Tak ada yang benar-benar menyukai antrean. Ia kerap menjadi lambang dari keterlambatan, ketidakefisienan, bahkan ketidakadilan. Tapi justru karena itulah, antrean menjadi ruang belajar paling jujur tentang manusia dan tentang kesabaran.
Di loket mana pun—entah itu pelayanan publik, tiket kereta, warung makan siang, atau posko bantuan—selalu ada wajah-wajah dengan harapan yang tertahan. Dalam diam, setiap orang belajar menerima: bahwa urutannya belum sekarang, bahwa haknya masih menunggu, dan bahwa hidup tak bisa selalu sesuai kemauan. Tidak ada guru, tidak ada buku teks, tapi ada kurikulum yang jelas: sabar, tertib, dan tahu diri.
Di dalam antrean, tidak ada yang benar-benar bisa pamer. Tak peduli jabatan atau gelar. Sebab, posisi bukan ditentukan oleh siapa kamu, tapi oleh waktu kedatanganmu. Inilah momen langka di dunia modern, di mana struktur sosial mendadak datar. Si kaya dan si miskin, si tua dan si muda, semua berdiri dalam garis yang sama; dibatasi oleh tali atau cat di lantai, bukan oleh status.
Barangkali inilah kenapa antrean terasa melelahkan: karena ia memaksa manusia untuk duduk berhadapan dengan ego. Tidak bisa menyela, tidak bisa menyuruh, tidak bisa membeli jalur cepat. Yang ada hanya menunggu dan menunggu. Menunggu, sejatinya, adalah keterampilan spiritual yang sulit. Sebab, saat menunggu, waktu seakan melambat dan suara dalam diri mulai gaduh. Seseorang bisa terlihat tenang di luar, tapi di dalamnya terjadi perdebatan: “Kenapa dia lebih dulu? Kenapa proses ini lambat? Kenapa aku harus di sini?”
Namun justru di tengah kegaduhan batin itulah, ruang kontemplasi mulai terbuka. Ada yang diam-diam merenung tentang perjalanan hidupnya. Ada yang tiba-tiba mengingat orang tuanya di kampung. Ada pula yang mulai berpikir: seberapa sering ia selama ini menyela giliran orang lain—bukan di loket, tapi dalam hidup?
Antrean bukan sekadar urusan sistem. Ia adalah latihan rendah hati. Belajar tidak merasa lebih penting. Belajar bahwa hak orang lain sama berartinya dengan hak sendiri. Belajar bahwa dunia tak berputar hanya karena satu kehendak.
Barangkali karena itulah, Tuhan kadang memperpanjang antrean hidup seseorang. Tidak untuk menyiksanya, tapi untuk melembutkan jiwanya. Supaya ia tidak selalu ingin cepat-cepat selesai, cepat-cepat kaya, cepat-cepat diakui. Sebab, kebijaksanaan sering kali lahir bukan dari percepatan, melainkan dari penantian yang dijalani dengan sabar. Antrean memang tidak menyenangkan. Tapi di sanalah, manusia belajar menjadi manusia—bukan karena didengar, tetapi karena tahu kapan harus diam dan menunggu.