Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Perbankan sebagai Takdir Pendidikan: Dari Kampus hingga Kebudayaan Nasional

Toto Rahardjo by Toto Rahardjo
December 15, 2025
in Esensia
Reading Time: 6 mins read
Perbankan sebagai Takdir Pendidikan: Dari Kampus hingga Kebudayaan Nasional

“The Age of Fake Work” — sebuah ironi yang tak kita sadari pelan-pelan menguasai hidup kita. Ada sebuah adegan yang berulang tiap kali bencana datang. Air bah tiba lebih cepat dari dokumen yang harus ditandatangani; tanah longsor lebih dulu bergerak daripada tim penanganan yang masih sibuk mencari tanda tangan berlapis. Seolah-olah alam meminta izin dahulu—sedang manusia menunggu format laporan yang belum selesai diisi.

Di masa lalu, kita mengenang negara sebagai tangan yang sigap. Tapi kini birokrasi ternyata lebih percaya pada kertas ketimbang kehidupan. Bencana bukan lagi persoalan tanah, hujan, atau angin; ia menjadi korban lambat dari mesin administratif yang kita bangun sendiri.

Bahwa kekuasaan kadang bekerja seperti ritual: setiap isyarat bahaya bisa berubah menjadi litani dokumen yang tak pernah berakhir. Kita hidup dalam sebuah zaman di mana aksi ditunda demi validasi, dan keberanian digantikan oleh parafrase yang sesuai template.

Fenomena ini tak hanya menjadi drama negara. Kampus hari ini, entah sadar atau tidak, telah bergabung dalam pawai kertas itu. Mahasiswa, dosen, peneliti—semua sibuk membuktikan bahwa mereka bekerja, bukan bekerja itu sendiri. Penelitian harus melewati fase administratif yang begitu panjang sampai keingintahuan padam, seperti lilin yang habis sebelum sempat menerangi ruangan. Kita menyebutnya governance, tetapi mungkin ia hanyalah pemerintahan oleh formulir.

Dalam metaforanya, the age of fake work muncul ketika kerja tak lagi dinilai dari dampak, tapi dari dokumentasi: “Jika tak tercatat, ia dianggap tak pernah terjadi”. Ironisnya, laporan justru menjadi lebih penting daripada realitas yang hendak diubah.

Seperti sebuah sandiwara administrasi, kita menjawab banjir dengan surat edaran, menghadapi epidemi dengan SOP yang diperbarui, dan mengerjakan penelitian dengan laporan kemajuan yang tak pernah benar-benar maju. Di dunia yang menyanjung efisiensi, kita justru menjadi lamban—karena kita memilih bekerja pada simbol, bukan substansi.

Sejarah pernah punya babak serupa. Di masa kolonial, Hindia Belanda dikenal sebagai pemerintahan yang rapi—namun dingin, mengatur rakyat melalui catatan statistik, bukan melalui kepedulian. Hari ini, kita melanjutkan warisan itu, bahkan tanpa kolonialisme. Kita menaklukkan diri sendiri dalam labirin prosedur yang kita anggap modernitas.

Perguruan tinggi, ironisnya, ikut berubah menjadi kantor pemerintahan mini: segala sesuatu harus memiliki lampiran, tanda terima, barcode, nomor registrasi—seolah pengetahuan hanya dapat hidup bila diberi nomor arsip. Kita alihkan energi berpikir menjadi energi mengisi kolom kosong.

Maka, mungkin jawaban paling filosofis terhadap pertanyaan mengapa kita lambat menangani bencana adalah: karena kita terlalu cepat mengabdi pada formulir. Kita bekerja keras agar terlihat bekerja, bukan agar sesuatu benar-benar berubah.

Pada akhirnya, the age of fake work bukan sekadar kritik birokrasi. Ia adalah kritik kita pada diri sendiri—tentang keberanian yang hilang, tentang kecemasan untuk bertindak sebelum format tersedia, tentang generasi yang lebih sibuk membuktikan kinerjanya daripada menjalankannya. Bencana terbesar kita barangkali bukan banjir, longsor, atau epidemi. Bencana terbesar kita adalah ketika tindakan dikalahkan oleh tata cara.

Namun kalau mau ditersangkakan, akar masalahnya bukan sekadar birokrasi. Ia lebih dalam—lebih sistemik, lebih panjang usianya: mindset perbankan yang telah menjadi agama baru dalam urusan publik, termasuk pendidikan.

Sejak lembaga-lembaga keuangan internasional sibuk membiayai proyek-proyek reformasi pendidikan, pelan-pelan banking logic masuk sebagai etika baru. Pendidikan yang dulu dibayangkan sebagai pembebasan, sekarang dijadikan portofolio kredit: harus bisa diangsur, diukur, diaudit, dan dievaluasi berdasarkan indikator yang terlalu presisi untuk ruang pengetahuan yang cair. Bukan sekadar reformasi pendidikan—tetapi reformasi imajinasi kita tentang apa itu pendidikan.

Perbankan hidup dari kepatuhan: governance, dokumentasi, dan jeda waktu pembayaran. Ia tak mempedulikan kelaparan, perang, atau banjir—selama angsuran berjalan. Karena itu dunia perbankan tidak membutuhkan kesadaran sosial; ia hanya membutuhkan minimal payment sebelum jatuh tempo.

Logika yang sama kini menular ke kampus dan pemerintahan. Kita tidak lagi mengukur pendidikan berdasarkan kemampuan berpikir, melainkan kemampuan mengisi borang. Kita tidak mengukur dosen dari kepekaan sosialnya, tetapi berdasarkan jumlah laporan kinerja. Kita tidak mengukur kebudayaan dari nurani kolektif, tapi dari scoring matrix yang dibuat sedemikian rupa sehingga manusia berubah menjadi angka.

Ketika angka mengambil alih bahasa, maka manusia digantikan oleh statistik. Dalam metafora yang lebih getir: kita bukan lagi bangsa yang mencari makna; kita menjadi bangsa yang mengejar skor kredit. Kampus akhirnya bukan tempat berpikir, melainkan kantor cabang governance—disupervisi oleh mentalitas lembaga keuangan, yang menganggap pendidikan bukan proses kultural, melainkan risk management. Akibatnya, kebudayaan nasional kita pun dibentuk oleh logika yang sama: takut gagal bayar, takut salah format, takut melampaui template.

Mungkin di sinilah tragedi yang paling sunyi: bahwa pendidikan—yang seharusnya menjadi ruang kebebasan batin—berubah menjadi simulasi ketaatan. Dan negara perlahan menjadi perusahaan kredit raksasa, dengan warga negara sebagai debitur, dan universitas sebagai lembaga penagihan normatif.

Sementara bencana datang—banjir, longsor, krisis pangan—kita tetap sibuk memeriksa kelengkapan berkas. Karena logika yang membentuk kita adalah: selama angsuran sosial masih berjalan, kita anggap semuanya baik-baik saja. Padahal bangsa bisa bangkrut bukan karena salah hitung—tetapi karena salah memahami apa itu hidup.

Dalam kehidupan akademik kita hari ini, ada sebuah pengertian baru: kebenaran bukan ditemukan, melainkan dibuktikan lewat laporan. Kita hidup pada zaman ketika keberhasilan bukan lagi kejernihan gagasan atau keberanian berpikir, melainkan WTP, akreditasi, atau ranking internasional yang bisa dicetak dan ditempel di papan pengumuman kampus. Seolah-olah universitas dibangun bukan untuk mencari pengetahuan, tetapi untuk mengoleksi sertifikat tentang pengetahuan.

Di sini kita melihat bagaimana mindset perbankan—dengan seluruh ritus kepatuhan administratif—telah menjelma menjadi moralitas baru masyarakat. Bukan hanya negara, tetapi juga kampus, sekolah, bahkan lembaga kebudayaan. Semuanya bekerja dalam keyakinan: selama sudah sesuai aturan dan dituangkan dalam format laporan tertentu—maka pekerjaan telah selesai. Kebenaran digantikan dokumen. Gerak digantikan tanda tangan. Kita hidup di dalam mesin yang hanya ingin membuktikan bahwa ia masih hidup

Institusi modern, terutama di Barat, kini “collapsing under their own weight”. Mereka tidak runtuh karena serangan luar; mereka roboh karena kelebihan prosedur di dalam tubuh mereka sendiri. Birokrasi, bukan lagi alat manajemen—melainkan cara institusi mempertahankan eksistensinya sendiri. Paperwork menggantikan purpose, management menggantikan leadership, dan para elit lebih sibuk melestarikan sistem daripada mengerjakan pekerjaan yang bermakna. Kita menyebutnya kemajuan; tetapi sesungguhnya kita sedang berhenti berpikir.

Di Indonesia, logika ini bahkan lebih sempurna: kampus bekerja seperti bank, mengejar “portofolio reputasi”. Ranking, akreditasi, audit mutu—semuanya dikejar dan dirayakan, seolah itulah puncak ilmu pengetahuan. Mahasiswa dan dosen hanyalah angka yang harus dimasukkan ke dalam spreadsheet, supaya laporan akhir mencapai standar.

Maka riset dinilai dari jumlah kutipan, bukan dari keberanian intelektual. Pendidikan dinilai dari standar ISO, bukan dari kualitas subjek yang berpikir. Akademia bukan lagi rumah pikiran, melainkan pabrik formalisasi.

Fenomena ini sebagai civilisation running on autopilot: peradaban yang beroperasi sendiri, tanpa tujuan, tanpa renungan, tanpa arah. Sistem yang seharusnya melayani manusia kini justru memaksa manusia menjadi pelengkap mesin administratif.

Di sinilah tragedi modernitas: kita ingin maju, tapi kita bergerak tanpa tujuan; kita ingin benar, tapi kita hanya meniru format kebenaran. Akhirnya kita menjadi bangsa yang lebih takut salah form daripada salah pikir. Dalam masyarakat seperti ini, keberanian tidak dihukum; ia hanya dianggap tidak relevan. Yang penting—laporan selesai, format rapi, dan file sudah diunggah sebelum deadline.

Dan barangkali inilah ironi terbesar. Perbankan pernah menjadi simbol modernitas Barat; kini ia menjadi pola batin kita sendiri. Dan kita tidak sadar bahwa kita sedang melanjutkan sebuah peradaban yang di tempat asalnya justru tengah runtuh, tercekik oleh bobot tubuhnya yang menggemuk berlebihan: terlalu banyak aturan, terlalu sedikit keberanian untuk berpikir.

Jika suatu hari universitas kehilangan daya kritisnya, itu bukan karena ancaman ideologi dari luar, tetapi karena kita terlalu patuh terhadap checklist di dalam. Pada akhirnya, masyarakat yang sibuk membuktikan dirinya bekerja, justru lupa mengerjakan hal yang penting: memikirkan untuk apa ia bekerja.

SendTweetShare
Previous Post

Mukadimah: Warthasastra

Next Post

Dari Jazz ke Gamelan

Toto Rahardjo

Toto Rahardjo

Related Posts

Peradaban Cahaya; Terang, Keterangan, dan Informasi
Esensia

Peradaban Cahaya; Terang, Keterangan, dan Informasi

December 18, 2025
Dari Jazz ke Gamelan
Esensia

Dari Jazz ke Gamelan

December 16, 2025
Hobi Proyeksi dan Keberhalaan Modern
Esensia

Hobi Proyeksi dan Keberhalaan Modern

December 4, 2025
Kepalsuan di Balik Jendela Kelas
Esensia

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

December 3, 2025
Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama
Esensia

Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

December 2, 2025
Kultus Visibility
Esensia

Kultus Visibility

December 1, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta