Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Quiet Quitting: Ketika Kerja Kehilangan Makna

Rony Oktavianto by Rony Oktavianto
August 5, 2025
in Esensia
Reading Time: 6 mins read
Quiet Quitting: Ketika Kerja Kehilangan Makna

SETELAH gelombang pengunduran diri massal atau Great Resignation melanda dunia kerja pascapandemi, kini muncul fenomena serupa dengan wajah baru: quiet quitting. Istilah ini pertama kali populer di TikTok, menggambarkan karyawan yang bekerja “sekadar sesuai job desc“, menolak lembur tak berbayar, dan enggan memberikan “usaha ekstra”. Banyak yang menyebut perilaku ini bukan bentuk kemalasan, melainkan bentuk “kesehatan” atau “batas wajar” antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Istilah kerennya, meski tidak presisi: work-life balance.

Fenomena ini menjadi perhatian, terutama bagi para praktisi komunikasi dan sumber daya manusia.

Bukan Malas, tapi Mekanisme Bertahan Diri

Quiet quitting tampaknya seperti bentuk perlawanan terhadap hustle culture; sebuah gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja secara terus-menerus dan berlebihan, bahkan sampai mengorbankan waktu istirahat, kehidupan pribadi, dan kesehatan demi mencapai kesuksesan atau produktivitas maksimal. Hustle culture memang terbukti banyak berdampak buruk pada kesehatan mental.

Laporan Gallup 2023 menunjukkan 59% pekerja kini tergolong quiet quitters; hadir secara fisik, namun tidak terlibat secara psikologis. Di Indonesia, Randstad Workmonitor 2025 mencatat bahwa sepertiga pekerja pernah berhenti dari pekerjaannya karena nilai-nilai mereka yang tidak sejalan dengan budaya perusahaan.

Melalui kerangka Job Demands–Resources Model dan Self-Determination Theory, para ahli menjelaskan bahwa saat tuntutan kerja tinggi namun dukungan rendah, dan kebutuhan dasar seperti otonomi, pengakuan (recognition), atau rasa terhubung (relatedness) tidak terpenuhi, maka burnout dan disengagement akan terjadi. Responnya tidak selalu pengunduran diri, melainkan penarikan investasi emosional. Pekerjaan tetap dijalankan, namun semangat memudar. Inilah esensi quiet quitting.

Peningkatan minat pada pekerjaan remote dan freelance juga menjadi indikator tren ini. Laporan Jobstreet Indonesia 2024 mengungkapkan sekitar 43% pencari kerja Gen-Z memprioritaskan fleksibilitas dan work-life balance di atas gaji besar. Mereka tidak malas; mereka hanya ingin bertahan dan menjalani hidup yang lebih utuh.

Mengapa Generasi Muda Rentan Terkena Quiet Quitting?

Menurut Dr. Ratna Mulyani, psikolog dari Universitas Indonesia, fenomena ini disebutnya sebagai “bekerja sesuai argo”. Menurutnya hal itu bukan pembangkangan, melainkan sinyal bahwa kontrak psikologis antara perusahaan dan karyawan mulai rapuh. Janji promosi, budaya kerja yang menyenangkan, dan fleksibilitas seringkali berakhir menjadi slogan semata, membuat banyak anak muda merasa tertipu.

Prof. Izumi Tsuji dari Chuo University, Jepang, mengingatkan bahwa gejala serupa pernah terjadi di Jepang pada era 1990-an. Saat itu, banyak anak muda memilih kerja paruh waktu bukan karena tidak punya kemampuan, melainkan karena tidak percaya pada sistem kerja yang menjanjikan loyalitas namun membalasnya dengan stres dan stagnasi. Hal sama terjadi disini, dimana semakin banyak anak muda yang mengutamakan stabilitas emosional mereka dibanding mengejar karier.

Generasi muda hari ini tumbuh dalam realitas yang berbeda. Mereka menyaksikan orang tua mereka lembur dan loyal bertahun-tahun, namun tetap rentan di masa pensiunnya. Mereka belajar dari generasi sebelumnya, bahwa hidup tidak bisa hanya tentang bekerja. Kesehatan mental telah menjadi kebutuhan, bukan lagi kemewahan.

Survei Deloitte 2025 mencatat bahwa banyak anak muda Indonesia merasa tidak aman secara finansial, sementara 58% responden berusia 25–34 tahun cenderung mencari pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka, mengutamakan work-life balance, dan dampak positif bagi masyarakat. Tak heran jika “teng-go”, kerja sesuai jam, tanpa drama, menjadi gaya baru, sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap struktur yang dianggap tak adil.

Dr. Ratna Mulyani juga menekankan bahwa jika perusahaan atau organisasi tidak segera menyesuaikan diri, mereka berisiko kehilangan talenta terbaiknya. Anak muda kini lebih peka terhadap nilai-nilai kehidupan. Mereka tidak hanya bekerja untuk uang, tetapi juga untuk tujuan (purpose) dan kebebasan. Sesuatu yang sulit dicerna generasi sebelumnya.

Quiet Quitting dalam Konteks Organisasi Nirlaba

Dalam konteks yang lebih luas, baik itu perusahaan rintisan, korporasi, lembaga pemerintah, hingga organisasi nirlaba atau komunitas, semuanya memiliki kesamaan: mereka adalah unit kerja sosial yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu melalui koordinasi aktivitas antar manusia.

Sama seperti perusahaan yang perlu mengoptimalkan keuntungan dan pertumbuhan, setiap organisasi atau komunitas juga harus mengelola sumber daya manusianya secara efektif agar dapat mencapai misi besarnya. Keberhasilan suatu organisasi atau komunitas tidak hanya diukur dari output atau profit, melainkan juga dari kemampuan mereka untuk mempertahankan dan memotivasi talenta, mendorong inovasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang berkelanjutan. Oleh karena itu, tantangan quiet quitting ini relevan bagi seluruh jenis organisasi.

Bagi organisasi atau komunitas nirlaba, fenomena quiet quitting membawa tantangan yang lebih berat. Organisasi atau komunitas sangat bergantung pada individu-individu yang berdaya juang tinggi untuk mencapai misi-misi sosialnya. Sebab mereka tidak menawarkan motif keuntungan finansial sebagai daya tarik utama, sehingga motivasi intrinsik, purpose, dan engagement menjadi jauh lebih krusial.

Ketika pelaku organisasi atau komunitas mengalami quiet quitting, dampaknya bisa sangat merugikan. Misi akan terhambat, inovasi berkurang, dan semangat kolaborasi memudar. Padahal, untuk menjalankan misi besarnya, dibutuhkan individu-individu yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga berinvestasi secara emosional, penuh inisiatif, dan memiliki daya juang tinggi.

Jika pelaku organisasi atau komunitas hanya “bekerja sesuai argo” maka tujuan organisasi untuk membuat perubahan di masyarakat akan sulit tercapai. Kebutuhan akan individu yang rela memberikan “usaha ekstra”, bukan karena terpaksa, melainkan karena percaya pada misi, menjadi sangat vital. Oleh karena itu, bagi organisasi atau komunitas, mengatasi quiet quitting bukan sekadar masalah produktivitas, melainkan masalah keberlangsungan dan efektivitas misi.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Pertanyaan yang lebih tepat bukanlah “Bagaimana cara mengatasi quiet quitting?” melainkan “Apa yang ingin disampaikan oleh mereka yang berhenti bersuara itu?” Daripada menanyakan, lebih baik mendengar agar benar-benar memahami.

Quiet quitting bukanlah permintaan untuk pekerjaan yang lebih ringan, melainkan permintaan agar pengalaman bekerja lebih punya makna. Sebuah keinginan untuk dihargai, dipercaya, dan diajak bertumbuh.

Yang paling mengkhawatirkan dari quiet quitting adalah bukan karena ia terjadi, melainkan karena seringkali ia tidak terlihat dan tidak terdengar. Tidak ada surat pengunduran diri, tidak ada keributan. Hanya tatapan kosong atau senyuman tipis tanpa gairah yang mengindikasikan hilangnya semangat.

Pendekatan untuk mengatasi ini bukan sekadar mengurangi task kerja atau menambah insentif. Ini tentang hal-hal yang mungkin tampak sederhana bagi generasi sebelumnya, namun esensial bagi generasi sekarang:

Keberanian Mengubah: Organisasi harus berani mendesain ulang pengalaman kerja agar beradaptasi memenuhi kebutuhan dasar manusia hari ini, memastikan keadilan, dan transparansi.

Transformasi Kepemimpinan: Atasan, bos, atau pimpinan tidak bisa hanya berfungsi sebagai task manager, melainkan juga musti berperan sebagai coach dan mentor. Mereka perlu memberdayakan, memahami, dan mengembangkan potensi dari setiap individu yang terlibat.

Memperkuat Tujuan (Purpose): Terutama bagi organisasi atau komunitas nirlaba, sangat penting untuk terus mengomunikasikan dan menanamkan misi-misi serta dampak positif yang dihasilkan. Para pelaku kerja perlu merasa bahwa pekerjaan mereka memiliki arti dan berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka.

Membangun Lingkungan yang Mendukung: membuat ekosistem budaya di mana para pelaku kerja merasa didengar, dihargai kontribusinya, dan memiliki otonomi yang cukup untuk mengambil keputusan.

Upaya-upaya itu tidak hanya mencegah quiet quitting, tetapi juga untuk menyalakan kembali api semangat mereka yang perlahan padam. Agar mereka kembali menemukan makna. Mereka mencari tempat untuk percaya, ruang untuk tumbuh, dan kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka, bukan sekadar menjadi roda penggerak organisasi.

Seperti kata Cak Nun, gulungan-gulungan psikologis dalam diri yang menarik-narik orang untuk malas harus diatasi. Sedangkan Allah memberi contoh dengan menyebut diri-Nya sebagai Al-Fa’aal, Maha Mengerjakan. Maha Bekerja. Cak Nun lebih lugas memberi arti: Maha Pekerja. Maka, menjadi pekerja sejatinya bukan sekadar menjalani rutinitas, melainkan juga menghidupkan makna bekerja sebagai laku spiritual dan tanggung jawab sosial.

SendTweetShare
Previous Post

Menyelami Pemikiran Freud-Menemukan Diri yang Sejati

Next Post

Profesi: Menjadi Wayang

Rony Oktavianto

Rony Oktavianto

Related Posts

Filsafat yang Dianggap Tak Penting
Esensia

Filsafat yang Dianggap Tak Penting

August 22, 2025
Apa-Apa Cinta
Esensia

Apa-Apa Cinta

August 21, 2025
Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama
Esensia

Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama

August 19, 2025
“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial
Esensia

“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial

August 18, 2025
Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun
Esensia

Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun

August 8, 2025
Profesi: Menjadi Wayang
Esensia

Profesi: Menjadi Wayang

August 7, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta