KITA ACAPKALI mengira bangsa ini kekurangan pemimpin. Mungkin anggapan itu keliru, yang sesungguhnya langka bukan pemimpin yang berani memerintah, melainkan pemimpin yang rela menggembala. Di tengah hiruk-pikuk demokrasi yang kian berisik, mungkin kita perlu lebih sedikit orator dan lebih banyak pendengar.
Negara hari ini menjelma algoritma. Diukur dengan indikator, dikelola melalui dashboard, dijustifikasi oleh statistik. Demokrasi tidak lagi menyangkut suara warga, melainkan angka partisipasi. Kesejahteraan tak lagi menyentuh rasa cukup, melainkan grafik pertumbuhan. Mereka yang rasional dimuliakan dan yang etis—sering kali—ditinggalkan.
Barangkali inilah era ketika negara terlalu pandai berhitung, tapi terlalu miskin untuk merasakan. Ia tahu berapa kilometer jalan tol dibangun, tetapi abai terhadap kampung-kampung yang dibelahnya tanpa suara. Ia mencatat lonjakan konsumsi rumah tangga, tapi tak bertanya mengapa warga tetap gelisah di tengah surplus. Inilah rasionalitas yang terputus dari kebajikan.
Dalam laporan World Bank Indonesia Economic Prospects (Desember 2023), pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan stabil di kisaran 5%. Namun, ketimpangan sosial stagnan. Indeks Gini bertahan di 0,384—nyaris tak berubah dalam lima tahun terakhir. Di sisi lain, laporan OECD Economic Survey (2023) mencatat bahwa sekitar 20% warga Indonesia hidup tanpa jaminan sosial yang memadai, dalam ekonomi digital yang makin mempercepat eksklusi terhadap kelas pekerja informal.
Kita menyebut itu semua adalah rasionalitas, tapi yang dimaksud kerap kali hanyalah utilitarianisme yang disederhanakan. Sejauh suatu kebijakan menghasilkan manfaat jangka pendek, maka ia dianggap sah. Seperti diingatkan Amartya Sen dan Martha Nussbaum dalam Global Justice and Capability Approach (2022), kebijakan yang “rasional” sering kali gagal jika tidak memperhitungkan agency dan dignity warga negara—kemampuan mereka untuk memilih hidup yang bernilai bagi dirinya sendiri. Rasionalitas yang abai terhadap pengalaman konkret warga hanya akan melahirkan kekuasaan yang autistik—pintar secara teknis, namun tuli secara moral.
Yuval Noah Harari telah sejak lama mengingatkan bahwa kita hidup dalam dunia yang dikuasai oleh narasi, tetapi kehilangan kesanggupan membedakan antara kebenaran dan sensasi (21 Lessons for the 21st Century, 2018). Dalam dunia itu, negara percaya pada dataism—sebuah keyakinan bahwa semua keputusan terbaik lahir dari pemrosesan data, bukan dari suara hati nurani (Homo Deus, edisi revisi 2021).
Lantas, siapa yang menggembala nilai-nilai? Siapa yang memastikan nalar tidak menjelma kekejaman yang dingin dan metodis?
Demokrasi kita—dalam prosedurnya—masih hidup. Secara substansial, ia menua. Skor Democracy Index versi The Economist (2024) menurun dari 6.81 menjadi 6.71. Di saat kita bebas berbicara, justru banyak yang merasa tak didengar. Suara mayoritas dibajak oleh minoritas yang menguasai modal dan komunikasi. Masyarakat sipil mengalami distorsi representasi. Ruang publik penuh, tapi sepi diskursus.
Rasionalitas, alih-alih membebaskan, justru menjadi mekanisme legitimasi. Kebijakan publik dibungkus jargon “berbasis bukti”, tapi siapa yang punya data? Siapa yang menentukan validitasnya? Kondisi ini ditegaskan pula oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2020), bahwa kita berada dalam ancaman ketika rasionalitas dipaksa melayani logika kapital, bukan kemanusiaan. Di Indonesia, penggunaan big data dan AI bahkan mulai menggantikan deliberasi politik. Kebijakan muncul bukan dari diskusi publik, tetapi dari algoritma perhitungan suara.
Sementara itu, para pekerja honorer kehilangan kepastian di tengah efisiensi birokrasi. Petani tergusur demi “lumbung pangan”. Masyarakat adat kehilangan hutan atas nama “investasi strategis”. Menurut International Institute for Environment and Development (2023), Indonesia masuk lima besar negara dengan konflik agraria terbesar di Asia Tenggara—sebagian besar dipicu oleh proyek-proyek pembangunan yang tanpa partisipasi bermakna.
Ini bukan kejahatan yang terang-terangan, tapi kekosongan moral yang dilazimkan. Hannah Arendt menyebutnya banality of evil—kejahatan yang berjalan melalui prosedur yang dianggap netral. Kini, kejahatan itu terdigitalisasi: dibungkus antarmuka dan interface ramah, dengan jargon keberlanjutan.
Di tengah semua itu, kita bertanya: siapa yang menjaga demokrasi? Siapa yang menggembala, bukan sekadar memerintah?
Di Jawa, angon bukan sekadar menggiring ternak. Ia adalah laku hidup. Seorang angon (gembala) tidak berdiri di podium, tak bersaing dalam debat rating tinggi. Ia berjalan perlahan di belakang, memastikan tak ada yang tercecer. Angon adalah kepemimpinan dalam bentuk kehadiran: tulus, sabar, sungguh-sungguh, waspada dan berhati-hati, serta selalu membersamai. Tindakan yang menyatukan perhatian, kelembutan, dan tanggung jawab dalam satu tarikan napas.
Politik modern menolak itu. Demokrasi hari ini lebih menyukai yang cepat dan viral daripada yang bijak dan sabar. Pemimpin kontemplatif dianggap lemah. Mereka yang sabar dicap tidak tegas. Politik berubah menjadi pasar retorika. Kita kehilangan gembala yang tahu bahwa memimpin bukan hanya soal keputusan, tetapi tentang menjawab kesunyian rakyat yang tak terdengar.
UNDP Human Development Report (2023) mencatat jurang ketimpangan persepsi politik di negara berkembang—antara harapan dan kenyataan. Di Indonesia, jurang itu diperparah oleh literasi digital yang timpang. Masyarakat mudah dimanipulasi oleh framing yang dibungkus seolah-olah ‘rasional’, padahal sarat bias.
Barangkali, kita perlu mengembalikan kepercayaan pada praktik civic education dan literasi publik yang bermakna. Bukan sekadar pelajaran kewarganegaraan di kelas, tetapi kesadaran kolektif yang dibentuk melalui pengalaman hidup bersama—di balai warga, di ruang diskusi terbuka, di kanal digital yang tak didikte buzzer. Kita butuh infrastruktur kebudayaan dan kepercayaan yang menumbuhkan kedewasaan berpikir, bukan sekadar kecepatan merespons. Bahwa hal yang menghidupkan percakapan, bukan hanya komentar. Hal yang mengakar pada empati, bukan hanya algoritma.
Bangsa tidak ambruk oleh kekurangan teknologi, melainkan oleh krisis moral dalam menempatkan kebenaran sebagai landasan legitimasi. Kepemimpinan sejati menuntut kemampuan mendengar dan menggembala—mengelola kompleksitas sosial dengan kesabaran dan empati, bukan otoritas atau kuasa semata.
Pada akhirnya, demokrasi sejati melampaui metrik kuantitatif, berfungsi sebagai ruang deliberasi inklusif yang menjunjung keadilan dan martabat. Negara kuat adalah negara yang mampu memediasi antara suara mayoritas dan hak minoritas, menghadirkan kepemimpinan yang berorientasi pada proses kolektif, bukan dominasi individual.
Demokrasi membutuhkan gembala—bukan untuk menggiring, melainkan menjaga ritme kebersamaan agar tak ada yang tercecer oleh laju zaman. Dalam iklim publik yang jenuh oleh performa dan algoritma, kepemimpinan yang paling dibutuhkan bukanlah yang terdengar paling nyaring, tetapi yang paling tekun mendengar. Itulah laku angon yang hari ini semakin langka: kepemimpinan yang hadir bukan untuk menguasai, melainkan untuk menemani perjalanan bersama serta melayani dengan kesungguhan menuju keadilan yang benar-benar hidup.