Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria

Irvan Setiawan Mappaseng by Irvan Setiawan Mappaseng
September 24, 2025
in Esensia
Reading Time: 5 mins read
Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria

SEJARAH mencatat skandal outrages yang pernah dilakukan oleh Kaisar Romawi bernama Caligula yang berkuasa pada tahun 37-41 M.. Ini bukan cerita Caligula membakar Kota Roma, tapi lebih gila lagi. Di masa pemerintahannya, ia pernah mengangkat kudanya yang bernama Incitatus menjadi senator Romawi. Lebih absurd lagi, ia mau mengangkatnya menjadi konsul—jabatan yang memiliki otoritas hukum dan peradilan. Bayangkan seekor binatang menentukan hidup mati seseorang. Itu pernah terjadi 2000 tahun yang lalu.

Tentunya, kegilaan Caligula tidak dibiarkan begitu saja. Orang-orang bersepakat untuk menghentikan kegilaan tersebut. Maka, ada tanggal 35 Januari 41 Masehi, Cassius Chaerea—seorang komandan Tribun Pratorian—bersama beberapa senator mengeksekusi Caligula di suatu koridor di bawah istana kekaisaran. Meskipun Romawi baru runtuh 400 tahun kemudian, tapi kerusakan yang dilakukan oleh Caligula menjadi salah satu asal muasalnya.

Di kemudian hari, para penulis menjadikan cerita ini sebagai satir, agar negara mana pun tidak memasukkan “binatang”—tidak berakal dan tidak berbudi—ke dalam parlemen. Bagaimana mungkin jobdesc yang berdampak pada martabat dan nyawa orang banyak diserahkan pada yang tidak berakal dan tidak berbudi?

Selain itu, skandal Senatus Populusque Romanus (Senat Romawi) yang lebih outrages lagi: pembunuhan Julius Caesar di gedung senat bernama Curia di Pampeo. Pada 44 sebelum Masehi, ekseksusi ini dilakukan oleh 60 senator di bawah pimpinan Brutus dan Longinus, dengan justifikasi bahwa Caesar dituduh sebagai tiran yang harus dimusnahkan. Tragisnya, skandal tersebut memicu perang saudara selama 11 tahun.

Sejarah juga mencatat berbagai perang saudara yang dimulai dari skandal absurd dan amoralitas yang bermula dari gedung parlemen. Hal ini menegaskan bahwa gedung parlemen adalah bangunan keramat yang memang harus dikeramatkan, sekaligus bangunan sakral yang juga harus disakralkan. Tata krama, adab dan etika wajib diterapkan di sana untuk mencegah perbuatan absurd dan amoral terjadi.

Bagaimana tidak? Parlemen menghasilkan produk yang disebut undang-undang, yang mengikat harkat, martabat, harta dan nyawa rakyat banyak. Sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam sifat Al-Hakim parlemen seharusnya menjaga kehormatan dengan menjaga kesucian yang dijaga oleh doa-doa. Maka, barang siapa yang melakukan amoralitas, absurditas, apalagi perbuatan idiotik maka akan kualat.

Indonesia tidak terkecuali, Tuhan sudah menggariskan ketetapan-Nya. Amoralitas dan absurditas di gedung parlemen bisa dipastikan membuat jalan-jalan kota dibanjiri rakyat yang tergugah nuraninya. Dus, membuka peluang terjadinya konflik antarsesama saudara sebangsa setanah air.

Nurani orang Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Karena sedari kecil sudah diperdengarkan istilah Ibu Pertiwi sebagai personifikasi bumi yang memberikan kehidupan, menumbuhkan makanan, memenuhi segala kebutuhan. Partnernya disebut Bapak Angkasa. Walau istilah ini jarang didengar, tapi kognisi orang Indonesia otomatis membuat antonim sebagai pasangan Ibu Pertiwi.

Bapak Angkasa bersifat mengayomi seperti langit yang memiliki lapisan ozon yang melindungi, hujan yang menafkahi dan sinar matahari yang membuahi apa-apa yang Ibu Pertiwi tumbuhkan. Secara bawah sadar, ini adalah konsepsi kepemimpinan orang Indonesia, yaitu bapak yang mengayomi dan ibu yang menghidupi, sedangkan rakyat adalah anak-anak yang berbakti.

Konsepsi ini membuat rakyat sangat tidak menyukai bapak dan ibu yang arogan, tidak mau mendengar, kejam alias tiran. Orang tua yang demikian cepat membuat anak-anak frustasi, dan itulah yang sering terjadi. Rakyat mudah terpantik kekecewaan dan amarahnya hingga rela berpanas-panasan di jalan demi memprotes bapak ibu yang arogan dan tiran, baik dalam ucapan, tindakan maupun keputusan.

Sejak kita kecil, sistem sekolah kita selalu mencekoki cerita-cerita penjajah sebagai antagonis: yang menindas, membungkam, dan memperkosa hak-hak. Fakta bahwa penjajahan berlangsung selama 350 tahun juga mengisi penuh ruang dalam hati dan benak orang Indonesia, menegaskan bahwa penjajahan, penindasan, pembungkaman, perampasan hak adalah musuh bersama. Maka, tidak heran setiap ada kebijakan yang menyusahkan, manusia Indonesia tidak segan-segan menyuarakan kegelisahan.

Protes biasanya berawal dari honest protest dengan simple demand rakyat kebanyakan. Namun, malangnya, seringkali suara rakyat tercekik karena dituduh macam-macam—ada yang menunggangi, ada yang menggerakkan, ada yang membohiri, dan sebagainya. Ini seperti menaburi garam ke luka; sakit hati semakin menjadi-jadi. Sudah jelas terseok dengan luka menganga di mana-mana, masih juga dituduh pura-pura. Siapa yang tidak putus asa? Dalam keadaan terdesak, siapa yang mau dimintai tolong?

Imajinasi Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa kemudian tercermin pada para pejabat dan wakil rakyat yang dianggap perpanjangan tangan Tuhan. Kebanyakan rakyat hanya punya simple demand: diterima, dipeluk, didengar, dan dikasih solusi. Empati kata tepatnya. Simple people with simple demand yang hanya mengharapkan simple empathy. Tidak sulit dan tidak perlu menjadi rocket scientist untuk bisa melakukannya. Namun alih-alih empati, seringkali hardikan dan gebukan yang didapat…

Kembali konsepsi bawah sadar manusia Indonesia terpantik. Kali ini tentang keksatriaan. Bagi masyarakat, yang dari dulu dicekoki cerita heroisme semenjak Mahabharata dan Ramayana hingga para pejuang kemerdekaan, figur ksatria piningit akan selalu bertahta dalam kepala.

Memori kolektif akan membawa pada rekonstruksi imajiner kejadian ratusan tahun lalu. Ketika rakyat kebanyakan yang gundah karena kesulitan hidup akibat mantri menaikkan upeti serampangan, ditambah sesaknya dada karena ada wedana yang menari-nari di pendopo kadipaten yang dikeramatkan, hendak bertamu dan mengadu ke kraton kadipaten. Saat rombongan berjalan menuju bangsal, terdengar para wedana mengejek. Sakit hati semakin menguasai.

Kode etik ksatria mendikte agar adipati mengayomi rakyat yang kesusahan. Apalagi mereka bersusah payah berjalan jauh dari peloksok negeri. Jika saja sang adipati bersama para tumenggung, wedana, abdi dalem menerima mereka, berdiskusi, berdialog, saling mendengarkan, bahkan memberi solusi, maka rombongan dapat pulang dengan perasaan tenang dan legowo. Namun, alih-alih mengejawantahkan kode etik keksatriaan, sang adipati malah menyuruh tumenggung dan para tamtama mengusir serta menggebuki tetamu. Ya jelas, rombongan yang sengsara plus sakit hati akan menjadi agresif. Tamtama dan rombongan jelata saling gebuk-menggebuk sampai lunglai, amuk mengamuk terjadi, semua dijadikan sasaran kemarahan.

Di saat seru-serunya adu gagah, Tuhan mengilhami mereka kesadaran, “Lah, buat apa kita saling gebuk demi adipati dan kawan-kawannya yang tidak ksatria sama sekali?” Alih-alih melanjutkan menggebuki jelata sampai jatuh korban, bukankah lebih baik menjemput paksa orang-orang yang bersembunyi untuk mau duduk bersama dan berbincang dengan rakyat yang jadi tanggungjawabnya?

Rakyat pemberani dan tamtama ksatria layaknya mengabdi pada pimpinan yang ksatria juga. Bukan pada para penghardik yang ucapannya mengiris nurani atau lebih parah, para pengecut. Jika demikian adanya, maka teranglah dunia. Sebagaimana rakyat kebanyakan Indonesia. Mereka template-nya akan selalu gundah pada kebatilan, ketidakadilan dan pada para pengecut. Karena dalam nadinya mengalir darah ksatria nenek moyangnya.

Bagi para penghardik dan pengejek di atas sana cukuplah relief Candi Mendut (824 M.) tentang kura-kura terbang menjadi pelajaran berharga.

Syahdan, seekor kura-kura ingin merasakan terbang di angkasa. Lalu ia meminta pertolongan pada dua ekor burung yang mencengkeram batang kayu. Sang kura-kura menggigit batang tersebut. Terbanglah mereka.

Orang-orang di bawah yang melihat pemandangan luar biasa itu mulai heboh. Ada yang berteriak kagum, keheranan, sampai yang berusaha mengganggu dengan menembakkan anak panah. Namun semua tidak dapat mengganggu sang kura-kura. Hingga seseorang berkata, “Hebat sekali dua burung itu, cerdas dan baik. Mau membantu kura-kura malang itu.” Ucapan itu berhasil memantik ego kura-kura yang berteriak keras, “TIDAK! Ini semua berkat kehebatanku!” Maka, jatuhlah ia.

Moral of the story adalah kalau berada di atas maka jagalah mulut baik-baik. Karena di posisi setinggi itu, mulut tak terjaga bisa menyebabkan kejatuhan. Bahkan bisa mengakibatkan perkelahian sampai melayangnya nyawa mereka yang tidak berdosa.

Bottom line, ini masalah bawah sadar. Idealisme kepemimpinan dalam alam berpikir manusia Indonesia adalah seorang ksatria yang mengayomi dengan penuh empati, membela kebenaran dengan gagah perkasa, beradab, bermoral dan hormat terhadap tugas serta tanggung jawabnya. Ia juga berkasih sayang pada rakyat jelata dengan sepenuh hati. Bukan mereka yang sembrono, pengecut, dan penghardik amoral yang tidak menghormati kesakralan tempat keramat pengambilan keputusan yang berdampak pada hidup matinya rakyat. Bukan binatang, tetapi ksatria. Konsepsi ini tidak bisa diutak-atik lagi karena sudah seperti itu dari sananya. Siapapun yang nekat ingin menjadi pemimpin dan wakil rakyat di tengah-tengah manusia Indonesia wajib merenungi ini dalam-dalam…

SendTweetShare
Previous Post

Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri

Next Post

Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan

Irvan Setiawan Mappaseng

Irvan Setiawan Mappaseng

Related Posts

Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan
Esensia

Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan

September 25, 2025
Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri
Esensia

Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri

September 23, 2025
Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu
Esensia

Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu

September 22, 2025
Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi
Esensia

Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi

September 19, 2025
Pewaris, Perintis, dan Penjaja Bakso di Simpang Jalan
Esensia

Pewaris, Perintis, dan Penjaja Bakso di Simpang Jalan

September 19, 2025
Merdeka dari Penantian
Esensia

Merdeka dari Penantian

September 16, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta