Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Sumur

Mudik, Tawaf, dan “Ilaihi Raji’un”

Emha Ainun Nadjib by Emha Ainun Nadjib
June 18, 2017
in Sumur
Reading Time: 3 mins read
JABURAN SERI KE-II EDISI KESEpuluh

SEJAK SEKITAR sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan kebudayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapitalisme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani umat manusia kenapa tak bisa memproduksi fasilitas-fasilitas hidup dan metode sejarah yang bisa membahagiakan manusia.

Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transedental.

Akan tetapi, permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?

Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalnnya, bayi macam apa yang akan lahir?

Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor kebangkitan Islam? Suasana revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari ini, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell!, apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah perdaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.

Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serba keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.

Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara—terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea—akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca-pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genteng, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.

Kemudian kaum Muslimin Indonesia, umat Islam negeri maritime, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan, akan bertugas sesudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayuhayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan rohani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antarkota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu mangayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geologis-historis ini, rohani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menepuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti, kita bisa mulai menakar, mempertimbangkan, dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya—menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.

SendTweetShare
Previous Post

Ramadhan Sepanjang Zaman

Next Post

Rohani Iman dan Jasmani Iman

Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib

Related Posts

Balada Rumput dan Kambing
Sumur

Balada Rumput dan Kambing

May 16, 2025
Sumur

Puasa Sejati di Luar Ramadlan

June 2, 2019
Sumur

Baju Baru, Derajat Baru, Martabat Baru

May 30, 2019
Sumur

Menikmati Pagi Ketika Pagi

May 28, 2019
Sumur

Ruang Waktu Tidur

May 26, 2019
Sumur

Tak Pernah Tak Lahir Kembali

May 23, 2019

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta