BORJUASI selalu punya cara meredakan amarah. Mereka menyodorkan sogokan—kadang berupa kata manis, kadang sekadar janji reformasi, kadang senyum pejabat di layar televisi. Kapolri bicara. Ketua DPR bicara. Presiden bicara. Tapi suara mereka seperti air di atas aspal panas: menguap, lenyap, tak sempat mendinginkan.
Rakyat tidak pulang. Mereka tetap di jalan.
Sejarah punya kebiasaan mengulang dirinya dalam bentuk yang berbeda. Tahun-tahun silam, dari Paris sampai Petrograd, dari Jakarta 1998 sampai Chile, selalu ada saat ketika rakyat tak lagi percaya pada bahasa penguasa. Bahasa kekuasaan, bagi mereka, sudah kadaluarsa.
Di Yogyakarta, bahkan ketika Sultan Hamengkubuwono X pulang ke keraton, subuh tidak berarti hening. Bentrokan tetap berlanjut. Seakan malam dan pagi hanya berganti kostum, bukan suasana. Massa aksi dan aparat terus berhadap-hadapan: tubuh melawan tubuh, tekad melawan tameng.
Sogokan borjuasi, lagi-lagi, gagal menutup jalan. Kata-kata resmi itu seperti amplop kosong: dikibaskan, dilempar, diinjak, lalu terlupakan. Yang tersisa hanya satu hal, yakni rakyat yang bergeming.
Mereka masih percaya bahwa rakyat bisa dibungkam dengan potongan pernyataan. Bahwa sejarah bisa ditutup dengan konferensi pers. Bahwa api bisa dipadamkan dengan air mineral dalam botol plastik. Naif. Sementara jalanan sudah jadi panggung utama: rakyat menulis babak baru dengan batu, gas air mata, dan darah.
Sejarah tidak pernah tidur. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk bangkit dalam wajah yang lain. Dari Paris, Petrograd, Jakarta, Yogyakarta, sampai Magelang dan Tegal—peta dunia selalu punya titik api yang sama: rakyat yang tidak percaya lagi pada kata-kata. Ketika itu terjadi, semua bahasa kekuasaan menjadi bisu.
Lucu juga, dari Presiden sampai Kapolri, dari Ketua DPR sampai Sultan, semua akhirnya turun tangan. Semua bicara, semua tampil. Tapi semakin banyak suara dari atas, semakin keras gema dari jalanan. Seakan negara sedang bernegosiasi dengan dirinya sendiri—dan kalah.
Kesabaran rakyat selalu ada tapal batasnya. Dan hari ini, garis itu sudah diinjak-injak. Hidup makin susah. Harga barang naik. Pajak mencekik. PHK di mana-mana. Lapangan kerja hilang, seribu janji pembangunan tak memberi jalan. UMKM—yang katanya “tulang punggung bangsa”—dipelototi, diporoti, dijadikan sasaran empuk aparat pajak. Seakan rakyat kecil adalah musuh negara. Media tak lagi bebas. Wartawan diancam. Suara dipelintir. Kata “kebebasan pers” jadi slogan kosong. Sementara itu, borjuasi menebarkan sogokan: statement Kapolri, Ketua DPR, Presiden. Bahasa kekuasaan yang lahir di ruang ber-AC, dikirim ke jalanan penuh gas air mata—tidak ada yang percaya.
Kemarahan ini bukan sekadar soal “isu politik sesaat”. Ia akumulasi. Bertahun-tahun. Lapisan demi lapisan. Dari dapur yang makin lapar, dari anak-anak muda yang tidak punya kerja, dari pedagang kecil yang dihantam razia, dari orang tua yang mati dalam antrian rumah sakit.
Sampai akhirnya—kegelisahan berubah jadi barisan. Barisan berubah jadi bentrokan. Bentrokan berubah jadi api. Semua kota pun membara.
Di bawah, rakyat mengantri. Di atas, pesta tak berhenti. Uang dihambur-hamburkan. Gaji pejabat dikerek naik, tunjangan ditambah, fasilitas diperluas. Seakan negeri ini hanya ada untuk memberi kenyamanan bagi segelintir elite. Nurani telah kebas.
Kalau ada suara protes? Jawabannya sudah bisa ditebak: “agenda asing”. Atau slogan murahan: “kita bangsa besar”. Kata-kata yang dilontarkan sambil mengangkat gelas, di ruangan ber-AC, di antara tawa pesta yang membuih.
Sementara jalanan dipenuhi gas air mata. Dapur rakyat dihiasi kompor mati. Pabrik-pabrik yang dulu dipenuhi ribuan orang yang kini dipulangkan tanpa upah. Kesenjangan ini bukan lagi sekadar angka statistik. Ia luka terbuka. Luka yang setiap hari ditaburi garam oleh tontonan pesta kekuasaan. Ketika luka itu sudah tak bisa ditahan—kata-kata “agenda asing” hanya terdengar seperti lelucon buruk. Slogan “bangsa besar” hanya seperti poster kumal di dinding kusam. Tak ada yang percaya. Yang tersisa hanya dua wajah negeri ini: di atas, pesta; di bawah, bara.
Affan. Nama yang tiba-tiba jadi gema. Ia korban. Tapi sekaligus pemantik.
Bukan sekadar “kebiadaban” aparat. Lebih dari itu, Affan adalah representasi. Ia orang biasa.
Bukan politisi. Bukan pejabat. Bukan siapa-siapa. Hanya seorang pengemudi ojol, bekerja demi keluarga, menambal hidup yang makin sulit.
Tapi justru di situlah maknanya. Affan adalah wajah banyak orang. Wajah rakyat yang setiap hari berhadapan dengan ongkos hidup yang tak tertutup, pekerjaan yang tak pasti, pajak yang mencekik. Di atas sana, narasi elite beterbangan di udara. Slogan. Agenda. “Kita bangsa besar”. Bahasa yang tak pernah menginjak bumi kenyataan wong cilik.
Elite partai? Diam. Tidak ada yang mewakili. Tidak ada yang bersuara. Mereka lebih sibuk menggarong anggaran, menaikkan gaji, menambah fasilitas, berpesta di hotel berbintang. Di jalan: darah rakyat. Di gedung: tawa elite. Itulah jurang yang makin lebar. Affan—tanpa ia memilih—jatuh tepat di tengah jurang itu. Tubuhnya jadi cermin. Bagi semua yang lelah, marah, lapar, putus asa. Sejarah kadang berputar dengan cara aneh: satu nama kecil tiba-tiba menjadi kata ganti jutaan orang. Affan si ojol biasatiba-tiba menjadi “rakyat”.
Kemarahan akhirnya tumpah. Kalau yang marah sudah orang-orang biasa—mereka yang setiap hari ditindih oleh ongkos hidup, dipalak pajak, dihantam PHK—maka tak ada janji yang bisa menyogok. Mereka terlalu sering ditipu. Janji beasiswa, janji lapangan kerja, janji harga murah, janji subsidi… semua hanya jadi iklan politik.
Orang biasa punya satu kelebihan: daya tahan dalam kecewa. Mereka sudah kenyang. Mereka tahu bagaimana menghadapi lapar. Mereka tahu bagaimana bertahan dengan gaji yang tak cukup, dengan pekerjaan yang tak pasti.
Jadi ketika marah itu meledak, ia bukan sekadar ledakan emosi. Ia endapan panjang, akumulasi dari duka yang dipelihara rezim. Maka janji-janji tak ada artinya. Bahkan senyum pejabat di televisi tampak seperti ejekan. Bahkan slogan “bangsa besar” terdengar seperti cemoohan. Di jalan-jalan,orang-orang biasa akhirnya memilih bicara dengan bahasa yang lain: teriak, batu, dan barisan dengan mengandalkan tameng menggunakan tubuh.
Mereka tak percaya lagi pada siapa pun karena terlalu sering ditipu oleh elite politik, oleh wakil yang tak pernah mewakili, oleh partai yang hanya menjadi garong anggaran. Di titik itu, sebuah kata lama kembali: amok. Amok bukan sekadar marah. Ia letupan yang membeludak setelah sekian lama ditahan, direpresi, diabaikan, bahkan dihinakan.
Seperti bendungan retak yang akhirnya jebol. Seperti api kecil yang dikipasi sendiri oleh tangan penguasa, lalu menyambar rumah besar bernama negara. Amok adalah bahasa terakhir dari orang-orang biasa. Bahasa yang lahir ketika semua pintu dialog ditutup. Bahasa tubuh, bahasa batu, bahasa massa. Sejarah mencatat bahwa amok selalu dianggap irasional. Tapi siapa sebenarnya yang irasional—rakyat yang marah, atau penguasa yang tuli?
Sampai mana ini akan berujung? Entahlah. Yang jelas, penguasa boleh saja menambah tameng, gas, pasal-pasal baru. Tapi bagaimana menakut-nakuti orang yang sudah tak punya apa-apa? Hantu saja tak laku—kalau perut kosong lebih menakutkan.
Sampai mana ini akan berujung? Saya tak tahu. Yang pasti, ketika orang merasa sudah kehilangan segalanya, ia juga kehilangan rasa takut. Di titik itu, sejarah sering membuka jalan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Sampai mana ini akan berujung? Tak ada yang tahu. Mungkin di meja rapat DPR. Mungkin di jalan raya penuh gas air mata. Atau mungkin—seperti biasa—di ruang pesta para pejabat. Ironinya, yang tak punya apa-apa justru yang paling berani.
Amok? Bagi penguasa itu cuma “kerusuhan”. Bagi rakyat, itu satu-satunya janji yang tak pernah ingkar.
Amok hanyalah nama lain dari luka yang terlalu lama diabaikan. Pada akhirnya, luka yang dibiarkan, akhirnya selalu berbicara sendiri.
Amok lahir dari rakyat yang direpresi. Ironinya, negara yang menindas selalu tampak terkejut melihat buah dari tangannya sendiri.
Nitiprayan, 30 Agustus 2025