AHAD pagi. Tak ke mana-mana, tanpa schedule. Menikmati pagi sambil duduk santai di teras rumah. Secangkir kopi pahit dan sepiring pisang goreng yang masih kemebul. Hm, betapa gandem hidup yang singkat ini. Dari kejauhan, terdengar burung-burung berkicau saling bersahutan di antara pepohonan. Nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan? Begitu kata seorang artis yang telah berhijrah, mengutip salah satu firman Tuhan yang tampil di layar ponselnya.
Saat scroll layar ke bawah, tiba-tiba saya berhenti pada sebuah konten: perempuan cantik, berambut hitam terurai, berbicara layaknya seorang motivator.
“Bersedekahlah di hari Senin. Apa saja. Misalnya, saat berangkat kerja, bawalah sedikit pakan kucing, lalu beri makan kucing-kucing liar. Insya Allah, rezeki akan mengalir sepanjang pekan.”
Di konten lain, wanita yang bukan seorang ustazah ini tetap rajin berbagi tips seputar rezeki.
“Tak perlu membaca shalawat 500 kali, saya sudah menemukan caranya. Cukup baca surat Al-Fatihah 100 kali. Insya Allah, rezeki tak akan putus.”
Bahwa sedekah akan dilipatgandakan ganjarannya, bahkan hingga 700 kali, itu memang benar. Dapat ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Balasan itu bisa berupa rezeki secara cash di dunia, atau berupa pahala yang kelak diterima di akhirat.
Namun, apakah kita berbuat baik, beramal saleh, dan bersedekah semata-mata karena ingin “bertransaksi ekonomi” dengan Allah? Sekalipun niat itu tidak dilarang, sah-sah saja, tidakkah sebaiknya kita naik ke level yang lebih tinggi, menjadikan setiap amal dan ibadah semata-mata demi mengharap rida-Nya? Tingkatan ini disebut takwa.
Berkali-kali Cak Nun mengingatkan bahwa tujuan utama hidup adalah mengais-ngais keridaan Allah. Soal rezeki, biarlah Allah yang mengaturnya, karena sesuai janji-Nya: Min haitsu laa yahtasib, rezeki akan datang dari arah yang tak disangka-sangka.
Namun, tentu saja ada syaratnya. Kita tetap harus memenuhi tanggung jawab di dunia: bekerja keras, menunaikan amanah pekerjaan dengan sungguh-sungguh, dan di atas semuanya, menyetorkan ketakwaan kepada Allah. Karena keridaan-Nya bukan sekadar hasil dari amalan lahiriah, melainkan buah dari hati yang lurus dan niat yang jernih.
Dalam sebuah kesempatan, Cak Nun pernah beramsal: bayangkan kita sedang berjalan-jalan di suatu tempat, lalu menjumpai seseorang yang kelaparan. Kita baru saja membeli sepotong roti, namun bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, tidak berempati, dan enggan berbagi. Apakah kita berdosa? Cak Nun menjawab sendiri: tidak berdosa, tapi nirakhlak.
Hukum halal dan haram adalah level paling dasar. Seseorang mungkin merasa tak bersalah karena merasa telah menunaikan zakat, rutin bersedekah tiap tahun, sehingga merasa tak perlu peduli lagi. Tapi sejatinya, ia sedang kehilangan sesuatu yang lebih tinggi nilainya: akhlak.
Belas kasih, empati, dan kepekaan sosial bukan sekadar urusan pahala atau dosa. Itu adalah cermin dari akhlak. Dan ketika seseorang telah mencapai derajat akhlak, maka layak disebut sebagai manusia yang bertakwa.
Dalam sebuah siniar, jawaban-jawaban Sabrang terkait rezeki terdengar menarik sekaligus menggelitik. Ia menjawab berbagai pertanyaan mengenai penghasilannya, profesinya, serta dari mana sumber utama rezekinya berasal. Apakah sebagai penyanyi? Narasumber? Atau profesi lainnya?
“Alhamdulillah, profesi saya cuma satu: menjadi wayangnya Tuhan,” jawab Sabrang mantap, tanpa ragu.
Santai? Tidak juga. “Saya bekerja, dan saya pekerja keras, seperti Bapak saya. Saya ditugaskan apa, diletakkan di mana, itu urusan Tuhan,” lanjutnya.
Jawaban-jawaban ini membuat penanya tampak ragu. Konsep berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, menyerahkan arah hidup dan sumber rezeki pada kehendak-Nya, terasa sulit diterima oleh logika umum. Banyak orang menganggap pernyataan semacam itu tidak realistis, bahkan cenderung tidak masuk akal jika dilihat dari sudut pandang rasional.
Namun, cara pandang Sabrang tak datang begitu saja. Ia berguru langsung pada ayahnya, Cak Nun, dan memilih menjalani hidup dengan penuh keikhlasan. Baginya, “hati yang sudah selesai” adalah fondasi utama dalam melangkah. Hidup dijalani bukan untuk kepentingan diri, melainkan demi kemanfaatan orang banyak.
Sebagai vokalis Band Letto, aktivitas bermusiknya tetap berjalan. Di luar itu, ia juga aktif menjadi narasumber dalam berbagai forum diskusi, diundang ke berbagai tempat tanpa jeda waktu. Ia juga bekerja sebagai peneliti dan penasihat di berbagai lembaga. Semua dijalani dengan penuh dedikasi, seperti ilmuwan sejati: tekun, pekerja keras, dan tak pernah terdengar mengeluh.
Tulisan ini ingin menegaskan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara sedekah dengan limpahan rezeki. Namun, hal yang paling utama adalah niat di balik amal itu sendiri. Beramal, bersedekah, dan memberi bukanlah transaksi timbal balik dengan Tuhan, melainkan bentuk ketulusan hati untuk meraih mardhatillah, keridaan Allah semata. Jika kemudian dari keikhlasan itu mengalir rezeki yang berlimpah, maka itu hanyalah karunia Allah, dan bagi-Nya hal itu sangat lumrah.
Sesungguhnya rezeki bisa diraih melalui kerja keras, kesungguhan, dan ketekunan tanpa henti. Namun, sebesar apapun usaha manusia, tetap ada batas yang tak bisa disentuh oleh logika atau perhitungan manusia. Di titik inilah “manajemen” Allah bekerja, mengatur dan menghadirkan rezeki dari arah yang tak terduga, di luar rencana dan ekspektasi.
Berserah bukan berarti pasif, dan kerja keras bukan berarti menafikan tawakal. Sabrang, seperti halnya ayahnya, menjalani hidup dengan sungguh-sungguh, tanpa beban mencari pengakuan, dan tanpa hasrat menumpuk kekayaan. Ia bekerja karena panggilan, bukan sekadar mencari penghasilan. Ia menanam sebanyak mungkin kebaikan, tanpa menghitung balasan.
Maka, hidup yang berpijak pada keikhlasan, kerja keras, dan keyakinan pada kehendak Tuhan, adalah hidup yang akan terus mengalir dalam keberkahan. Dan rezeki, dalam bentuk apa pun, akan datang, tidak hanya sebagai angka, tapi sebagai rasa cukup, ketenangan hati, dan kebermanfaatan bagi sesama.
So, sudah menjalani kah ritual baca shalawat 500 kali hari ini? Atau cukup 100 kali baca Al-Fatihah?