAPA SANGKA—bahkan pendiri Ojol pun tak membayangkan—bahwa dari sekadar aplikasi transportasi, lahir sebuah entitas kekuatan sosial baru di masyarakat Indonesia.

Dulu, orang berpikir teknologi hanya soal efisiensi. Soal cepat sampai, soal murah ongkos. Tapi tanpa sadar, ia melahirkan solidaritas baru, persaudaraan baru, bahkan perjuangan kelas versi abad digital.

Driver Ojol bukan sekadar tukang antar. Mereka mendadak menjadi cermin kehidupan: tabah menunggu order, sabar menelan penolakan, hafal jalan-jalan tikus kota. Mereka hafal wajah pelanggan yang pelit bintang, sekaligus wajah pelanggan yang lebih dermawan daripada pejabat negara.

Lihatlah, betapa rakyat yang dulu tercerai-berai oleh sekat profesi, tiba-tiba menemukan seragam hijau sebagai identitas kolektif. Dari helm sampai jaket, dari stiker di motor sampai slogan di jalan, mereka seperti pasukan sunyi yang lahir dari kegagalan negara menyediakan pekerjaan layak.

Lucunya, mereka disebut mitra, bukan karyawan. Sebuah kamuflase bahasa, seakan-akan keadilan bisa lahir hanya dengan mengganti istilah. Sama seperti rakyat yang disebut pemilih, tapi habis itu dibiarkan lapar.

Namun jangan salah, Ojol ini pelan-pelan menjelma jadi komunitas yang bisa menutup jalan kalau marah. Bisa menggalang solidaritas dengan cara yang negara pun kerepotan menandingi. Mereka bisa jadi lumbung suara, bisa jadi pasukan informasi, bisa jadi barisan darurat ketika banjir, kecelakaan, atau sekadar antar obat orang tua sakit di kampung.

Siapa yang menduga, sementara partai sibuk rebutan kursi, Ojol sibuk berbagi order. Sementara DPR sibuk hitung komisi, Ojol sibuk hitung kilometer. Sementara pejabat sibuk memelihara citra, Ojol sibuk memelihara rating.

Maka, kalau hari ini kau bertanya: siapakah “kelas menengah baru” Indonesia? Mungkin bukan dosen yang gelisah di kampus, bukan aktivis yang lelah dengan spanduk, bukan pula politisi yang sibuk selfie. Mungkin justru mereka: para pengemudi ojol. Yang dengan sabar menggendong anak bangsa dari satu titik ke titik lain. Yang hidupnya selalu “menunggu order” – persis seperti rakyat menunggu keadilan yang tak kunjung datang.

Siapa tahu, kelak ketika jalan buntu politik semakin terasa, sejarah bisa berbelok arah. Bukan partai yang memimpin rakyat, bukan pula ormas. Tapi konvoi motor hijau yang tiba-tiba menjadi pawai perubahan.

Kelompok ini memang tidak berideologi. Mereka tidak sibuk membentangkan bendera partai, tidak pula rajin melafalkan jargon politik. Mereka tidak partisan, tidak berlandaskan agama, suku, maupun ras. Mereka lintas bahasa, lintas pendidikan, lintas budaya, lintas latar sosial—persis seperti jalan raya yang setiap hari mereka lalui, penuh silang sengkarut, tapi toh tetap menghubungkan manusia satu sama lain.

Kesamaan utama yang mempersatukan mereka hanya satu, yakni mereka memang bukan pemilik modal. Itu saja sudah cukup. Karena kalau kau bukan pemilik modal, maka seluruh hidupmu hanyalah menunggu—menunggu order, menunggu bensin naik, menunggu cicilan jatuh tempo, menunggu pemerintah sadar, menunggu Tuhan berbelas kasih.

Lalu apa yang mereka pertaruhkan? Bukan lagi harta—karena harta mereka tak seberapa—yang dipertaruhkan justru jiwa dan raga. Bayangkan tubuh mereka yang seharian diterpa panas, debu, hujan, dan lampu merah. Bayangkan betapa hidup mereka adalah tarian abadi antara risiko dan rezeki: kecelakaan atau berkat, tilang atau tip.

Di sinilah letak paradoksnya. Negara selalu mengklaim ingin membela rakyat kecil, tapi justru rakyat kecil inilah yang setiap hari mempertaruhkan nyawa demi menutup lubang ekonomi keluarga. Mereka bukan pemilik saham perusahaan aplikasi yang kini bisa duduk manis menghitung laba. Mereka adalah tulang, otot, dan keringat yang membuat aplikasi itu bernapas.

Negara selalu mengklaim ingin membela rakyat kecil, tapi justru rakyat kecil inilah yang setiap hari mempertaruhkan nyawa demi menutup lubang ekonomi keluarga.

Lihatlah wajah-wajah mereka di lampu merah: ada yang masih sempat tersenyum, ada yang menunduk lelah, ada yang melamun entah apa. Di balik helm itu, setiap orang adalah kisah getir Indonesia modern.

Mereka mungkin tidak berideologi. Tapi justru karena itu, mereka lebih otentik. Mereka bukan kumpulan slogan. Mereka kumpulan daging, tulang, darah, dan napas—yang menghidupi kota-kota besar, yang tanpa sadar telah menciptakan solidaritas paling tulus: solidaritas orang-orang yang sama-sama tidak punya.

Mereka memang tidak seperti mahasiswa yang punya bendera sendiri-sendiri. Tidak seperti kelompok agamawan yang memiliki orientasi ideologi ormas tertentu. Mereka tidak sibuk menulis manifesto atau menata AD/ART. Mereka tidak repot mengutip kitab, tidak pula mengibarkan panji-panji.

Mereka tidak menampilkan identitas itu. Mereka murni—murni sebagai kerumunan. Kerumunan yang bagi penguasa sering disebut chaos. Tapi justru di dalam chaos itu tumbuh solidaritas yang tinggi. Seperti lalu lintas kota: tampak semrawut, padahal semua saling tahu kapan harus mengalah, kapan harus mendahului, kapan harus menyalakan lampu sein, dan kapan harus pura-pura tidak lihat.

Solidaritas mereka lahir bukan dari rapat resmi atau seminar kebangsaan, tapi dari nasib yang sama: perut lapar, cicilan menjerat, bensin naik, order sepi. Solidaritas yang ditempa bukan oleh teori, tapi oleh hujan deras yang membuat mereka berlindung bersama di emperan toko. Oleh panas terik yang membuat mereka saling berbagi botol air mineral.

Di tengah chaos itu ada keteraturan lain, keteraturan yang tak bisa dipahami birokrat. Mereka punya kode sendiri, misalnya salam klakson, lirikan mata, atau sekadar kode jempol di jalan. Itu bahasa mereka, bahasa yang jauh lebih jujur daripada pidato pejabat.

Maka jangan heran, meski mereka tampak tercerai-berai, mereka sesungguhnya adalah tubuh sosial yang rapat. Seperti sel-sel dalam tubuh manusia yang tampak terpisah, tapi bekerja sama menjaga kehidupan.

Kerumunan yang chaos ini, entah sadar atau tidak, sedang membentuk wajah baru masyarakat Indonesia: wajah tanpa ideologi, tanpa bendera, tanpa komando pusat. Tapi justru karena itu, wajah yang lebih jujur, lebih murni, lebih manusia.

Di sisi lain, mereka bukan serikat. Bukan organisasi masyarakat dengan struktur rapi, pemimpin gagah, atau koordinasi ala militer. Mereka tidak punya kantor sekretariat, tidak ada stempel resmi, tidak ada daftar hadir.

Justru karena itu, mereka susah untuk dilemahkan, dipecah belah, atau diadu satu sama lain. Bagaimana mau diadu kalau tidak ada markasnya? Bagaimana mau dibeli kalau tidak ada ketua umumnya? Bagaimana mau dilobi kalau tidak ada meja perundingannya?

Negara dan korporasi biasanya tahu cara menghadapi organisasi, biasanya dengan cara dipecah pimpinannya, beli elitnya, atau ganggu logistiknya. Tapi dengan kerumunan ini? Tidak ada elit yang bisa ditarik, tidak ada kongres yang bisa disabotase, tidak ada rapat pleno yang bisa dibubarkan. Yang ada hanyalah wajah-wajah lelah yang setiap hari bertebaran di jalan raya, tanpa hierarki, tanpa komando, tanpa garis komando.

Mereka ibarat air—mengalir ke mana saja, mencari celah di setiap retakan aspal. Air tidak bisa dipatahkan dengan pedang, tidak bisa ditembak dengan peluru. Justru karena cair, mereka sulit dikendalikan.

Mungkin inilah yang membuat mereka lebih tahan banting. Karena kelemahan mereka—yakni tidak terorganisir—sekaligus juga kekuatan mereka. Mereka bukan benteng yang bisa dijebol, melainkan kabut yang menyelimuti kota. Tidak bisa ditangkap, tapi terasa di mana-mana.

Di situlah letak kegelisahan penguasa yang selalu ingin “ada yang bisa dipegang”. Sementara mereka justru tidak menyediakan pegangan. Mereka hadir, tapi tak bisa dipetakan. Mereka nyata, tapi tak bisa dimonopoli.

Kini, mereka bersatu lagi. Bukan karena panggilan ideologi, bukan karena khotbah di mimbar, bukan pula karena orasi di kampus. Mereka bergerak lagi atas kesamaan nasib. Penderitaan yang sama.

Alasannya sederhana, sesederhana nasi kucing di angkringan. Sesederhana bensin yang naik, cicilan yang menjerat, dapur yang harus tetap ngebul.

Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat mereka kuat. Karena alasan mereka bukan fatamorgana, bukan jargon, bukan janji politik. Alasan mereka adalah alasan yang jadi landasan kenapa negara ini dulu ada. Dulunya.

Negara pernah didirikan bukan untuk memperkaya segelintir orang, melainkan untuk memastikan rakyat kecil tidak kehilangan harapan. Bukan untuk memelihara oligarki, tapi untuk menjaga agar tukang becak, petani, buruh, nelayan—dan kini para driver ojol—tidak hidup dalam ketakutan esok hari makan apa.

Kini, mereka seperti sedang mengingatkan kita: bahwa republik ini berdiri bukan di atas gedung tinggi, bukan di atas investasi asing, bukan di atas proyek mercusuar. Republik ini berdiri di atas kesamaan derita.

Bukankah itu ironis? Setelah delapan puluh tahun merdeka, rakyat harus kembali menemukan solidaritasnya di jalanan. Bukan di gedung DPR, bukan di ruang kabinet, tapi di bawah terik matahari dan lampu merah perempatan kota.

Seakan-akan mereka ingin berkata: kalau negara sudah lupa alasan kenapa ia ada, biarlah kami mengingatkannya—dengan tubuh kami sendiri.

Rumah Sawah, 1 September 2025

SendTweetShare
Previous Post

Angka yang Bicara dan Suara yang Hilang

Next Post

Humanisme dan Harmoni dalam Kepemimpinan

Toto Rahardjo

Toto Rahardjo

Related Posts

Gelombang Baru Itu Bernama Gen Z
Esensia

Gelombang Baru Itu Bernama Gen Z

September 29, 2025
Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan
Esensia

Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan

September 25, 2025
Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria
Esensia

Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria

September 24, 2025
Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri
Esensia

Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri

September 23, 2025
Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu
Esensia

Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu

September 22, 2025
Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi
Esensia

Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi

September 19, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta