MALAM ITU, gerimis turun pelan-pelan di ujung jalan kecil di Pasar Minggu. Bau kuah bakso dan uap panas dari gerobak kayu tua membumbung ke udara, menyatu dengan asap knalpot dan dengung kendaraan yang belum jua reda. Di bawah lampu jalan yang setengah redup, seorang pria paruh baya menggenggam centong sambil menatap bakso dalam panci mendidih. Namanya Pak Darma. Usianya mungkin hampir enam puluh. Sudah lebih dari tiga dekade ia menjajakan bakso di sudut yang sama, setiap hari dari pukul tiga sore hingga tengah malam.
Yang membuat saya berhenti malam itu bukan semata lapar, tapi cerita. Di tengah kepulan uap, Pak Darma bertutur tentang anaknya, Jefri, lulusan S1 Teknik Mesin dari kampus negeri, yang baru saja diterima kerja di pabrik otomotif Jepang.
“Bapak ndak bisa kasih warisan banyak, cuma gerobak ini. Tapi Jefri bilang, dia mau bikin alat penggiling daging otomatis buat saya. Biar tangan ini bisa istirahat,” katanya, lalu terkekeh kecil, menyeka peluh dengan kain kecil yang sudah lusuh.
Cerita Pak Darma mengingatkan saya pada dikotomi yang kerap kita anggap lawan, padahal sebetulnya bersaudara: antara pewaris dan perintis.
Warisan yang Tak Selalu Warna Emas
Di tengah masyarakat yang dilanda glorifikasi terhadap “perintis”, kita kerap melupakan nilai penting menjadi “pewaris”. Bukan dalam arti pasif sebagai penerima, tetapi sebagai penjaga, penafsir, bahkan pengolah ulang nilai-nilai yang dititipkan dari generasi sebelumnya.
Anthony Giddens dalam Modernity and Self-Identity (1991) menulis bahwa identitas bukanlah entitas statis yang diwariskan, melainkan proyek reflektif yang terus dibentuk oleh individu dalam benturan antara masa lalu dan masa kini. Maka, menjadi pewaris yang sadar adalah sebuah pekerjaan aktif, yakni merawat akar sambil menata cabang baru. Pak Darma mewariskan nilai bahwa kerja keras, keuletan, keberanian untuk bertahan dalam dunia yang terus berubah.
Namun Jefri—dengan mesin otomatis buatannya kelak—bukan hanya pewaris, ia juga perintis. Ia membaca kebutuhan zaman, menemukan cara baru untuk menjaga yang lama tetap hidup. Bukan mengganti gerobak dengan kantor ber-AC, tapi memperkuat gerobak agar lebih tangguh menghadapi waktu.
Indonesia: Negara Pewaris yang Enggan Menjadi Perintis?
Bila kita tarik narasi kecil ini ke dalam spektrum yang lebih luas—politik, budaya, bahkan birokrasi—Indonesia acapkali menunjukkan wajah sebagai pewaris yang kikuk dan perintis yang ragu.
Demokrasi diwariskan lewat reformasi, namun kita gagal memelihara praktik deliberatifnya. Kita mewarisi Pancasila, tetapi lebih sering memakainya sebagai jargon, bukan sebagai etika hidup bersama.
Laporan World Economic Forum (2024) menempatkan Indonesia dalam posisi yang ambigu. Kita punya potensi besar dalam human capital dan digital infrastructure, tapi masih lambat dalam adopsi inovasi struktural karena resistensi internal. Sebuah warisan sistemik yang tidak dibereskan, hanya dipindahkan. Kita mewarisi problem, tapi tak kunjung memerintis solusi.
Dalam riset McKinsey Global Institute (2024), generasi muda Indonesia disebut sebagai salah satu yang paling optimistis di Asia Tenggara, tetapi juga paling terfragmentasi secara ideologis. Mereka ingin memulai, tetapi dibayangi oleh warisan kecemasan struktural, seperti: nepotisme, politik transaksional, ketimpangan sosial yang diwariskan dari Orde Baru ke Reformasi tanpa transfigurasi institusional yang sejati.
Antara Gerobak dan Generasi
Pak Darma dan Jefri dengan kisah sederhana mereka, sesungguhnya menyodorkan model bahwa warisan tidak harus dihancurkan untuk memulai sesuatu yang baru. Jefri tidak membuang gerobak bapaknya, ia memperbaruinya. Ia bukan pewaris yang mematungkan masa lalu, tapi juga bukan perintis yang mengutuknya.
Kita butuh lebih banyak “Jefri” dalam ruang publik kita. Bukan mereka yang hanya ingin menjadi “founder” dengan modal jargon dan investor, tapi yang bersedia menengok ladang tua, lalu menyemai dengan metode baru. Kita butuh perintis yang tidak kehilangan kesetiaan kepada akar dan pewaris yang tidak takut menyalakan bara perubahan.
Bangsa ini mungkin tidak akan bangkit hanya dengan mimpi dan startup, juga tidak akan bertahan hanya dengan slogan dan kebanggaan masa lalu. Kita butuh keduanya. Kita butuh ingatan dan keberanian, tradisi dan transisi.
Pak Darma, malam itu, menoleh pada saya sambil menuang kuah bakso. “Saya nggak sekolah tinggi, Mas. Tapi saya ngerti… kalau cuma diam, gerobak ini bisa jadi museum.” Ia tersenyum. “Tapi kalau terus jalan, bisa jadi warisan.”
Di tengah simpang jalan, antara hujan dan uap kuah, saya paham bahwa bangsa ini pun seperti gerobak itu. Ia menunggu anak-anaknya untuk tak sekadar mendorong, tapi juga mengarahkannya. Pewaris. Perintis. Dalam satu langkah yang sama.