DELAPAN PULUH tahun lalu, kabar kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta terdengar di seluruh penjuru nusantara. Di Sumatra, misalnya, butuh hampir satu pekan hingga berita proklamasi sampai, bersamaan dengan rakyat melucuti tentara Jepang yang kalah Perang Dunia II. Keterbatasan akses informasi membuat masyarakat kala itu hanya bisa mengandalkan kabar berantai.
Kini, keadaan berbalik 180 derajat. Informasi mengalir deras tanpa batas ruang dan waktu. Hanya dengan ponsel di tangan, kita bisa mengetahui peristiwa di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Teknologi digital membawa keterbukaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, justru di sinilah paradoks itu muncul: di tengah banjir informasi, masyarakat seringkali kesulitan membedakan mana fakta dan mana manipulasi.
Ketika Fakta Dikalahkan Opini
Fenomena ini sering disebut sebagai era post-truth: masa ketika opini pribadi dan emosi lebih berpengaruh dibanding fakta objektif. Filsuf politik Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa bahaya terbesar politik modern adalah ketika kebohongan diproduksi secara kolektif, sehingga publik kehilangan orientasi terhadap fakta. Hal ini terasa nyata saat kita menyaksikan hoaks politik menjelang pemilu, disinformasi tentang pandemi COVID-19, hingga munculnya video deepfake tokoh publik yang tampak begitu meyakinkan padahal palsu.
Sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, bahkan menyebut kondisi ini sebagai hiperrealitas: sebuah keadaan di mana citra dan simbol lebih dipercaya ketimbang kenyataan itu sendiri. Dengan kata lain, realitas bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga yang tersisa hanyalah “residu kebenaran”—potongan kecil dari fakta yang tercecer di antara derasnya arus informasi.
Dalam khazanah Islam, kebenaran dipahami dalam dua dimensi: kebenaran ilahiah yang bersumber dari wahyu, dan kebenaran akal hasil dari pemikiran manusia. Di ranah hukum, dikenal pula istilah kebenaran formil dan kebenaran materil. Kebenaran formil merujuk pada prosedur yang sah, sedangkan kebenaran materil menekankan substansi yang sesuai dengan fakta sebenarnya.
Perdebatan tentang dua jenis kebenaran ini kerap muncul dalam praktik peradilan di Indonesia. Misalnya, dalam kasus korupsi, hakim bisa saja dihadapkan pada bukti prosedural yang lengkap, tetapi substansi materilnya justru menimbulkan keraguan. Di sini kita melihat bahwa kebenaran tidaklah sederhana; ia hadir dalam lapisan-lapisan yang saling bertaut.
Tantangan Masyarakat Digital
Yuval Noah Harari mengingatkan bahwa di era digital, tantangan terbesar manusia bukanlah kelangkaan informasi, melainkan kemampuan memilah informasi yang valid dari yang palsu. Kita hidup di zaman di mana algoritma media sosial membentuk “gelembung” (echo chamber), memperkuat apa yang ingin kita percayai, dan menyingkirkan sudut pandang yang berbeda.
Akibatnya, masyarakat terjebak pada keyakinan masing-masing, tanpa ruang kritis untuk menimbang fakta. Di titik inilah muncul kebutuhan untuk membangun literasi kebenaran—kemampuan berpikir kritis, memverifikasi sumber, dan mengolah informasi dengan rendah hati. Literasi kebenaran bukan hanya soal membaca berita, tetapi juga soal kesadaran bahwa kita sendiri bisa salah dan karenanya perlu membuka diri terhadap koreksi.
Sejarah agama menunjukkan bahwa pencarian kebenaran selalu merupakan perjalanan panjang dan berliku. Nabi Ibrahim merenungkan siapa pencipta alam semesta dengan memperhatikan siang dan malam. Nabi Muhammad menyendiri di Gua Hira hingga menerima wahyu pertama. Bahkan dalam tradisi Jawa, Sujiwo Tejo menggambarkan manusia sebagai wayang yang mengikuti dalang, bukan makhluk yang bisa mengklaim kebenaran mutlak. Refleksi ini mengajarkan kita bahwa kebenaran bukanlah benda mati yang bisa kita genggam sepenuhnya, melainkan sesuatu yang senantiasa dicari, diuji, dan diperjuangkan.
Menjaga Residu Kebenaran
Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita perlu membangun budaya cek fakta dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum membagikan berita, periksa dulu sumbernya. Kedua, kita perlu mendorong pendidikan literasi digital di sekolah, kampus, bahkan lingkungan keluarga. Anak-anak harus diajarkan sejak dini cara membedakan informasi palsu dari informasi sahih. Ketiga, pemerintah dan lembaga publik perlu memperkuat regulasi serta mekanisme verifikasi informasi agar masyarakat tidak terjebak dalam jebakan hoaks dan manipulasi. Yang tak kalah penting, kita perlu menjaga kerendahan hati epistemik: sikap rendah hati untuk tidak merasa paling benar. Sebab, sebagaimana diingatkan banyak pemikir, klaim kebenaran absolut seringkali justru menjadi pintu masuk bagi manipulasi.
Di tengah derasnya arus informasi digital, kebenaran memang kerap hanya menjadi residu kecil yang tercecer. Namun, tugas kita bukan menyerah, melainkan terus mengasah daya kritis agar residu itu tidak hilang ditelan gelombang hoaks dan manipulasi. Sebagaimana kata Sujiwo Tejo, manusia hanyalah wayang yang berjalan sesuai dalang. Maka, yang bisa kita lakukan adalah menjaga agar tali wayang itu tidak terputus: dengan rendah hati, dengan kritis, dan dengan keyakinan bahwa kebenaran sejati mungkin tak pernah kita kuasai sepenuhnya, tapi selalu layak untuk diperjuangkan.
Daftar Pustaka
- Arendt, Hannah. 1967. Truth and Politics. New York: Viking Press.
- Baudrillard, Jean. 1981. Simulacra and Simulation. Paris: Éditions Galilée.
- Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape.
- McIntyre, Lee. 2018. Post-Truth. Cambridge, MA: MIT Press.
- Tejo, Sujiwo. 2014. Tuhan Maha Asyik. Jakarta: Bentang Pustaka.






