DALAM sejarah panjang bangsa ini, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa kemerdekaan sudah tuntas hanya karena proklamasi 1945. Padahal, setiap zaman menghadirkan bentuk penjajahan baru, yang sering kali lebih halus namun tidak kalah berbahaya. Jika dulu musuh kita adalah bangsa asing bersenjata, kini musuh itu bersemayam di tubuh bangsa sendiri: pada ketamakan segelintir pemburu rente, pada elite yang menukar kepemimpinan dengan kuasa, dan pada pejabat yang membekukan rakyatnya dalam kejumudan.
Cak Nun pernah menulis dalam Puasa Kemakhlukan Manusia (2018), “Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk bermental jumud, konservatif dan mandek. Bahkan para pejalan Ilmu kebanyakan juga mandek di batas kebenarannya masing-masing.” Kutipan ini bukan hanya refleksi personal, melainkan juga diagnosis sosial-politik kita hari ini. Negara bisa menjadi jumud jika para pengelolanya berhenti belajar, berhenti mendengar, dan berhenti membuka ruang hidup bagi rakyatnya.
Hal yang ironi, hari ini kita menyaksikan bagaimana negara kita jatuh dalam pusaran kejumudan itu. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata justru menyusut menjadi sekadar seremoni lima tahunan. Birokrasi berjalan bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk mempertahankan kursi dan privilese. Kebijakan negara sering lebih tunduk pada bisikan oligarki ketimbang jeritan rakyat. Dalam ruang publik, kritik tidak lagi diperlakukan sebagai vitamin, melainkan sebagai ancaman yang harus dibungkam.
Di titik ini, saya teringat pada sebuah refleksi ketika Cak Nun bilang ke Sujiwo Tedjo pada sebuah video: siang dan malam bukanlah paradoks, melainkan azwaj. Siang dengan cahaya, aktivitas, dan kuasa yang tampak, selalu berpasangan dengan malam yang sunyi, teduh, namun menyimpan energi untuk hari esok. Keduanya tidak bisa saling meniadakan. Tanpa malam, pagi akan kelelahan. Tanpa pagi, malam akan kehilangan arah. Begitupun juga dalam arti jodoh sesungguhnya antara pria dan wanita, yang dikatakan jodoh adalah ketika dua orang dipertemukan karena karakter yang sama sekali berbeda. Jodoh itu ada untuk saling melengkapi.
Begitulah hubungan antara negarawan jumud dan rakyat ajaib. Mereka seakan paradoks, tetapi sesungguhnya adalah jodoh sejarah. Negarawan jumud yang kaku, arogan, dan takut kritik hanya bisa bertahan karena rakyat ajaib hadir untuk menggugat, melawan, dan memberi keseimbangan. Rakyat ajaib yang berani melawan pun lahir karena negara jumud menciptakan ruang ketidakadilan. Seperti pagi dan malam, keduanya bergerak dalam siklus yang sama—tetapi rakyat ajaiblah yang memastikan agar siklus itu tidak mandek dalam satu wajah saja.
Kritik-kritik Cak Nun beberapa tahun lalu tentang metafora yang kerap dipakai untuk menggambarkan kekuasaan: Presiden sebagai Firaun, Sembilan naga oligarki sebagai Qarun, serta kaki tangan presiden sebagai Haman. Firaun, simbol penguasa absolut yang merasa dirinya tak tergugat. Qarun, simbol ketamakan harta yang membabi buta. Haman, tangan kanan penguasa yang mengatur, mengarahkan, bahkan menindas rakyat demi melanggengkan kekuasaan. Metafora ini tidak dimaksudkan sebagai caci-maki semata, tetapi sebagai cara untuk memahami bagaimana kekuasaan bisa berjalan dalam pola yang jumud, dari zaman Firaun hingga Indonesia hari ini.
Kritik itu dicaci habis oleh buzzer rezim saat itu, dilabeli sesat, dianggap provokatif, bahkan diputarbalikkan maknanya. Namun, kenyataan hari ini membuktikan bahwa kata-katanya bukan hanya kritik, melainkan nubuat. Penguasa yang mestinya jadi negarawan justru tampil sebagai penerus kejumudan. Presiden yang seharusnya mengayomi rakyat sibuk bermain “militer-militeran” dengan citra seremonial. Wakil presiden dengan rekam jejak akademik minim, jauh dari teladan intelektual, tetapi dipromosikan sebagai figur bijak. Staf Khusus Presiden hanya jadi buzzer, ada yang disuruh ngisi seminar justru lebih milih nge-Gym. Sementara itu, wakil rakyat yang pernah meremehkan bangsanya dengan menyebut rakyatnya “tolol”—padahal nilai rata-rata SMP-nya hanya enam—kini menjadi corong dan penentu kebijakan. Apakah ini potret negara yang hidup? Atau sekadar negara yang jumud? Trus, siapa yang lebih tolol?
Negara jumud bukan hanya masalah elite yang kaku. Ia adalah konstruksi penuh kesengajaan. Hukum dipakai sebagai alat, bukan keadilan. Demokrasi dijadikan panggung, bukan ruang dialektika. Simbol-simbol pembangunan dikibarkan, padahal yang dibangun hanya proyek-proyek mercusuar yang lebih menguntungkan ketamakan para pemburu rente ketimbang kesejahteraan rakyat. Seakan-akan ada gerak, padahal sesungguhnya bangsa ini sedang berjalan di tempat, bahkan mungkin mundur.
Makan Bergizi Gratis (MBG) salah satu contohnya. Alih-alih fokus pada perbaikan kualitas pendidikan, peningkatan gaji guru, dan pemerataan akses sekolah yang layak, negara justru sibuk menjadikan MBG sebagai program mercusuar hingga menghabiskan 44% anggaran Pendidikan di APBN. Padahal, meski idenya tampak indah di atas kertas, pelaksanaannya banyak meninggalkan masalah: distribusi yang tidak merata, menu seadanya, hingga kasus makanan basi yang justru membahayakan siswa. Ironisnya, anggaran triliunan digelontorkan untuk program ini, sementara ribuan guru honorer masih digaji dengan angka yang jauh dari kata layak, banyak sekolah negeri kekurangan fasilitas dasar, dan kualitas pendidikan kita tetap jalan di tempat. Bukankah ini bukti nyata bahwa negara tidak tahu prioritas?
Lebih menyedihkan lagi, meski rezim telah berganti berkali-kali sejak reformasi 1998, kebiasaan KKN justru makin menjadi-jadi. Dulu, Orde Baru ditumbangkan karena dianggap sarang kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun kini, demokrasi yang kita perjuangkan justru melahirkan praktik KKN yang lebih vulgar. Jabatan publik sering kali dibagi bukan karena kapasitas atau meritokrasi, melainkan karena hutang budi politik, kedekatan pribadi, atau transaksi di balik layar. Menteri diangkat karena jasa kampanye, komisaris ditempati kerabat, dan posisi strategis dijadikan alat tawar-menawar politik. Dengan wajah baru, penyakit lama itu terus diwariskan.
Namun, sejarah bangsa ini selalu menyimpan perjodohan antara pemerintah dan rakyatnya: setiap kali negara diambang kejumudan, rakyat justru menemukan cara untuk menjadi ajaib. Dari perlawanan terhadap penjajah hingga Reformasi 1998, rakyat selalu menggugat ketika negara berhenti bergerak. Denyut itu kini kembali terdengar. Aksi mahasiswa di berbagai kota menolak kebijakan yang merugikan publik adalah salah satunya. Mereka turun ke jalan bukan karena ingin mencari panggung, melainkan karena masih percaya bahwa republik ini bisa diselamatkan. Mereka dituding tukang rusuh, tapi sesungguhnya mereka sedang menjadi hati nurani bangsa.
Gerakan masyarakat sipil juga semakin menguat. Lihatlah komunitas rakyat yang menolak proyek tambang yang merusak lingkungan. Mereka tahu taruhannya besar: tanah, hutan, dan masa depan anak cucu. Meski berhadapan dengan aparat bersenjata lengkap, mereka tetap berdiri, membawa spanduk dan suara mereka sebagai perlawanan. Kita juga melihat solidaritas lintas kampus, lintas agama, lintas profesi, yang menyatu dalam gelombang aksi menuntut keadilan. Bahkan di ruang digital, muncul aktivisme baru: membongkar hoaks, melawan ujaran kebencian, dan mengingatkan bahwa pemerintah bukanlah dewa yang tak boleh dikritik. Semua ini adalah tanda bahwa rakyat tidak jumud.
Dari banyak simbol perlawanan, dua kisah baru mengemuka: Hero Green dan Brave Pink. Hero Green adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tubuhnya ditindih rantis aparat, padahal aparat itu seharusnya melindungi, bukan melukai. Ia bukan pejabat, bukan elite, hanya rakyat kecil yang mencari nafkah, tetapi keberaniannya menjadikan ia simbol heroisme rakyat. Sementara itu, Brave Pink adalah seorang perempuan yang berdiri menghadapi barisan aparat dengan hanya sebatang bambu tumpul di tangannya. Ia bukan komandan militer, bukan orator besar, tetapi keberaniannya membenturkan tubuh rapuhnya pada tameng baja menjadikannya simbol keberanian kolektif. Dua sosok ini menunjukkan: rakyat kecil bisa melahirkan simbol besar.
Simbol-simbol ini hidup karena mereka lahir dari ketulusan, bukan dari pencitraan. Hero Green dan Brave Pink adalah penegasan bahwa rakyat Indonesia menolak jumud. Mereka menunjukkan bahwa keberanian bukanlah monopoli elite, melainkan harta karun rakyat kecil yang rela berdiri ketika negara abai.
Maka, pertarungan hari ini bukan sekadar rakyat melawan elite. Ini adalah benturan antara negara jumud dan rakyat ajaib. Negara jumud sibuk mempertahankan kursi, sementara rakyat ajaib menciptakan energi perubahan dari bawah. Negara jumud menutup telinga dari kritik, sementara rakyat ajaib terus berteriak meski suaranya dibungkam. Negara jumud memperalat hukum, sementara rakyat ajaib menjadikan kebenaran sebagai senjata.
Kita tahu, perjalanan ini tidak mudah. Rakyat yang melawan sering harus membayar mahal: gas air mata, bentrokan, bahkan darah yang tumpah. Namun, setiap luka adalah bukti bahwa bangsa ini masih hidup. Setiap gugatan adalah tanda cinta. Indonesia akan terus digugat, bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk dijaga agar ia tidak kehilangan arah.
Sejarah akan mencatat bahwa ketika negara jumud, rakyatlah yang menjadi ajaib. Rakyatlah yang menciptakan denyut, nyali, dan harapan. Selama rakyat tidak jumud, bangsa ini masih punya peluang untuk bergerak menuju cita-cita yang pernah diikrarkan: sebuah republik yang adil, merdeka, dan bermartabat.
Maka, dalam pertarungan antara Negarawan Jumud vs Rakyat Ajaib, harapan selalu ada di pihak rakyat. Para pemburu rente mungkin bisa menguasai panggung untuk sementara waktu, tetapi mereka tak bisa membunuh kesadaran kolektif. Gugatan rakyat terhadap negara bukanlah tanda kebencian, melainkan tanda cinta. Sebab, yang benar-benar ingin dihancurkan rakyat bukanlah negaranya, tetapi kejumudan yang membusuk di dalamnya.






