KALAU KITA percaya bahwa pendidikan itu hanya ada di ruang kelas, berarti kita sudah kalah sebelum ujian dimulai. Pendidikan itu bukan institusi—ia adalah perjalanan. Ia bukan hanya guru dan murid, tapi juga sopir taksi yang pagi-pagi menunggu penumpang sambil menakar rezeki, petani yang menatap langit sambil menebak hujan, ibu-ibu pasar yang hafal harga cabai seperti menghafal ayat suci.
Pendidikan sejati tidak menunggu bel berbunyi. Ia menyelinap di antara percakapan warung kopi, di bawah rindang pohon beringin, di lorong-lorong kampung yang penuh coretan aspirasi. Ia mengajari kita bahwa hidup itu bukan soal menghafal jawaban, melainkan soal berani mengajukan pertanyaan yang tepat.
Pergerakan adalah kelas terbuka itu. Di sana tidak ada bangku kayu, tapi ada tempat berdiri yang kokoh. Tidak ada papan tulis, tapi ada dinding kota yang penuh coretan pesan. Tidak ada daftar hadir, tapi ada daftar hati yang berani mengambil bagian.
Kita sering menyangka pergerakan itu tugas orang-orang berteriak di jalan. Padahal, pergerakan adalah cara rakyat mengatur napasnya sendiri. Seperti petani yang menanam padi, pergerakan adalah menanam harapan. Ada musim kemarau, ada musim hujan, ada musim gagal panen, tapi tidak pernah ada musim menyerah.
Pendidikan yang lahir dari pergerakan mengajarkan rakyat berhenti jadi penonton. Kita ini sudah terlalu lama duduk di tribun, bersorak untuk pertandingan yang dimainkan orang lain. Lapangan itu milik kita, tapi kita hanya menonton sambil makan kacang, berharap wasit adil dan pemain tidak curang. Lalu kita kecewa—padahal kita sendiri tidak pernah mau turun bermain.
Dalam kelas kehidupan ini, rakyat belajar alfabet baru: A untuk Amanah, B untuk Berani, C untuk Cerdas. Huruf-huruf itu tidak diajarkan dengan kapur tulis, tapi dengan peluh, debu, dan bahkan luka. Kita belajar matematika yang lebih jujur: menghitung siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya datang saat kampanye.
Tentu saja, sekolah kehidupan ini penuh ujian. Ada ujian sabar saat kita dicemooh. Ada ujian istiqamah saat tawaran kenyamanan datang. Ada ujian akal sehat saat propaganda bertebaran. Seperti sekolah manapun, selalu ada murid yang malas, murid yang licik, dan murid yang ingin lulus tanpa belajar.
Namun guru kehidupan—yang kadang berwujud tukang parkir, pedagang asongan, atau kawan seperjuangan—tidak pernah berhenti mengajar. Mereka tahu bahwa setiap kesadaran yang tumbuh adalah pohon kecil yang suatu hari akan memberi teduh.
Maka, kalau ada yang bertanya, “Di mana sekolahmu? Siapa gurumu?” Saya akan jawab: sekolah saya adalah jalan yang mengajarkan langkah pertama, pasar yang mengajarkan tawar-menawar harga diri, sawah yang mengajarkan kesabaran, dan forum rakyat yang mengajarkan kita menyebut nama sendiri tanpa takut.
Karena pendidikan sejati bukan membuat kita pandai memuji kekuasaan, tapi membuat kita berani berkata benar walau sendirian. Bukan hanya membuat kita lulus ujian, tapi membuat kita lulus dari penjara ketakutan. Dan ingatlah, gelar tertinggi di sekolah kehidupan bukan “Profesor” atau “Doktor”—tapi “Manusia Merdeka.”
Mendidik Penguasa
Kalau penguasa itu anak sekolah, sebagian dari mereka murid yang malas belajar dan senang menyontek. Ada yang bangun pagi bukan untuk belajar, tapi untuk memastikan siapa yang bisa dibohongi hari ini. Kalau mereka kebetulan menjadi murid yang nakal, jangan berharap mereka berubah hanya karena guru menepuk bahu sambil berkata, “Nak, tolong ya, jangan nakal lagi.”
Penguasa—apalagi yang lalim—itu seperti kucing kampung yang sudah hafal jalan ke dapur. Sekali tahu pintu mana yang longgar, ia akan kembali lagi, lagi, dan lagi. Bukan karena ia lapar, tapi karena ia merasa berhak. Kalau kita cuma berkata pelan-pelan, “Jangan masuk, ya…” sambil tersenyum, percayalah, besok pagi kita akan mendapati panci kita kosong.
Bahasa yang mereka mengerti adalah bahasa batas. Bahasa “cukup sampai di sini.” Batas itu, kadang, harus diucapkan dengan nada yang jelas, supaya tidak disalahartikan sebagai basa-basi. Perlawanan adalah tata bahasa dari kalimat itu.
Perlawanan yang saya maksud bukan berarti kita harus menghunus senjata atau mengangkat batu. Perlawanan bisa berupa keberanian untuk berkata “tidak” ketika mereka mengajukan aturan yang menindas. Perlawanan bisa berupa kritik terbuka yang menusuk sampai mereka sadar, “Wah, ternyata rakyat ini masih punya gigi.” Perlawanan bisa berupa gerakan menolak ikut arus, menolak dibeli, menolak tunduk hanya karena iming-iming sedikit kenyamanan.
Sebab kekuasaan itu seperti air di bak mandi. Kalau dibiarkan tanpa saluran keluar, ia akan menggenang, bau, dan menjadi sarang penyakit. Maka rakyat harus menjadi saluran itu—mengalirkan, mengawasi, bahkan menguras ketika airnya mulai busuk.
Mengawasi penguasa itu bukan kebencian, melainkan pendidikan. Sama seperti guru yang menegur murid bukan karena benci, tapi karena ingin murid itu lulus ujian hidup dengan nilai yang layak. Bedanya, di kelas ini, guru adalah rakyat, dan murid adalah mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Masalahnya, banyak penguasa yang terlalu lama duduk di kursi empuk, sehingga lupa cara berdiri tegak. Mereka lupa bahwa kursi itu milik rakyat. Maka tugas rakyat adalah mengingatkan, kadang dengan suara lembut, kadang dengan suara lantang. Kalau penguasa pura-pura tuli, suara lantang itu harus diulang sampai mereka menoleh.
Mendidik penguasa berarti mengajarkan bahwa rakyat ini bukan kumpulan boneka yang bisa digerakkan sesuka hati. Rakyat punya martabat, dan martabat itu bukan untuk dijual atau disewa. Rakyat bisa memberi mandat, tapi rakyat juga bisa menariknya.
Di forum-forum rakyat, perlu ada kata-kata: kekuasaan tanpa pengawasan itu seperti anak kecil main api di dalam rumah. Kalau kita diam saja, rumah akan terbakar dan kita semua akan kehilangan tempat tinggal. Maka, jangan takut memadamkan api, bahkan jika harus memegang ember dengan tangan sendiri.
Sebab, di akhir pelajaran, nilai terbaik bukan milik penguasa yang berhasil mempertahankan kursi, tapi milik rakyat yang berhasil mempertahankan martabatnya.
Sekolah Kehidupan dan Kelas untuk Penguasa
Kalau pendidikan itu hanya kita pahami sebagai aktivitas di dalam ruang kelas, maka kita sudah menempuh setengah perjalanan dan memutuskan untuk berhenti. Padahal, pendidikan itu bukan alamat tetap—ia tidak menetap di bangunan beratap genteng dengan papan nama di depannya. Pendidikan sejati itu seperti matahari: ia terbit di pasar, di sawah, di lorong kampung, bahkan di pinggir jalan ketika rakyat berbaris menyuarakan keberatan mereka.
Ruang kelas yang sesungguhnya sering kali adalah medan kehidupan. Di sana rakyat belajar mengorganisir diri, mengasah kesadaran sosial, dan melatih keberanian melawan ketidakadilan. Itu bukan pelajaran tambahan, melainkan inti kurikulum kehidupan. Pergerakan adalah gurunya, pengalaman adalah bukunya, dan keberanian adalah alat tulisnya.
Tapi, kita jangan lupa: di sekolah kehidupan ini, penguasa adalah murid juga. Bedanya, mereka sering murid yang nakal—malas belajar, pandai menyontek, dan suka menguasai meja guru. Kalau kita hanya menepuk bahu mereka sambil berkata, “Nak, tolong ya, jangan nakal lagi…,” percayalah, besok mereka akan mengulang lagi dengan senyum lebih lebar.
Penguasa—apalagi yang lalim—tidak akan berubah hanya dengan nasihat lembut. Mereka paham bahasa batas, dan perlawanan adalah tata bahasa yang membuat mereka mengerti. Perlawanan di sini tidak selalu berupa kekerasan fisik; ia bisa hadir dalam bentuk sikap tegas, kritik terbuka, dan penolakan terhadap kebijakan yang menindas. Sebab, kekuasaan yang tidak diawasi akan membusuk seperti air di bak yang dibiarkan menggenang.
Mengawasi penguasa adalah bagian dari mendidik mereka. Rakyat adalah guru yang mengajarkan bahwa mandat bukan cek kosong. Bahwa martabat rakyat tidak bisa dijual di pasar kebijakan. Bahwa kursi yang mereka duduki adalah kursi pinjaman—dan setiap saat bisa ditarik kembali.
Di sini, rakyat yang cerdas dan berani bersuara menjadi benteng terakhir melawan kesewenang-wenangan. Pergerakan menjaga denyut kehidupan demokrasi, sementara perlawanan menjaga kewarasan kekuasaan. Tanpa keduanya, rakyat akan kembali tertidur dalam pasrah, dan penguasa akan leluasa bertindak tanpa kontrol moral maupun sosial.
Kita ini, mau tidak mau, adalah penjaga sekolah kehidupan. Kalau kita lengah, kelas akan dikuasai murid-murid nakal. Mereka akan memutuskan kurikulum sendiri: hanya pelajaran yang menguntungkan mereka yang diajarkan, sementara pelajaran tentang keadilan, keberanian, dan kebenaran dihapus dari daftar.
Maka, kalau ada yang bertanya, “Di mana sekolahmu? Siapa gurumu?” kita bisa menjawab: sekolah kami adalah jalan yang mengajarkan langkah pertama, pasar yang mengajarkan tawar-menawar harga diri, sawah yang mengajarkan kesabaran, dan forum rakyat yang mengajarkan kita menyebut nama sendiri tanpa takut. Guru kami adalah siapa saja yang mengingatkan, “Jangan tidur ketika rumah sedang terbakar.”
Sebab gelar tertinggi dalam sekolah ini bukan “Profesor” atau “Doktor”—melainkan Manusia Merdeka. Tugas manusia merdeka adalah memastikan bahwa rakyat tidak pernah lupa belajar, dan penguasa tidak pernah berhenti dididik.
Nitiprayan, 14 Agustus 2025