TIDAK ADA pilihan lain, negara ini memang harus membenahi dirinya sampai ke akar. Sebab apa yang kita saksikan kini bukan hanya keroposnya sebuah gedung, melainkan lapuknya tiang yang menyangga. Ketika institusi yang seharusnya menjaga nilai—departemen agama, pendidikan, bahkan peradilan—justru ikut berkarat oleh korupsi, bagaimana mungkin kita masih percaya ada rumah yang kokoh berdiri di atasnya?
Sejarah pernah memberi kita cermin yakni kekuasaan yang runtuh bukan selalu karena serangan dari luar, melainkan karena rayap di dalam. Kerajaan-kerajaan besar tumbang bukan karena meriam musuh, tetapi karena pengkhianatan pada nilai yang mereka agungkan sendiri. Di titik itulah, hukum menjadi dagangan, agama menjadi jubah dagelan, dan pendidikan hanya papan reklame dari gelar-gelar kosong.
Hari ini, kita melihat riwayat yang sama berjalan dengan kostum modern. Sidang pengadilan yang mestinya menjadi altar kebenaran, lebih mirip pasar gelap di mana keadilan dilelang. Kementerian agama dan pendidikan, dua institusi yang seharusnya menjaga akal sehat dan hati nurani bangsa, justru menjelma ladang rente. Ironinya: tempat yang seharusnya menjadi sumber moral malah memperdagangkan moralitas.
Maka pertanyaannya bukan lagi: apakah kita bisa membenahi institusi itu? Pertanyaannya adalah: adakah kita berani menyentuh luka yang sudah membusuk, meski harus menahan perih ketika nanahnya disingkap?
Negara ini, seperti tubuh, bisa bertahan meski pincang, bisa berjalan meski berdarah. Tapi tanpa pembenahan menyeluruh, ia hanya menunda ajalnya sendiri.
Kita semua tahu bahwa amok yang terjadi kemarin bukanlah peristiwa tiba-tiba. Ia lahir dari runtuhnya tiang-tiang penyangga republik, ditambah kesembronoan pejabat yang seolah menganggap rakyat sebagai kerumunan tanpa ingatan.
Lihatlah rekamannya: PPN 12 persen—diluncurkan dengan percaya diri, lalu ditarik kembali sambil menunduk meminta maaf. Gas LPG 3 kilogram—diumumkan naik, rakyat marah, lalu minta maaf lagi. Pajak bumi dan bangunan yang melesat, tanah nganggur hendak disita, PPATK blokir rekening, semua berujung sama yakni rakyat murka, pemerintah berbalik, seakan-akan negara kini hidup dengan satu siklus reflek: kebijakan, amarah, permintaan maaf.
Kita bahkan hafal ritmenya: royalti lagu, guru yang dibebani, ojol diperas potongan aplikasi, beras melonjak, MBG yang semestinya jadi kebanggaan malah menumbalkan guru. Semua berakhir dengan formula ajaib itu: dibatalkan, direvisi, atau sekadar minta maaf.
Tapi yang lebih ironis, ketika rakyat berteriak, kebijakan bisa batal; ketika rakyat diam, penghinaan justru datang. Lihatlah, di Senayan ada tawa dan joget, ada ucapan tentang “rakyat tolol”, ada kalkulasi enteng tentang “tiga juta sehari”—sementara di jalan, demonstrasi dibubarkan. Tapi anehnya, bahkan di titik itu pun, mantra yang sama kembali dipakai: minta maaf.
Maka, tidakkah kita merasa seolah negara telah berubah menjadi panggung opera komedi? Setiap babak dibuka dengan kesombongan, disusul teriakan penonton, dan ditutup dengan kata-kata penyesalan. Siklus itu berulang dan berulang lagi.
Yang lebih menakutkan bukanlah amok yang meledak di jalan, melainkan ketidakpedulian yang tumbuh pelan-pelan. Sebab ketika permintaan maaf menjadi mata uang sehari-hari, apa yang masih tersisa dari nilai sebuah tanggung jawab?
Amok kemarin hanyalah gema dari sebuah sejarah panjang, yakni rakyat yang muak, lalu mengamuk. Sebab amok, dalam catatan para kolonial, bukan sekadar ledakan irasional orang-orang tropis—tetapi tanda ketika kesabaran tak lagi menemukan ruang.
Sejarah Nusantara mengajarkan kita, keruntuhan kerajaan hampir selalu diawali dengan rusaknya nilai yang mereka agungkan. Majapahit tidak tumbang hanya karena serangan dari luar, melainkan karena para elit sibuk berperang warisan. Demak dan Mataram pun, retak karena intrik istana yang menjadikan rakyat sekadar angka dalam daftar pajak. Dalam naskah-naskah babad, amarah rakyat seringkali muncul bukan sebagai gerakan besar terorganisir, tapi sebagai amok: spontan, liar, tanpa arah tunggal—namun justru itulah yang mengguncang takhta.
Kini, babakan itu seperti diulang dengan kostum modern. Kebijakan diumumkan dengan nada perintah, rakyat menolak, lalu terdengar kata sakti: “minta maaf”. Tapi berapa kali sebuah kerajaan bisa bertahan hanya dengan permintaan maaf?
Kita seperti menyaksikan panggung wayang di mana para dalang kehilangan cerita. Setiap lakon dimainkan dengan pola sama: keluarkan aturan, rakyat ribut, tarik aturan, minta maaf. Bedanya, wayang di masa lalu setidaknya menghibur, sementara yang ini justru menyinggung rasa.
Di masa VOC, pajak yang memberatkan petani Jawa pernah menyulut pemberontakan. Di masa kolonial, kerja rodi dan cultuurstelsel menyalakan perlawanan. Kini, ketika PPN 12 persen diumumkan lalu dibatalkan, ketika beras naik tapi jawaban hanya “stok banyak”, ketika tanah hendak disita lalu dicabut kembali, tidakkah kita sedang menyaksikan pola lama dengan bahasa baru?
Rakyat yang marah hari ini mungkin belum turun ke jalan dengan senjata bambu runcing. Tapi amok, sebagaimana dicatat dalam babad dan arsip kolonial, selalu bermula dari rasa dihina. Penghinaan terbesar bukanlah pada perut yang lapar, melainkan pada martabat yang dipermainkan.
Mungkin inilah yang paling menakutkan: negara yang terlalu sering meminta maaf bisa jadi sedang menggali kuburannya sendiri. Sebab permintaan maaf yang diulang-ulang tanpa perubahan, pada akhirnya, hanyalah monumen dari kehilangan wibawa.
Amok kemarin ini bukan hanya sekadar ledakan spontan atas kenaikan pajak, harga, atau kebijakan yang sembrono. Ia adalah tanda bahwa “negara”—sebagai ide, bukan sekadar institusi—sedang kehilangan makna di mata rakyatnya.
Di masa lalu, kerajaan-kerajaan runtuh bukan karena pedang musuh lebih tajam, melainkan karena makna kekuasaan tergerus dari dalam. Ketika raja tak lagi menjadi payung, ketika hukum tak lagi jadi timbangan, rakyat mulai merasa: negara tidak hadir. Maka yang tersisa hanyalah amok—amarah yang meledak tanpa kanal, tanpa negosiasi.
Hari ini kita berada di babakan serupa. Negara hadir di televisi, di podium, di media sosial pejabat, tetapi absen di pasar, di dapur, di sawah. Setiap kebijakan yang tergesa diumumkan, lalu buru-buru ditarik dengan “minta maaf”, hanyalah mempertegas absennya makna itu. Sebab sebuah negara, mestinya, adalah janji yang ditepati. Dan ketika janji itu berkali-kali diingkari, ia berubah jadi ejekan.
Filsuf Hannah Arendt pernah menulis, “Kekuasaan sejati bukanlah soal monopoli kekerasan, melainkan legitimasi yang lahir dari pengakuan rakyat.” Tanpa pengakuan itu, negara hanyalah mesin yang berisik, penuh prosedur, tetapi kosong. Mungkin di titik inilah kita berada: sebuah republik yang masih berdiri, tetapi tak lagi dipercaya.
Amok, dalam arti yang lebih dalam, adalah penolakan rakyat untuk terus mengakui makna negara yang sudah hampa. Ia bukan sekadar krisis politik, tetapi krisis eksistensi. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sebuah bangsa bertahan jika warganya mulai merasa, negara bukan lagi rumah bersama, melainkan beban yang harus dipikul?
Permintaan maaf demi permintaan maaf tidak akan menyembuhkan luka itu. Sebab yang retak bukan hanya kebijakan, melainkan kontrak imajiner yang melandasi keberadaan negara itu sendiri. Tanpa makna, negara hanyalah bayangan: besar, menakutkan, tapi bisa lenyap begitu saja saat lampu dimatikan.
Reformasi 1998 meledak dari sebuah dapur yang kosong. Krisis ekonomi Asia menghantam, rupiah runtuh, harga-harga melambung. Lalu yang kosong bukan hanya rak-rak toko, tapi juga legitimasi politik. Krisis ekonomi menjadi pintu bagi krisis politik: kepercayaan kepada Soeharto terhapus, rezim pun runtuh.
Dua puluh enam tahun kemudian, babakan sejarah itu tampak dibalikkan. Yang lebih dulu retak bukan perut rakyat, melainkan rasa percaya. Bukan krisis ekonomi yang memicu politik, melainkan krisis politik yang berpotensi menyeret ekonomi.
Hari ini kita menyaksikan parade kebijakan yang sembrono: diumumkan, ditolak, minta maaf. Institusi-institusi yang seharusnya menjaga nilai justru ikut dalam korupsi. Ucapan pejabat yang menyinggung rakyat, tontonan joget di Senayan, kenaikan tunjangan di tengah penderitaan. Semua itu membuat politik kehilangan makna. Negara tampak hadir hanya sebagai bayangan kekuasaan, bukan rumah bersama.
Bahaya terbesar justru di sini: ketika krisis politik mendahului, ia seperti retakan pada bendungan. Air ekonomi yang masih deras bisa sewaktu-waktu meluap, menghanyutkan. Harga beras naik, ongkos hidup menekan, rasa tidak adil mengental—semua bisa menjelma krisis ekonomi, hanya karena bendungan kepercayaan sudah bocor lebih dulu.
Reformasi 98 mengajarkan kita: lapar bisa menjatuhkan rezim. Tapi hari ini kita belajar babakan baru: rasa dihina bisa lebih berbahaya dari rasa lapar. Sebab lapar bisa ditunda dengan janji, sementara martabat yang diinjak tak bisa ditebus dengan sekadar permintaan maaf.
Amok yang meledak sekarang adalah tanda awal bahwa republik ini sedang menguji arah: apakah krisis politik yang berlangsung akan dibiarkan menjalar menjadi krisis ekonomi? Atau masih ada jalan untuk menemukan kembali makna negara sebelum semuanya terlambat?
Reformasi 1998 memang berawal dari krisis ekonomi lalu meluas jadi krisis politik. Tetapi kini, kita menyaksikan urutan yang terbalik: krisis politik lebih dulu meruyak, dan ia mengancam menyalakan api krisis ekonomi.
Lebih dari itu, keretakan tidak berhenti di politik. Ingatlah: dunia pendidikan kita juga tidak sedang baik-baik saja. Sekolah-sekolah lebih sibuk menghitung beban administrasi ketimbang menumbuhkan nalar. Guru dipaksa jadi buruh kertas, bukan pengasah akal. Sistem yang mestinya mencetak generasi kritis malah menyiapkan barisan patuh. Pendidikan yang rusak adalah tanda awal, sebab di sanalah seharusnya akal sehat bangsa dilestarikan.
Jagad kesehatan pun amburadul. Pandemi membuka luka lama: rumah sakit tak pernah cukup, tenaga medis kelelahan, obat jadi komoditas. Kesehatan, yang mestinya hak dasar warga, justru menjadi arena bisnis—siapa mampu bayar, selamat; siapa tak mampu, terbuang.
Pranata pangan kita juga rapuh. Negeri yang subur ini lama tak berdaulat atas nasinya sendiri. Harga beras melonjak, impor menjadi jalan pintas. Para petani yang mestinya jadi pahlawan malah tercebur sebagai korban. Sistem pangan yang seharusnya menjaga perut rakyat justru ditarik ke logika pasar global.
Dan reforma agraria—yang sejak dulu digadang-gadang sebagai tulang punggung kesejahteraan—hanya tinggal jargon. Tanah bukan lagi soal kedaulatan, melainkan komoditi. Negara, alih-alih melindungi hak rakyat kecil, justru membuka pintu bagi pemodal besar. Seolah tanah hanyalah lembar saham yang bisa diperdagangkan.
Jika kita hubungkan semua ini, tampaklah mozaik besar: negara gagal bukan hanya dalam menjalankan kebijakan, tetapi dalam merawat maknanya. Pendidikan kehilangan arah, kesehatan dijadikan pasar, pangan tidak berdaulat, tanah dijadikan komoditi. Semua tanda itu menyebut satu hal: pemerintah bukan lagi protektor, melainkan faktor yang mempercepat kerusakan.
Maka amok yang pecah hari ini adalah jawaban muram dari rakyat: bukan hanya atas harga-harga yang naik, bukan hanya atas pajak yang ugal-ugalan, melainkan atas rasa kehilangan makna negara itu sendiri.
Sejarah Nusantara penuh dengan babakan “akhir dinasti”. Kita tahu Majapahit tak jatuh hanya karena serangan luar, melainkan karena pertikaian dalam: nilai yang pernah mempersatukan berubah menjadi rebutan warisan. Mataram pun merapuh ketika intrik istana menutup telinga dari jeritan rakyat di sawah. Dari titik-titik itulah, zaman bergeser.
Apa yang kita saksikan hari ini mirip gema dari babakan itu. Pendidikan yang kehilangan misi, kesehatan yang jadi pasar, pangan yang tidak berdaulat, agraria yang dijadikan komoditi—semua adalah tanda sebuah negara yang telah jauh dari janji awalnya. Ia masih berdiri dengan simbol-simbol kekuasaan, tapi kehilangan wibawa yang menopang.
Amok rakyat hari ini mungkin belum menjelma revolusi, tetapi sejarah mengingatkan: ketika nilai hancur, perubahan zaman tak bisa dihindari. Dinasti lama runtuh bukan semata karena senjata, melainkan karena kehilangan makna. Dari reruntuhan itu, lahirlah tatanan baru—meski tak pernah bisa dipastikan lebih adil atau lebih baik.
Mungkin inilah yang sedang kita dekati: sebuah “akhir dinasti” dalam kostum republik modern. Sebuah peringatan bahwa negara tidak bisa terus-menerus hidup dari permintaan maaf, sementara pilar-pilar nilainya runtuh. Sebab setiap “akhir” dalam sejarah Nusantara selalu dimulai dari retaknya makna, sebelum akhirnya datang gelombang perubahan yang tak terbendung.
Rumah Sawah, 5 September 2025